Anda di halaman 1dari 10

Nama : Rizki Catur Pamungkas

NIM : 202020021
Kelas : p
UAS HAPTUN

DOSEN : Dr. Dra. Sulistyowati, S.H., C.N.

1. Dismissal Proses adalah penelitian dari Majelis Hakim dalam Peradilan


Tata Usaha Negara sebelum Sengketa Tata Usaha Negara diperiksa di
persidangan. Adapun penelitian dilakukan untuk menilai apakah gugatan
layak dilanjutkan atau tidak. Proses ini dilakukan secara singkat dalam
Rapat Permusyawaratan oleh Ketua Pengadilan.
Dalam tahap ini, Ketua Pengadilan akan memeriksa berkas gugatan, dan
Ketua Pengadilan TUN dapat mengambil 2 sikap :
a. Apabila Ketua Pengadilan TUN menganggap bahwa perkara
tersebut layak dilanjutkan proses pemeriksaannya karena telah
sesuai dengan UU Peradilan TUN, maka Ketua akan menanda
tangani form “lolos dismissal” yang telah tersedia di Pengadilan
TUN. Dalam hal ini Ketua Pengadilan TUN akan melanjutkan untuk
melihat dan mempertimbangkan apabila terdapat permohonan
penundaan pelaksanaan Keputusan TUN, permohonan untuk
beracara cepat atau beracara cuma-cuma. Di samping itu Ketua
Pengadilan akan menunjuk dengan suatu Penetapan mengenai
Hakim atau Majelis Hakim yang akan memeriksa, mengadili dan
memutus perkara tersebut.
b. Apabila Ketua Pengadilan TUN menganggap bahwa perkara
tersebut memenuhi Pasal 62 ayat (1) huruf a sampai dengan e UU
Peradilan TUN, maka Ketua Pengadilan akan menerbitkan
Penetapan bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima karena
memenuhi salah satu atau beberpa ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1)
huruf a sampai dengan e UU Peradilan TUN.
Sebelum menerbitkan Penetapan Dismissal, Ketua Pengadilan
berwenang memanggil dan mendengarkan keterangan para pihak apabila
dianggap perlu dalam persidangan yang tertutup untuk umum, yang
dihadiri oleh Ketua Pengadilan TUN, Ketua Panitera Pengadilan TUN
dan Para Pihak dan atau Kuasanya. Namun demikian untuk pengucapan
Penetapan bahwa perkara tersebut tidak lolos dismissal dilakukan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa TIDAK
ADA akibat hukum apabila Penggugat tidak hadir dalam acara proses
dismissal, karena proses dismissal dilakukan secara “read kamer” yaitu
pemeriksaan kamar tertutup yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan tanpa
menghadirkan kedua belah pihak yang bersengketa, hal ini dijelaskan
dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor:
02/PLW/1993-PEND/PTUN-JKT. Para Pihak dihadirkan pada saat
pengucapan Penetapan bahwa perkara tersebut tidak lolos proses
dismissal.

2. Gugatan Prematur adalah salah satu variasi jenis gugatan yang


mengandung cacat formil karena gugatan belum dapat diajukan ke
pengadilan, sehingga dikeluarkannya putusan negatif dengan amar
putusan bahwa pengadilan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Nie
Ontvankelijke verklaard atau NO).
Terhadap Penetapan Ketua Pengadilan TUN yang menyatakan gugatan
tidak dapat diterima karena memenuhi salah satu atau beberapa ketentuan
dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a sampai dengan e UU Peradilan TUN,
Penggugat dapat mengajukan perlawanan sebagaimana diatur dalam
Pasal 62 ayat (3) UU Peradilan TUN yang pada pokoknya sebagai
berikut:
a. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu 14
(empat belas) hari setelah diucapkan.
b. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56.
c. Perlawanan tersebut diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan
acara singkat.
d. Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan maka
Penetapan Ketua Pengadilan TUN tersebut gugur demi hukum dan
pokok gugatan akan diperiksa, diputus, dan diselesaikan menurut
acara biasa.
e. Terhadap Putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan
upaya hukum.
UU Peradilan TUN tidak mengatur secara rinci tentang cara pemeriksaan
terhadap perlawanan Penetapan Dismissal, akan tetapi diatur dalam Surat
MARl No 224/Td TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 perihal Juklak
yang dirumuskan dalam Pelatihan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
Tahap III Pada angka VII.1 yang pada pokoknya adalah sebagai berikut
:
a. Pemeriksaan terhadap perlawanan atas Penetapan Dismissal Pasal 62
ayat (3) sampai dengan ayat (6) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986
Jo. UU No. 9 Tahun 2004 tidak perlu sampai memeriksa materi
gugatannya seperti memeriksa bukti-bukti, saksi-saksi ahli dan
sebagainya.
b. Pemeriksaan Perlawanan dilakukan oleh Majelis yang ditetapkan
dengan dengan penetapan Ketua Pengadilan.
c. Pemeriksaan Perlawanan dilakukan secara tertutup, akan tetapi
pengucapan putusannya harus diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum.
d. Ketua dapat juga memeriksa apakah di dalam gugatan tersebut ada
permohonan penundaan pelaksanaan keputusann Tata Usaha Negara
yang digugat ataukah tidak, dan sekaligus dapat mengeluarkan
penetapan panundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat dan bersifat sementara yaitu apabila permohonan
tersebut memenuhi Syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 67
ayat (4) UU Peradilan TUN.
e. Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan maka
Penetapan Ketua Pengadilan TUN tersebut gugur demi hukum dan
pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut
acara biasa.
f. Terhadap Putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan
upaya hukum.

3. Penggugat dapat melakukan perlawanan terhadap Penetapan proses


dismissal. Terhadapa Penetapan Ketua Pengadilan TUN yang
menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima karena memenuhi
salah satu atau beberapa ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) a sampai
dengan e UU Peradilan TUN, Penggugat dapat mengajukan perlawanan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 62 ayat (3) UU Peradilan TUN
yang pokoknya sebagai berikut:
a. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu 14
(empat belas) hari setelah diucapkan.
b. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 56.
c. Perlawanan tersebut diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan
acara singkat.
d. Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan maka
Penetapan Ketua Pengadilan TUN tersebut gugur demi hukum dan
pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut
acara biasa.
e. Terhadap Putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan
upaya hukum.

4. Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara dibatasi waktu tertentu yaitu:


a. Gugatan dengan objek sengketa Keputusan TUN sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 angka 9 UU Peradilan TUN berdasarkan Pasal 55 UU
Peradilan TUN jo. SE Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1991,
tenggang waktu mengajukan gugatan di Peradilan TUN adalah
sebagai berikut :
1) Bagi Orang yang dituju oleh suatu Keputusan TUN, tenggang
waktu mengajukan gugatan adalah 90 (sembilan puluh) hari
terhitung yang bersangkutan menerima Keputusan TUN
tersebut atau sejak diumumkannya Keputusan TUN tersebut.
Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu
Keputusan TUN harus diumumkan, maka tenggang waktu
sembilan puluh hari dihitung sejak hari pengumuman tersebut.
2) Bagi pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh terbitnya
Keputusan TUN, tenggang waktu mengajukan gugatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 55 dihitung secara kasuistik
sejak saat ia merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan
TUN dan mengetahui adanya Keputusan TUN tersebut.

b. Gugatan dengan obyek sengketa yang didasarkan pada Pasal 3 UU


Peradilan TUN (Keputusan Negatif Fiktif), tentang tengang waktu
mengajukan gugatan diatur dalam penjelasan UU Peradilan TUN
sebagai berikut:
Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan Keputusan menurut
ketentuan :
1) Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu
dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan
dalam peraturan dasarnya yang dihitung sejak tanggal
diterimanya permohonan yang bersangkutan.
2) Pasal 3 ayat (3), maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu
dihitung setelah lewatnya batas waktu empat bulan yang
dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang
bersangkutan.

5. Dalam hal pengaturan mengenai siapa yang dapat berkedudukan sebagai


tergugat dalam PTUN pada pokoknya telah ditentukan dalam Pasal 1
angka 6 UU PTUN, yakni Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
telah mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya
atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan
hukum perdata. Lebih lanjut “wewenang” dalam pengertian hukum
publik yakni wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. S.F. Marbun menyatakan bahwa pengertian kewenangan
dalam hukum administrasi adalah kekuasaan yang diformalkan, baik
terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang berasal dari kekuasaan
legislatif maupun dari kekuasaan pemerintah, sedangkan “wewenang”
(competence, bevoegheid), hanyalah mengenai onderdil tertentu atau
bidang tertentu saja. Secara umum suatu gugatan tersebut diajukan
terhadap ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti Keputusan
Gubernur, Keputusan Walikota, dan beberapa ketetapan yang
dikeluarkan oleh pemerintah sebagai suatu tindakan administratif
menjadi hal yang wajar dan diatur di dalam hukum positif Indonesia.
Secara sederhana Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN
dipahami dapat menjadi tergugat dalam PTUN.
Kemudian berkaitan dengan perluasan subyek sengketa dalam PTUN
terjadi perluasan pada pihak yang berkedudukan menjadi tergugat dalam
PTUN. Dasar pembenaran untuk subyek sengketa ini ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada
Pasal 53 ayat (1) menetukan yakni Orang atau Badan Hukum Perdata
yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha
Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang
berwenang yang memuat tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan/tanpa
disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi. Kemudian dalam ayat
(2) pada pokoknya ditentukan bahwa terdapat alasan-alasan yang dapat
digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud ayat (1), yakni:
a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu telah bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu ternyata
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Lebih lanjut pengujian dari segi hukum yang dilakukan Pengadilan
terhadap KTUN terbatas pada:
a) Apakah semua fakta yang relevan telah dikumpulkan agar dapat
dipertimbangkan dalam mengeluarkan KTUN yang bersangkutan;
b) Apakah badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN yang
tersebut pada waktu mempersiapkan, memutuskan, dan
melaksanakannya telah sebelumnya memperhatikan dengan benar
asas-asas yang berlaku;
c) Apakah keputusan yang diambil juga akan sama dengan keputusan
yang sedang digugat bilamana hal-hal pada huruf a dan b telah
diperhatikan.
Dalam perkembangannya muncul pertanyaan apakah Majelis Hakim
akan menerima jika gugatan diajukan kepada Peradilan Tata Usaha
Negara dengan mahasiswa sebagai Penggugat dan Rektor Universitas
Swasta sebagai Tergugat dalam hal perkara Keputusan Rektor yang
melakukan Drop Out kepada mahasiswa universitasnya. Dalam
menjawab hal tersebut melalui Putusan Nomor: 29/G/2014/PTUN-MDN
Satria Adi Guna mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pembangunan
Panca Budi Medan dengan obyek sengketa Surat Keputusan Rektor
Universitas Panca Budi Medan Nomor: 070/02/R/2014 tentang
Pemberhentian (Drop Out/DO) sebagai mahasiswa Universitas
Pembangunan Panca Budi Medan adalah suatu yurisprudensi yang dapat
dijadikan dasar pembenar. Dalam pokok perkara Majelis Hakim
mempertimbangkan pokok perkara, bahwa Surat Keputusan Rektor
Universitas Panca Budi Medan Nomor: 278/02/R/2012 tentang Peraturan
Disiplin Mahasiswa untuk selanjutnya disebut Keputusan Rektor No. 278
diterbitkan berdasarkan amanat ketentuan Pasal 61 Statuta Universitas
Panca Budi Medan yang menentukan bahwa “Sanksi Administrasi
dan/atau sanksi akademik dikenakan kepada mahasiswa yang melakukan
pelanggaran ketentuan akademik yang diatur dengan Peraturan Rektor”.
Lebih lanjut menurut pendapat Majelis Hakim bahwa Surat Keputusan
Rektor Universitas Swasta tersebut dapat menjadi obyek sengketa dalam
PTUN dikarenakan ia merupakan sebuah peraturan kebijakan yang
bersumber pada Statuta Universitas yang merupakan pedoman dasar bagi
setiap Universitas sebagai salah satu wujud dari otonomi perguruan
tinggi dalam pengelolaan lembaga tersebut sebagaimana dimaksud
ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2003. Perluasan Subyek
PTUN dalam hal ini adalah Rektor Universitas Pembangunan Panca Budi
Medan dikarenakan seorang Rektor Universitas Swasta tersebut
menjalankan fungsi pemerintahan yakni dibidang pendidikan, inilahyang
kemudian dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim untuk menerima
gugatan yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Pembangunan Panca
Budi Medan terhadap Rektor yang mengeluarkan keputusan terkait Drop
Out.
6. Pada dasarnya proses dismissal merupakan penelitian yang dilakukan
oleh Majelis Hakim pada Peradilan Tata Usaha Negara sebelum sengketa
diperiksa dalam persidangan. Adapun penelitian dilakukan untuk menilai
apakah gugatan layak dilanjutkan atau tidak. Proses ini dilakukan secara
singkat dalam Rapat Permusyawaratan oleh Ketua Pengadilan.
Dalam tahap ini, Ketua Pengadilan akan memeriksa berkas gugatan, dan
Ketua Pengadilan TUN dapat mengambil 2 sikap :
a. Apabila Ketua Pengadilan TUN menganggap bahwa perkara
tersebut layak dilanjutkan proses pemeriksaannya karena telah
sesuai dengan UU Peradilan TUN, maka Ketua akan menanda
tangani form “lolos dismissal” yang telah tersedia di Pengadilan
TUN. Dalam hal ini Ketua Pengadilan TUN akan melanjutkan untuk
melihat dan mempertimbangkan apabila terdapat permohonan
penundaan pelaksanaan Keputusan TUN, permohonan untuk
beracara cepat atau beracara cuma-cuma. Di samping itu Ketua
Pengadilan akan menunjuk dengan suatu Penetapan mengenai
Hakim atau Majelis Hakim yang akan memeriksa, mengadili dan
memutus perkara tersebut.
b. Apabila Ketua Pengadilan TUN menganggap bahwa perkara
tersebut memenuhi Pasal 62 ayat (1) huruf a sampai dengan e UU
Peradilan TUN, maka Ketua Pengadilan akan menerbitkan
Penetapan bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima karena
memenuhi salah satu atau beberpa ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1)
huruf a sampai dengan e UU Peradilan TUN.
Maka dapat disimpulkan berdasarkan uraian di atas fungsi dari proses
dismissal adalah untuk menilai apakah gugatan tersebut layak dilanjutkan
atau tidak.

7. Gugatan di Pengadilan TUN tidak bersifat menunda Pelaksanaan


Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (vide Pasal 67 UU Peradilan
TUN). Hal ini terkait dengan dianutnya asas Presumtio Iustae Causa dalam
Hukum Administrasi Negara, yang berarti adalah bahwa suatu Keputusan TUN
harus selalu dianggap benar dan dapat dilaksanakan, sepanjang belum ada Putusan
Pengadilan yang berkekuatan hukum tetapyang menyatakan sebaliknya. Namun
demikian apabila terdapat kepentingan Penggugat yang cukup mendesak, atas
permohonanPenggugat, Ketua Pengadilan atau Majelis Hakim dapat memberikan
penetapan sela tentang penundaan pelaksanaan keputusan TUN yang
disengketakan.
Berdasarkan asas Presumtio Iustae Causa yang menyatakan bahwa Keputusan
TUN harus dianggap sah secara hukum sampai adanya putusan dari Pengadilan
yang menyatakan sebaliknya, hal ini agar tugas pemerintahan khususnya dalam
rangka memberikan perlindungan (protection), pelayanan umuma (public
service), dan mewujudkan kesejahteraan (welfare) bagi masyarakat dapat
berjalan. Asas ini juga sebagai perlindungan bagi Pejabat TUN dalam
mengeluarkan kebijakan agar tidak ada hambatan dalam pelaksanaan tugas,
sehingga kelancaran tugas tidak terganggu.
Dalam hal atau keadaan tertentu, Penggugat dapat mengajukan permohonan agar
selama proses pengadilan berjalan, KTUN yang digugat tersebut dapat
diperintahkan untuk ditunda pelaksanaannya atau mengajukan penundaan
terhadap pelaksanaan Keputusan Pejabat TUN tersebut, hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 67 ayat (2) dan (4) huruf a UU Peradilan TUN.

Anda mungkin juga menyukai