Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam system hukum dan peradilan di Indonesia, ada sebutan yang sering kita
dengar yaitu, Uitvoerbarr bij voorrad atau dalam bahasa indonesianya sering
diterjemahkan dengan putusan serta merta, adalah merupakan suatu putusan
pengadilan yang bisa dijalankan terlebih dahulu, walaupun terhadap putusan tersebut
dilakukan upaya hukum Banding, yang boleh menjatuhkan peraturan ini ataupun yang
boleh memberlakukannya adalah hakim pengadilan negeri, sedangkan pengadilan
yang tingkatan nya dibawah itu masih dipertimbangkan, karena putusan ini lebih
banyak hal yang merugikan dari pada yang menguntungkan.

Di Indonesia sendiri sebenarnya banyak peristiwa-peristiwa hukum yang kemudia


di eksekusi dengan putusan ini, seperti contoh kasus Putusan Serta Merta di
Pengadilan Hubungan Industrial, Putusan serta merta yang diberikan kepada
karyawan PT.Pelindo II Cab Panjang geram, dan kasus-kasus lainnya, dan hampir
semua penyelesaian kasus itu menjadi sebuah kontroversi, dan akhirnya diperlukan
turun tangan Mahkamah Agung untuk ikut dalam proses tersebut.

Menjadi sangat penting bagi kita, apakah itu masyarakat umum, atau perangkat
hukum yang kesehariannya bertugas menjalankan hukum di negeri ini, memahami
dengan seksama batasan-batasan serta syarat pemberlakukan putusan Serta Merta ini,
agar nanti tidak menjadi hal yang kontroversi dalam penyelesaian sebuah kasus.

Sehingga ketika nanti ada kasus yang boleh diselesaikan dengan kasus ini,
memang benar-benar terselesaikan, dengan pendekatan win-win solution, tanpa harus
membuat yang lain menjadi tidak senang apalagi kecewa, karena hukum memang
dibuat dan dijalankan untuk mengatur manusia untuk bisa baik satu dengan yang
lainnya.

1.2 Tujuan

Mampu menjelaskan fungsi dan dan peran Putusan Serta Merta dalam
menyelesaikan kasus-kasus hukum di indonesia. Serta mampu menjalankan Putusan
itu dengan baik tanpa menimbulkan Kontroversi.

1.3 Ruang Lingkup

1
Putusan Serta Merta ini hanya dibatasi pada Ruang Lingkup Pengadilan
Negeri yang memang memiliki wewenang untuk menjalankan Putusan ini.

BAB II
LANDASAN TEORI

Landasan Hukum Putusan Serta Merta

Diatur dalam Pasal 180 (I) HIR, Pasal 191 (I) RBg.

Wewenang menjatuhkan putusan serta merta hanya pada Pengadilan Negeri.


Pengadilan Tinggi dilarang menjatuhkan putusan serta merta. Putusan serta-merta
dapat dijatuhkan, apabila telah dipertimbangkan alasan-alasannya secara seksama
sesuai ketentuan, yurisprudensi tetap dan doktrin yang berlaku.

2
Syarat-syarat untuk dapat dijatuhkan putusan serta-merta adalah:

a. Surat bukti yang diajukan sebagai bukti untuk membuktikan dalil gugatan (yang
disangkal oleh pihak lawan) adalah sebuah akta otentik atau akta dibawah tangan
yang diakui isi dan tanda tangannya oleh tergugat.

b. Putusan didasarkan atas suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum yang
tetap (in kracht van gewisjde).

c. Apabila dikabulkan suatu gugatan provisional.

d. Dalam hal sengketa bezit bukan sengketa hak milik.

Sebelum menjatuhkan putusan serta merta Hakim wajib mempertimbangkan


terlebih dahulu apakah gugatan tersebut telah memenuhi syarat secara formil, syarat
mengenai surat kuasa dan syarat-syarat formil lainnya.

Hakim wajib menghindari putusan serta merta yang gugatannya tidak memenuhi
syarat formil yang dapat berakibat dibatalkannya putusan oleh Pengadilan Tinggi atau
Mahkamah Agung.

Dilakukannya sita jaminan terhadap barang-barang milik tergugat atau terhadap


barang-barang tertentu milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat, tidak menjadi
penghalang untuk menjatuhkan putusan serta merta apabila syarat menjatuhkan
putusan serta merta terpenuhi.

Putusan serta merta hanya dapat dilaksanakan atas perintah dan dibawah pimpinan
Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri yang bersangkutan (Pasal 195 HIR,
Pasal 206 RBg),

Putusan serta merta hanya dapat dilaksanakan setelah Ketua Pengadilan Negeri
memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Tinggi atau Ketua Mahkamah Agung (lihat
SEMA No.3 Tahun 2000 dan SEMA No.4 Tahun 2001).*

Untuk pelaksanaan eksekusi putusan serta merta, Ketua Pengadilan Negeri wajib
memperhatikan SEMA No.3 Tahun 2000 dan SEMA No.4 Tahun 2001. yang
mengatur bahwa dalam pelaksanaan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad)
harus disertai penetapan sebagaimana diatur dalam butir 7 SEMA No.3 Tahun 2000
yang menyebutkan:

"Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek


eksekusi sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain apabila ternyata
dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat
Pertama."

3
Apabila jaminan tersebut berupa uang harus disimpan di Bank Pemerintah (lihat
Pasal 54 Rv).

Pelaksanaan putusan serta merta suatu gugatan, yang didasarkan adanya putusan
Hakim perdata lain yang telah berkekuatan hukum tetap tidak memerlukan uang
jaminan.2

1-- http://hukumonline.com/detail.asp?id=20590&cl=Fokus

2-- Tentang Hukum/putusan serta merta/PUTUSAN-SERTA-MERTA-.htm

BAB III
PEMBAHASAN

Pengertian
Uitvoerbarr bij voorrad atau dalam bahasa indonesianya sering diterjemahkan
dengan putusan serta merta, adalah merupakan suatu putusan pengadilan yang bisa
dijalankan terlebih dahulu, walaupun terhadap putusan tersebut dilakukan upaya
hukum Banding, Kasasi dan Perlawanan oleh pihak yang kalah atau pihak ketiga yang
merasa berhak.

Peradilan di negeri ini dibagi menjadi dua tingkat peradilan yaitu Pengadilan
Negeri ( pengadilan tingkat Pertama) dan Pengadilan Tinggi ( pengadilan tingkat
Kedua ) kedua tingkat peradilan itu disebut dengan Judex Factie, atau peradilan yang
memeriksa pokok perkara.

4
Adapun Mahkamah Agung tidak disebut Pengadilan Tingkat Ketiga, karena
Mahkamah Agung pada prinsipnya tidak memeriksa pokok perkara, melainkan
sebagai pemeriksa dalam penerapan hukumnya saja. Putusan uitvoerbaar bij voorrrad
tersebut dapat dijatuhkan dalam putusan pengadilan tingkat pertama dan/atau
pengadilan tingkat kedua. Dari segi hukum acara perdata putusan tersebut memang
dibolehkan walaupun menurut pengamatan dan penelitian Mahkamah Agung RI
pelaksanaan dari adanya penjatuhan putusan serta merta tersebut sering menimbulkan
berbagai masalah.

Oleh karenanya Mahkamah Agung RI mengeluarkan berbagai Surat Edaran yang


mengatur tentang tata cara dan prosedur penjatuhan serta pelaksanaan putusan
tersebut. Di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.3 tahun 2000 Mahkamah
Agung telah menetapkan tata cara, prosedur dan gugatan-gugatan yang bisa diputus
dengan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), dan dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung RI Nomor 4 tahun 2001 mahkamah Agung kembali menetapkan
agar dalam setiap pelaksanaan putusan serta merta disyaratkan adanya jaminan yang
nilainya sama dengan barang/benda objek eksekusi.

Dari sini jelas sekali bahwa Mahkamah Agung sebenarnya “tidak menyetujui”
adanya putusan serta merta di dalam setiap putusan pengadilan walaupun perkara
tersebut memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1) HIR dan pasal 191 ayat (1) Rbg serta
pasal 332 Rv sebagai syarat wajib penjatuhan putusan serta merta. Bahwa selain
pelaksaan putusan serta merta tersebut ternyata di lapangan menimbulkan banyak
permasalahan apalagi dikemudian hari dalam upaya hukum berikutnya, pihak yang
Tereksekusi ternyata diputus menang oleh Hakim. oleh karenanya Hakim/Ketua
Pengadilan bersangkutan harus super hati-hati dalam mengabulkan gugatan
provisionil dan permintaan putusan serta-merta.

Adapun dapat dikabulkannya uitvoerbaar bij voorraad dan provisionil menurut


Surat Ederan Ketua Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 200 adalah : 1). Gugatan
didasarkan pada bukti surat autentik/tulis tangan yang tidak dibantah kebenarannya
oleh pihak Lawan ; 2) Gugatan hutang-piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak
dibantah ; 3). Gugatan tentang sewa-menyewa tanah,rumah,gudang dll, dimana
hubungan sewa-menyewa telah habis atau Penyewa melalaikan kewajibannya sebagai
penyewa yang baik ; 4). Pokok gugatan mengenai tuntutan harta gono-gini dan
putusannya telah inkracht ; 5) Dikabulkannya gugatan provisionil dengan
pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi pasal 332 Rv ; dan 6)
Pokok sengketa mengenai bezitsrecht ;

Memang dari segi hukum belum ada yang melarang dijatuhkannya putusan
uitvoerbaar bij voorraad dalam perkara yang memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1)
HIR dan pasal 191 ayat (1) Rbg serta pasal 332 Rv, sehingga sampai saat ini hakim
masih sah-sah saja menjatuhkan putusan serta merta tersebut. Guna memproteksi hal-
hal yang tidak diinginkan dimana pihak yang Tereksekusi ternyata dikemudian hari

5
menjadi pihak yang memenangkan perkara tersebut, maka Ketua Mahkamah Agung
telah pula mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No.4 tahun 2001 tentang Putusan
Serta-Merta yang isinya menekankan bahwa sebelum putusan serta-merta dapat
dijalankan pihak Pemohon Eksekusi diwajibkan membayar uang jaminan yang
nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi agar tidak menimbulkan kerugian
pada pihak lain.

Namun kalau yang akan dieksekusi itu sebuah bangunan yang mempunyai nilai
sejarah yang mana bangunan tersebut harus dilestarikan keberadaannya dan pihak
Pemohon Eksekusi bermaksud akan membongkar bangunan bersejarah tersebut yang
akan digantikan dengan bangunan baru sesuai dengan rencananya tentu masalahnya
menjadi lain jika di kemudian hari pihak Tereksekusi ternyata diputus menang dalam
perkara tersebut.

Ketua Pengadilan Negeri dan/atau Ketua Pengadilan Tinggi harus dapat menjamin
bahwa bangunan bersejarah yang telah dieksekusi tersebut harus tetap utuh seperti
semula tanpa mengalami perubahan apapun hingga upaya hukum terakhir bagi
tereksekusi tidak ada lagi ( Inkracht Van Gewijsde ).

Dan tentu tidak berlebihan dalam hal ini Ketua Mahkamah Agung telah
mengeluarkan ancaman yang keras kepada Pejabat yang bersangkutan yang
ditemukan menyimpang dalam melaksanakan putusan serta-merta sebagaimana
ditegaskannya dalam butir ke-9 SEMA No.3 tahun 2000 tentang Putusan Serta-Merta
dan Provionil.3

Larangan Penggunaan Putusan Serta Merta


Pada dasarnya putusan serta merta tidak dapat dilaksanakan kecuali dalam keadaan
exceptional. Dasar hukum atas larangan tersebut adalah Pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal
191 ayat (1) RBG, Rv Pasal 54–57, dan SEMA No. 3 tahun 2000 tentang Putusan
Serta Merta (Uitvoerbaar bij voorraad) dan Provisionil, serta SEMA No. 4 tahun
2001 tentang Permasalahan Putusan Serta Merta dan Provisionil.

Pasal 18 ayat (1) HIR dan 191 ayat (1) RBG menjelaskan syarat-syarat yang harus
dipenuhi hakim dapat menjatuhkan putusan serta merta, adalah gugatan didasarkan
atas suatu alas hak yang berbentuk akta otentik, gugatan didasarkan atas akta di
bawah tangan yang diakui, dan putusan serta merta yang didasarkan pada putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Adapun Pasal 54-57 Rv pengaturannya lebih luas. Pasal 54 mengatur syarat-syarat


pengabulan dan pemberian jaminan atas pelaksanaan putusan tersebut. Pasal 55
mengatur kebolehan pelaksanaan putusan yang dijalankan lebih dahulu tanpa jaminan
tertentu. Sedangkan Pasal 56 Rv memberi hak mengajukan putusan yang dapat
dijalankan lebih dahulu pada tingkat banding.

Sementara itu, dalam SEMA No. 3 Tahun 2000 ada tiga poin penting yang diatur.
Pertama, para hakim harus betul-betul dan sungguh-sungguh dalam

6
mempertimbangkan dan memperhatikan serta mentaati syarat-syarat yang harus
dipenuhi sebelum mengabulkan putusan serta merta. Kedua, tentang keadaan-keadaan
tertentu dapat dijatuhkannya putusan serta merta. Selain keadaan yang sudah diatur
Pasal 18 ayat (1) dan 191 ayat (1) RBG, keadaan tertentu yang dimaksud adalah
gugatan tentang hutang-piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah. Juga
gugatan tentang sewa-menyewa tanah, rumah, gedung dan lain-lain, dimana hubungan
sewa-menyewa sudah habis, atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai
Penyewa yang beritikad baik. Demikian pula dikabulkannya gugatan provisi serta
pokok sengketa mengenai bezitsrecht.

Ketiga, tentang adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai
barang/obyek eksekusi, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain,
apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan
Pengadilan Tingkat Pertama.

Adapun poin penting SEMA No. 4 Tahun 2001, selain penegasan kembali mengenai
jaminan dalam SEMA terdahulu. SEMA ini menyatakan bahwa tidak boleh ada
putusan serta merta tanpa adanya jaminan yang sama nilainya dengan nilai barang.4

3--(http://sofyanlubis.blogspot.com/2008/07/putusan-serta-merta-dari-segi-hukum-dan.html)
4--http://hukumonline.com/detail.asp?id=16473&cl=Fokus

3.1 Fakta (Kontroversi Putusan Serta Merta)

7
1. Para hakim diimbau untuk tidak menerapkan putusan serta-merta (putusan
provisi) dalam kasus-kasus perdata. Putusan jenis ini mengandung banyak
persoalan baik bagi pemohon perkara, maupun bagi pengadilannya.

Imbauan ini diungkapkan Ketua Mahkamah Agung kepada semua ketua pengadilan
negeri dan tinggi di seluruh Indonesia. ''Putusan ini justru lebih banyak masalahnya
bagi peradilan dan banyak pihak, daripada mendatangkan manfaatnya. Karena, semua
putusan serta-merta itu hanya namanya saja, tapi tak dapat dieksekusi,'' kata Ketua
MA, Bagir Manan, dalam pidato pelantikan lima ketua pengadilan tinggi (KPT) di
Gedung MA, Selasa (27/3).

Imbauan untuk menghentikan sementara putusan serta-merta itu lebih dipertegas kali
ini oleh MA. Sebelumnya, MA berkali-kali mengimbau kepada seluruh pengadilan di
Indonesia melalui Surat Edaran MA (SEMA). Putusan provisi dimintakan oleh pihak
yang beperkara dalam gugatan perdata, biasanya dalam bentuk permintaan sita
jaminan, yang bisa dikabulkan atau ditolak sebelum persidangan memasuki
pemeriksaan pokok perkara. Bagir mengatakan, putusan serta-merta itu hanya dapat
dikeluarkan oleh hakim apabila telah terdapat bukti-bukti kuat seperti yang diatur
dalam hukum acara perdata.

Ia menambahkan, putusan serta-merta yang dikeluarkan oleh hakim bahkan seringkali


menjadi bahan fitnah, apabila nantinya tidak dapat dieksekusi. Dikatakannya, putusan
serta-merta memang ada dalam hukum acara perdata. Hanya, untuk putusan itu ada
beberapa persyaratan yang tidak gampang, antara lain, harus ada bukti otentik dan
hak-hak orangnya sudah jelas. ''Jadi, untuk memutus itu, harus sudah kuat sekali
alasannya.''

Sekarang ini, katanya, gugatan itu disertai untuk meminta diputus serta-merta.
Dengan begitu, pokok perkaranya nanti dilakukan, tapi putusannya dilakukan lebih
dulu. Untuk putusan serta-merta itu, pelaksananya adalah di pengadilan tingkat
pertama. Untuk pengadilan tingkat banding, putusan ini tak diperbolehkan. Makanya,
Pengadilan Tinggi tak punya wewenang untuk membentuk putusan serta-merta.
Hanya, menurut Bagir, akhir-akhir ini ada beberapa kesulitan dalam menerapkannya,
terutama dari sudut prosedur. Kesulitan pertama adalah pada umumnya yang kalah
langsung banding atau kasasi. Kalau sudah begitu, penanganan perkara tak dapat
langsung dilaksanakan, karena putusannya jadi terbalik, dari yang menang menjadi
kalah.

Selain itu, para pemohon kadang-kadang memudahkan meminta putusan seperti


provisi itu tanpa memperhatikan persyaratan yang dibutuhkan. Jadi, dengan melihat
saja perkaranya, lalu minta dikabulkan. Cara itu bisa saja terjadi. Justru karena itulah,
timbul masalah karena eksekusi tidak dapat dilaksanakan. ''Itu malah jadi bumerang
bagi pengadilan. Untuk menghindarinya, kita hentikanlah sementara, tapi ada
kompensasinya, yaitu putusan harus cepat.''

Pemberhentian putusan serta-merta secara sementara karena ketentuannya sudah ada


di dalam hukum acara. Namun, bentuk putusan sejenis yang dinilai lebih baik, Bagir
mengaku belum memikirkan seperti apa bentuknya. Dia juga melihat ada peluang
untuk memperbaiki soal putusan serta-merta itu dalam rancangan UU hukum dan
hukum acara pidana-perdata yang masih terus diolah berbagai pihak.

8
MA juga meminta agar para hakim dan pengadilan untuk memperhatikan soal
simpang siurnya permohonan perkara. Hakim perlu memperhatikan lebih rinci lagi
soal perkara yang ternyata di dalamnya justru dapat menimbulkan sengketa. Jadi, bila
ada permohonan dikabulkan, maka menimbulkan masalah di pihak yang dirugikan.
Ini lebih banyak terjadi dalam perkara-perkara perdata.

Soal hak cipta juga menjadi sorotan MA kali ini. Menurut Bagir, banyak pencipta
lagu yang justru tidak kaya akibat tidak adanya penghargaan yang semestinya bagi
mereka.

Padahal, katanya, hak cipta itu dijamin dalam UU dan ada royaltinya. Pihaknya
berharap, para pencipta karya seni itu yang menuntut haknya atas royaltinya, justru
menjadi terpidana karena dituntut balik oleh tergugatnya.4

4. http://komisiyudisial.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=494%3AHakim+tak+Boleh+lagi+Keluarkan+Putusan+Provisi&catid=1%3ABerita+Te
rakhir&Itemid=295&lang=en4—

2. Akhirnya Pengadilan Negeri 1A Tanjung Karang(Bandar Lampung) di demo oleh


lebih dari 70 orang yang mengaku karyawan PT. Pelindo II Cabang Panjang,
karena mereka ingin melaksanakan Penetapan Eksekusi yang dikeluarkan oleh
Ketua Pengadilan Negeri 1A Tanjung Karang H.M Asnun,SH,MH.

Pada tanggal 21 Juni 2009 Ketua PN Kelas 1A Tanjung Karang yang statusnya
akan dipindahkan menjadi Ketua PN Kelas 1A Tanggerang mengeluarkan
Penetapan Eksekusi Pengosongan tertanggal 23 juni 2009, atas putusan Serta
Merta (Uit Voerbaar Bij Voorraad), dengan menimbang oleh karena tenggat
waktu pemberitahuan pengosongan kepada pihak termohon eksekusi tidak
tercukupi. Yang akhirnya dikeluarkan surat Penundaan Eksekusi Pengosongan
yang ditanda tanggani oleh Sekretaris Panitera dalam tanggal 23 Juni 2009.

Hal ini cukup membuat pihak pemohon yaitu PT.Pelindo II Cab Panjang geram,
dengan mengumpulkan 70 orang lebih yang diberi seragam PT.Pelindo II Cab
panjang untuk melaksankan demo yang direncanakan merubah penetapan
pembatalan eksekusi tersebut. Dan akhirnya dengan keluarnya penetapan yang
sama diberitahukan penundaan.

Selain itu juga termohon sedang mengajukan banding pada tinggkat Pengadilan
Tinggi. Sudah memiliki surat tembusan dari Mahkamah Agung yang ditanda
tangani oleh Ketua Muda Bidang Perdata tanggal 12 Juni 2009 bahwa mohon

9
penundaan eksekusi terhadap putusan tersebut, karena terkait SEMA No.3 tahun
2003 dan SEMA No.4 tahun 2004 akan dapat menimbulkan masalah dan kesulitan
dikemudian hari, pihak Mahkamah Agung pun setelah meneliti serta mempelari
dengan seksama permasalahannya, berkaitan dengan pelaksaan eksekusi tersebut
yang bersifat serta merta, hendaknya mencermati dengan seksama ketentuan-
ketentuan yang mengaturnya.

5. www.radarberita.com/Tentang Hukum/putusan serta merta/.htm

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
setelah melihat serta membaca berbagai data yang ada, baik itu fakta maupun
beberapa peraturan yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung, sampailah saya pada
kesimpulan, bahwa Putusan Serta Merta yang memang selam ini sudah menjadi
bagian dari penetapan putusan-putusan yang berkenaan untuk menyelesaikan
persoalan dengan cepat tidak lah harus menjadi sebuah kewajiban, hal ini dikarenakan
sangat sedikit Hakim yang mampu menjunjung tinggi nilai-nilai amanah serta
keadilan, dan hal ini pula yang menyebabkan Putusan Serta Merta ini akan menjadi
kontroversi di berbagai Pengadilan Negeri.

Usul dan Saran


Setiap pengambil kebijakan/Hakim yang berwenang di Pengadilan Negeri
setempat haruslah memahami dengan baik perihal Putusan Serta Merta ini, dan tidak
menjadikannya Objek untuk meraup keuntungan, selain hal itu sangat dilarang dalam
peradilan di Indonesia, dan hal itu juga melanggar hukum dan bisa dikenakan Pidana
Korupsi yang Undang-undangnya sedang disahkan.

Dan hal lain yang tidak kalah penting adalah penerapan Putusan Serta Merta
memang sulit, yang pertama adalah mereka yang kalah langsung banding atau kasasi
dan akhirnya putusanya menjadi terbalik dari yang menang menjadi kalah, serta
banyak kekurangan-kekurangan lainnya yang membuat Putusan Serta Merta ini
diharapkan tidak diterapkan.

10
DAFTAR PUSTAKA

www.radarberita.com/Tentang Hukum/putusan serta merta/.htm

http://komisiyudisial.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=494%3AHakim+tak+Boleh+lagi+Keluarkan+Putusan
+Provisi&catid=1%3ABerita+Terakhir&Itemid=295&lang=en4—

(http://sofyanlubis.blogspot.com/2008/07/putusan-serta-merta-dari-segi-hukum-dan.html)

http://hukumonline.com/detail.asp?id=16473&cl=Fokus/PUTUSANsertaMerta

http://hukumonline.com/detail.asp?id=20590&cl=Fokus

Tentang Hukum/putusan serta merta/PUTUSAN-SERTA-MERTA-.htm

11
LAMPIRAN

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG


NOMOR 3 TAHUN 2000
TENTANG
PUTUSAN SERTA MERTA (UITVOERBAAR BIJ VOORAAD) DAN
PROVISIONIL KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK
INDONESIA
Jakarta, 21 Juli 2000
Nomor : MA.Kumdil/232/VI/K/2000
Kepada Yth:
1. KETUA PENGADILAN NEGERI
2. KETUA PENGADILAN AGAMA
di
SELURUH INDONESIASURAT EDARAN
NOMOR 3 TAHUN 2000

1. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengkajian secara teliti dan cermat oleh
Mahkamah Agung tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) dan
Putusan Provisionil yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama
berdasarkan Pasal 180 ayat (1) Reglemen Indonesia Yang di Perbaharui (HIR) dan
Pasal 191 ayat (1) Reglemen Hukum Acara Untuk Luar Jawa - Madura (RBg),
Mahkamah Agung memperoleh faktafakta sebagai berikut:

a. Putusan Serta Merta dikabulkan berdasarkan bukti-bukti yang keauntentikannya


dibantah oleh Pihak Tergugat dengan bukti yang juga autentik.

12
b. Hakim tidak cukup mempertimbangkan atau tidak memberikan pertimbangan
hukum yang jelas dalam hal mengabulkan petitum tentang Putusan Yang Dapat
Dilaksanakan Terlebih Dahulu (serta merta) dan tuntutan Provisionil.

c. Hampir terhadap setiap jenis perkara dijatuhkan Putusan Serta Merta oleh Hakim,
sehingga menyimpang dari ketentuan Pasal 180 ayat (1) Reglemen Indonesia Yang di
Perbaharui (HIR) dan Pasal 191 ayat (1) Reglemen Hukum Acara Luar Jawa- Madura
(RBg).

d. Untuk melaksanakan Putusan Serta Merta dan Putusan Provisionil, Ketua


Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama meminta persetujuan ke
Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama tanpa disertai dokumen suratsurat
pendukung.

e. Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama tanpa meneliti secara cermat dan
sungguh-sungguh faktor-faktor ethos, pathos, logos serta dampak sosialnya
mengabulkan permohonan Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan
Agama untuk melaksanakan Putusan Serta Merta yang dijatuhkan.

f. Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama serta para Hakim
mengabaikan sikap hati-hati dan tidak mengindahkan SEMA No.16 Tahun 1969,
SEMA No.3 Tahun 1971, SEMA No.3 Tahun 1978 dan Buku II tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan serta Pasal 54 Rv.
Sebelum menjatuhkan Putusan Serta Merta dan mengajukan permohonan izin
untuk melaksanakan Putusan Serta Merta.

2. Berdasarkan hal-hal tersebut, Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya


berdasarkan Pasal 32 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
memandang perlu untuk mengatur kembali tentang penggunaan lembaga Putusan
Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) berdasarkan Pasal 180 ayat (1) Reglemen
Indonesia Yang di Perbaharui (HIR) dan Pasal 191 ayat (1) Reglemen Hukum Acara
Untuk Luar Jawa - Madura (RBg).

3. Sehubungan dengan itu, Mahkamah Agung memerintahkan kepada Para Ketua


Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama serta Para Hakim Pengadilan Negeri
dan Hakim Pengadilan Agama untuk mempertimbangkan, memperhatikan dan
mentaati dengan sungguh-sungguh syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum
mengabulkan tuntutan Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) dan Putusan
Provisionil sebagaimana diuraikan dalam Pasal 180 ayat (1) Reglemen Indonesia
Yang di Perbaharui (HIR) dan Pasal 191 ayat (1) Reglemen Hukum Acara Untuk
Luar Jawa - Madura (RBg) serta Pasal 332 Rv.

13
4. Selanjutnya, Mahkamah Agung memberikan petunjuk, yaitu Ketua Pengadilan
Negeri, Ketua Pengadilan Agama, para Hakim Pengadilan Negeri dan Hakim
Pengadilan Agama tidak menjatuhkan Putusan Serta Merta, kecuali dalam hal-hal
sebagai berikut:

a. Gugatan didasarkan pada bukti surat auntentik atau surat tulisan tangan
(handschrift) yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya, yang
menurut Undang-undang tidak mempunyai kekuatan bukti.

b. Gugatan tentang Hutang - Piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah.

c. Gugatan tentang sewa-menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain, di mana


hubungan sewa menyewa sudah habis/lampau, atau Penyewa terbukti melalaikan
kewajibannya sebagai Penyewa yang beritikad baik.

d. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono-gini) setelah


putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap.

e. Dikabulkannya gugatan Provisionil, dengan pertimbangan agar hukum yang tegas


dan jelas serta memenuhi Pasal 332 Rv.

f. Gugatan berdasarkan Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap


(inkracht van gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang
diajukan.

g. pokok sengketa mengenai bezitsrecht.

5. Setelah Putusan Serta Merta dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri atau Hakim
Pengadilan Agama, maka selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diucapkan,
turunan putusan yang sah dikirimkan ke Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi
Agama.

6. Apabila Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan


Ketua Pengadilan Agama agar Putusan Serta Merta dan Putusan Provisionil
dilaksanakan, maka permohonan tersebut beserta berkas perkara selengkapnya
dikirim ke Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama disertai pendapat dari
Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan.

7. Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi,
sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila ternyata di kemudian
hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama.

14
8. Terhitung sejak diterbitkannya Surat Edaran ini, maka SEMA No.16 Tahun 1969,
SEMA No.3 Tahun 1971, SEMA No.3 tahun 1978 serta SEMA yang terkait
dinyatakan tidak berlaku lagi.

9. Diperintahkan kepada Saudara agar petunjuk ini dilaksanakan secara sungguh-


sungguh dan penuh tanggung jawab, dan apabila ternyata ditemukan penyimpangan
dalam pelaksanaannya, maka Mahkamah Agung akan mengambil langkah tindakan
terhadap Pejabat yang bersangkutan.

KETUA MAHKAMAH AGUNG RI


Ttd.
SARWATA, SH.

15

Anda mungkin juga menyukai