PROSES DISMISSAL
a) Prosedur dismissal dilaksanakan oleh Ketua dan dapat juga menunjuk seorang Hakim sebagai
reporteur (raportir).
b) Pemeriksaan dilaksanakan dalam rapat permusyawaratan (di dalam kamar Ketua) atau
dilaksanakan secara singkat.
c) Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengarkan keterangan para pihak sebelum
menentukan Penetapan Dismissal apabila dianggap perlu.
d) Penetapan Dismissal berisi gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dan
Penetapan tersebut ditandatangani oleh Ketua dan Panitera Kepala/Wakil Panitera. Wakil
Ketua Pengadilan dapat pula menandatangani Penetapan Dismissal dalam hal Ketua
Pengadilan berhalangan.
e) Penetapan Dismissal diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan
ditentukan, dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkan.
f) Dalam hal ada petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan, maka
dimungkinkan ditetapkan dismissal terhadap bagian petitum gugatan tersebut (dismissal
parsial).
g) Dalam hal ditetapkan dismissal parsial, ketentuan perlawanan terhadap Penetapan Dismissal
berlaku juga dalam hal ini.
h) Di dalam “mendismissal gugatan” hendaknya Ketua Pengadilan tidak terlalu mudah
menggunakan Pasal 62 tersebut, kecuali mengenai Pasal 62 ayat (1) butir a dan e.
Dalam pemeriksaan sengketa TUN dengan acara biasa, tahapan penanganan sengketa adalah:
1. Prosedur dismissal
Pemeriksaan administratif untuk menetapkan apakah suatu gugatan dapat diterima atau
tidak dapat diterima.
2. Pemeriksaan persiapan
Pada tahap ini dimaksudkan untuk melengkapai gugatan yang kurang jelas.
3. Pemeriksaan di sidang pengadilan
3. Sebutkan alat bukti dalam acara Pembuktian di Peradilan TUN?
Yang Dapat Dijadikan Alat Bukti Dalam Persidangan Adalah Sebagai Berikut :
4. Sebutkan Proses cara Pengambilan Putusan hakim dalam Peradilan TUN serta teori yang
diterapkan majelis hakim dalam pembuktian di PTUN?
a. Putusan dalam Musyawarah Majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan
hasilPemufakatan Bulat, kecuali jika setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai
permufakatan bulat Putusan diambil dengan suara terbanyak
b. Apabila Musyawarah Majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) UU PERATUN tidak dapat
menghasilkan Putusan, Permusyawaratan ditunda sampai Musyawarah Majelis berikutnya
c. Apabila dalam Musyawarah Majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, maka suara
terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan.
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian
pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat
umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
Teori ini menghendaki agar penilaian Hakim sedapat mungkin mendekati keadilan, sehingga hakim
tidak terlalu terikat dengan alat bukti yang diajukan pihak yang berperkara. Misalnya hakim tidak
terikat dengan keterangan saksi, walaupun di persidangan diajukan 100 saksi, dapat saja hakim
menilai masih belum terbukti. Dalam hal ini tidak mustahil adanya perbedaan penilaian hasil
pembuktian antara sesama hakim, sehingga teori ini mengandung kelemahan, yaitu tidak menjamin
adanya kepastian hukum dalam hal penilaian terhadap hasil pembuktian.
Artinya hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh pihak berperkara, jadi harus
memberikan putusan selaras dengan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan. Teori ini
menghendaki agar penilaian hakim sedapat mungkin memberikan kepastian hukum, misalnya hakim
terikat dengan alat bukti sumpah (utamanya sumpah pemutus), artinya apabila pihak sudah
bersumpah, maka ia dimenangkan perkaranya, sedangkan bila ia menolak sumpah maka ia
dikalahkan. Demikian pula alat bukti surat otentik hanya bisa digugurkan karena terdapat kepalsuan.
Juga dalam menilai keterangan seorang saksi saja sebagai “Unus Testis Nullus Testis”.Kelemahan teori
ini adalah tidak menjamin adanya keadilan. Teori ini dibagi menjadi 2 macam:
a. Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur laranganlarangan kepada hakim
untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan
pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW).
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim
diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).
Artinya Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian, misalnya Hakim bebas menilai
suatu alat bukti permulaan, sehingga hakim masih perlu adanya sumpah tambahan. Bila sumpah
tambahan dilakukan, maka hakim terikat menilainya, apabila tidak disertai sumpah tambahan maka
hakim bebas menilai alat bukti permulaan itu.
Proses / tahapan – tahapan pelaksanaan putusan diatur dalam Pasal 116 Undang – Undang No. 51
Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang – Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara yang berbunyi sebagai berikut :
6. Jelaskan Pengembangan Kewenangan PTUN yang diatur dalam UU No. 30/2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan?
7. Jelaskan Yang Tidak Menjadi Kewenangan PTUN mengadilinya yang termasuk katagori
Penyelenggara Tugas Eksekutif?
PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) memiliki kewenangan yang terbatas dalam mengadili perkara-
perkara yang masuk ke dalam kategori penyelenggaraan tugas eksklusif. Penyelenggaraan tugas
eksklusif merujuk pada tugas atau wewenang yang secara eksklusif diberikan kepada suatu lembaga
atau instansi tertentu oleh undang-undang, sehingga hanya lembaga atau instansi tersebut yang
berwenang melaksanakannya.
Dalam konteks ini, PTUN tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara-perkara yang
merupakan penyelenggaraan tugas eksklusif. Beberapa contoh dari kategori penyelenggaraan tugas
eksklusif yang biasanya dikecualikan dari yurisdiksi PTUN adalah:
1. Keputusan politik:
PTUN tidak berwenang mengadili keputusan politik yang diambil oleh pemerintah atau
badan legislatif, karena keputusan politik tersebut merupakan domain keputusan yang
bersifat politis.
2. Keputusan terkait kebijakan umum pemerintah:
PTUN tidak berwenang mengadili kebijakan umum pemerintah yang ditetapkan melalui
undang-undang, peraturan pemerintah, atau kebijakan yang bersifat nasional dan bersifat
umum.
3. Keputusan terkait keamanan negara:
PTUN tidak berwenang mengadili keputusan atau tindakan yang berkaitan dengan keamanan
negara, seperti kebijakan pertahanan, intelijen, atau tindakan dalam rangka penegakan
hukum yang melibatkan aspek keamanan negara.
putusan PTUN yang tidak dapat diajukan kasasi memiliki upaya hukum yang disebut dengan upaya
peninjauan kembali (PK). PK merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap, termasuk putusan PTUN yang tidak dapat diajukan kasasi.
Berbeda dengan kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung, PK diajukan ke Mahkamah Agung atau
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Peninjauan Kembali (PK-PK). Upaya PK memiliki persyaratan-
persyaratan yang ketat, dan hanya dapat diajukan dalam beberapa alasan yang diatur dalam undang-
undang.
Di Indonesia, PK diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 263.
Beberapa alasan yang dapat menjadi dasar PK antara lain:
1. Ada putusan yang berlaku tetap yang telah dikeluarkan oleh pengadilan sebelumnya yang
berlaku secara melawan hukum.
2. Ada fakta atau bukti baru yang tidak diketahui pada saat persidangan dan jika diketahui pada
saat itu dapat mempengaruhi putusan.
3. Ada kekeliruan penafsiran atau penerapan hukum yang berpengaruh terhadap putusan.
Dalam konteks putusan PTUN, PK biasanya dilakukan jika terdapat alasan-alasan seperti kesalahan
dalam penerapan hukum administrasi, adanya fakta atau bukti baru yang muncul setelah putusan
PTUN, atau kekeliruan dalam tafsir atau penerapan hukum administrasi yang berpengaruh pada
putusan PTUN.
Keputusan Fiktif Positif secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu permohonan terhadap
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikabulkan secara hukum akibat dari tidak ditanggapinya
permohonan tersebut hingga batas waktu yang telah ditentukan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
freies Ermessen merupakan kebebasan administasi negara pemerintah berdasarkan penilaian sediri.
Menurut (Marbun, 2000) istilah freies Ermessen artinya kewenangan yang sah untuk turut campur
dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas- tugas penyelenggaraan kepentingan umum