Anda di halaman 1dari 8

Nama : Joshua Bendry Nalle

Kelas : A3 Hukum Acara Pidana


Nama Dosen : Dr. Effendi Saragih, S.H., M.H.
Tugas : Membuat Resume Buku Hukum Acara Pidana Indonesia Bab
18 & 19 (Prof. Dr. jur. Andi Hamzah)

BAB 18
UPAYA HUKUM

a. Upaya Hukum Biasa


KUHAP membedakan upaya hukum biasa dan luar biasa. Upaya hukum
biasa merupakan merupakan Bab XVII, sedangkan upaya hukum luar biasa
Bab XVIII. Upaya Hukum biasa terdiri dari dua bagian, Bagian Kesatu
tentang Pemeriksaan Banding dan Bagian Kedua tentang Pemeriksaan
Kasasi.

Pemeriksaan Tingkat Banding


Apabila Pasal 233 Ayat 1 KUHAP ditelaah dan dihubungkan dengan Pasal
67 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa semua putusan pengadilan
tingkat pertama (pengadilan negeri) dapat dimintakan banding ke
pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu
atau penuntut umum dengan beberapa kekecualian. Kekecualian untuk
mengajukan banding menurut Pasal 67 KUHAP tersebut ialah:
1) Putusan bebas (vrijspraak).
2) Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang
tepatnya penerapan hukum (sic).
3) Putusan pengadilan dalam acara tepat (dahulu dipakai istilah
perkara rol).
Dalam Pasal 244 KUHAP dikatakan bahwa terhadap putusan perkara pidana
yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada
Mahkamah Agung terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap
putusan bebas. Maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa putusan
pengadilan negeri dapat langsung dimintakan kasasi dalam hal lepas dari
segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya
penerapan hukum, karena dikatakan kecuali terhadap putusan bebas.
Ketentuan tersebut tercantum pula dalam Pasal 21 Ayat 1 UUKK.

Ada dua tujuan banding, yaitu untuk menguji putusan pengadilan tingkat
pertama tentang ketepatannya dan untuk pemeriksaan baru untuk
keseluruhan perkara itu. Oleh karena itu banding sering disebut juga revisi.

1
Pemeriksaan banding sebenarnya merupakan suatu penilaian baru
(judicium novum) sehingga dapat diajukan saksi-saksi baru, ahli-ahli, dan
surat-surat baru. KUHAP tidak melarang hal demikian, khususnya apabila
kita baca Pasal 238 Ayat 4 jo. Pasal 240 Ayat 1 KUHAP. Walaupun demikian,
dapat dikatakan bahwa acara pada pemeriksaan pertama tetap menjadi
dasar pemeriksaan banding kecuali kalau ada penyimpangan-
penyimpangan dan kekecualian-kekecualian.

Ada sepuluh buah pasal yang mengatur tentang acara banding dalam
KUHAP, yaitu Pasal 233 sampai Pasal 243. Yang berhak mengajukan
banding ialah terdakwa atau yang dikuasakan khusus untuk itu atau
penuntut umum. Waktu untuk mengajukan banding ialah tujuh hari
sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada
terdakwa yang tidak hadir (Pasal 233 Ayat 1 dan 2 KUHAP). Apabila tujuh
hari terlewatkan, maka yang bersangkutan dianggap telah menerima
putusan (Pasal 234 Ayat 1 KUHAP).

Suatu pembebasan tidak murni (niet zuivere vrijspraak) ialah suatu putusan
yang bunyinya bebas hukum (onstlag van rechtsvervolging), yang dinamai
juga lepas dari segala tuntutan hukum terselubung (bedekt onstlag van
rechtsvervolging). Jadi, bebas tidak murni sama dengan lepas dari segala
tuntutan hukum terselubung. Sebaliknya dapat juga terjadi, putusan lepas
dari segala tuntutan hukum yang didasarkan kepada tidak terbuktinya
suatu unsur (bestanddeel) suatu dakwaan, jadi seharusnya putusannya
bebas (vrijspraak).

Dalam hal adanya suatu banding terhadap putusan bebas yang dipandang
sebagai bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak) maka pengadilan
terlebih dahulu harus memeriksa dasar putusan bukan pada namanya,
yaitu apa benar tidak terbukti adanya suatu unsur delik yang didakwakan.

Kasasi
Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi
kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan
kehakimannya. Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan
penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan
dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.

Dalam KUHAP kurang diperinci tentang kasasi, akan tetapi pada umumnya
hanya mengatur tentang tata cara pengajuan kasasi dan pada Pasal 253
Ayat 1 KUHAP diatur secara singkat: :Pemeriksaan dalam tingkat kasasi
dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan:

2
a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan
tidak sebagaimana mestinya
b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan
undang-undang;
c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.”
Suatu permohonan kasasi dapat diterima atau ditolak untuk diperiksa oleh
Mahkamah Agung. Menurut KUHAP, suatu permohonan ditolak jika:
1) Putusan yang dimintakan kasasi ialah putusan bebas (Pasal 244 KUHAP).
2) Melewati tenggang waktu penyampaian permohonan kasasi kepada
panitera pengadilan yang memeriksa perkaranya, yaitu empat belas hari
sesudah putusan disampaikan kepada terdakwa (Pasal 245 KUHAP).
3) Sudah ada keputusan kasasi sebelumnya mengenai perkara tersebut.
Kasasi hanya dilakukan sekali (Pasal 247 Ayat 4 KUHAP).
4) Pemohon tidak mengajukan memori kasasi (Pasal 248 Ayat 1 KUHAP),
atau tidak memberitahukan alasan kasasi kepada panitera, jika pemohon
tidak memahami hukum (Pasal 248 Ayat 2 KUHAP), atau pemohon
terlambat mengajukan memori kasasi, yaitu empat belas hari sesudah
mengajukan permohonan kasasi (Pasal 248 Ayat 1 dan 4 KUHAP).
5) Tidak ada alasan kasasi atau tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 253
Ayat 1 KUHAP tentang alasan kasasi.
Kemudian perlu ditinjau yurisprudensi Mahkamah Agung yang berkaitan
dengan penolakan kasasi seperti:
1) Permohonan diajukan oleh seorang kuasa tanpa kuasa khusus (putusan
MA tanggal 17 Mei 1958 No. 117 K/Kr/1958).
2) Permohonan kasasi diajukan sebelum ada putusan akhir pengadilan tinggi
(Putusan MA tanggal 17 Mei 1958 No. 66 K/Kr/1958).
3) Permohonan kasasi terhadap putusan sela (Putusan MA tanggal 25
Februari 1958 No. 320 K/Kr/1957).
4) Permohonan kasasi dicap jempol tanpa pengesahan oleh pejabat
berwenang (Putusan MA tanggal 5 Desember 1961 No. 137 K/Kr/1961).

b. Upaya Hukum Luar Biasa


Upaya hukum luar biasa tercantum di dalam Bab XVIII KUHAP, yang terdiri
atas dua bagian, yaitu Bagian Kesatu Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi
Kepentingan Hukum dan Bagian Kedua Peninjauan Kembali Putusan
Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Bagian Kesatu
terdiri atas 4 pasal saja, yaitu Pasal 259-262 KUHAP.

Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum


Pasal 17 UU Mahkamah Agung (UU No. 1 Tahun 1950) mengatakan bahwa
kasasi dapat dilakukan atas permohonan pihak yang berkepentingan atau
atas permohonan Jaksa Agung karena jabatannya, artinya bahwa kasasi
atas permohonan Jaksa Agung hanya semata-mata untuk kepentingan
hukum dengan tidak dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan.

3
Jadi hanya dibedakan kasasi pihak dan kasasi karena jabatan Jaksa Agung.
Kasasi karena jabatan inilah yang sama dengan kasasi demi kepentingan
hukum sebagai upaya hukum luar biasa menurut KUHAP.

Jaksa Agung dapat mengajukan satu kali permohonan kasasi terhadap


semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari
pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, demi kepentingan
hukum. (Pasal 259 Ayat 1 KUHAP)

Kasasi demi kepentingan hukum diajukan jika sudah tidak ada upaya
hukum biasa yang dapat dipakai. Permohonan kasasi diajukan oleh Jaksa
Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera yang telah memutus
perkara tersebut dalam tingkat pertama, disertai risalah yang menjadi
alasan, kemudian panitera meneruska kepada yang berkepentingan (Pasal
260 KUHAP). Salinan keputusan Mahkamah Agung disampaikan kepada
Jaksa Agung dan kepada pengadilan yang bersangkutan, disertai berkas
perkara (Pasal 261 KUHAP). Ketentuan Kasasi demi kepentingan hukum
berlaku juga bagi peradilan militer (Pasal 262 KUHAP).

Jadi, pada umumnya sama saja dengan kasasi biasa kecuali dalam kasasi
demi kepentingan hukum ini penasihat hukum tidak lagi dilibatkan. Jika
Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi demi kepentingan hukum
maka Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan yang lebih
rendah.

Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh


Kekuatan Hukum Tetap
Menurut Pasal 263 Ayat 2 KUHAP, permintaan peninjauan kembali
dilakukan atas dasar:
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa
jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala
tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima
atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan;
b. Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu
telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan
putusan yang dinyatakan telah terbukti itu ternyata telah bertentangan
satu dengan yang lain;
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Kemudian ayat 3 Pasal 273 KUHAP mengatakan bahwa permintaan
peninjauan kembali dapat dilakukan apabila dalam putusan itu suatu

4
perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak
diikuti oleh suatu pemidanaan.
Dalam Pasal 266 Ayat 2 KUHAP ditentukan bahwa dalam hal Mahkamah
Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima
untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon,
Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan
menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu
tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya.
b. Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah
Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu
dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa:
a. Putusan bebas;
b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
c. Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
d. Putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh
melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. (Pasal 266
Ayat 3 KUHAP).

5
BAB 19
PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM

Terdapat 7 buah pasal dalam KUHAP yang mengatur tentang pelaksanaan putusan
pengadilan yaitu Pasal 270-276 KUHAP. Peraturan itu mengenai:
1. Pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa (Pasal 270 KUHAP)
2. Pelaksanaan pidana mati (Pasal 271 KUHAP)
3. Pelaksanaan pidana berturut-turut, jika terpidna dijatuhi pidana sejenis
berturut-turut (Pasal 272 KUHAP)
4. Pelaksanaan pidana denda dalam jangka waktu satu bulan, kecuali putusan
acara pemeriksaan cepat yang jarus seketika dilunasi pembayaran denda
tersebut dapat diperpanjang paling lama satu bulan dalam hal terdapat alasan
kuat (Pasal 273 Ayat 1 jo. Ayat 2 KUHAP)
5. Pengaturan barang bukti yuang dirampas untuk negara (Pasl 273 Ayat 3 dan
4 KUHAP)
6. Pelaksanaan putusan ganti kerugian kepada pihak lain yang dirugikan (Pasal
274 KUHAP)
7. Biaya perkara (Pasal 275 KUHAP)
8. Pelaksanaan pidana bersyarat (Pasal 276 KUHAP)

a. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Oleh Jaksa


Menurut Pasal 270 KUHAP, jaksalah yang melaksanakan putusan
pengadilan. Dalam pengadilan ini tegas KUHAP menyebut jaksa, berbeda
dengan penuntutan seperti penahanan, dakwaan, tuntutan, dan lain-lain
disebut "penuntut umum". Dengan sendirinya, ini berarti jaksa yang tidak
menjadi penuntut umum untuk sesuatu perkara boleh melaksanakan
keputusan pengadilann.
Pertama-tama, panitera membuat dan menandatangani surat
keterangan bahwa putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kemudian jaksa membuat surat perintah menjalankan putusan pengadilan
yang dikirim kepada lembaga pemasyarakatan.

b. Biaya Perkara
Dalam Pasal 197 Ayat 1 KUHAP yang mengatur apa yang harus dimuat
suatu putusan pada huruf i menyebut: "ketentuan kepada siapa biaya
perkara dibebankan, dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti, dan
ketentuan menganai barang bukti."
Pasal 275 KUHAP menyatakan bahwa apabila lebih dari satu orang
dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara dan/atau ganti kerugian
dibebankan kepada mereka secara berimbang. KUHAP tidak mengatur
sanksi jika biaya perkara tidak dibayar. Jadi, jelas merupakan piutang

6
negara (perdata). Kemudian tidak jelas pula bagaimana memperhitungkan
besarnya biaya perkara itu.

c. Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Hakim


Sesungguhnya, pengawasan dan pengamatan putusan hakim yang
dilakukan oleh hakim ini merupakan lembaga baru dalam hukum acara
pidana di Indonesia. Semula ino dicantumkan dalam Undang-Undang Poko
Kekuasaan Kehakiman Pasal 33 Ayat 2.

Dengan adanya ketentuan tentang pengawasan hakim terhadap


pelaksanaan putusan maka kesenjangan yang ada antara apa yang
diputuskan hakim dan kenyataan pelaksanaan pidana du lembaga
pemasyarakatan dan di luar lembaga pemasyarakatan jika terpidana
dipekerjakan di situ dapat dijembatani. Hakim akan lebih didekatkan
dengan jaksa dan lembaga pemasyarakatan. Hakim akan dapat mengikuti
perkembangan keadaan terpidana, sehingga dapat aktif memberi
pendapatnya dalam hal pelepasan bersyarat. Dengan demikian, tujuan
pemidanaan tercapai.
Pelaksanaan pengawasan dan pengamatan yang dilakukan oleh hakim
KUHAP adalah sebagai berikut:
1. Mula-mula jaksa mengirim tembusan berita acara pelaksanaan
putusan pengadilan yang ditandatangani olehnya, kepada kepala
lembaga pemasyarakatan, terpidana, dan kepada pengadilan yang
memutus perkara tersebut pada tingkat pertama (Pasal 278
KUHAP).
2. Panitera mencatat pelaksanaan tersebut dalam register
pengawasan dan pengamatan. Register tersebut wajib dibuat,
ditutup, dan ditandatangani oleh panitera setiap hari kerja dan
untuk diketahui ditandatangani juga oleh hakim pengawas dan
pengamat (Pasal 179 KUHAP).
3. Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna
memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan
semestinya. Hakim tersebut mengadakan penelitian demi ketetapan
yang bermanfaat bagi pemidanaan, serta pengaruh timbal balik
antara perilaku narapidana dan pembinaan narapidana oleh
lembaga pemasyarakatan. Pengamatan tetap dilaksanakan setelah
terpidana selesai menjalani pidananya. Pengawasan dan
pengamatan berlaku pula bagi pemidanaan bersyarat (Pasal 280
KUHAP).
4. Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga
pemasyarakatan menyampaikan iformasi secara berkala atau

7
sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada
dalam pengamatan hakim tersebut (Pasal 281 KUHAP).
5. Hakim dapat membicarakan dengan kepala lembaga
pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu.
Hasil pengawasan dan pengamatan dilakukan oleh hakim pengawas
dan pengamat kepada ketua pengadilan secara berkala (Pasal 282
dan 283 KUHAP.

Anda mungkin juga menyukai