Anda di halaman 1dari 3

Pertanyaan ?

Kapan suatu putusan dinyatakan mempunyai kekuatan hukum yang tetap? Apakah suatu
putusan yang dimintakan peninjauan kembali masih belum mempunyai kekuatan hukum yang
tetap?

Jawaban :
Saudara tidak menyebutkan putusan yang dimaksud merupakan putusan perkara pidana atau
perdata. Oleh karena itu, kami akan jelaskan satu persatu.

A. Putusan Perkara Pidana


Di dalam peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian
dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan
perkara pidana yaitu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang
Grasi yang berbunyi:
Yang dimaksud dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap adalah :
1. putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi
dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana;
2. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu
yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
3. putusan kasasi.

Jadi, berdasarkan penjelasan sebelumnya, suatu putusan mempunyai kekuatan hukum


tetap adalah:
a. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu
tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada
terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal
234 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), kecuali untuk putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari
segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan
acara cepat karena putusan-putusan tersebut tidak dapat diajukan banding
(lihat Pasal 67 KUHAP).

b. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu
empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu
diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 ayat [1] jo. Pasal 246 ayat [1]
KUHAP).

c. Putusan kasasi

Bagaimana jika putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap kemudian diajukan
peninjauan kembali (PK)? Apakah putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum
tetap? Mengenai hal ini kita dapat menyimak pendapat M. Yahya Harahap dalam
buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (hal. 615) sebagai berikut:
Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan
kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya
dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum
peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding
dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh
melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.

Berdasarkan pendapat Yahya Harahap tersebut, dapat diketahui bahwa putusan yang
diajukan peninjauan kembali haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.Permintaan untuk dilakukan peninjauan kembali justru karena putusan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat lagi dilakukan banding atau
kasasi. Bahkan, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari
putusan tersebut (Pasal 268 ayat [1] KUHAP).

Pengaturan secara umum upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263 s.d.
Pasal 269 KUHAP. Putusan perkara pidana yang dapat diajukan peninjauan kembali
adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 263 ayat [1] KUHAP). Permintaan
peninjauan kembali dilakukan atas dasar antara lain (Pasal 263 ayat [2] KUHAP):
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan
berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan
ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti,
akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan
telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau
suatu kekeliruan yang nyata.
Menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dalam buku Hukum
Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (hal. 196) ketentuan untuk peninjauan kembali
dalam perkara perdata adalah ketentuan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU
MA).

Putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan
peninjauan kembali dengan alasan sebagai berikut (Pasal 67 UU MA):
a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak
lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti
yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang
dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar
yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan
putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.

Sayangnya, di dalam UU MA tidak diatur pengertian dari putusan yang mempunyai


kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata. Akan tetapi, kita dapat merujuk pada
penjelasan Pasal 195 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR) sebagai
ketentuan hukum acara perdata di Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut:
Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh
keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak
dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa
pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah
selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang
yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya

Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada
menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan
putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat
dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum
untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak
dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu
dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan,
banding atau kasasi.

Berdasarkan penjelasan Pasal 195 HIR tersebut, dapat dikatakan bahwa putusan perdata
yang telah berkekuatan hukum tetap adalah serupa dengan pengertian putusan pidana
yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal 2 ayat (1)
UU Grasi.

Seperti halnya dengan perkara pidana, pengajuan peninjauan kembali pada putusan
perkara perdata tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusinya (Pasal 66 ayat [2] UU
MA).

Baik putusan perkara pidana maupun putusan perkara perdata, pengajuan peninjauan
kembalikeduanya diajukan kepada Mahkamah Agung melalui Ketua pengadilan yang
memutus pada tingkat pertama (lihat Pasal 264 KUHAP jo. Pasal 70 UUMA).

Jadi, menjawab pertanyaan Saudara, suatu putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap
yang diajukan peninjauan kembali, statusnya tetap sebagai putusan yang memiliki kekuatan
hukum tetap serta tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusi putusan.

Anda mungkin juga menyukai