Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-
Nya kepada kita dan tak lupa sholawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Agung
Muhammad SAW yang telah membawa kita pada ajaran islam.
Makalah dengan tema “Eksekusi” disusun dalam rangka untuk tugas mata kuliah
Hukum Acara Perdata yang diberikan pada semester tiga ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih ada kekurangannya.
Dengan senang hati kami akan menerima kritik dan saran dari para pembaca guna
kesempurnaan makalah ini. Kritik ataupun saran dari para pembaca akan berguna dan
bermanfaat bagi kami.

Tim Penyusun Makalah

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………..……………………………………………………………………………1
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………………………..2
BAB I PENDAHULUAN…...……………………………………………………………………………………..3
1.1.Latar Belakang……………………………………………………………………………………………………3
1.2.Rumusan Masalah……………………………………………………………………………………………….3
1.3.Tujuan……………………………………………………………………………………………………………….4
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………………………………..5
2.1.Pengertian Eksekusi............................................….……………………………………………..5
2.2.Dasar Hukum Eksekusi....................................................……………………………………..5

2.3.Asas-Asas Eksekusi .............................................……………………………………...………..6

2.4.Jenis-Jenis Eksekusi...............................................………………………………………………7

2.5.Eksekusi yang tidak dapat dilaksanakan…..................……………………………………………8

2.6.Penundaan Eksekusi.......................................................................................………9

2.7.Berita Acara Eksekusi .....................................................................…………………….10

BAB III PENUTUP………...………………………………………………………………………………………16

3.1.Kesimpulan………………………………………………………………………………………………………...16

3.2.Saran……………………………………………………………………………………..............................16

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………………………17

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan - peraturan yang memuat tata
cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan tata cara
bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan - peraturan hukum perdata. Hukum acara perdata merupakan hukum formil yang
harus dijalani sesuai dengan apa yang telah diatur didalamnya. Tanpa adanya hukum acara
perdata, maka mustahil hukum perdata materiil dapat dilaksanakan.

Tujuan dari suatu proses dimuka pengadilan adalah untuk mendapatkan penentuan
bagaimanakah hukumnya dalam suatu kasus, yaitu bagaimanakah hubungan hukum antara
dua pihak yang berperkara itu seharusnya dan agar segala apa yang ditetapkan itu direalisir,
jika perlu dengan paksaan.

Putusan pengadilan adalah merupakan salah satu dari dari hukum acara formil yang
akan dijalani oleh para pihak yang terkait dalam perkara perdata. Dari beberapa proses
yang dilakukan oleh para pihak yang berperkara, putusan dan bagaimana putusan itu
dilaksanakan adalah tahapan yang menjadi tujuan. Oleh karena itu penulis akan
menguraikan secara lebih detail bagaimana tata cara dan syarat–syarat yang harus dipenuhi
oleh hakim dalam mumbuat sebuah putusan. Karena apabila terdapat suatu yang belum
atau tidak terpenuhi sesuai dengan ketentuan atau syarat yang telah ditetapkan oleh
undang– undang maka putusan yang dihasilkan menjadi cacat hukum dan bahkan akan
menjadi batal demi hukum.

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang
kalah dalam suatu Negara, merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses
pemeriksaan perkara. Oleh karena itu eksekusi tiada lain daripada tindakan yang
berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. Eksekusi merupakan
suatu kesatuan yang tidak terpisah dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung
dalam HIR atau Rbg. Bagi setiaporang yang ingin mengetahui pedoman aturan
eksekusi,harus merujuk kedalam aturan perundang-undangan yang diatur dalam HIR atau
Rbg.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian dari Eksekusi?
2. Apa saja dasar hukum Eksekusi?
3. Apa saja asas-asas Eksekusi?
4. Apa saja jenis-jenis Eksekusi?
5. Apa saja Eksekusi yang tidak dapat dilaksanakan?
6. Apakah penundaan Eksekusi?
7. Bagaimanakah isi dari berita acara Eksekusi?

3
1.3. Tujuan
a. Mampu memberikan wawasan tentang Eksekusi
b. Mampu menggambarkan akibat hukum yang berkaitan dengan Eksekusi
c. Mampu menjelaskan hal-hal dari Eksekusi

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Eksekusi

Yang dimaksud dengan eksekusi adalah pelaksanaa terhadap putusan hakim baik
yang sudah memiliki kekuatan hukum maupun yang belum memiliki kekuatan hukum tetap.
(Sarwono, S.H., M.Hum , Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik)

Menurut M. Yahya Harahap eksekusi merupakan tindakan hukum yang dilakukan


pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan tata cara
lanjutan dari proses pemeriksaan yang berksinambungan dari keseluruhan proses hukum
acara perdata.

Prof. R. Subekti eksekusi adalah pelakasanaan putusan yang sudah tidak dapat
diubah lagi itu, ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa.

Jadi di dalam makna kata eksekusi pihak yang kalah mau tidak mau harus menaati
putusan dari pengadilan dengan sukarela, sehingga putusan tersebut harus dipaksakannya
dengan bantuan kekuatan umum. Yang dimaksud dengan bantuan umum merupakan polisi
atau militer.

2.2. Dasar Hukum Eksekusi

Kemudian untuk dasar hukum pelaksanaan eksekusi terdapat dalam HIR. Untuk
cara-cara menjalankan eksekusi diatur dalam pasal 195-224 HIR. Namun, tidak semua yang
diatur masih berlaku efektif hingga sekarang. Yang masih benar-benar efektif yaitu aturan
yang diatur dalam pasal 195-208 dan pasal 224 HIR. Sedangkan pasal 209-223 mengatur
tentang sandera (gijzeling) tidak lagi berlaku efektif. Seorang debitur yang dihukum untuk
membayar hutangnya berdasarkan putusan pengadilan tidak lagi dapat disandera sebagai
upaya memaksa sanak keluarganya melaksanakan pembayaran sesuai putusan pengadilan.
Penghapusan pasal-pasal yang berkenaan dengan sandera dilakukan oleh Mahkamah Agung
melalui Surat Edaran (SEMA) No. 2/1964 tanggal 22 Januari 1964. Isi surat edaran ini
ditujukan kepada seluruh pengadilan di lingkup peradilan umum. Namun demikian, pada
tanggal 30 Juni 2000, Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 2000 dimana
PERMA ini mengatur terhadap debitur tertentu, dapat dilakukan paksa badan apabila
terpenuhi syarat-syarat yang telah disebut didalamnya.

2.3. Asas-Asas Eksekusi

Dalam pelaksanaan eksekusi Hukum Acara Perdata terdapat asas-asas yang harus
ditaati. Asas-asas itu antara lain:

2.3.1 Putusan yang dapat dijalankan adalah putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap. Adapun putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat berupa.
A. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak dimintakan pemeriksaan
ulang (banding) atau kasasi karena telah diterima oleh para pihak yang
berperkara.
B. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak dimintakan kasasi ke
Mahkamah Agung.
C. Putusan pengadilan tingkat kasasi dari Mahkamah Agung atau putusan
peninjauan kembali dari Mahkamah Agung.

5
D. Putusan verstek dari pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan upaya
hukumnya.
E. Putusan hasil perdamaian dari dua pihak yang berperkara.
Putusan yang dapat dilakukan eksekusi pada dasarnya hanya putusan yang
memiliki kekuatan hukum tetap karena putusan tersebut telah terkandung
wujud hubungan hukum yang tetap (res judicata) dan pasti antara pihak
yang berperkara. Akibat wujud hubungan hukum tersebut yang sudah tetap
dan pasti sehingga hubungan itu harus ditaati dan dipenuhi oleh pihak yang
kalah.
Terhadap asas ini ada pengecualian yaitu:
A. Pelaksanaan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu.
Bentuk pelaksanaan putusan lebih dahulu (uitvoerbaar bij vooraad)
merupakan pengecualian terhadap asas menjalankan putusan yang
berkekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 180 ayat (1) HIR, eksekusi dapat
dijalankan terhadap putusan pengadilan, sekalipun putusan yang
bersangkutan belum berkekuatan hukum tetap. Pasal tersebut memberikan
hak kepada penggugat untuk mengajukan permintaan agar putusan
dijalankan eksekusinya terlebih dahulu, sekalipun terhadap putusan tersebut
tergugat melakukan banding atau kasasi.
B. Pelaksanaan putusan provisi.
Pasal 180 ayat (1) HIR juga mengenal putusan provisi yaitu tuntutan lebih
dahulu yang bersifat sementara mendahului putusan pokok-pokok perkara.
Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka putusan
provisi tersebut dapat dilaksanakan sekalipun perkara pokoknya belum
diputus.
C. Akta perdamaian.
Pengecualian ini diatur dalam Pasal 130 HIR. Akta perdamaian yang dibuat di
persidangan oleh hakim dapat dijalankan eksekusi seperti putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Sejak tanggal lahirnya akta perdamaian, telah
melekat juga kekuatan eksekutorial pada dirinya meskipun bukan putusan
yang memutus sengketa.
D. Eksekusi terhadap grosse akta.
Grosse akta ini diatur dalam pasal 224 HIR. Eksekusi grosse akta merupakan
eksekusi yang dijalankan untuk memenuhi isi perjanjian yang dibuat oleh
para pihak. Pasal ini memperbolehkan eksekusi terhadap perjanjian, asal
perjanjian tersebut berbentuk grosse akta. Jadi perjanjian berbentuk grosse
akta telah dilekati kekuatan eksekutorial.
2.3.2 Putusan tidak dijalankan secara sukarela.
Dalam menjalankan isi putusan, terdapat 2 (dua) cara yaitu dengan cara sukarela
dan dengan cara eksekusi. Pada dasarnya eksekusi sebagai tindakan paksa untuk
menjalankan isi putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dikarenakan
pihak yang kalah tidak mau memenuhi putusan secara sukarela
2.3.3 Putusan yang dapat dieksekusi yang bersifat kondemnatoir.
Putusan kondemnatoir adalah putusan yang amar atau diktumnya mengandung
unsur “penghukuman” dan dengan sendirinya melekat kekuatan hukum
eksekutorial sehingga putusan tersebut dapat dieksekusi apabila pihak yang
kalah tidak mau menjalankan keputusan secara sukarela.
2.3.4 Eksekusi dijalankan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan
Negeri.
Hal ini diatur dalam pasal 195 ayat (1) HIR, jika terdapat putusan yang dalam
tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu Pengadilan Negeri dan telah

6
berkekuatan hukum tetap, maka eksekusi terhadap putusan tersebut berada
dibawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Terdapat hal yang harus diperhatikan dalam asas ini, yaitu:

A. Penentuan pengadilan mana yang berwenang melaksanakan eksekusi putusan.


Pedoman menentukan kewenangan tersebut didasarkan pada faktor di
Pengadilan Negeri mana perkara (gugatan) diajukan dan di Pengadilan Negeri
mana perkara diperiksa dan diputus pada tingkat pertama.
B. Kewenangan menjalankan eksekusi hanya diberikan kepada Negeri. Tidak
menjadi permasalahan ketika suatu putusan yang hendak dieksekusi tersebut
merupakan hasil putusan Pengadilan Negeri atau Mahkamah Agung, eksekusi
tetap dibawah kewenangan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam
tingkat pertama.
C. Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri.
Kewenangan Ketua Pengadilan Negeri memerintah dan memimpin eksekusi
adalah kewenangan formal secara ex officio. Atas dasar itulah Ketua
Pengadilan Negeri mengeluarkan perintah eksekusi berbentuk surat penetapan
(beschikking) setelah dari adanya permintaan dari pihak yang menang.

2.4. Jenis-Jenis Eksekusi

Pelaksaanan putusan hakim dalam hukum acara perdata ada 3 (tiga) jenis, yaitu
sebagai berikut

2.4.1 Eksekusi Membayar Sejumlah Uang

Eksekusi membayar uang diatur dalam Pasal 196 HIR yang dinyatakan bahwa:

“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu
dengan damai, maka pihak yang menang memasukan permintaan, baik dengan lisan
maupun dengan surat ke Pengadilan Negeri yang tersebut dalam ayat pertama pasal
195, buat menjalankan keputusan itu. Ketua menyuruh memanggil pihak yang
dikalahkan itu serta memperingaktan supaya ia memenuhi keputusan itu dalam
tempo yang ditentukan oleh ketua yang selama-lamanya 8 (delapan) hari”.

Jika setelah jangka waktu yang telah ditetapkan, putusan masih juga belum
dilaksanakan maka ketua pengadilan memerintahkan agar disita barang barang
bergerak, apa bila belum cukup juga barang-barang tidak bergerak milik pihak yang
kalah hingga cukup untuk mengganti biaya pelaksanaan putusan tersebut. Penyitaan
yang dilakukan ini disebut penyitaan eksekutorial.

2.4.2 Eksekusi untuk Melakukan Suatu Perbuatan

Eksekusi untuk melakukan suatu perbuatan dan atau pemenuhan prestasi sesuai
dengan keputusan pengadilan yang diatur dalam pasal 225 HIR menyatakan bahwa:
1) Jika seorang yang dihukum untuk melakukan sesuatu perbuatan tidak
melakukannya di dalam waktu yang telah ditentukan hakim, maka pihak yang
menang dalam keputusan dapat memohon kepada pengadilan negeri dengan
perantaraan ketua, baik denfan surat maupun dengan lisan, supaya kepentingan
yang akan didapatnya, jika peutusan itu dipenuhi, dinilai, dengan uang tunai,
jumlah mana harus diberitahukan dengan tentu, jika permintaan itu dilakukan
dengan lisan, harus cacat.

7
2) Karena mengemukakan perkara dalam persidangan pengadilan negeri yang
menolak perkara itu menurut pendapatnya dan menurut keadaannya atau menilai
permohonan yang tlah diperintahkan, tetapi belum dijalankan atau yang menilai
dibawah permohonan yang dikehendaki pemohon dan dalam hal ini yang
berhutang di hukum membayarnya.
Dengan demikian dapatlah dianggap bahwa putusab haking yang sebelumnya tidak
berlaku lagi, atau dengan lain kata putusan yang semula ditarik kembali, dan ketua
pengadilan negeri tersebut mengganti putusan tersebut dengan putusann lain.
Perubahan putusan ini dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang memimpin
eksekusi tersebut, jadi tidak dalam sidang terbuka.

2.4.3 Eksekusi Rill

Eksekusi rill merupakan pelaksanaan putusan pengadilan baik terhadap barang-


barang bergerak maupun tidak bergerak yang bertujuan untuk memenuhi prestasi
yang dibebankan kepada pihak yang dikalahkan dalam suatu perkara di persidangan
pengadilan negeri.
Meskipun eksekusi rill tidak diatur secara baik dalam HIR, eksekusi rill sudah lazim
dilakukan, oleh karena dalam praktek sangat diperlukan.

2.5. Eksekusi yang tidak dapat dilaksanakan

Eksekusi yang tidak dapat dijalankan (non-executable), yaitu dalam hal:

a. Harta kekayaan tereksekusi tidak ada

b. Putusan bersifat deklaratoir

c. Barang objek eksekusi di tangan pihak ketiga

d. Eksekusi terhadap penyewa, noneksekutabel

e. Barang yang hendak dieksekusi, dijaminkan kepada pihak ketiga

f. Tanah yang hendak dieksekusi tidak jelas batasnya

g. Perubahan status tanah menjadi milik negara

h. Barang objek eksekusi berada di luar negeri

i. Dua putusan yang saling berbeda

j. Eksekusi terhadap harta kekayaan bersama.

Akibat Hukum Putusan yang Dinyatakan Non-Executable:

Sehubungan dengan pertanyaan Anda, apabila putusan perkara perdata yang telah
memasuki tahap sita eksekusi dinyatakan non-executable oleh hakim, apakah
eksekusi harus dihentikan? Kami jelaskan sebagai berikut:

Terhadap suatu penetapan pengadilan negeri, masih dapat diajukan suatu upaya
hukum kasasi sebagaimana ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung yang berbunyi:

8
(1) Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:

a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-


undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan.

(2) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim agung wajib menyampaikan


pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

(3) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat
hakim agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.

(4) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) diatur oleh Mahkamah Agung.

Berdasakan penjelasan hal-hal tersebut di atas, pada saat eksekusi ditetapkan oleh
hakim dalam suatu penetapan menjadi non-executable, maka eksekusi berhenti
setelah adanya penetapan non-executable tersebut. Namun demikian, pihak yang
tidak puas dengan penetapan non-executable tersebut masih dapat mengajukan
upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

2.6. Penundaan Eksekusi

2.6.1 Suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, pada dasarnya
dapat segera dimintakan pelaksanaannya. Makna dari putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap adalah adanya hubungan hukum yang
tetap (res judicata) dan pasti antara pihak yang berperkara.
Hubungan hukum yang tetap dan pasti tersebut harus ditaati dan
dipenuhi oleh pihak tergugat. Putusan harus dilaksanakan secara
sukarela. Apabila pihak tergugat tidak mau untuk memenuhi isi dari
putusan, pihak penggugat dapat meminta bantuan kepada Pengadilan
Negeri untuk memaksa agar tergugat memenuhi isi putusan tersebut.
Pada prakteknya, pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap seringkali mengalami kendala. Salah satu kendalanya adalah
adanya penundaan eksekusi. Penundaan eksekusi merupakan suatu
tindakan yang eksepsional. Artinya bahwa penundaan eksekusi
merupakan tindakan pengecualian dari aturan umum. Penundaan
eksekusi mengesampingkan hubungan hukum yang tetap dan pasti
dari suatu putusan pengadilan. Penundaan eksekusi juga dilaksanakan

9
secara kasuistik. Artinya bahwa tidak ada patokan yang jelas untuk
menunda eksekusi suatu putusan perkara perdata. Suatu alasan tidak
berlaku secara umum. Suatu alasan mungkin saja dapat dibenarkan
menunda eksekusi pada kasus tertentu, tetapi belum tentu dapat
digunakan untuk menunda eksekusi pada kasus lain. Secara kasuistik
maka alasan yang dapat digunakan untuk menunda eksekusi adalah
a. Atas alasan perikemanusiaan
b. Atas alasan derden verzet
c. Atas alasan obyek perkara masih dalam proses perkara lain
d. Atas alasan peninjauan kembali
e. Atas alasan perdamaian.
2. Penundaan eksekusi putusan perkara perdata tidak diatur dalam hukum
positif yang mengatur hukum acara perdata Indonesia. Penundaan eksekusi

tidak diatur dalam HIR, Rbg, Rv ataupun dalam UU lainnya. Penundaan


eksekusi didasari oleh yurisprudensi dan hukum kebisaan yang hidup dalam
masyarakat. Hal itu selaras dengan ketentuan yang mengharuskan Hakim
menggali dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Selain itu, hukum-hukum tidak tertulis juga merupakan
sumber hukum. Berdasarkan yurisprudensi, penundaan eksekusi merupakan
kebijaksanaan dari Ketua Pengadilan Negeri yang dalam pelaksanaannya
selalu dikoordinasikan dan dikonsultasikan kepada Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung kemudian akan mengeluarkan rekomendasi berkaitan
dengan eksekusi tersebut. Kewenangan Mahkamah Agung untuk
mengeluarkan surat rekomendasi didasarkan oleh kedudukan Mahkamah
Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan.
Mahkamah Agung memiliki fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan
peradilan di semua lingkungan peradilan. Mahkamah Agung juga berwenang
untuk memberikan petunjuk, tegoran atau peringatan yang dipandang perlu
kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan. Selain itu Mahkamah
Agung berwenang untuk memberikan petunjuk teknis peradilan kepada
semua peradilan yang ada. Hal inilah yang menjadi dasar Mahkamah Agung
untuk mengeluarkan surat rekomendasi penundaan eksekusi.

3. Penundaan eksekusi merupakan suatu permasalahan yang cukup menarik


dalam praktek peradilan di Indonesia. Pelaksanaan penundaan eksekusi

10
dilakukan secara kasuistik dan eksepsioanl. Penundaan eksekusi tidak diatur
dalam hukum formil mengenai hukum acara perdata di Indonesia. Pengaturan
mengenai penundaan eksekusi tidak terdapat dalam HIR, Rbg, Rv ataupun
UU lainnya. Pengaturan penundaan eksekusi tersebar dalam yurisprudensi
dan hukum kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan,
tidak ada dasar hukum yang kuat mengenai penundaan eksekusi. Oleh
karena itu sebaiknya penundaan eksekusi diatur dalam hukum formil yang
mengatur mengenai hukum acara perdata Indonesia.

mengenai hukum acara perdata Indonesia, saat ini sedang dalam penyusunan
undang-undang yang baru. Ada baiknya apabila penundaan eksekusi putusan
perdata ini dimasukkan dalam pembahasan rancangan undang-undang
hukum acara perdata Indonesia. Pengaturan dalam undang-undang tentunya
akan memberikan landasan hukum yang kuat terhadap praktek penundaan
eksekusi putusan perkara perdata.
4. Penundaan eksekusi belum diatur dalam undang-undang dan masih
didasarkan oleh yurisprudensi. Dan seperti yang kita ketahui, undang- undang
hukum acara perdata Indonesia yang baru masih dalam proses rancangan.
Pembahasan rancangan undang-undang tentu akan memakan waktu yang
lama. Oleh sebab itu sebelum menunggu keluarnya Undang- undang Hukum
Acara Perdata Indonesia yang baru, sebaiknya Mahkamah Agung
mengeluarkan perma yang mengatur mengenai penundaan eksekui. Perma
tersebut merupakan pedoman bagi hakim dalam menyelesaikan
permasalahan mengenai penundaan eksekusi.

2.7. Berita Acara Eksekusi


Dalam bahasa Belanda berita acara disebut dossier atau process verbal atau verslag
yang artinya berita acara atau berkas perkara. Sebutan yang hampir sama dalam bahasa
Inggris disebut “ dossier” atau “official report” yang berarti juga berita acara. Berita acara
jika dilihat dari segi hukum adalah akta resmi yang mempunyai nilai autentik karena dibuat
oleh pejabat resmi yang berwenang, sedangkan bila dilihat dari segi fungsinya berita acara
adalah akta resmi yang memuat segala kejadian di persidangan pengadilan yang terkait
dengan perkara yang diperiksa sebagai dasar pembuatan putusan. Sedangkan berita acara
eksekusi sendiri yaitu berita acara yang dibuat oleh Panitera/Juru Sita/ juru sita pengganti
pada saat pelaksanaan eksekusi. Pasal 197 ayat(5) HIR atau Pasal 209 ayat (4) RBg
memerintahkan kepada pejabat yang melaksanakan eksekusi untuk membuat berita acara

11
eksekusi, dengan demikian keabsahan suatu eksekusi sangat ditentukan dengan adanya
berita acara. Banyak terjadi ketidak pastian eksekusi disebabkan karena berita acaranya
yang tidak betul seperti ;

- Tidak menerangkan secara seksama peristiwa yang terjadi pada saat pelaksanaan
eksekusi;

- Tidak dijelaskan secara tegas objek yang dieksekusi, sebagian atau seluruhnya;

- Tidak menyebutkan secara jelas identitas,luas atau batas-batas tanah yang


dieksekusi ;

- Barang yang dieksekusi tidak sesuai dengan amar putusan pengadilan.

Dengan demikian dalam pembuatan berita acara eksekusi perlu memperhatikan beberapa
hal sebagai berikut;

1. Harus memuat nama, pekerjaan dan tempat tinggal dua orang saksi yang
membantu pejabat pelaksana eksekusi dalam melaksanakan eksekusi ( Pasal 197
ayat 5 HIR atau Pasal 210 RBg.);

2. Harus merinci secara lengkap jalannya pelaksanaan eksekusi terutama mengenai


identitas barang yang dieksekusi seperti jumlahnya, jenisnya, batas-batasnya,
luasnya dsb;

3. Keterangan tentang hadir/tidaknya termohon eksekusi;

4. Keterangan tentang pengawasan barang/objek yang dieksekusi;

5. Penjelasan tentang non bevending (objek yang tidak ditemukan/tidak sesuai


dengan amar putusan);

6. Keterangan tentang dapat/tidaknya eksekusi dilaksanakan;

7. Keterangan tentang penyerahan barang yang dieksekusi kepada pemohon


eksekusi;

8. Berita acara harus ditandatangani oleh pejabat pelaksana eksekusi dan dua
orang saksi ; Penandatanganan berita acara merupakan syarat sahnya suatu
eksekusi ( Pasal 197 ayat 6 HIR atau Pasal ayat 1 RBg.). Keikutsertaan Kepala Desa
dan pihak tereksekusi menandatangani berita acara eksekusi bukan merupakan

12
syarat formil keabsahan eksekusi, akan tetapi ikut sertanya kepala Desa dan
tereksekusi menandatangani berita acara menjadikan pelaksanaan eksekusi lebih
sempurna lagi.

13
Contoh Berita Acara Eksekusi :

BERITA ACARA EKSEKUSI

Nomor ………/Pdt.G/2015/PA. Ab.

Pada hari ini………………………… tanggal………………saya………………………

Panitera/Jurusita Pengadilan agama…………………..atas perintah Ketua Pengadilan Agama


tersebut dengan penetapan tanggal…………………Nomor………/Pdt.G/2015/PA. Ab. Dengan
dibantu oleh dua orang saksi yang saya kenal dan dapat dipercaya masing-masing:

1……………………………….umur ………… pekerjaan Pegawai Pegawai Pengadilan


agama………………….. bertempat tinggal di…………………..

2. …………………………….. umur…………… pekerjaan Pegawai Pengadilan


Agama………………… bertempat tinggal di……………………..

Telah datang di tempat objek yang menjadi sengketa dalam perkara ini yaitu
diDesa/Kelurahan…………………..Kecamatan………………….Kabupaten/ Kota…….…….untuk
melaksanakan putusan Pengadilan Agama………………..
tanggal……………nomor……../Pdt.G/2015/PA. Ab. Yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam
perkara :
…………………………..Umur…………..pendidikan………….pekerjaan………………..ber
tempat tinggal di…………………Desa/Kelurahan……………….Kecamatan…………. Kabupaten/
Kota…………………sebagai Penggugat/Pemohon

melawan

…………………………..Umur……………….pendidikan………………..pekerjaan……………
bertempat tinggal di………………..Desa/Kelurahan…………………..Kecamatan……
…………….Kabupaten/Kota……………… di sana kami bertemu dan berbicara dengan :

1. Pemohon eksekusi…………………………………..

2. Termohon eksekusi…………………………………….

Dan kami beritahukan maksud kedatangan kami yaitu untuk melaksanakan putusan
Pengadilan Agama………………..tanggal…………………
Nomor………/Pdt.G/2015/PA.Ab. yang telah berkekuatan hukum tetap, sambil
menunjukkan dan membacakan surat penetapan Ketua Pengadilan Agama tersebut;

14
Selanjutnya saya menjelaskan isi dan maksud surat penetapan tersebut dan menyampaikan
kepada pihak-pihak yang hadir dan kepada saksisaksi bahwa pelaksanaan putusan ini segera
akan dilaksanakan;

Selanjutnya kami datang ketempat objek yang menjadi sengketa dalam perkara ini yaitu
berupa yaitu sebidang tanah yang terletak di
Desa/Kelurahan………………………………,Kecamatan…………………………..,
Kabupaten/Kota Persil No………. kelas…………..luas………… beserta bangunannya
dengan batas-batas sebagai berikut:

Utara………………………………

Selatan…………………………..

Barat………………………………..

Timur…………………………………

Setelah objek sengketa tersebut dibenarkan oleh kedua belah pihak, maka tanah beserta
bangunan tersebut kami cabut dari tangan/penguasaan Tergugat…………………………,dan
seketika itupula kami bagikan kepada pihak-pihak berperkara sebagaimana bunyi amar
putusan Pengadilan agama……………..;

Demikian berita acara ini dibuat dan ditandatangani oleh saya dan saksi-saksi dan
selanjutnya selembar dari berita acara ini diberikan kepada masing-masing pihak pemohon
eksekusi dan termohon eksekusi;

Yang melakukan eksekusi

Saksi-saksi Panitera/jurusita

1……………………………..

2…………………………………

……………………………

15
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang
diberi wewenang untuk itu diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri dan
menyelesaikan suatu perkara sengketa antar pihak. Putusan yang dibuat oleh hakim
haruslah mengikuti tata cara yang disyahkan oleh perundang - undangan yang ada, melalui
yurisprudensi, kebiasaan –kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat baik tertulis maupun
tidak tertulis. Sistematika atau susunan putusan harus mengacu pada ketentuan yang ada,
untuk itu dalam edaran S.E.M.A telah diberikan semacam guidance atau petunjuk agar
sebelum hakim membacakan putusan agar terlebih dahulu membuat konsep putusan
tersebut, hal ini dimaksuudkan agar pada saat pembacaan putusan tidak terjadi kesalahan
yang fatal yang dapat berakibat cacat sebuah putusan.

Eksekusi adalah merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai


kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa oleh karena
pihak yang kalah dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan acara Putusan
Pengadilan. 2 bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan
hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu melakukan suatu tindakan nyata
atau tindakan riil, sehingga eksekusi semacam ini disebut eksekusi riil, dan melakukan
pembayaran sejumlah uang.

3.2. Saran

Mudah – mudahan makalah ini dapat membawa manfaat bagi penulis khususnya dan para
pembaca umumnya, guna menambah pengetahuan yang telah ada. Mengingat
keterbatasan pengetahuan penulis, kiranya kritik dan saran amat penulis perlukan untuk
perbaikan pada masa – masa yang akan datang.

16
DAFTAR PUSTAKA

- http://pn-karanganyar.go.id/main/index.php/berita/artikel/993-eksekusi
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan
kedua kali oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
- www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt58cf4edd97f3a/akibat-hukum-
putusan-yang-dinyatakan-inon-executable-i/
- Buku Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik tulisan Sarwono S.H M.Hum

17

Anda mungkin juga menyukai