Anda di halaman 1dari 7

Nama : Irwan Akbar

NIM : 042432565
MatKUL: HUKUM ACARA PIDANA/HKUM4406

Tugas 2 Sesi 5

1. Pengadilan Tinggi (PT) menyatakan tidak dapat diterima (NO) terhadap permohonan banding yang
diajukan oleh Terdakwa karena Terdakwa mengajukan banding melebihi jangka waktu pengajuan
banding. Terdakwa mengajukan kasasi terhadap putusan PT tersebut. Menurut saudara apakah
dibenarkan Terdakwa dapat mengajukan kasasi? Kalau dapat diajukan kasasi apa argumentasi
saudara? Kalau tidak dapat dilakukan upaya kasasi apa upaya Terdakwa yang bisa dilakukan?
(poin25)
Jawab :
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau
kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.Para pihak
mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada
Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan.
Sesuai azasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan
Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai
kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi, kecuali terhadap putusan
uit voerbaar bij voeraad.
DASAR HUKUM
Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 14 hari sejak putusan
dibacakan bila para pihak hadir atau 14 hari pemberitahuan putusan apabila salah satu
pihak tidak hadir. Ketentuan ini diatur dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 20/1947
jo pasal 46 UU No. 14/1985. Dalam praktek dasar hukum yang biasa digunakan
adalah pasal 46 UU No. 14 tahun 1985.
Apabila jangka waktu pernyatan permohonan banding telah lewat maka terhadap
permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi karena
terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dianggap telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi.
Pendapat diatas dikuatkan oleh Putusan MARI No. 391 k/Sip/1969, tanggal
25 Oktober 1969, yaitu bahwa Permohonan banding yang diajukan melalmpaui
tenggang waktu menurut undang-undang tidak dapat diterima dan surat-surat yang
diajukan untuk pembuktian dalam pemeriksaan banding tidak dapat
dipertimbangkan. Akan tetapi bila dalam hal perkara perdata permohonan banding
diajukan oleh lebih dari seorang sedang permohonan banding hanya dapat
dinyatakan diterima untuk seorang pembanding, perkara tetap perlu diperiksa
seluruhnya, termasuk kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan bandingnya
tidak dapat diterima (Putusan MARI No. 46 k/Sip/1969, tanggal 5 Juni 1971)
Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu
atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi.Para
pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan
Tinggi kepada Mahkamah Agung.
Kasasi berasal dari perkataan "casser" yang berarti memecahkan atau membatalkan,
sehingga bila suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dibawahnya diterima
oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung
karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.
Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukum,
jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya sehingga
pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat dianggap sebagai pemeriksaan tinggak
ketiga.
ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN KASASI
Alasan mengajukan kasasi menurut pasal 30 UU No. 14/1985 antara lain :
1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
Tidak bewenangan yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut
pengadilan, sedang melampaui batas bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan
gugatan melebihi yang diminta dalam surat gugatan.
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
Yang dimaksud disini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil
maupun hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang
dilakukan oleh Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang
berlaku atau dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat
dilakukan oleh judex facti.
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pertauran perundang-undangan
yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah
TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN KASASI

Permohonan kasasi harus sedah disampaikan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan
atau penetepan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada Pemohon (pasal 46 ayat
(1) UU No. 14/1985), bila tidak terpenuhi maka permohonan kasasi tidak dapat diterima.
Dari beberapa pengertian dan peraturan diatas, sudah ditentukan tenggang waktu
atau jangka waktu pengajuan Kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tingg (PT) kepada
Mahkamah agung yaitu 14 Hari setelah diterbitkannya Putusan Pengadilan Tinggi.

Karena dalam kasus diatas dinyatakan bahwa pengajuan Kasasi melebihi jangka
Waktu, maka Kasasi tersebut tidak dapat diterima/tidak dibenarkan
Upaya hukum yang dimungkinkan untuk diambil oleh terdakwa adalah
Peninjauan Kembali. Alasan PK yang paling sering dan paling besar frekuensinya dalam
praktik adalah kekhilafan atau kekeliruan nyata. Alasan ini dianggap sangat luas
jangkauannya. Apa saja pertimbangan dan pendapat yang tertuang dalam putusan, dapat
dikonstruksi dan direkayasa sebagai kekhilafan atau kekeliruan nyata tanpa batas.
Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas
alasan sebagaimana dimaksud diatas adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak
putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah
diberitahukan kepada pihak yang berperkara.
Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang
berperkara, atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan
untuk itu dan apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal dunia,
permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.
Jawaban atas permohonan Memori Peninjauan Kembali bisa disebut dengan
Kontra Memori Peninjauan Kembali. Terhitung selama 14 hari kerja sejak ketua
pengadilan negeri yang memeriksa perkaranya menerima permohonan peninjauan
kembali, pihak panitera berkewajiban menyampaikan salinan permohonan peninjauan
kembali kepada pihak lawannya. Pihak lawan yang akan mengajukan jawaban atau
permohonan Kontra Memori Peninjauan Kembali, hendaknya diajukan dalam tempo
selama 30 hari. Jika jangka waktu tersebut terlampaui, permohonan peninjauan kembali
segera dikirimkan ke Mahkamah Agung Republik Indonesia

2. dalam Pasal 237 KUHAP mengatur: Selama pengadilan tinggi belum mulai memeriksa
suatu perkara dalam tingkat banding, baik terdakwa atau kuasanya maupun penuntut
umum dapat menyerahkan memori banding atau kontra memori banding kepada
pengadilan tinggi. Menurut Saudara bagaimana akibat hukumnya jika Terdakwa atau
kuasanya maupun penuntut umum tidak mengajukan memori banding atau kontra
memori banding? (poin25)

Pengajuan memori banding merupakan hak bagi pemohon banding (baik terdakwa
maupun penuntut umum), demikian pula dengan mengajukan kontra memori banding
oleh pihak yang dituntut banding.
Pasal 237 KUHAP mengatur:

Selama pengadilan tinggi belum mulai memeriksa suatu perkara dalam tingkat banding,
baik terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum dapat
menyerahkan memori banding atau kontra memori banding kepada pengadilan
tinggi.

Ada atau tidaknya memori banding tidak menghalangi pemeriksaan banding.


Membuat dan mengajukan memori banding “bukan kewajiban hukum” yang
dibebankan oleh undang-undang terhadap pemohon banding. Tanpa memori
banding, permintaan banding sah dan dapat diterima . Demikian pula dengan kontra
memori banding, hal tersebut merupakan hak bagi pihak yang dituntut hingga tingkat
banding.
Tanpa Memori Banding Perkara Tetap Diperiksa Ulang Secara Keseluruhan

Karena pengajuan memori banding bukan merupakan kewajiban hukum bagi


pemohon, tapi semata-mata merupakan hak, berarti ada atau tidak ada memori banding,
perkara tetap “diperiksa ulang secara keseluruhan” pada pemeriksaan banding.
Seandainya permohonan banding tidak dibarengi dengan memori banding, pengadilan
tingkat banding tetap berkewajiban dan berwenang untuk memeriksa ulang perkara secara
keseluruhan. Sebaliknya, sekalipun permohonan banding dibarengi dengan memori
banding, tetap juga tidak menghalangi pengadilan tingkat banding untuk memeriksa
ulang perkara secara keseluruhan.

Perlu diketahui bahwa:

1. Memori banding itu dapat dikesampingkan oleh pengadilan tingkat banding;

2. Pengadilan tingkat banding tidak wajib menanggapi satu persatu isi memori banding.

Itu artinya, memori banding merupakan hak bagi pemohon banding demikian pula
dengan mengajukan kontra memori banding. Ada atau tidaknya memori banding tidak
menghalangi pemeriksaan banding.

3. Dengan adanya Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013, untuk upaya hukum luar biasa
yaitu peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali, namun Mahkamah
Agung berdasarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014, menyatakan “tidak ada Peninjauan
Kembali kedua atau lebih, kecuali dengan alasan terdapat berbagai putusan dalam satu
obyek perkara”, bagaimana pendapat saudara mengenai hal tersebut? (poin50)

Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013, tanggal 6 Maret 2014


Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 34/PUU-XI/2013, mempertegas bahwa
pengaujan peninajuan kembali pada perkara pidana tidak seharusnya dibatasi jumlah
pengajuannya. Melalui putusan ini, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 268 ayat
(3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang menguraikan
permintaan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja, tidak memiliki
kekuatan hukum yang mengikat. Konsekuensi dari putusan ini, terpidana sekarang dapat
mengajukan permohonan kembali lebih dari satu kali sepanjang memenuhi persyaratan
yang diatur. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menekankan bahwa keadilan
tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa
upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) hanya dapat diajukan satu kali, karena
mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang
substansial ditemukan yang pada saat PK sebelumnya belum ditemukan.

SEMA No. 7 Tahun 2014


Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 yang mengubah kebiasaan hukum
acara pidana selama ini mendapat tanggapan serius dari Kejaksaan Agung dan juga
pemerintah. Kejaksaan Agung menilai putusan ini akan menghambat proses eksekusi
mati terhadap beberapa terpidana karena terpidana tersebut akan mengajukan peninjauan
kembali untuk kedua kalinya. Pemerintah melalui Menko Polhukam saat itu, Tedjo Edhi
mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan menciptakan
ketidakpastian hukum dan mengusulkan untuk mengubah putusan tersebut.
Menindaklanjuti persoalan ini, Pemerintah, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung
(MA) mengadakan pertemuan pada 9 Januari 2015 di Kantor Kemenkumham. MA
akhirnya mengeluarkan SEMA No. 7 Tahun 2014 yang pada intinya menegaskan
bahwa permohonan peninjauan kembali atas dasar ditemukannya bukti baru hanya
dapat diajukan satu kali, sedangkan permohonan peninjauan kembali dengan dasar
adanya pertentangan putusan dapat diajukan lebih dari satu kali.
Lahirnya SEMA No. 7 Tahun 2014 telah menimbulkan masalah yang jauh lebih rumit
lagi. SEMA No. 7 Tahun 2014 dianggap sebagai suatu bentuk ketidakpatuhan terhadap
putusan Mahkamah Konstitusi, bahkan Mahkamah Konstitusi sendiri menganggap bawah
kejadian ini merupakan suatu bentuk pembangkangan dari konstitusi.
MA tetap pada keyakinannya bahwa SEMA No. 7 Tahun 2014 diterbitkan untuk
memberikan kepastian hukum. Dalam SEMA tersebut, MA mendasarkan pertimbangan
bahwa ketentuan mengenai pembatasan pengajuan permohonan kembali yang hanya
dapat dilakukan satu kali masih berlaku berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Atas dasar logika itu, MA mengatakan bahwa putusan MK tidak serta merta
menghapuskan norma hukum pembatasan PK lebih dari satu kali dalam Pasal 24 ayat (2)
UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung. Sehingga MA
berpendapat masih dapat dilakukan pembatasan terhadap PK, yaitu PK hanya dapat
dilakukan satu kali.
Menariknya, MA tidak sepenuhnya melarang PK lebih dari satu kali, MA membuka
peluang adanya PK lebih dari satu kali sepanjang sesuai dengan alasan yang diatur SEMA
No. 10 Tahun 2009 tentang PK, yaitu apabila ada suatu objek perkara terdapat 2 (dua)
atau lebih putusan PK yang bertentangan suatu dengan yang lain baik dalam perkara
perdata maupun pidana.
Paska dikeluarkannya SEMA No 7 Tahun 2014, MK setidaknya telah mendapatkan 2
(dua) kali permohonan pengujian undang-undang (PUU) terkait ketentuan yang
membatasi PK lebih dari satu kali. Pengujian pertama diajukan dengan putusan No.
66/PUU-XIII/2015 yang putusannya diucapkan tanggal 7 Desember 2015. Sedangkan
putusan Kedua adalah putusan No. 45/PUU-XIII/2015 yang dibacakan pada tanggal 10
Desember 2015.
Dalam kedua putusan ini, MK memutuskan bahwa keduanya tidak dapat diterima, sebab
materi permohonan sebagaimana dimaksud oleh dua permohonan tersebut telah diputus
oleh MK dalam putusan No. 34/PUU-XI/2013.
MK menyatakan bahwa putusan MK tersebut mutatis mutandis berlaku pula terhadap
objek permohonan kedua putusan ini yaitu Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat
(2) UU Kekuasaan Kehakiman.
Atas dasar kedua putusan MK tersebut, Akibatnya dengan serta merta mematahkan
argumen, logika dan dasar pertimbangan yang dibangun MA dalam SEMA 7 Tahun 2014,
yang sekali lagi, mendasarkan pembatasan PK lebih dari satu kali menjadi hanya boleh
satu kali pada Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman.
Menurut Putusan tersebut MK tersebut maka, MA seharusnya tidak dapat lagi
mendasarkan ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU
Kekuasaan Kehakiman sebagai pembatasan pengajuan PK lebih dari satu kali, dengan
kata lain SEMA PK tersebut harusnya gugur
Menurut pandangan saya MA harus segera mencabut SEMA 7 Tahun 2014 dan membuka
menerima seluruh permohonan PK yang telah di batasi oleh SEMA tersebut. Jika MA
tidak segera merespon putusan MK tersebut, maka jelaslah MA sengaja telah sengaja
membangkang Putusan MK.
lOMoARcPSD|19140481

Anda mungkin juga menyukai