PENDAHULUAN
Dalam system hukum dan peradilan di Indonesia, ada sebutan yang sering kita
dengar yaitu, Uitvoerbarr bij voorrad atau dalam bahasa indonesianya sering
diterjemahkan dengan putusan serta merta, adalah merupakan suatu putusan
pengadilan yang bisa dijalankan terlebih dahulu, walaupun terhadap putusan tersebut
dilakukan upaya hukum Banding, yang boleh menjatuhkan peraturan ini ataupun yang
boleh memberlakukannya adalah hakim pengadilan negeri, sedangkan pengadilan
yang tingkatan nya dibawah itu masih dipertimbangkan, karena putusan ini lebih
banyak hal yang merugikan dari pada yang menguntungkan.
Menjadi sangat penting bagi kita, apakah itu masyarakat umum, atau perangkat
hukum yang kesehariannya bertugas menjalankan hukum di negeri ini, memahami
dengan seksama batasan-batasan serta syarat pemberlakukan putusan Serta Merta ini,
agar nanti tidak menjadi hal yang kontroversi dalam penyelesaian sebuah kasus.
Sehingga ketika nanti ada kasus yang boleh diselesaikan dengan kasus ini,
memang benar-benar terselesaikan, dengan pendekatan win-win solution, tanpa harus
membuat yang lain menjadi tidak senang apalagi kecewa, karena hukum memang
dibuat dan dijalankan untuk mengatur manusia untuk bisa baik satu dengan yang
lainnya.
1.2 Tujuan
Mampu menjelaskan fungsi dan dan peran Putusan Serta Merta dalam
menyelesaikan kasus-kasus hukum di indonesia. Serta mampu menjalankan Putusan
itu dengan baik tanpa menimbulkan Kontroversi.
1
Putusan Serta Merta ini hanya dibatasi pada Ruang Lingkup Pengadilan
Negeri yang memang memiliki wewenang untuk menjalankan Putusan ini.
BAB II
LANDASAN TEORI
Diatur dalam Pasal 180 (I) HIR, Pasal 191 (I) RBg.
2
Syarat-syarat untuk dapat dijatuhkan putusan serta-merta adalah:
a. Surat bukti yang diajukan sebagai bukti untuk membuktikan dalil gugatan (yang
disangkal oleh pihak lawan) adalah sebuah akta otentik atau akta dibawah tangan
yang diakui isi dan tanda tangannya oleh tergugat.
b. Putusan didasarkan atas suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum yang
tetap (in kracht van gewisjde).
Hakim wajib menghindari putusan serta merta yang gugatannya tidak memenuhi
syarat formil yang dapat berakibat dibatalkannya putusan oleh Pengadilan Tinggi atau
Mahkamah Agung.
Putusan serta merta hanya dapat dilaksanakan atas perintah dan dibawah pimpinan
Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri yang bersangkutan (Pasal 195 HIR,
Pasal 206 RBg),
Putusan serta merta hanya dapat dilaksanakan setelah Ketua Pengadilan Negeri
memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Tinggi atau Ketua Mahkamah Agung (lihat
SEMA No.3 Tahun 2000 dan SEMA No.4 Tahun 2001).*
Untuk pelaksanaan eksekusi putusan serta merta, Ketua Pengadilan Negeri wajib
memperhatikan SEMA No.3 Tahun 2000 dan SEMA No.4 Tahun 2001. yang
mengatur bahwa dalam pelaksanaan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad)
harus disertai penetapan sebagaimana diatur dalam butir 7 SEMA No.3 Tahun 2000
yang menyebutkan:
3
Apabila jaminan tersebut berupa uang harus disimpan di Bank Pemerintah (lihat
Pasal 54 Rv).
Pelaksanaan putusan serta merta suatu gugatan, yang didasarkan adanya putusan
Hakim perdata lain yang telah berkekuatan hukum tetap tidak memerlukan uang
jaminan.2
1-- http://hukumonline.com/detail.asp?id=20590&cl=Fokus
BAB III
PEMBAHASAN
Pengertian
Uitvoerbarr bij voorrad atau dalam bahasa indonesianya sering diterjemahkan
dengan putusan serta merta, adalah merupakan suatu putusan pengadilan yang bisa
dijalankan terlebih dahulu, walaupun terhadap putusan tersebut dilakukan upaya
hukum Banding, Kasasi dan Perlawanan oleh pihak yang kalah atau pihak ketiga yang
merasa berhak.
Peradilan di negeri ini dibagi menjadi dua tingkat peradilan yaitu Pengadilan
Negeri ( pengadilan tingkat Pertama) dan Pengadilan Tinggi ( pengadilan tingkat
Kedua ) kedua tingkat peradilan itu disebut dengan Judex Factie, atau peradilan yang
memeriksa pokok perkara.
4
Adapun Mahkamah Agung tidak disebut Pengadilan Tingkat Ketiga, karena
Mahkamah Agung pada prinsipnya tidak memeriksa pokok perkara, melainkan
sebagai pemeriksa dalam penerapan hukumnya saja. Putusan uitvoerbaar bij voorrrad
tersebut dapat dijatuhkan dalam putusan pengadilan tingkat pertama dan/atau
pengadilan tingkat kedua. Dari segi hukum acara perdata putusan tersebut memang
dibolehkan walaupun menurut pengamatan dan penelitian Mahkamah Agung RI
pelaksanaan dari adanya penjatuhan putusan serta merta tersebut sering menimbulkan
berbagai masalah.
Dari sini jelas sekali bahwa Mahkamah Agung sebenarnya “tidak menyetujui”
adanya putusan serta merta di dalam setiap putusan pengadilan walaupun perkara
tersebut memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1) HIR dan pasal 191 ayat (1) Rbg serta
pasal 332 Rv sebagai syarat wajib penjatuhan putusan serta merta. Bahwa selain
pelaksaan putusan serta merta tersebut ternyata di lapangan menimbulkan banyak
permasalahan apalagi dikemudian hari dalam upaya hukum berikutnya, pihak yang
Tereksekusi ternyata diputus menang oleh Hakim. oleh karenanya Hakim/Ketua
Pengadilan bersangkutan harus super hati-hati dalam mengabulkan gugatan
provisionil dan permintaan putusan serta-merta.
Memang dari segi hukum belum ada yang melarang dijatuhkannya putusan
uitvoerbaar bij voorraad dalam perkara yang memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1)
HIR dan pasal 191 ayat (1) Rbg serta pasal 332 Rv, sehingga sampai saat ini hakim
masih sah-sah saja menjatuhkan putusan serta merta tersebut. Guna memproteksi hal-
hal yang tidak diinginkan dimana pihak yang Tereksekusi ternyata dikemudian hari
5
menjadi pihak yang memenangkan perkara tersebut, maka Ketua Mahkamah Agung
telah pula mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No.4 tahun 2001 tentang Putusan
Serta-Merta yang isinya menekankan bahwa sebelum putusan serta-merta dapat
dijalankan pihak Pemohon Eksekusi diwajibkan membayar uang jaminan yang
nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi agar tidak menimbulkan kerugian
pada pihak lain.
Namun kalau yang akan dieksekusi itu sebuah bangunan yang mempunyai nilai
sejarah yang mana bangunan tersebut harus dilestarikan keberadaannya dan pihak
Pemohon Eksekusi bermaksud akan membongkar bangunan bersejarah tersebut yang
akan digantikan dengan bangunan baru sesuai dengan rencananya tentu masalahnya
menjadi lain jika di kemudian hari pihak Tereksekusi ternyata diputus menang dalam
perkara tersebut.
Ketua Pengadilan Negeri dan/atau Ketua Pengadilan Tinggi harus dapat menjamin
bahwa bangunan bersejarah yang telah dieksekusi tersebut harus tetap utuh seperti
semula tanpa mengalami perubahan apapun hingga upaya hukum terakhir bagi
tereksekusi tidak ada lagi ( Inkracht Van Gewijsde ).
Dan tentu tidak berlebihan dalam hal ini Ketua Mahkamah Agung telah
mengeluarkan ancaman yang keras kepada Pejabat yang bersangkutan yang
ditemukan menyimpang dalam melaksanakan putusan serta-merta sebagaimana
ditegaskannya dalam butir ke-9 SEMA No.3 tahun 2000 tentang Putusan Serta-Merta
dan Provionil.3
Pasal 18 ayat (1) HIR dan 191 ayat (1) RBG menjelaskan syarat-syarat yang harus
dipenuhi hakim dapat menjatuhkan putusan serta merta, adalah gugatan didasarkan
atas suatu alas hak yang berbentuk akta otentik, gugatan didasarkan atas akta di
bawah tangan yang diakui, dan putusan serta merta yang didasarkan pada putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sementara itu, dalam SEMA No. 3 Tahun 2000 ada tiga poin penting yang diatur.
Pertama, para hakim harus betul-betul dan sungguh-sungguh dalam
6
mempertimbangkan dan memperhatikan serta mentaati syarat-syarat yang harus
dipenuhi sebelum mengabulkan putusan serta merta. Kedua, tentang keadaan-keadaan
tertentu dapat dijatuhkannya putusan serta merta. Selain keadaan yang sudah diatur
Pasal 18 ayat (1) dan 191 ayat (1) RBG, keadaan tertentu yang dimaksud adalah
gugatan tentang hutang-piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah. Juga
gugatan tentang sewa-menyewa tanah, rumah, gedung dan lain-lain, dimana hubungan
sewa-menyewa sudah habis, atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai
Penyewa yang beritikad baik. Demikian pula dikabulkannya gugatan provisi serta
pokok sengketa mengenai bezitsrecht.
Ketiga, tentang adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai
barang/obyek eksekusi, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain,
apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan
Pengadilan Tingkat Pertama.
Adapun poin penting SEMA No. 4 Tahun 2001, selain penegasan kembali mengenai
jaminan dalam SEMA terdahulu. SEMA ini menyatakan bahwa tidak boleh ada
putusan serta merta tanpa adanya jaminan yang sama nilainya dengan nilai barang.4
3--(http://sofyanlubis.blogspot.com/2008/07/putusan-serta-merta-dari-segi-hukum-dan.html)
4--http://hukumonline.com/detail.asp?id=16473&cl=Fokus
7
1. Para hakim diimbau untuk tidak menerapkan putusan serta-merta (putusan
provisi) dalam kasus-kasus perdata. Putusan jenis ini mengandung banyak
persoalan baik bagi pemohon perkara, maupun bagi pengadilannya.
Imbauan ini diungkapkan Ketua Mahkamah Agung kepada semua ketua pengadilan
negeri dan tinggi di seluruh Indonesia. ''Putusan ini justru lebih banyak masalahnya
bagi peradilan dan banyak pihak, daripada mendatangkan manfaatnya. Karena, semua
putusan serta-merta itu hanya namanya saja, tapi tak dapat dieksekusi,'' kata Ketua
MA, Bagir Manan, dalam pidato pelantikan lima ketua pengadilan tinggi (KPT) di
Gedung MA, Selasa (27/3).
Imbauan untuk menghentikan sementara putusan serta-merta itu lebih dipertegas kali
ini oleh MA. Sebelumnya, MA berkali-kali mengimbau kepada seluruh pengadilan di
Indonesia melalui Surat Edaran MA (SEMA). Putusan provisi dimintakan oleh pihak
yang beperkara dalam gugatan perdata, biasanya dalam bentuk permintaan sita
jaminan, yang bisa dikabulkan atau ditolak sebelum persidangan memasuki
pemeriksaan pokok perkara. Bagir mengatakan, putusan serta-merta itu hanya dapat
dikeluarkan oleh hakim apabila telah terdapat bukti-bukti kuat seperti yang diatur
dalam hukum acara perdata.
Sekarang ini, katanya, gugatan itu disertai untuk meminta diputus serta-merta.
Dengan begitu, pokok perkaranya nanti dilakukan, tapi putusannya dilakukan lebih
dulu. Untuk putusan serta-merta itu, pelaksananya adalah di pengadilan tingkat
pertama. Untuk pengadilan tingkat banding, putusan ini tak diperbolehkan. Makanya,
Pengadilan Tinggi tak punya wewenang untuk membentuk putusan serta-merta.
Hanya, menurut Bagir, akhir-akhir ini ada beberapa kesulitan dalam menerapkannya,
terutama dari sudut prosedur. Kesulitan pertama adalah pada umumnya yang kalah
langsung banding atau kasasi. Kalau sudah begitu, penanganan perkara tak dapat
langsung dilaksanakan, karena putusannya jadi terbalik, dari yang menang menjadi
kalah.
8
MA juga meminta agar para hakim dan pengadilan untuk memperhatikan soal
simpang siurnya permohonan perkara. Hakim perlu memperhatikan lebih rinci lagi
soal perkara yang ternyata di dalamnya justru dapat menimbulkan sengketa. Jadi, bila
ada permohonan dikabulkan, maka menimbulkan masalah di pihak yang dirugikan.
Ini lebih banyak terjadi dalam perkara-perkara perdata.
Soal hak cipta juga menjadi sorotan MA kali ini. Menurut Bagir, banyak pencipta
lagu yang justru tidak kaya akibat tidak adanya penghargaan yang semestinya bagi
mereka.
Padahal, katanya, hak cipta itu dijamin dalam UU dan ada royaltinya. Pihaknya
berharap, para pencipta karya seni itu yang menuntut haknya atas royaltinya, justru
menjadi terpidana karena dituntut balik oleh tergugatnya.4
4. http://komisiyudisial.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=494%3AHakim+tak+Boleh+lagi+Keluarkan+Putusan+Provisi&catid=1%3ABerita+Te
rakhir&Itemid=295&lang=en4—
Pada tanggal 21 Juni 2009 Ketua PN Kelas 1A Tanjung Karang yang statusnya
akan dipindahkan menjadi Ketua PN Kelas 1A Tanggerang mengeluarkan
Penetapan Eksekusi Pengosongan tertanggal 23 juni 2009, atas putusan Serta
Merta (Uit Voerbaar Bij Voorraad), dengan menimbang oleh karena tenggat
waktu pemberitahuan pengosongan kepada pihak termohon eksekusi tidak
tercukupi. Yang akhirnya dikeluarkan surat Penundaan Eksekusi Pengosongan
yang ditanda tanggani oleh Sekretaris Panitera dalam tanggal 23 Juni 2009.
Hal ini cukup membuat pihak pemohon yaitu PT.Pelindo II Cab Panjang geram,
dengan mengumpulkan 70 orang lebih yang diberi seragam PT.Pelindo II Cab
panjang untuk melaksankan demo yang direncanakan merubah penetapan
pembatalan eksekusi tersebut. Dan akhirnya dengan keluarnya penetapan yang
sama diberitahukan penundaan.
Selain itu juga termohon sedang mengajukan banding pada tinggkat Pengadilan
Tinggi. Sudah memiliki surat tembusan dari Mahkamah Agung yang ditanda
tangani oleh Ketua Muda Bidang Perdata tanggal 12 Juni 2009 bahwa mohon
9
penundaan eksekusi terhadap putusan tersebut, karena terkait SEMA No.3 tahun
2003 dan SEMA No.4 tahun 2004 akan dapat menimbulkan masalah dan kesulitan
dikemudian hari, pihak Mahkamah Agung pun setelah meneliti serta mempelari
dengan seksama permasalahannya, berkaitan dengan pelaksaan eksekusi tersebut
yang bersifat serta merta, hendaknya mencermati dengan seksama ketentuan-
ketentuan yang mengaturnya.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
setelah melihat serta membaca berbagai data yang ada, baik itu fakta maupun
beberapa peraturan yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung, sampailah saya pada
kesimpulan, bahwa Putusan Serta Merta yang memang selam ini sudah menjadi
bagian dari penetapan putusan-putusan yang berkenaan untuk menyelesaikan
persoalan dengan cepat tidak lah harus menjadi sebuah kewajiban, hal ini dikarenakan
sangat sedikit Hakim yang mampu menjunjung tinggi nilai-nilai amanah serta
keadilan, dan hal ini pula yang menyebabkan Putusan Serta Merta ini akan menjadi
kontroversi di berbagai Pengadilan Negeri.
Dan hal lain yang tidak kalah penting adalah penerapan Putusan Serta Merta
memang sulit, yang pertama adalah mereka yang kalah langsung banding atau kasasi
dan akhirnya putusanya menjadi terbalik dari yang menang menjadi kalah, serta
banyak kekurangan-kekurangan lainnya yang membuat Putusan Serta Merta ini
diharapkan tidak diterapkan.
10
DAFTAR PUSTAKA
http://komisiyudisial.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=494%3AHakim+tak+Boleh+lagi+Keluarkan+Putusan
+Provisi&catid=1%3ABerita+Terakhir&Itemid=295&lang=en4—
(http://sofyanlubis.blogspot.com/2008/07/putusan-serta-merta-dari-segi-hukum-dan.html)
http://hukumonline.com/detail.asp?id=16473&cl=Fokus/PUTUSANsertaMerta
http://hukumonline.com/detail.asp?id=20590&cl=Fokus
11
LAMPIRAN
1. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengkajian secara teliti dan cermat oleh
Mahkamah Agung tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) dan
Putusan Provisionil yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama
berdasarkan Pasal 180 ayat (1) Reglemen Indonesia Yang di Perbaharui (HIR) dan
Pasal 191 ayat (1) Reglemen Hukum Acara Untuk Luar Jawa - Madura (RBg),
Mahkamah Agung memperoleh faktafakta sebagai berikut:
12
b. Hakim tidak cukup mempertimbangkan atau tidak memberikan pertimbangan
hukum yang jelas dalam hal mengabulkan petitum tentang Putusan Yang Dapat
Dilaksanakan Terlebih Dahulu (serta merta) dan tuntutan Provisionil.
c. Hampir terhadap setiap jenis perkara dijatuhkan Putusan Serta Merta oleh Hakim,
sehingga menyimpang dari ketentuan Pasal 180 ayat (1) Reglemen Indonesia Yang di
Perbaharui (HIR) dan Pasal 191 ayat (1) Reglemen Hukum Acara Luar Jawa- Madura
(RBg).
e. Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama tanpa meneliti secara cermat dan
sungguh-sungguh faktor-faktor ethos, pathos, logos serta dampak sosialnya
mengabulkan permohonan Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan
Agama untuk melaksanakan Putusan Serta Merta yang dijatuhkan.
f. Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama serta para Hakim
mengabaikan sikap hati-hati dan tidak mengindahkan SEMA No.16 Tahun 1969,
SEMA No.3 Tahun 1971, SEMA No.3 Tahun 1978 dan Buku II tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan serta Pasal 54 Rv.
Sebelum menjatuhkan Putusan Serta Merta dan mengajukan permohonan izin
untuk melaksanakan Putusan Serta Merta.
13
4. Selanjutnya, Mahkamah Agung memberikan petunjuk, yaitu Ketua Pengadilan
Negeri, Ketua Pengadilan Agama, para Hakim Pengadilan Negeri dan Hakim
Pengadilan Agama tidak menjatuhkan Putusan Serta Merta, kecuali dalam hal-hal
sebagai berikut:
a. Gugatan didasarkan pada bukti surat auntentik atau surat tulisan tangan
(handschrift) yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya, yang
menurut Undang-undang tidak mempunyai kekuatan bukti.
b. Gugatan tentang Hutang - Piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah.
5. Setelah Putusan Serta Merta dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri atau Hakim
Pengadilan Agama, maka selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diucapkan,
turunan putusan yang sah dikirimkan ke Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi
Agama.
7. Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi,
sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila ternyata di kemudian
hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama.
14
8. Terhitung sejak diterbitkannya Surat Edaran ini, maka SEMA No.16 Tahun 1969,
SEMA No.3 Tahun 1971, SEMA No.3 tahun 1978 serta SEMA yang terkait
dinyatakan tidak berlaku lagi.
15