Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH HUKUM ACARA PERDATA

PUTUSAN PENGADILAN

Dosen Pengampu :

Mardalena Hanifah, SH, M.HUM

Disusun Oleh :

Dewi Angel Caroline ( 2109112515 )

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS RIAU

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya
saya bisa membuat makalah ini dengan tepat waktu. Adapun judul makalah ini yaitu “
Putusan Pengadilan “. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Acara Perdata. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan mengenai
Putusan Pengadilan.

Untuk itu saya tidak lupa menyampaikan banyak terimakasih kepada Ibu Mardalena
Hanifah, SH, M.Hum selaku dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Ucapan
terimakasih juga kami sampaikan kepada semu pihak yang telah membantu kami dalam
pembuatan makalah ini. Demikian juga makalah ini tidak akan mungkin terselesaikan
tanpa ada dorongan terus menerus, bantuan dan kritikan dari berbagai pihak.

Saya menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Akhirnya segala kesalahan dan kekurangan adalah tanggung jawab penulis. Namun
tidak lepas dari semua itu, kami sadar sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi
penyusun bahasanya maupun dari segi lainnya. Oleh Karena itu dengan lapang dada
dan tangan terbuka, saya membuka bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik
kepada saya dapat memperbaiki makalah ini.

Pekanbaru, 3 Oktober 2022

Penulis

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR…………………………………………………..i

DAFTAR ISI……………………………………………………………ii

Bab I PENDAHULUAN..…………………………………………........1

A. Latar Belakang…………………………………………….…….1
B. Rumusan Masalah……………………………………………….4
C. Tujuan……………………………………………………………4

Bab II PEMBAHASAN…………………………………………………5

A. Pengertian Putusan Pengadilan…………………………………..5


B. Dasar Hukum ……………………………………………………6
C. Susunan dan Isi Putusan…………………………………………6
D. Kekuatan Putusan Hakim………………………………………10
E. Macam-Macam Putusan Hakim………………………………..14
F. Minutasi Berkas Perkara……………………………………….17

BAB III PENUTUP…………………………………………………….22

KESIMPULAN…………………………………………………………22

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….......24

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Putusan pengadilan pada dasarnya adalah suatu karya menemukan
hukum, yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam
setiap peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum.
Dalam pelaksanaan putusan pengadilan setelah selesai proses persidangan,
maka hakim mengambil keputusan yang diucapkan di muka sidang yang
terbuka untuk umum, maka selesai pulalah tugas hakim dalam penyelesaian
perkara pidana. Keputusan itu harus dilaksanakan dan hal itu tidak mungkin
dilaksanakan sendiri oleh hakim. Putusan hakim tersebut baru dapat
dilaksanakan apabila putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijsde).
Tugas pelaksanaan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap ini dibebankan kepada penuntut umum (Jaksa) sebagaimana diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diatur dalam Pasal
270 sampai dengan 276.
- Pasal 270 :
“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dilakukan oleh Jaksa yang untuk itu panitera mengirim surat putusan
padanya”.
Syarat untuk menjalankan keputusan hakim ialah bahwa keputusan itu
telah menjadi tetap dan tidak boleh diubah lagi, dengan pengertian segera
setelah keputusan itu tidak lagi terbuka suatu jalan hukum pada hakim lain atau
hakim itu juga untuk merubah putusan itu, seperti perlawanan verstek, naik
banding, atau kasasi. Dengan demikian selama terhadap putusan itu masih
dapat dilawan, dibanding atau dimintakan kasasi, maka selama itu keputusan
tersebut belum menjadi tetap dan tidak dapat dilaksanakan. Suatu keputusan

1
hakim menjadi tetap, jikalau semua jalan hukum biasa untuk merubah
keputusan itu seperti perlawanan verstek, banding, dan kasasi telah digunakan,
tapi ditolak oleh instansi yang bersangkutan (tidak berhasil) atau putusan telah
diterima oleh terpidana dan penuntut umum atau waktu yang disediakan telah
lewat tanpa digunakan oleh pemohon untuk banding, kasasinya dicabut oleh
yang bersangkutan. Setelah Jaksa menerima kutipan surat putusan yang telah
menjadi tetap dari panitera pengadilan, maka telah saatnya Jaksa melaksanakan
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tersebut.
Dalam Pasal 197 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim, dan berdasarkan
ayat (2) pasal tersebut kalau ketentuan tersebut tidak dipenuhi, kecuali yang
tersebut pada huruf g, putusan batal demi hukum.
Demi kepastian hukum, putusan yang batal demi hukum adalah putusan yang
sejak semula tidak pernah ada, tidak membawa akibat hukum dan tidak dapat
dieksekusi. Karena itu, jika Jaksa memaksakan eksekusi putusan yang batal
demi hukum dapat digolongkan sebagai tindakan sewenang-wenang yang
bertentangan dengan asas negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu cirinya adalah
mewajibkan setiap penyelenggara negara untuk menjunjung tinggi asas
legalitas.

Jaksa yang memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum juga
melanggar Pasal 17 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang antara lain menyatakan :

“Bahwa setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan


sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif”.
Menurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum (legal system) adalah satu
kesatuan hukum yang terdiri dari tiga unsur yakni struktur hukum, substansi
hukum, dan kultur hukum. Secara sederhana, struktur hukum berkaitan dengan

2
lembaga-lembaga atau institusi-institusi pelaksana hukum atau dapat dikatakan
sebagai aparat penegakan hukum. Dalam hal hukum pidana, maka lembaga
yang bertugas melaksanakannya terwujud dalam suatu sistem peradilan pidana
(criminal justice system), yang pada hakikatnya merupakan sistem kekuasaan
menegakkan hukum pidana yang terdiri atas kekuasaan penyidikan, kekuasaan
penuntutan, kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan serta kekuasaan
pelaksanaan putusan / pidana oleh badan / aparat pelaksana / eksekusi. Dalam
pelaksanaan sidang yang dilakukan hakim tersebut akan mempengaruhi pula
Penuntut Umum dalam melaksanakan tugasnya yang tercantum dalam Pasal
146 KUHAP4 yang menyebutkan pihak terdakwa harus mengetahui mengenai
penjadwalan sidang yang harus diikutinya.
Tetapi yang menjadi penting adalah mengenai adanya hal-hal yang
menjadi tidak sesuai terhadap ketentuan yang berlaku yaitu mengenai tindakan
Hakim untuk melaksanakan sidang beragendakan pembacaan putusan tanpa
dihadiri oleh Jaksa Penuntut Umum dan pihak terdakwa serta ketentuan-
ketentuan yang seharusnya diterapkan dalam proses peradilan pidananya
seperti halnya dalam penetapan hari sidang yang ditetapkan oleh Hakim yang
kemudian akan mempengaruhi Jaksa Penuntut Umum dalam melaksanakan
kewajibannya. Serta dalam hal ini akan diketahui pula terkait adanya putusan
apakah telah memenuhi aturan dalam penetapan suatu putusan atas perkara
tersebut yang akan dilihat melalui ketentuan KUHAP.Yang menjadi
permasalahan adalah ketika Majelis Hakim dalam sidang pembacaan putusan
terhadap terdakwa tidak memenuhi ketentuan yang pada akhirnya putusan
tersebut menjadi “batal demi hukum”. Hal tersebut diakibatkan faktor
ketentuan yang tidak dipenuhi oleh penegak hukum seperti dalam aturan
KUHAP yang menyebutkan terkait isi putusan, serta Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada bagian pelaksanaan
peradilan terhadap pihak yang berperan dan wajib hadir di persidangan.
B. Rumusan Masalah

3
1. Apa itu putusan pengadilan?
2. Apa dasar hukum dari putusan pengadilan?
3. Apa saja susunan dan isi putusan?
4. Apa kekuatan putusan Hakim?
5. Apa saja macam-macam putusan Hakim?
6. Apa minutasi berkas perkara?
C. Tujuan
1. Umtuk mengetahui apa pengertian dari putusan pengadilan
2. Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar hukum dari putusan pengadilan
3. Untuk mengetahui apa saja susunan dan isi dari sebuah keputusan
4. Untuk mengetahui apa kekuatan dari putusan Hakim
5. Untuk mengetahui apa saja macam-macam dari ptusan Hakim
6. Untuk mengetahui apa minutasi berkas perkara

BAB II

PEMBAHASAN

4
A. Putusan Pengadilan
Putusan merupakan hasil atau kesimpulan suatu pemeriksaan perkara
yang didasarkan pada pertimbangan hukum baik berdasarkan penerapan hukum
maupun temuan hukum1. Menurut Ahmad Mujahiddin Putusan adalah suatu
pernyataan yang diucapkan oleh hakim dalam persidangan dan bertujuan untuk
mengakhiri sekaligus menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak2.
Pada sisi lain, istilah putusan dapat dimaknai sebagai suatu pernyataan oleh
hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, dan diucapkan
dalam sidang yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan
suatu perkara atau sengketa antara pihak berperkara.
Putusan pengadilan pada dasarnya adalah suatu karya menemukan
hukum, yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam
setiap peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum.
Dalam pelaksanaan putusan pengadilan setelah selesai proses persidangan,
maka hakim mengambil keputusan yang diucapkan di muka sidang yang
terbuka untuk umum, maka selesai pulalah tugas hakim dalam penyelesaian
perkara pidana. Keputusan itu harus dilaksanakan dan hal itu tidak mungkin
dilaksanakan sendiri oleh hakim. Putusan hakim tersebut baru dapat
dilaksanakan apabila putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijsde). Tugas pelaksanaan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap ini dibebankan kepada penuntut umum (Jaksa).
Putusan Pengadilan menurut Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini. Semua putusan pengadilan hanya sah dan memiliki
kekuatan hukum jika diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
B. Dasar Hukum

5
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman

• Pasal 50:
(1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan,
juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
(2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta
hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.
• Pasal 10 Ayat 1
1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
• Pasal 13 Ayat 2
2)Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
C. Susunan dan Isi Putusan
Bentuk dan susunan isi suatu putusan hakim secara singkat dan
menyeluruh, dapat dipahami memiliki beberapa bagian sebagai berikut, yaitu:
bagian kepala Putusan; Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis
perkara; Identitas pihak-pihak; Duduk perkaranya (bagian posita); Tentang
pertimbangan hukum; Dasar hukum; Diktum atau amar putusan; Bagian kaki
putusan; dan Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya.Pengertian
putusan secara bahasa disebut dengan vonnis (Belanda) atau al-aqda’u (Arab),
yaitu produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan
dalam perkara, yaitu “penggugat” dan “tergugat”. Produk pengadilan semacam

6
ini biasa diistilahkan dengan “produk peradilan yang sesungguhnya” atau
jurisdictio cententiosa”.1

Definisi Putusan yang tercantum dalam Pasal 10 Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjelaskan bahwa: “Putusan
adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu
sengketa. Menurut Sudikno Mertokusumo, Putusan adalah suatu pernyataan
yang diberikan oleh Hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang
untuk itu dan diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum
dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak
yang berperkara.2

Sedangkan definisi lebih lanjut mengenai putusan menurut Gemala


Dewi, adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai suatu produk
Pengadilan (Agama) sebagai hasil dari suatu pemeriksaan perkara gugatan
berdasarkan adanya suatu sengketa.3 Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pengertian putusan adalah pernyataan hakim yang tertulis atas perkara
gugatan oleh Majelis Hakim yang berwenang menangani dan menyelesaikan
suatu sengketa diantara para pihak yang berperkara dan diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum. Dilihat daeri segi isi dan susunannya

1) Niet Onvankelijk Verklaart (N.O.) : maksudnya adalah putusan ini


tidak
dapat diterima gugatannya, karena adanya alasan yang dibenarkan oleh
hukum. Terdapat beberapa kemungkinan alasan tidak diterimanya
gugatan Penggugat, yaitu :
a) Gugatan tidak berdasarkan hukum.
b) Gugatan tidak mempunyai kepentingan hukum secara langsung yang
melekat pada diri Penggugat.

7
c) Gugatan kabur (obsucur libel).
d) Gugatan masih prematur.
e) Gugatan Nebis in idem.
f) Gugatan error in persona.
g) Gugatan telah lampau waktu (daluwarsa). h) Pengadilan tidak
berwenang mengadili.
2) Gugatan dikabulkan : yaitu apabila suatu gugatan yang diajukan
kepada pengadilan dapat dibuktikan kebenaran dalil gugatannya. Jika
terbukti keseluruhan, maka gugatan tersebut dikabulkan seluruhnya.
Jika sebagian saja yang terbukti, maka gugatan tersebut dikabulkan
sebagian.
3) Gugatan ditolak : yaitu putusan yang perkaranya telah diperiksa dan
setelah diperiksa terbukti dalil gugatannya tidak beralasan atau tidak
dapat dibuktikan kebenarannya.
4) Gugatan didamaikan : yaitu apabila pihak yang berperkara berhasil
didamaikan, maka hakim menyarankan agar gugatannya dicabut dan
hakim menjatuhkan putusan perdamaian dalam bentuk akta
perdamaian.
5) Gugatan digugurkan : yaitu apabila Penggugat telah dipanggil secara
patut danmtidak hadirmmenghadap pengadilanmpada harimyang telah
ditentukanmtanpa menyuruhmorang lain sebagaiowakilnya, sedangkan
pihak Tergugat hadir. Maka dalam hal ini gugatan Penggugat
dinyatakan gugur dan dihukum untuk membayar ongkos perkara.
6) Gugatan dibatalkan : yaitu apabila Penggugat pernah hadir dalam
sidang pengadilan, kemudian pada sidang-sidang selanjutnya tidak
pernah hadir lagi, maka panitera wajib memberitahukan kepada
Penggugat agar ia hadir untuk membayar ongkos perkara tambanhan
sesuai yang ditetapkan. Apabila dalam tempo satu bulan sejak tanggal

8
pemberitahuan tersebut Penggugat tidak hadir, maka gugatannya
dinyatakan dibatalkan.
7) Gugatan dihentikan (aan hanging) : yaitu penghentian gugatan yang
disebabkan karena adanya perselisihan kewenangan mengadili antara
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri.
c. Dilihat dari segi jenisnya :
1) Putusan Sela : yaitu putusan yang belum merupakan putusan akhir.
Putusan ini tidak mengikat hakim, bahkan hakim yang menjatuhkan
putusan sela berwenang mengubah putusan sela tersebut jika ternyata
mengandung kesalahan. Adapun beberapa bentuk putusan sela menurut
Pasal 48 dan 332 Rv dapat dibedakan sebagai berikut :
a) Putusan Preparatoir : adalah putusan sela untuk mempersiapkan
putusan akhir, tanpa ada pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan
akhir. Putusan Interlucotoir : adalah putusan yang memerintahkan
pembuktian dan dapat mempengaruhi putusan akhir.
b) Putusan Insidentil : adalah putusan sela atas suatu perselisihan yang
tidak begitu mempengaruhi atau berhubungan dengan pokok perkara.
2) Putusan Provisi : adalah putusan yang menjawab tuntutan provisionil,
yaitu permintaan para pihak yang bersangkutan agar untuk sementara
diadakan tindakan pendahuluan.
3) Putusan Akhir : adalah suatu pernyataan yang oleh hakim yang
berwenang, diucapkan dalam persidangan dan bertujuan untuk
mengakhiri perkara atau sengketa para pihak yang berperkara di
pengadilan. Putusan akhir ini sangat menentukan kredibilitas hakim
dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka sangat diharapkkan
kepada hakim untuk membuat putusan yang benar.
D. Kekuatan Putusan Hakim

9
Hukum acara perdata dipergunakan untuk menjamin ditaatinya hukum
perdata materiil. Ketentuan hukum acara perdata pada umumnya tidak memberi
hak dan kewajiban yang seperti dijumpai dalam hukum perdata materiil, tetapi
melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah hukum perdata
materiil yang ada, atau melindungi hak perseorangan. Karena pada hakekatnya
hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya dijamin
diaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Dengan kata lain
hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya
mengajukan tuntutan hak.

Di dalam kehidupan bermasyarakat, tiap-tiap individu atau orang


mempunyai kepentingan yang berbeda antara orang satu dengan yang lainnya.
Adakalanya kepentingan antar para pihak itu saling bertentangan sehingga
menimbulkan suatu sengketa hukum. Sengketa hukum dapat diartikan sebagai
sengketa mengenai segala sesuatu yang di atur oleh hukum. Dengan perkataan lain
sengketa hukum adalah sengketa yang menimbulkan akibat-akibat hukum. Dalam
melaksanakan hak dan kewajiban pada suatu hubungan hukum yang seringkali
menjadi sumber timbulnya sengketa hukum adalah apabila hak seseorang yang
diberikan oleh hukum materiil dilanggar, kepentingan seseorang yang dilindungi
oleh hukum materiil diingkari.

Misalnya saja apabila seseorang melaksanakan hak secara berlebihan yang


mengakibatkan kerugian pada orang lain, masyarakat atau negara. Selain itu adanya
kelalaian pemenuhan suatu kewajiban baik itu sengaja atau tidak sengaja dalam
pemenuhan suatu kewajiban tarhadap sikap orang yang demikian apabila ada pihak
lain yang tidak mau mengalahkan dapat menjadi sumber sengketa.

Dalam hukum perdata materiil sengketa hukum dapat berupa wanprestasi,


perbuatan melawan hukum maupun perbuatan yang menimbulkan kerugian pada

10
orang lain, yang tidak termasuk perbuatan melawan hukum yaitu yang berupa
penyalahgunaan keadaan.2

Pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain apabila ingin mendapatkan
kembali haknya maka ia harus mengupayakan melalui prosedur yang berlaku, baik
melalui litigasi maupun melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), seperti
penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau penyelesaian sengketa melalui
perdamaian antar pihak, individu tidak boleh melakukan perbuatan main hakim
sendiri (eigenrichting).3

Penyelesaian sengketa tersebut tidak akan dicampuri oleh negara apabila


para pihak yang berkepentingan dapat menyelesaikan sendiri melalui perdamaian
yaitu dengan musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila upaya musyawarah
untuk mencapai mufakat yang diusahakan oleh para pihak yang berkepentingan
tidak tercapai maka dapat dimintakan bantuan pada negara yaitu dengan cara
mengajukan gugatan ke pengadilan negeri. Dalam hal demikian ini, Hukum Acara
Perdata dapat menunjukkan jalan yang harus ditempuh agar sengketa dapat
diperiksa dan diselesaikan melalui pengadilan.

Penyelesaian perkara perdata melalui litigasi dimulai dengan pengajuan


gugatan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Prosedur ini merupakan
prosedur umum, berlaku untuk orang dan sengketa hukum pada umumnya sehingga
setiap orang yang akan berperkara di pengadilan negeri harus mengetahui dan
memahami tata cara beracara yang sesuai dengan prosedur dalam Hukum Acara
Perdata dan sebagai konsekuensi maka perkara akan ditolak jika tidak memenuhi
prosedur yang ditetapkan.

Penyelesaian sengketa hukum melalui prosedur umum dilakukan dalam 3


(tiga) tahap, yaitu tahap pendahuluan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan.
Tahap pendahuluan dimulai dari diajukannya gugatan sampai dengan
disidangkannya perkara. Selanjutnya tahap penentuan yaitu dimulai dari jawab

11
menjawab sampai dengan dijatuhkannya putusan oleh hakim. Setelah putusan
mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), kecuali diputus dengan
ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun diajukan upaya hukum
melawan putusan (uit voerbaar bij vooraad). Setelah itu barulah sampai pada tahap
yang terakhir yaitu tahap pelaksanaan.

Dalam tahap putusan, suatu sengketa perdata itu diajukan oleh pihak yang
bersangkutan kepada pengadilan untuk mendapatkan pemecahan atau
penyelesaian. Pemeriksaan perkara memang diakhiri dengan putusan, akan tetapi
dengan dijatuhkannya putusan saja belum tentu persoalannya akan selesai begitu
saja tetapi putusan tersebut harus dapat dilaksanakan atau dijalankan. Suatu putusan
pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dilaksanakan, oleh karena itu putusan
hakim mempunyai kekuatan hukum eksekutorial yaitu kekuatan untuk
dilaksanakan apa yang menjadi ketetapan dalam putusan itu secara paksa dengan
bantuan alat-alat negara. Adapun yang yang memberi kekuatan eksekutorial pada
putusan hakim adalah kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan
KeTuhanan Yang Maha Esa”.5

Pada prinsipnya hanya putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum


tetap dan dapat dijalankan. Suatu putusan itu dapat dikatakan telah mempunyai
kekuatan hukum tetap apabila di dalam putusan mengandung arti suatu wujud
hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara sebab
hubungan hukum tersebut harus ditaati dan harus dipenuhi oleh pihak tergugat.

Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, memiliki 3 macam


kekuatan, sehingga putusan tersebut dapat dilaksanakan, yaitu:8

1. Kekuatan mengikat;

2. Kekuatan bukti;

12
3. Kekuatan untuk dilaksanakan.

Pihak yang dihukum (pihak tergugat) diharuskan mentaati dan

memenuhi kewajibannya yang tercantum dalam amar putusan yang telah


mempunyai kekuatan hukum tetap secara sukarela. Putusan sukarela yaitu apabila
pihak yang kalah dengan sukarela memenuhi sendiri dengan sempurna
menjalankan isi putusan. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan putusan tersebut
tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, karena dikemudian hari ada salah satu
pihak yang merasa tidak puas dengan putusan tersebut, maka yang akan terjadi
adalah pengingkaran atau mengingkari putusan tersebut. Suatu pengingkaran
merupakan bentuk suatu perbuatan yang tidak mau melaksanakan apa yang
seharusnya dilakukannya atau yang menjadi kewajiban.

Putusan yang telah incracht atau telah berkekuatan hukum tetap memiliki
beberapa kekuatan hukum yang pasti, yaitu kekuatan mengikat, pembuktian dan
eksekutorial.7 Kekuatan Mengikat, artinya putusan yang telah dijatuhkan itu harus
dihormati, dipatuhi dan dilaksanakan oleh para pihak. Masing-masing pihak tidak
boleh bertentangan dengan putusan.

Kekuatan Pembuktian (sejak putusan Incracht), artinya putusan Hakim


merupakan akta otentik, oleh karena itu dapat digunakan sebagai alat bukti dalam
mengajukan alat bukti dalam mengajukan banding, kasasi maupun pelaksanaan
putusan. Sedangkan Kekuatan Eksekutorial, artinya sejak putusan incracht, putusan
tersebut memiliki kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat negara.

Argumen PK dalam Pasal 67 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah


Agung menyebutkan bahwa, suatu putusan dikatakan incracht adalah apabila upaya

13
hukum seperti verzet, banding dan kasasi tidak dipergunakan dan tenggang waktu
untuk itu sudah habis, atau telah mempergunakan upaya hukum tersebut dan sudah
selesai. Upaya hukum terhadap putusan yang telah incracht tidak ada lagi, kecuali
jika dilakukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung hanya
dengan alasan- alasan yang sangat tertentu.

E. Macam-Macam Putusan Hakim

Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu pernyataan


yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu ,
diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan
suatu perkara atau masalah antar pihak. Sederhananya putusan hakim ialah putusan
akhir yang dinyatakan oleh hakim dari suatu pemeriksaan di pengadilan. Umumnya
suatu putusan mengandung sanksi berupa hukuman terhadap pihak yang
dikalahkan dalam suatu persidangan di pengadilan. Dalam hukum acara perdata
sanksi tersebut dapat berupa pemenuhan kewajiban (prestasi) atau pemberian ganti
rugi kepada pihak yang telah dirugikan atau dimenangkan dalam persidangan.

Suatu putusan hakim memiliki beberapa bagian, di antaranya bagian


pertimbangan hukum atau dikenal dengan konsideran dan bagian amar putusan.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bagian pertimbangan hukum yang menjadi
dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara, juga amar putusan yang
berisi putusan hakim.

Ada dua golongan putusan, yaitu putusan sela dan putusan akhir. Putusan
sela dikenal juga dengan putusan provisional. Putusan sela ada bermacam-macam,
yaitu putusan preparatoir, putusan insidentil, dan putusan provisional. Putusan
preparatoir dipergunakan untuk mempersiapkan perkara, demikian pula putusan
insidentil, sedangkan putusan provisional adalah putusan yang dijatuhkan
sehubungan dengan tuntutan dalam pokok perkara, sementara diadakan tindakan-
tindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah satu pihak.

14
Putusan sela banyak dipergunakan dalam acara singkat dan dijatuhkan
karena harus segera diambil tindakan. Misalnya penggugat, yaitu penyewa rumah
mengajukan gugatan perdata terhadap tergugat yang telah merusakkan atap rumah
sewaan, sedangkan waktu itu adalah musim hujan. Oleh karena itu, hakim diminta
segera menjatuhkan putusan sela agar tergugat dihukum untuk segera memperbaiki
atap rumah yang rusak.

Contoh lain, yaitu seorang istri yang mengajukan gugatan cerai terhadap
suaminya. Seorang istri mohon agar diperkenankan untuk meninggalkan tempat
tinggal bersama selama proses berlangsung. Hakim yang memeriksa akan
menjatuhkan putusan sela atas permohonan untuk meninggalkan tempat tinggal
bersama tersebut. Putusan provisional selalu dapat dilaksanakan terlebih dahulu
(Pasal 180 HIR).

Putusan akhir menurut sifatnya ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:

1. Putusan decloratoir Putusan ini bersifat menerangkan dan


menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. Misalnya, bahwa
Ahmad adalah anak angkat yang sah dari Beni dan Eni, atau Ai
Handayani, Rima Amelia, dan Agus Ringgo merupakan ahli waris dari
H. Agus Sumarna (almarhum).
2. Putusan consistutif Putusan ini meniadakan suatu keadaan hukum
atau menimbulkan suatu keadaan hukum baru. Contohnya, putusan
perceraian Aam Amelia dengan Gatot Prakoso, atau PT Indonsinga
dinyatakan pailit oleh putusan Pengadilan Niaga.
3. Putusan condemnatoir Putusan yang berisi penghukuman. Misalnya,
tergugat dihukum untuk menyerahkan sebidang 500 ha tanah, Cindo
diwajibkan untuk membayar utang sejumlah Rp. 400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah) kepada Adiwilaga.

15
Putusan Berdasarkan Kehadiran Para Pihak
1. Putusan Gugatan Gugur
yakni putusan yang dijatuhkan karena
pihak penggugat tidak menghadiri sidang pada hari yang telah
ditentukan setelah dipanggil dengan layak oleh juru sita pengadilan.
Dalam putusan ini hakim dapat menyatakan bahwa gugatan
penggugat gugur dan penggugat tersebut dihukum membayar biaya
perkara.
2. Putusan Verstek
Yakni putusan yang dijatuhkan oleh hakim
apabila pada hari pertama persidangan yang telah ditentukan pihak
tergugat tidak menghadiri sidang tanpa alasan yang sah meskipun
telah dipanggil dengan layak oleh juru sita pengadilan. Terhadap
putusan verstek ini, pihak tegugat dapat mengajukan banding
dimana banding tersebut dikenal dengan istilah.
3. Putusan Kontradictoir
Yakni putusan atas dasar kehadiran para
pihak saat pembacaan putusan akhir. Oleh karena itu ada dua jenis
putusan contradictoir, Pada saat pembacan putusan diucapkan para
pihak hadir dan pada saat pembacaan putusan di ucapkan salah satu
pihak tidak hadir.
F. Minutasi Berkas Perkara

Pembenahan proses minutasi perkara di Pengadilan Agama dilaksanakan


dengan dibuatnya SOP (standar operasional prosedur) Minutasi Satu Hari dengan
tahapan aktivitas sebagai berikut:

1. Panitera Pengganti menyusun berkas perkara secara kronologis, dimulai dari


surat gugatan/ permohonan sampai dengan berita acara pembacaan putusan,
yang dilakukan setiap kali persidangan.
2. Panitera Pengganti membuat daftar isi berkas perkara.
3. Panitera Pengganti menjahit berkas yang sudah diminutasi dan mensegel
dengan stiker segel dengan logo pengadilan.

16
4. Panitera Pengganti mencatat tanggal penyelesaian minutasi sesuai tanggal
pembacaan putusan dan menginput kedalam aplikasi SIPP yang kemudian
memberikannya kepada Ketua Majelis.
5. Ketua Majelis mengecek dan memaraf sampul minutasi tertanggal sesuai
tanggal putus.
6. Panitera Pengganti menyerahkan berkas yang sudah diminutasi kepada Meja
III.
7. Meja III menyerahkan instrumen tanggal penyelesaian minutasi kepada Meja
II.
8. Meja II mencatat tanggal penyelesaian minutasi dalam buku register perkara
secara elektronik.
Adapun penyusunan berkas perkara yang akan diminutasi, Panitera
Pengganti membuat daftar isi berkas perkara yang telah disesuaikan dengan
aturan buku II dengan penyusunan berkas secara kronologis sebagai berikut:
1. Surat gugatan/ permohonan.
2. Surat kuasa dari kedua belah pihak (bila ada).
3. SKUM.
4. Penetapan Majelis/ Hakim.
5. Penunjukan Panitera Pengganti.
6. Penunjukan Jurusita/ Jurusita Pengganti.
7. Penetapan hari sidang.
8. Relaas panggilan.
9. Berita acara sidang (jawaban/ replik/ duplik dimasukkan dalam kesatuan
berita acara).
10. Penetapan sita conservatoir/ revindicatoir (bila ada).
11. Berita acara sita conservatoir/ revindicatoir (bila ada).
12. Lampiran – lampiran surat yang diajukan oleh kedua belah pihak (bila ada).
13. Surat – surat bukti Penggugat (bila ada).
14. Surat – surat bukti Tergugat (bila ada).

17
15. Tanggapan bukti – bukti Tergugat dari Penggugat (bila ada).
16. Tanggapan bukti – bukti Penggugat dari Tergugat (bila ada).
17. Gambar situasi (bila ada dan dimasukkan sesuai kronologis).
18. Surat – surat lain.
Untuk Diperhatikan
Berkas yang diminutasi itu, discan, lalu dijahit dan disegel berdasarkan Surat
Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1962 dan Nomor 4 Tahun 1998.
Peranan Panitera Pengganti Dalam Proses Minutasi Berkas Perkara
Pengadilan Agama merupakan pengadilan yang termasuk banyak menerima
perkara setiap hari, bulan dan tahunnya, tentu penyelesaiannya harus cepat dan
bersamaan dengan minutasi. Dengan demikian diperlukan sebuah kerjasama
yang baik dan terkoordinasi. Sementara Dirjen Badilag pada tanggal 31 Juli
2018 mengeluarkan perintah tentang keharusan minutasi perkara satu hari
setelah perkara putus dengan istilah (one day publik one day minute).
Dari serangkaian aktivitas di atas dapat dipahami bahwa peran Panitera
Pengganti sangatlah vital dalam implementasi one day minute. Maka seorang
Panitera Pengganti harus selalu melakukan control terhadap berkas-berkas
perkara sejak perkara tersebut didaftarkan hingga selesai. Selain itu, Panitera
Pengganti juga wajib dan bertanggung jawab atas kerapian, keutuhan dalam
penyusunan berkas dan berkoordinasi dengan Majelis Hakim yang menangani
perkara tersebut. Jika saja ada satu berkas yang hilang akan berakibat terhadap
keabsahan putusan hakim. Sebab Majelis Hakim yang menangani perkara
tersebut berkewajiban bertanggung jawab terhadap minutasi perkara. Dengan
kata lain bahwa yang bertanggung jawab terhadap minutasi berkas perkara
adalah Ketua Majelis Hakim, namun dibantu oleh Panitea/Panitera Pengganti
untuk mengerjakannya.
• Waktu Yang Dibutuhkan Dalam Proses Minutasi

18
Dalam BUKU II, waktu untuk minutasi perkara adalah 1 hingga 14 hari setelah
putusan dibacakan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1
Tahun 1962 dan Nomor 4 Tahun 1998, yang keduanya mengartikan
“minutering” dengan penyelesaian berkas perkara.
Setelah keluarnya Surat Ditjen Badilag Nomor 1924.c/DJA/OT.01.3/VII/2018
perihal Peningkatan Kinerja dan Pelayanan Peradilan Agama, serta dituangkan
dalam Buku I Pedoman Standar SAPM edisi III yang saat ini menjadi APM.
Maka SOP minutasi berkas perkara pada hari dibacakannya putusan, sehingga
hanya memerlukan beberapa menit setelah dibacakan putusan. Jadi dapat
diimplementasikan paling lama 40 sampai 47 menit saja waktu yang
dibutuhkan dalam proses minutasi. Implementasi One Day Minutation
Berdasarkan SOP Minutasi Satu Hari Pengadilan Agama, proses
minutasi
membutuhkan waktu hanya sekitar 47 menit untuk setiap perkara, itupun
dengan ketentuan berkas telah dipilah dan disusun serta BAS (berita acara
sidang) telah dibuat dengan sempurna dan ditandatangani.
Berdasarkan observasi penulis serta hasil wawancara dengan beberapa Panitera
Pengganti dari berbagai Pengadilan Agama di Indonesia, memang realita di
lapangan menunjukkan bahwa terkadang ada beberapa data terkait minutasi di
SIPP tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya yang artinya semisal suatu
perkara di SIPP tercatat telah diminutasi tanggal 1 Mei 2019, bisa jadi berkas
fisiknya diminutasi pada tanggal berikutnya yakni 2 Mei 2019. Memang
tidaklah salah ketika minutasi berkas perkara lebih dari 1 hari karena dalam
Buku II dan Pola Bindalmin menyebutkan minutasi berkas perkara harus selesai
selambat-lambatnya 14 hari sejak putusan diucapkan, namun seharusnya
pelaksanaan minutasi juga menerapkan/ merujuk pada Surat Ditjen Badilag
nomor 1924.c/DJA/OT.01.3/VII/2018 perihal Peningkatan Kinerja dan
Pelayanan Peradilan Agama yang menginstruksikan minutasi berkas perkara

19
selesai pada hari yang sama dengan putusan dibacakan atau yang dikenal
dengan one day minutation.
Idealnya antara das sein dan das sollen seyogyanya sesuai dan saling
melengkapi, namun kenyataannya dalam menerapkan SOP tersebut tidaklah
semudah membalikkan tangan karena terdapat beberapa kendala antara lain:
1. Tidak sebandingnya sumber daya manusia (SDM) yang ada terutama
Panitera
Pengganti dengan kapasitas perkara yang terbilang terbanyak sehingga
membuat pembuatan BAS mengalami keterlambatan yang imbasnya
menjadikan keterlambatan dalam pembuatan putusan.
2. Belum adanya sarana prasarana teknologi yang mendukung pembuatan BAS
(berita acara sidang) secara cepat, efektif, dan akurat.
Adanya kendala-kendala tersebut, bukannya dibiarkan saja. Akan tetapi
memang sudah dimunculkan solusi oleh pimpinan dan seluruh komponen
Pengadilan Agama dengan mengeluarkan beberapa kebijakan-kebijakan antara
lain:
1. Membuat SOP minutasi satu hari.
Pembuatan SOP ini diharapkan dapat memacu serta sebagai landasan aturan
dalam menerapkan pelaksanaan minutasi.
2. Mengajukan usulan penambahan SDM.
Beberapa kali usulan penambahan SDM diajukan, namun yang berwenang
(Mahkamah Agung) belum mengabulkannya sehingga mau tidak mau
Pengadilan Agama menambah pegawai non-PNS dan itupun masih dirasa
kurang mencukupi jika dibandingkan dengan beban kerja yang ada.
3. Penggunaan Aplikasi Pendukung SIPP.
Aplikasi ini merupakan aplikasi yang digunakan untuk mendukung aplikasi
SIPP agar memperlancar penerapan aplikasi SIPP maka semua Pengadilan
Agama di seluruh Indonesia masing-masing membuat aplikasi-aplikasi sebagai
innovasi demi kelancaan proses minutasi lebih terkontrol atau termonitor

20
pelaksanaan minutasi yang terdapat di SIPP. Jadi dengan mudah pimpinan atau
majelis hakim mengetahui perkara putus yang belum diminutasi sehingga dapat
secara langsung memberitahukan kepada yang bersangkutan agar segera
meminutasi perkara tersebut.
Dari uraian diatas, menandakan bahwa di Pengadilan Agama seluruh
Indonesia sudah mengimplementasikan program one day minutation yang telah
dicanangkan oleh Dirjen Badilag, meskipun pencapaiannya belum optimal
sesuai dengan harapan Dirjen Badilag dan Mahkamah Agung.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Putusan hakim adalah produk utama pengadilan. Putusan hakim di


setiap tingkat pengadilan dapat mencerminkan kualitas, integritas, kecepatan,
aksesibilitas, dan konsistensi penalaran hakim.

Suatu hal yang sudah menjadi salah satu doktrin yang berlaku di dunia
peradilan adalah bahwa putusan hakim dianggap tidak berbeda dengan putusan
Tuhan (Judicium dei).2 Hal ini disebabkan oleh realita, bahwa putusan hakim
pada skala tertentu, juga mengandung penyiksaan, merampas kebebasan
seseorang, dan bahkan merampas jiwa. Padahal, hakikatnya tindakan tersebut
adalah wilayah kompetensi Tuhan. Doktrin ini telah diakomodasi dalam tradisi
dunia peradilan kita, yaitu dengan adanya kalimat: “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dicantumkan pada setiap kepala
putusan hakim. Mengingat kedudukan hakim yang mulia itulah mengapa tidak
ada aturan baik tertulis maupun tidak tertulis, yang memberikan peluang untuk

21
mengadili hakim ketika menjalankan fungsi peradilan. Oleh karena itu
hendaknya putusan yang dikeluarkan oleh seorang hakim haruslah benar-benar
berkualitas, dengan dasar pertimbangan hukum yang jelas dan tepat serta sesuai
dengan fakta.

Putusan pengadilan pada dasarnya adalah suatu karya menemukan


hukum, yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam
setiap peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum.
Dalam pelaksanaan putusan pengadilan setelah selesai proses persidangan,
maka hakim mengambil keputusan yang diucapkan di muka sidang yang
terbuka untuk umum, maka selesai pulalah tugas hakim dalam penyelesaian
perkara pidana. Keputusan itu harus dilaksanakan dan hal itu tidak mungkin
dilaksanakan sendiri oleh hakim. Putusan hakim tersebut baru dapat
dilaksanakan apabila putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijsde). Tugas pelaksanaan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap ini dibebankan kepada penuntut umum (Jaksa)
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
diatur dalam Pasal 270 sampai dengan 276.

22
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan dkk, Penerapan dan Pelaksanaan Pola Pembinaan dan


Pengendalian Administrasi Kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama, Jakarta: Ditjen Badilag MARI, Cet. III, 2007.

Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan


Agama, Buku II, edisi revisi, 2013.

Sarmin Syukur, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, Surabaya: Jaudar Press,
2017.

Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1962 tentang Cara Penyelesaian
Perkara.

Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 1998 tentang Perubahan Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 1994 tentang Administrasi.

Surat Ditjen Badilag Nomor 1924.c/DJA/OT.01.3/VII/2018 perihal peningkatan


kinerja dan pelayanan peradilan agama.

23
Ditjen Badilag MARI, Program Kita ke Depan Hilangkan Manual, diakses dari
https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-
badilag/program-kita-ke-depan-hilangkan-manual-28-9, pada tanggal 13 Juni 2019.

Ditjen Badilag MARI, Rapor Penanganan Perkara Berdasarkan SIPP, diakses dari
https://badilag.mahkamahagung.go.id/pengumuman- elektronik/pengumuman-
elektronik/rapor-kinerja-penanganan-perkara- berdasarkan-sipp-tanggal-31-mei-2019-
31-5, pada tanggal 13 Juni 2019.

Sarmin Syukur, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, h. 745

Ditjen Badilag MARI, Penerapan dan Pelaksanaan Pola Pembinaan dan Pengendalian
Administrasi Kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.

Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan


Agama, edisi revisi, 2013.

Badilag MARI, Program Kita ke Depan Hilangkan Manual, diakses dari


https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-
badilag/program-kita-ke-depan-hilangkan-manual-28-9, pada tanggal 13 Juni 2019

Badilag MARI, Rapor Kinerja Penanganan Perkara Berdasarkan SIPP, diakses dari
https://badilag.mahkamahagung.go.id/pengumuman-

24

Anda mungkin juga menyukai