1. Dismissal Proses adalah penelitian dari Majelis Hakim dalam Peradilan
Tata Usaha Negara sebelum Sengketa Tata Usaha Negara diperiksa di persidangan. Adapun penelitian dilakukan untuk menilai apakah gugatan layak dilanjutkan atau tidak. Proses ini dilakukan secara singkat dalam Rapat Permusyawaratan oleh Ketua Pengadilan. Dalam tahap ini, Ketua Pengadilan akan memeriksa berkas gugatan, dan Ketua Pengadilan TUN dapat mengambil 2 sikap : a. Apabila Ketua Pengadilan TUN menganggap bahwa perkara tersebut layak dilanjutkan proses pemeriksaannya karena telah sesuai dengan UU Peradilan TUN, maka Ketua akan menanda tangani form “lolos dismissal” yang telah tersedia di Pengadilan TUN. Dalam hal ini Ketua Pengadilan TUN akan melanjutkan untuk melihat dan mempertimbangkan apabila terdapat permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan TUN, permohonan untuk beracara cepat atau beracara cuma-cuma. Di samping itu Ketua Pengadilan akan menunjuk dengan suatu Penetapan mengenai Hakim atau Majelis Hakim yang akan memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut. b. Apabila Ketua Pengadilan TUN menganggap bahwa perkara tersebut memenuhi Pasal 62 ayat (1) huruf a sampai dengan e UU Peradilan TUN, maka Ketua Pengadilan akan menerbitkan Penetapan bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima karena memenuhi salah satu atau beberpa ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a sampai dengan e UU Peradilan TUN. Sebelum menerbitkan Penetapan Dismissal, Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengarkan keterangan para pihak apabila dianggap perlu dalam persidangan yang tertutup untuk umum, yang dihadiri oleh Ketua Pengadilan TUN, Ketua Panitera Pengadilan TUN dan Para Pihak dan atau Kuasanya. Namun demikian untuk pengucapan Penetapan bahwa perkara tersebut tidak lolos dismissal dilakukan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa TIDAK ADA akibat hukum apabila Penggugat tidak hadir dalam acara proses dismissal, karena proses dismissal dilakukan secara “read kamer” yaitu pemeriksaan kamar tertutup yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan tanpa menghadirkan kedua belah pihak yang bersengketa, hal ini dijelaskan dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 02/PLW/1993-PEND/PTUN-JKT. Para Pihak dihadirkan pada saat pengucapan Penetapan bahwa perkara tersebut tidak lolos proses dismissal.
2. Gugatan Prematur adalah salah satu variasi jenis gugatan yang
mengandung cacat formil karena gugatan belum dapat diajukan ke pengadilan, sehingga dikeluarkannya putusan negatif dengan amar putusan bahwa pengadilan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Nie Ontvankelijke verklaard atau NO). Terhadap Penetapan Ketua Pengadilan TUN yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima karena memenuhi salah satu atau beberapa ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a sampai dengan e UU Peradilan TUN, Penggugat dapat mengajukan perlawanan sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (3) UU Peradilan TUN yang pada pokoknya sebagai berikut: a. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah diucapkan. b. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56. c. Perlawanan tersebut diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat. d. Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan maka Penetapan Ketua Pengadilan TUN tersebut gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus, dan diselesaikan menurut acara biasa. e. Terhadap Putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum. UU Peradilan TUN tidak mengatur secara rinci tentang cara pemeriksaan terhadap perlawanan Penetapan Dismissal, akan tetapi diatur dalam Surat MARl No 224/Td TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 perihal Juklak yang dirumuskan dalam Pelatihan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Tahap III Pada angka VII.1 yang pada pokoknya adalah sebagai berikut : a. Pemeriksaan terhadap perlawanan atas Penetapan Dismissal Pasal 62 ayat (3) sampai dengan ayat (6) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004 tidak perlu sampai memeriksa materi gugatannya seperti memeriksa bukti-bukti, saksi-saksi ahli dan sebagainya. b. Pemeriksaan Perlawanan dilakukan oleh Majelis yang ditetapkan dengan dengan penetapan Ketua Pengadilan. c. Pemeriksaan Perlawanan dilakukan secara tertutup, akan tetapi pengucapan putusannya harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. d. Ketua dapat juga memeriksa apakah di dalam gugatan tersebut ada permohonan penundaan pelaksanaan keputusann Tata Usaha Negara yang digugat ataukah tidak, dan sekaligus dapat mengeluarkan penetapan panundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat dan bersifat sementara yaitu apabila permohonan tersebut memenuhi Syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 67 ayat (4) UU Peradilan TUN. e. Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan maka Penetapan Ketua Pengadilan TUN tersebut gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa. f. Terhadap Putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum.
3. Penggugat dapat melakukan perlawanan terhadap Penetapan proses
dismissal. Terhadapa Penetapan Ketua Pengadilan TUN yang menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima karena memenuhi salah satu atau beberapa ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) a sampai dengan e UU Peradilan TUN, Penggugat dapat mengajukan perlawanan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 62 ayat (3) UU Peradilan TUN yang pokoknya sebagai berikut: a. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah diucapkan. b. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56. c. Perlawanan tersebut diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat. d. Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan maka Penetapan Ketua Pengadilan TUN tersebut gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa. e. Terhadap Putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum.
4. Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara dibatasi waktu tertentu yaitu:
a. Gugatan dengan objek sengketa Keputusan TUN sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU Peradilan TUN berdasarkan Pasal 55 UU Peradilan TUN jo. SE Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1991, tenggang waktu mengajukan gugatan di Peradilan TUN adalah sebagai berikut : 1) Bagi Orang yang dituju oleh suatu Keputusan TUN, tenggang waktu mengajukan gugatan adalah 90 (sembilan puluh) hari terhitung yang bersangkutan menerima Keputusan TUN tersebut atau sejak diumumkannya Keputusan TUN tersebut. Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu Keputusan TUN harus diumumkan, maka tenggang waktu sembilan puluh hari dihitung sejak hari pengumuman tersebut. 2) Bagi pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh terbitnya Keputusan TUN, tenggang waktu mengajukan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 dihitung secara kasuistik sejak saat ia merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan TUN dan mengetahui adanya Keputusan TUN tersebut.
b. Gugatan dengan obyek sengketa yang didasarkan pada Pasal 3 UU
Peradilan TUN (Keputusan Negatif Fiktif), tentang tengang waktu mengajukan gugatan diatur dalam penjelasan UU Peradilan TUN sebagai berikut: Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan Keputusan menurut ketentuan : 1) Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan. 2) Pasal 3 ayat (3), maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung setelah lewatnya batas waktu empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.
5. Dalam hal pengaturan mengenai siapa yang dapat berkedudukan sebagai
tergugat dalam PTUN pada pokoknya telah ditentukan dalam Pasal 1 angka 6 UU PTUN, yakni Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang telah mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Lebih lanjut “wewenang” dalam pengertian hukum publik yakni wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. S.F. Marbun menyatakan bahwa pengertian kewenangan dalam hukum administrasi adalah kekuasaan yang diformalkan, baik terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang berasal dari kekuasaan legislatif maupun dari kekuasaan pemerintah, sedangkan “wewenang” (competence, bevoegheid), hanyalah mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. Secara umum suatu gugatan tersebut diajukan terhadap ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti Keputusan Gubernur, Keputusan Walikota, dan beberapa ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai suatu tindakan administratif menjadi hal yang wajar dan diatur di dalam hukum positif Indonesia. Secara sederhana Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN dipahami dapat menjadi tergugat dalam PTUN. Kemudian berkaitan dengan perluasan subyek sengketa dalam PTUN terjadi perluasan pada pihak yang berkedudukan menjadi tergugat dalam PTUN. Dasar pembenaran untuk subyek sengketa ini ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada Pasal 53 ayat (1) menetukan yakni Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang memuat tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan/tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi. Kemudian dalam ayat (2) pada pokoknya ditentukan bahwa terdapat alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud ayat (1), yakni: a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu ternyata bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Lebih lanjut pengujian dari segi hukum yang dilakukan Pengadilan terhadap KTUN terbatas pada: a) Apakah semua fakta yang relevan telah dikumpulkan agar dapat dipertimbangkan dalam mengeluarkan KTUN yang bersangkutan; b) Apakah badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN yang tersebut pada waktu mempersiapkan, memutuskan, dan melaksanakannya telah sebelumnya memperhatikan dengan benar asas-asas yang berlaku; c) Apakah keputusan yang diambil juga akan sama dengan keputusan yang sedang digugat bilamana hal-hal pada huruf a dan b telah diperhatikan. Dalam perkembangannya muncul pertanyaan apakah Majelis Hakim akan menerima jika gugatan diajukan kepada Peradilan Tata Usaha Negara dengan mahasiswa sebagai Penggugat dan Rektor Universitas Swasta sebagai Tergugat dalam hal perkara Keputusan Rektor yang melakukan Drop Out kepada mahasiswa universitasnya. Dalam menjawab hal tersebut melalui Putusan Nomor: 29/G/2014/PTUN-MDN Satria Adi Guna mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi Medan dengan obyek sengketa Surat Keputusan Rektor Universitas Panca Budi Medan Nomor: 070/02/R/2014 tentang Pemberhentian (Drop Out/DO) sebagai mahasiswa Universitas Pembangunan Panca Budi Medan adalah suatu yurisprudensi yang dapat dijadikan dasar pembenar. Dalam pokok perkara Majelis Hakim mempertimbangkan pokok perkara, bahwa Surat Keputusan Rektor Universitas Panca Budi Medan Nomor: 278/02/R/2012 tentang Peraturan Disiplin Mahasiswa untuk selanjutnya disebut Keputusan Rektor No. 278 diterbitkan berdasarkan amanat ketentuan Pasal 61 Statuta Universitas Panca Budi Medan yang menentukan bahwa “Sanksi Administrasi dan/atau sanksi akademik dikenakan kepada mahasiswa yang melakukan pelanggaran ketentuan akademik yang diatur dengan Peraturan Rektor”. Lebih lanjut menurut pendapat Majelis Hakim bahwa Surat Keputusan Rektor Universitas Swasta tersebut dapat menjadi obyek sengketa dalam PTUN dikarenakan ia merupakan sebuah peraturan kebijakan yang bersumber pada Statuta Universitas yang merupakan pedoman dasar bagi setiap Universitas sebagai salah satu wujud dari otonomi perguruan tinggi dalam pengelolaan lembaga tersebut sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2003. Perluasan Subyek PTUN dalam hal ini adalah Rektor Universitas Pembangunan Panca Budi Medan dikarenakan seorang Rektor Universitas Swasta tersebut menjalankan fungsi pemerintahan yakni dibidang pendidikan, inilahyang kemudian dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim untuk menerima gugatan yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Pembangunan Panca Budi Medan terhadap Rektor yang mengeluarkan keputusan terkait Drop Out. 6. Pada dasarnya proses dismissal merupakan penelitian yang dilakukan oleh Majelis Hakim pada Peradilan Tata Usaha Negara sebelum sengketa diperiksa dalam persidangan. Adapun penelitian dilakukan untuk menilai apakah gugatan layak dilanjutkan atau tidak. Proses ini dilakukan secara singkat dalam Rapat Permusyawaratan oleh Ketua Pengadilan. Dalam tahap ini, Ketua Pengadilan akan memeriksa berkas gugatan, dan Ketua Pengadilan TUN dapat mengambil 2 sikap : a. Apabila Ketua Pengadilan TUN menganggap bahwa perkara tersebut layak dilanjutkan proses pemeriksaannya karena telah sesuai dengan UU Peradilan TUN, maka Ketua akan menanda tangani form “lolos dismissal” yang telah tersedia di Pengadilan TUN. Dalam hal ini Ketua Pengadilan TUN akan melanjutkan untuk melihat dan mempertimbangkan apabila terdapat permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan TUN, permohonan untuk beracara cepat atau beracara cuma-cuma. Di samping itu Ketua Pengadilan akan menunjuk dengan suatu Penetapan mengenai Hakim atau Majelis Hakim yang akan memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut. b. Apabila Ketua Pengadilan TUN menganggap bahwa perkara tersebut memenuhi Pasal 62 ayat (1) huruf a sampai dengan e UU Peradilan TUN, maka Ketua Pengadilan akan menerbitkan Penetapan bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima karena memenuhi salah satu atau beberpa ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a sampai dengan e UU Peradilan TUN. Maka dapat disimpulkan berdasarkan uraian di atas fungsi dari proses dismissal adalah untuk menilai apakah gugatan tersebut layak dilanjutkan atau tidak.
7. Gugatan di Pengadilan TUN tidak bersifat menunda Pelaksanaan
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (vide Pasal 67 UU Peradilan TUN). Hal ini terkait dengan dianutnya asas Presumtio Iustae Causa dalam Hukum Administrasi Negara, yang berarti adalah bahwa suatu Keputusan TUN harus selalu dianggap benar dan dapat dilaksanakan, sepanjang belum ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetapyang menyatakan sebaliknya. Namun demikian apabila terdapat kepentingan Penggugat yang cukup mendesak, atas permohonanPenggugat, Ketua Pengadilan atau Majelis Hakim dapat memberikan penetapan sela tentang penundaan pelaksanaan keputusan TUN yang disengketakan. Berdasarkan asas Presumtio Iustae Causa yang menyatakan bahwa Keputusan TUN harus dianggap sah secara hukum sampai adanya putusan dari Pengadilan yang menyatakan sebaliknya, hal ini agar tugas pemerintahan khususnya dalam rangka memberikan perlindungan (protection), pelayanan umuma (public service), dan mewujudkan kesejahteraan (welfare) bagi masyarakat dapat berjalan. Asas ini juga sebagai perlindungan bagi Pejabat TUN dalam mengeluarkan kebijakan agar tidak ada hambatan dalam pelaksanaan tugas, sehingga kelancaran tugas tidak terganggu. Dalam hal atau keadaan tertentu, Penggugat dapat mengajukan permohonan agar selama proses pengadilan berjalan, KTUN yang digugat tersebut dapat diperintahkan untuk ditunda pelaksanaannya atau mengajukan penundaan terhadap pelaksanaan Keputusan Pejabat TUN tersebut, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 67 ayat (2) dan (4) huruf a UU Peradilan TUN.