Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

UPAYA HUKUM

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : Hukum Acara Perdata
Dosen Pengampu : Sumarni,S.H.,M.H.I

Oleh :
DEWI SAFITRIYANI (2020506501003)
JONI HERLAMBANG (2020506501001)

PRODI S1 HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARI'AH
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
(UMPRI)
LAMPUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul upaya hukum ini
tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas ibu
Sumarni,S.H.,M.H.I pada mata kuliah Hukum Acara Perdata. Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Sumarni,S.H.,M.H.I selaku, Dosen mata
kuliah Hukum Acara Perdata Yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Pringsewu, 21 Desember 2022


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………….…………….. i

KATA PENGANTAR …….……..…………….………………………....… ii

DAFTAR ISI …………………………………………..…….………….… iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……………………………………………….………...….. 1

B. Rumusan Masalah……...…………………………………….………...…... 1

C. Tujuan Penulisan ………………………..………….…………...…………. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad Istishna …….……………….…………...…...…………. 2

B. Pengertian Akad Salam ………………….…….……….……………………. 4

C. Aplikasi Akad Salam dalam lembaga keuangan syariah ………………...…..… 6

D. Aplikasi Akad Istishna dalam lembaga keuangan syariah ….…….………..… 10

BAB III PENUTUP

A. Simpulan ………………………………………………………..…..…… 14

B. Saran …………………………………………………….………..……… 14

DAFTAR PUSTAKA …………………………….……….…..……....……. 15


BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam dunia pengadilan, sebenarnya hanya ada satu hal pokok yang dicari
para pencari keadilan yaitu Putusan Hakim. Prosedur dan tatacaranya diatur dalam
undang-undang, dimana dalam pembuatan dan penerapan undang-undang tersebut
diupayakan seadil-adilnya. Hal tersebut jelas terlihat apabila terdapat putusan
pengadilan yang dirasa tidak atau kurang memenuhi rasa keadilan maka oleh
undang-undang diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan melalui upaya
hukum banding, kasasi, maupun melalui peninjauan kembali.
Dalam undang-undang diupayakan seadil-adil mungkin dalam pembuatannya
dan juga penerapan undang-undang tersebut. Dan juga tidak dikesampingkan hak
dari pada terpidana. Ini jelas terlihat dari kesempatan yang diberikan
undang-undang dalam berbagai tingkatan. Misalnya saja seseorang yang tidak
puas dengan putusan pengadilan maka dia mempunyai hak untuk mengajukan
kembali ketidaksetujuannya itu kepada pengadilan tinggi.
Jika sebuah keputusan pada tingkat banding juga tidak memuaskan salah satu
pihak, maka pihak yang merasa tidak puas dengan keputusan tersebut dapat
mengajukan peninjauan kembali (PK) pada tingkatan Mahkamah Agung (MA)
dalam bentuk kasasi. Maka dalam makalah ini kami mencoba membahas tentang
prosedur atau tatacara dalam pengajuan banding dan kasasi atau lebih tepatnya
tentang upaya-upaya hukum dalam undang-undang pengadilan di Indonesia,
pengertian dari upaya hukum dan bentuk-bentuk upaya hukum yang telah
digariskan oleh undang-undang (KUHAP) dan juga, tentang hak dari para pihak
yang tidak puas terhadap putusan pengadilan negeri ataupun pengadilan tinggi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan upaya hukum dalam perkara perdata ?
2. Bagaimana macam-macam upaya hukum dalam perkara perdata ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas pribadi dari dosen mata kuliah Hukum Acara Perdata.
2. Untuk dapat mengetahui pengertian upaya hukum dalam perkara perdata.
3. Untuk dapat memahami macam-macam upaya hukum dalam perkara perdata.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Upaya Hukum


Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang
kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan
hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan hakim
yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, tidak memenuhi rasa
keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan
kesalahan/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu
pihak.

Tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk


memperoleh putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap
putusan yang dijatuhkan oleh Hakim belum tentu dapat menjamin kebenaran
secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan,
bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruan dan kekhilafan itu
dapat diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap
putusan Hakim itu dimungkinkan untuk diperiksa ulang. Cara yang tepat untuk
dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan melaksanakan
upaya hukum. Jadi, Upaya hukum merupakan Upaya atau alat untuk mencegah
atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan (Krisna Harahap, 2003 :
114-115).

Upaya hukum merupakan hak terdakwa yang dapat dipergunakan apabila


terdakwa merasa tidak puas atas putusan yang diberikan oleh pengadilan.
Karena upaya hukum ini merupakan hak, jadi hak tersebut bisa saja
dipergunakan dan bisa juga si terdakwa tidak menggunakan hak tersebut. Akan
tetapi, bila hak untuk mengajukan upaya hukum tersebut dipergunakan oleh
siterdakwa, maka pengadilan wajib menerimanya. Hal ini dapat dilihat dalam
KUHAP pada rumusan pasal 67 yang menyatakan: “terdakwa atau penuntut
umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat
pertama, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang
menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan
acara cepat”. KUHAP membedakan upaya hukum kepada dua macam, Upaya
hukum biasa dan upaya hukum luar biasa (istimewa). Upaya hukum biasa terdiri
dari dua bagian, bagian kesatu tentang pemeriksaan tingkat banding, dan bagian
kedua adalah pemeriksaan kasasi. Sedangkan upaya hukum luar biasa adalah
peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.

B. Macam Upaya Hukum

Upaya hukum dibedakan antara upaya hukum terhadap upaya hukum biasa
dengan upaya hukum luar biasa.

1. Upaya hukum biasa


Merupakan upaya hukum yang digunakan untuk putusan yang belum
berkekuatan hukum tetap. Upaya ini mencakup:
a. Perlawanan/verzet

b. Banding
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta
oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu
putusan Pengadilan Negeri.Para pihak mengajukan banding bila
merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada
Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut
dijatuhkan.

Sesuai asasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi


putusan Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan, karena putusan
tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga
belum dapat dieksekusi, kecuali terhadap putusan uitvoerbaar bij
voorraad.

Dasar Hukum :
Banding diatur dalam pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan
Madura) dan dalam pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa
dan Madura). Kemudian berdasarkan pasal 3 Jo pasal 5 UU No. 1/1951
(Undang-undang Darurat No. 1/1951), pasal188 s.d. 194 HIR
dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU Bo. 20/1947
tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.

Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya


keputusan pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan,
karena terhadap penetapan upaya hukum biasa yang dapat diajukan
hanya kasasi.

TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN BANDING


Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 14 hari sejak
putusan dibacakan bila para pihak hadir atau 14 hari pemberitahuan
putusan apabila salah satu pihak tidak hadir. Ketentuan ini diatur dalam
pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 20/1947 jo pasal 46 UU No. 14/1985.
Dalam praktek dasar hukum yang biasa digunakan adalah pasal 46 UU
No. 14 tahun 1985.

Apabila jangka waktu pernyatan permohonan banding telah lewat


maka terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh
Pengadilan Tinggi karena terhadap putusan Pengadilan Negeri yang
bersangkutan dianggap telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan
dapat dieksekusi.

Pendapat diatas dikuatkan oleh Putusan MARI No. 391 k/Sip/1969,


tanggal 25 Oktober 1969, yaitu bahwa Permohonan banding yang
diajukan melalmpaui tenggang waktu menurut undang-undang tidak
dapat diterima dan surat-surat yang diajukan untuk pembuktian dalam
pemeriksaan banding tidak dapat dipertimbangkan. Akan tetapi bila
dalam hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh lebih
dari seorang sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan
diterima untuk seorang pembanding, perkara tetap perlu diperiksa
seluruhnya, termasuk kepentingan-kepentingan mereka yang
permohonan bandingnya tidak dapat diterima (Putusan MARI No. 46
k/Sip/1969, tanggal 5 Juni 1971).

PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN BANDING


1. Dinyatakan dihadapan Panitera Pengadilan Negeri dimana putusan
tersebut dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar lunas biaya
permohonan banding.
2. Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau lisan (pasal 7 UU
No. 20/1947) oleh yang berkepentingan maupun kuasanya.
3. Panitera Pengadilan Negeri akan membuat akte banding yang
memuat hari dan tanggal diterimanya permohonan banding dan
ditandatangani oleh panitera dan pembanding. Permohonan banding
tersebut dicatat dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register
Banding Perkara Perdata.
4. Permohonan banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada
pihak lawan paling lambat 14 hari setelah permohonan banding
diterima.
5. Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas
perkara di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.
6. Walau tidak harus tetapi pemohon banding berhak mengajukan
memori banding sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan
kontra memori banding. Untuk kedua jenis
c. Kasasi
Pada dasarnya menangguhkan eksekusi. Dengan pengecualian yaitu
apabila putusan tersebut telah dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan
terlebih dahulu atau uitboverbaar bij voorraad dalam pasal 180 ayat (1) HIR jadi
meskipun dilakukan upaya hukum, tetap saja eksekusi berjalan terus.
1. Pemeriksaan Tingkat Banding
Dari segi formal , pemeriksaan banding merupakan upaya yang dapat
diminta oleh pihak yang berkepentingan , supaya putusan peradilan tingkat
pertama diperiksa lagi dalam peradilan tingkat banding. Dengan kata lain
undang-undang memberi upaya kepada pihak yang berkepentingan untuk
mengajukan permintaan pemeriksaan putusan  peradilan tingkat pertama kepada
peradilan tingkat banding. Ditijau dari segi tujuan pemeriksaan tingkat banding
mempunyai beberapa maksud antara lain sebagai berikut:
a. Memperbaiki kekeliruan putusan tingkat pertama
Pada dasarnya segala putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan
mengenai hakim tak luput dari kesalan, kelalaian, dan kekhilafan.
Agar kesalahan dan kelalaian tersebut tidak melekat pada putusan
yang dijatuhkan, undang-undang memberikan kesempatan untuk
melakukan upaya hukum yang bertujuan untuk mengoreksi
kekeliruan yang ada dalam putusan tersebut koreksi atau perbaikan
atas kesalahan putusan tingkat pertama tersebut dibebankan
kepada peradilan tingkat banding dalam pemeriksaan tingkat
banding.
b. Mencegah kesewenangan dan penyalahgunaan  jabatan
Tidak dapat dibayangkan seandainya undang-undang tidak
membuka pemeriksaan tingkat banding, peradilan tingkat pertama
bisa saja terjerumus kepada kewenangan dan penyalahgunaan
jabatan karena keputusan tersebut telah absolut. akan tetapi dengan
adanya upaya banding hal ini mempengaruhi peradilan tigkat
pertama untuk lebih berhati-hati dan korektif karena ada
kemungkinan putusan yang dijatuhkannya akan di uji
kebenarannya pada peradilan tingkat banding.

c. Untuk Menciptakan keseragaman Penerapan hukum

Yang dimaksud dengan keseragaman penerapan hukum adalah


sesuainya dalam menafsirkan salah atau tidaknya suatu perbuatan
menurut undang-undang . Baik dari sudut pandang peradilan
tingkat pertama maupun peradilan tingkat banding. Hal ini untuk
menghindari terjadinya penerapan putusan peradilan yang saling
tidak bersesuaian antar peradilan.

d. Mengenai pemeriksaan tingkat banding dalam KUHAP dapat


dilihat pada pasal 233 – 243, diantaranya dibahas antara lain
mengenai :
1. Penerimaan permintaan banding.
2. Penerimaan permohonan banding dilakukan atas alasan
permintaan yang memenuhi persyaratan undang-undang,
diantaranya Permohonan banding memenuhi syarat. Hal ini
dapat dilihat dalam pasal 233 yang antara lain memuat :
a. Permohonan diajukan kepada panitera pengadilan
negeri yang memutus perkara tersebut.
b. Permohonan banding diajukan terhadap putusan yang
dapat diminta banding.
c. Permintaan banding diajukan dalam tenggang waktu
yang ditentukan yakni 7 hari sesudah putusan
dijatuhkan.

2. Upaya hukum luar biasa


Dilakukan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dan pada asasnya upaya hukum ini tidak menangguhkan eksekusi. mencakup :
a. Peninjauan kembali (request civil)
b. Perlawanan pihak ketiga (denderverzet) terhadap sita eksekutorial

1. Upaya Hukum Biasa Perlawanan/verzet

Suatu upaya hukum terhadap putusan di luar hadirnya tergugat (putusan


verstek). Dasar hukum verzet dapat dilihat di dalam pasal 129 HIR. Verzet dapat
dilakukan dalam tempo/tenggang waktu 14 hari (termasuk hari libur) setelah
putusan putusan verstek diberitahukan atau disampaikan kepada tergugat karena
tergugat tidak hadir. Syarat verzet adalah (pasal 129 ayat (1) HIR):

a. Keluarnya putusan verstek


b. Jangka waktu untuk mengajukan perlawanan adalah tidak boleh lewat
dari 14 hari dan jika ada eksekusi tidak boleh lebih dari 8 hari; dan
c. Verzet dimasukan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di
wilayah hukum dimana penggugat mengajukan gugatannya.

2. Upaya Hukum Biasa Banding


Upaya Hukum Biasa Banding adalah upaya hukum yang dilakukan
apabila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan Pengadilan Negeri. Dasar
hukumnya adalah UU No 4/2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Pokok Kekuasaan dan UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan. Permohonan
banding harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan
putusan (pasal 7 UU No 20/1947).
Urutan banding menurut pasal 21 UU No 4/2004 jo. pasal 9 UU No 20/1947
mencabut ketentuan pasal 188-194 HIR, yaitu:

a. Ada pernyataan ingin banding


b. Panitera membuat akta banding
c. Dicatat dalam register induk perkara
d. Pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling lama
14 hari sesudah pernyataan banding tersebut dibuat.
e. Pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat
mengajukan kontra memori banding.

3. Upaya Hukum Biasa Kasasi


Menurut pasal 29 dan 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 kasasi adalah
pembatalan putusan atas penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan
dalam tingkat peradilan akhir.
Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan banding. Alasan
yang dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam pasal 30
UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 adalah:
a. Tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif) untuk
melampaui batas wewenang,
b. Salah menerapkan/melanggar hukum yang berlaku,
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian dengan batalnya
putusan yang bersangkutan.

4. Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali


Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan
undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan huikum
tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam
perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkempentingan. [pasal
66-77 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004].

Alasan-alasan peninjauan kembali menurut pasal 67 UU no 14/1985 jo. UU no


5/2004, yaitu:
a. ada novum atau bukti baru yang diketahui setelah perkaranya
diputus yang didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh
hakim pidana yang dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak
dapat ditemuksn;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih
daripada yang dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim/suatu
kekeliruan yang nyata.
Tenggang waktu pengajuan 180 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
(pasal 69 UU 14/1985). Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan
kembali pada tingkat pertama dan terakhir (pasal 70 UU no 14/1985).

5. Upaya Hukum Luar Biasa: Denderverzet


Terjadi apabila dalam suatu putusan pengadilan merugikan kepentingan
dari pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan perlawanan
terhadap putusan tersebut. Dasar hukumnya adalah 378-384 Rv dan pasal 195
(6) HIR.
Dikatakan sebagai upaya hukum luar biasa karena pada dasarnya suatu
putusan hanya mengikat pihak yang berperkara saja (pihak penggugat dan
tergugat) dan tidak mnegikat pihak ketiga (tapi dalam hal ini, hasil putusan akan
mengikat orang lain/pihak ketiga, oleh ebab itu dikatakan luar biasa).
Denderverzet diajukan ke Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut
pada tingkat pertama.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Akad istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu, dengan kriteria dan pernyataan tertentu pula yang disepakati antara pemesan
( pembeli ) dan penjual ( pembuat ).
Dasar Hukum Qs. Al-Baqarah : 275 dan HR. Muslim.
Rukun istishna terdiri dari :
1. Penjual / penerima pesanan ( shani’)
2. Pembeli / pemesan (mustashni’)
3. Barang (Mashnu’)
4. Harga (tsanan)
5. Ijab qabul (sighat)
syarat istishna yaitu :
1. Barang (mashnu’)
2. Harga

Salam adalah akad jual beli barang pesanan antara pembeli dan penjual dengan
pembayaran dilakukan dimuka pada saat akad dan pengiriman barang dilakukan saat
akhir kontrak.
Dasar hukum QS. Al-Baqarah : 282 Dan HR. Bukhari Muslim
Rukun akad salam :
1. Pembeli (musalam)
2. Penjual (musala ilaih)
3. Ucapan (sighah)
4. Barang yang dipesan (muslam fiqh)
syarat akad salam yaitu :
1. Uangnya hendaklah dibayar di tempat akad (pembayaran dilakukan lebih
dulu).
2. Barang menjadi utang si penjual
3. Barang diserahkan dikemudian hari (diberikan sesuai waktu yang dijanjikan)
4. Barang harus jelas, baik ukuran, timbangan ataupun bilangannya
5. Harus diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya
6. tempat penyerahan dinyatakan secara jelas.
B. SARAN
Demikian makalah yang saya buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Apabila ada saran dan kritik yang ingin disampaikan, silahkan sampaikan kepada
saya. Apabila terdapat kesalahan mohon dapat mema'afkan dan memakluminya,
karena kami hanyalah hamba Allah yang tak luput dari salah, khilaf, Alfa dan lupa.

DAFTAR PUSTAKA

Anto Gillas, Implementasi Jual Beli Istisna’ dalam Lembaga Keuangan Syariah,
Makalah tahun 2016.
Chandra Utama, Pengenalan Produk dan Akad dalam Perbankan Syariah Majalah
Ilmiah Vol. 13 no 2 Agustus 2009.
Erdi Marduwira, Akad Istishnā’ Dalam Pembiayaan Rumah Pada Bank Syariah
Mandiri, Jakarta : UIN Syrif Hidayatullah, 2010.
Frida Umami “Implementasi Jual Beli Salam Dalam Lembaga Keuangan Syariah,
Makalah tahun 2016.
Imam Mustofa, “Fiqh Mu’amalah Kontemporer”, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara,
2014.
Kasmir, “ Dasar-Dasar Perbankan”, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014.
Rizal Yahya, Akuntansi Perbankan Syari’ah, Jakarta: Selemba Empat, 2009.
Siti Mujiatun, “Jual Beli Dalam Perspektif Islam: Salam dan Istisna’”, Jurnal
Akuntansi dan Bisnis, Sumatera Utara: Universitas Muhammadiyah Sumatera
Utara, Volume 13, No. 2, September 2013.
Wiwik Fitria Ningsih, “Modifikasi Pembiayaan Salam dan Implikasi Perlakuan
Akuntansi Salam”, Jurnal Akuntansi Universitas Jember, Jember: Universitas
Jember, Volume 13, No. 2, Desember 2015.

Diakses pada tanggal 30 November 2022 Pukul 20.58 WIB, dari


https://www.academia.edu/33392255/IMPLEMENTASI_SALAM_DAN_ISTISNA_
DALAM_LEMBAGA_KEUANGAN_SYARIAH

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke praktik, (Jakarta : Gema
Insani, 2001), hlm 113.
Hery, S.E.,M.Si., CRP., RSA., CFRM,. Akuntansi Syariah ( jakarta : Grasindo 2018
).hlm.67
Novi Puspitasari, Keuangan Islam,(Yogyakarta : UII ( Anggota IKAPI ) 2018
),hlm.134
Sofyan Safri Harahap, Wiroso, Muhammad Yusuf. Akuntnsi Keuangan Syariah. Cet
IV ( Jakarta LPFE Usakti : 2010 ).hlm.57.
Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Halia Indonesia,
2012) hlm.127
Hery, S.E.,M.Si., CRP., RSA., CFRM,. Akuntansi Syariah ( jakarta : Grasindo 2018
).hlm.59
Diakses pada tanggal 30 November 2022 Pukul 21.48 WIB dari
https://www.academia.edu/37825336/akad_istishna_dan_salam_docx

Anda mungkin juga menyukai