Anda di halaman 1dari 4

TUGAS 2

Muhammad Soetrisman

031351269

Hukum Acara Pidana

1. Mohon berikan 1 putusan pengadilan di Indonesia yang sudah berkekuatan hukum tetap yang
berkaitan dengan sidang acara cepat, lalu anda dapat analisis dan berikan tanggapan atas analisis
anda dari kasus tersebut

Jawab :

A. Putusan Perkara Pidana

Di dalam peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian dari


putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan perkara
pidana yaitu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang
berbunyi:

Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”
adalah :

1. putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu
yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;

2. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang
ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau

3. putusan kasasi.

Jadi, berdasarkan penjelasan sebelumnya, suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap
adalah:

a. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu tujuh hari
sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak
hadir, sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), kecuali untuk putusan bebas (vrijspraak), putusan
lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara
cepat karena putusan-putusan tersebut tidak dapat diajukan banding (lihat Pasal 67 KUHAP).
b. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu empat belas
hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa
(Pasal 245 ayat [1] jo. Pasal 246 ayat [1] KUHAP).

c. Putusan kasasi

Bagaimana jika putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap kemudian diajukan
peninjauan kembali (PK)? Apakah putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap?
Mengenai hal ini kita dapat menyimak pendapat M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan
Peninjauan Kembali (hal. 615) sebagai berikut:

“Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak
dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa
berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya
hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak
boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.

Berdasarkan pendapat Yahya Harahap tersebut, dapat diketahui bahwa putusan yang diajukan
peninjauan kembali haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.Permintaan
untuk dilakukan peninjauan kembali justru karena putusan telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dan sudah tidak dapat lagi dilakukan banding atau kasasi. Bahkan, permintaan peninjauan
kembali atas suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan
maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut (Pasal 268 ayat [1] KUHAP).

Pengaturan secara umum upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263 s.d. Pasal 269
KUHAP. Putusan perkara pidana yang dapat diajukan peninjauan kembali adalah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum (Pasal 263 ayat [1] KUHAP). Permintaan peninjauan kembali dilakukan
atas dasar antara lain (Pasal 263 ayat [2] KUHAP)

a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah
diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau
putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau
terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi
hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata
telah bertentangan satu dengan yang lain;

c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.

B. Putusan Perkara Perdata


Menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dalam buku Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek (hal. 196) ketentuan untuk peninjauan kembali dalam perkara perdata
adalah ketentuan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung (“UU MA”).

Putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan
kembali dengan alasan sebagai berikut (Pasal 67 UU MA):

a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang
diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh
hakim pidana dinyatakan palsu;

b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang
pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;

d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-
sebabnya;

e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama
oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu
dengan yang lain;

f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang
nyata.

Sayangnya, di dalam UU MA tidak diatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam perkara perdata. Akan tetapi, kita dapat merujuk pada penjelasan Pasal 195
Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”) sebagai ketentuan hukum acara perdata di
Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut:

Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang
menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-
undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang
sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum
maka peradilan akan tidak ada gunanya

Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu
dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus
benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum
untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat
waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada
perlawanan, banding atau kasasi.

Berdasarkan penjelasan Pasal 195 HIR tersebut, dapat dikatakan bahwa putusan perdata yang
telah berkekuatan hukum tetap adalah serupa dengan pengertian putusan pidana yang telah
berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Grasi.

Seperti halnya dengan perkara pidana, pengajuan peninjauan kembali pada putusan perkara
perdata tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusinya (Pasal 66 ayat [2] UU MA).

Baik putusan perkara pidana maupun putusan perkara perdata, pengajuan peninjauan kembali
keduanya diajukan kepada Mahkamah Agung melalui Ketua pengadilan yang memutus pada
tingkat pertama (lihat Pasal 264 KUHAP jo. Pasal 70 UUMA).

Jadi, menjawab pertanyaan Saudara, suatu putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap yang
diajukan peninjauan kembali, statusnya tetap sebagai putusan yang memiliki kekuatan hukum
tetap serta tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusi putusan.

2. Berikan contoh-contoh pelanggaran hukum yang termasuk pemeriksaan acara singkat, dan
berikan dasar hukumnya.

Jawab :

Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran
yang tidak termasuk ketentuan acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan yang menurut
penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
 
Patokan yang harus diambil oleh penuntut umum dalam menentukan perkara dengan acara
pemeriksaan singkat adalah dari segi ancaman hukuman, yakni perkara yang ancaman
hukumannya di atas 3 (tiga) bulan penjara atau kurungan serta dendanya lebih dari Rp7.500,-,
namun menurut praktik dan kebiasaan, ancaman hukumannya itu tidak melampaui 3 (tiga) tahun
penjara (paling tinggi 3 tahun penjara).

Anda mungkin juga menyukai