NIM : 2004551085
1. Logika Hukum
1. 1 Konsep dan Terminologi dalam Logika Hukum
Secara etimologis, logika berasal dari kata Yunani logike (kata sifat) dan kata
bendanya adalah logos yang berarti perkataan atau sabda. Logika diartikan sebagai
hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam
bahasa.1 Secara sederhana merupakan perkataan sebagai manifestasi pikiran manusia.
Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu
logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus,
tepat dan teratur. Ilmu yang dimaksud mengacu pada kemampuan rasional untuk
mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan
pengetahuan ke dalam tindakan. Logika juga diartikan oleh beberapa ahli hukum
sebagai berikut.2
a. Prof. Thaib Thair A.Mu’in membatasi logika sebagai Ilmu untuk menggerakkan
pikiran kepada jalan yang lurus dalam memperoleh suatu kebenaran.
b. George F. Kneller mendefinisikan logika sebagai penyelidikan tentang dasar-
dasar dan metode-metode berpikir benar.
1
Muhamad Rakhmat, Logika Hukum: Dialog Antara Analitik Sintetik Hingga Pembacaan Terhadap Dekontruksi
atas makna Teks & Realitas Hukum, (Majalengka: Unit Penerbitan Universitas Majalengka 2015) 14.
2
I Dewa Gede Atmadja, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis dan Penerapannya, (Denpasar:
Fakultas Hukum Universitas Udayana 2006) 13.
Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya logika menyelidiki, menyaring dan
menilai pemikiran dengan cara serius dan terpelajar dan bertujuan mendapatkan
kebenaran, terlepas dari segala kepentingan dan keinginan perorangan.3
Munir Fuady berpendapat bahwa logika hukum (legal reasoning) dapat dilihat
dalam arti luas dan dalam arti sempit. 4 Logika hukum dalam arti luas berpautan
dengan aspek psikologis yang dialami oleh hakim dalam membuat suatu penalaran
dan keputusan hukum. Dalam arti sempit, logika hukum dihubungkan dengan kajian
logika terhadap suatu putusan hukum, dengan cara melakukan telaah terhadap model
argumentasi, ketepatan dan kesahihan alasan pendukung putusan, serta hubungan
logic antara pertimbangan hukum dengan putusan yang dijatuhkannya. Selain
daripada konsep logika hukum diatas, logika hukum juga dianggap sebagai model
logika heuristik karena pertimbangan dan argumentasi dalam penalaran hukum tidak
hanya memperhitungkan sisi logis melainkan juga faktor-faktor lain yang menentukan
hukum itu sendiri.5
3
I Gusti Ayu Putri Kartika, dkk., Buku Ajar Penalaran dan Argumentasi Hukum, (Denpasar: Fakultas Hukum
Universitas Udayana 2016) 51.
4
Nurul Qamar, dkk., Logika Hukum: Meretas Pikir dan Nalar, (Makassar: CV. Social Politic Genius (SIGn)
2017) 13.
5
Urbanus Ura Weruin, “Logika, Penalaran dan Argumentasi Hukum” (2017) 14 (2) Jurnal Konstitusi 390.
6
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press
2005) 48.
c. Asas penolakan kemungkinan ketiga atau principium exclusi tertii atau law of
excluded middle
Asas ini menyatakan bahwa antara pengakuan dan pengingkaran terletak pada
salah satunya. Pengakuan dan pengingkaran merupakan pertentangan mutlak,
karena itu disamping tidak mungkin benar keduanya juga tidak mungkin salah
keduanya. Rumusannya berbunyi “suatu proposisi selalu dalam keadaan benar
atau salah”.
d. Principium rationis sufficientis atau law of sufficient reason
Prinsip ini menyatakan bahwa hukum cukup alasan adalah kaidah yang
melengkapi hukum kesamaan (principium identitatis). Hukum cukup alasan
menyatakan bahwa jika perubahan terjadi pada sesuatu maka perubahan itu
haruslah memiliki alasan yang cukup. Hal ini berarti bahwa tidak ada perubahan
yang terjadi begitu saja tanpa alasan rasional yang memadai sebagai penyebab
perubahan itu.
a. Prinsip Eksklusi
Prinsip eksklusi adalah suatu asas yang memberikan pra-anggapan bahwa
sejumlah putusan independent dari badan pembuat undang-undang/legislasi
merupakan sumber bagi setiap orang, oleh karenanya mereka dapat
mengindentifikasi sistem.
b. Prinsip Subsumption
Asas ilmu hukum memiliki suatu hubungan hierarki antara aturan hukum yang
berasal dari badan pembuat undang-undang yang bersifat superiori dengan antara
hukum yang bersifat interior.
c. Prinsip Derogasi
Asas yang menganut prinsip tentang penolakan teori terhadap aturan-aturan
hukum yang bertentangan antara satu dengan yang lainnya yang bersumber dari
aturan yang lebih superior.
d. Prinsip Nonkontradiksi
Asas yang menjadi dasar penolakan teori terhadap kemungkinan adanya aturan
hukum kontradiktif di antara peraturan yang ada (konflik norma).
7
Anonim, “Hubungan Bahasa Indonesia, Logika dan Argumentasi Hukum”, (Makalah: Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya 2017) 3.
1. 3 Menggunakan Logika dalam Penalaran Hukum
Para logikawan umumnya membagi metode penalaran kedalam dua kategori
utama, yakni penalaran induksi dan penalaran deduksi yang dapat dirinci sebagai
berikut.
a. Induksi adalah cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari
kasus-kasus yang bersifat individual.8 Penalaran ini dimulai dari kenyataan-
kenyataan yang bersifat khusus dan terbatas dan diakhiri dengan pernyataan yang
bersifat umum. Secara sederhana diartikan sebagai “proses berpikir yang
didasarkan pada proposisi khusus ke proposisi umum”. Penalaran induksi juga
didasarkan pada generalisasi pengetahuan atau pengalaman yang sudah kita
miliki, yang mana kemudian dirumuskan atau disimpulkan suatu pengetahuan
atau pengalaman baru.9
b. Deduksi adalah kegiatan berpikir yang merupakan kebalikan dari penalaran
induksi.10 Deduksi adalah cara berpikir dari pernyataan yang bersifat umum
menuju kesimpulan yang bersifat khusus atau dengan kata lain didasarkan pada
proposisi umum ke proposisi khusus.11 Aristoteles menyatakan bahwa silogisme
merupakan bentuk dasar penalaran deduksi. Silogisme sendiri diartikan sebagai
proses penarikan kesimpulan yang bertolak dari proposisi universal sebagai
premis.12
2. Penalaran Hukum
2.1 Konsep dan Terminologi dalam Penalaran Hukum
Legal Reasoning adalah penalaran tentang hukum yaitu pencarian “reason”
tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim memutuskan
perkara/kasus hukum, seorang pengacara mengargumentasikan hukum dan
bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. 13 Para ahli teori hukum mengambil
tiga pengertian tentang legal reasoning sebagai berikut.
- Reasoning untuk mencari substansi hukum untuk diterapkan dalam masalah yang
sedang terjadi.
8
I Gusti Ayu Putri Kartika, dkk., Op.cit., 54.
9
Urbanus Ura Weruin, Op.cit., 382.
10
I Gusti Ayu Putri Kartika, dkk., Op.cit., 55.
11
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, (Bandung: CV. Utomo 2006) 74.
12
R. G. Soekadijo, Logika Dasar: Tradisional, Simbolik dan Induktif, (ed. 9, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
2003) 40.
13
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Jakarta: Citra Aditya Bakti 1993).
- Reasoning dari substansi hukum yang ada untuk diterapkan terhadap putusan yang
harus diambil atas suatu perkara yang terjadi.
- Reasoning tentang putusan yang harus diambil oleh hakim dalam suatu perkara,
dengan mempertimbangkan semua aspek.
14
I Gusti Ayu Putri Kartika, dkk., Op.cit., 68-69.
a. Silogisme, adalah proses penalaran dimana dari dua pernyataan ditarik dalam
satu pernyataan baru yang disebut konklusi.
15
Afif Khalid, “Penafsiran Hukum Oleh Hakim dalam Sistem Peradilan di Indonesia”, (2014) 6 (11) Al’Adl 10.
16
I Gusti Ayu Putri Kartika, dkk., Op.cit., 102.
yang pada dasarnya merupakan masalah baru bagi penerapan peraturan hukum
yang bersangkutan.
e. Penafsiran historis, yaitu penafsiran hukum yang dilakukan terhadap isi dan
maksud suatu ketentuan hukum yang didasarkan pada jalannya sejarah yang
mempengaruhi pembentukan hukum tersebut.
f. Penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran hukum yang bersifat memperluas inti
pengertian suatu ketentuan hukum dengan maksud agar dengan perluasan
tersebut, hal-hal yang tadinya tidak termasuk dalam ketentuan hukum tersebut
sedangkan ketentuan hukum lainnya pun belum ada yang mengaturnya, dapat
dicakup oleh ketentuan hukum yang diperluas itu.
g. Penafsiran restriktif, yaitu penafsiran hukum yang bersifat merestriksi atau
membatasi atau memperkecil pengertian suatu ketentuan hukum dengan maksud
agar dengan pembatasan tersebut, ruang lingkup pengertian ketentuan hukum
tersebut tidak lagi menjadi terlalu luas sehingga kejelasan, ketegasan dan
kepastian hukum yang terkandung di dalamnya akan lebih mudah diraih.
3.2 Penemuan Hukum
Penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo,17 diartikan sebagai proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum yang diberi tugas
melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan-peraturan hukum terhadap suatu
peristiwa yang konkret. Menurut Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh Achmad
Ali,18 penemuan hukum diartikan sebagai sesuatu yang lain daripada penerapan
peraturan-peraturan pada peristiwanya, dimana kadangkala terjadi bahwa
peraturannya harus dikemukakan dengan jalan interpretasi. Dari pengertian tersebut
diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan penemuan hukum yaitu
proses pembentukan hukum oleh hakim, hakim harus melihat apakah Undang-Undang
tersebut tidak memberikan peraturan yang jelas, atau tidak ada ketentuan yang
mengaturnya, jika terjadi demikian maka hakim dapat melakukan penemuan hukum.
Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan hukum yang konkrit dan sesuai kebutuhan
masyarakat.
17
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka 2014) 49.
18
H.P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum dalam Sistem Peradilan Indonesia, (Bandung: PT. Alumni 2014)
217.
3.3 Kesesatan dalam Penalaran Hukum
Kesesatan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang terjadi dalam aktivitas
berfikir dikarenakan penyalahgunaan bahasa dan/atau penyalahguaan relevansi.
Kesesatan merupakan bagian dari logika sebagai lawan dari argumentasi yang logis.
Kesesatan dalam penalaran hukum dapat terjadi karena argumentasi yang diberikan
tidak tertuju kepada persoalan yang sesungguhnya, tetapi pada kondisi pribadi dan
karakteristik seseorang (atau hal lainnya) yang sebenarnya tidak relevan unntuk
kebenaran atau kekeliruan isi argumennya.19 R.G. Soekadijo memperkenalkan 5
model kesesatan dalam penalaran/argumentasi hukum sebagai berikut.20
a. Argumentum ad ignorantium, kesesatan ini apabila proposisi sebagi benar karena
tidak terbukti salah dan begitu juga sebaliknya,dalam bidang hukum sendiri
model ini dimungkinkan dalam bidang hukum acara. Misalanya dalam hukum
perdata pasal 1865 BW penggugat harus membuktikan kebenran dalilnya untuk
dapat membuktikan dalil gugatanya.
b. Argumentum ad verecundium, menerima atau menolak suatu argumentasu bukan
karena nilai penalaranya namun karena uang mengemukankanya adalah orang
yang berkuasa atau orang yang ahli. Dalam bidang hukum argumentasi demikan
tidak sesat jika suatu yurisprudensi menjadi yurisprudensi tetap.
c. Argument ad hominem, menolak atau menerima rgumentasi hukum atau usul
karena keadaan orangnya. Dalam bidang hukum argumentasi demikian bukanlah
kessatan apabila digunakan untuk mendiskreditkan seorang saksi yang pada
dasarnya tidak mengetahuiu kejadian secra jelas.
d. Argumentum ad misericordiam, adalah argumentasi yang bertujuan menimbulkan
belas kasihan. Argumentasi ini haya dibenarkan dalam hukum untuk
meringankan hukumuan bukan untuk pembuktian tidak bersalah.
e. Argumentum ad baculum, menerima atau menolak argumentasi hukum karena
suatu ancaman. Dalam bidang hukum ancaman demikina tidak sesat jika
digunakan untuk mengingatkan orang tentang ketentuan hukum.
19
Krisna Adriawan, “Kesesatan Logika”, <https://www.academia.edu/5634169/Kesesatan_logika> diakses pada
24 Mei 2022.
20
I Gusti Ayu Putri Kartika, dkk., Op.cit., 107.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Atmadja, I. D. G., 2006. Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis dan
Penerapannya. Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Kartika, I. G. A. P. & dkk, 2016. Buku Ajar Penalaran dan Argumentasi Hukum. Denpasar:
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Mertokusumo, S., 2014. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka.
Penggabean, H., 2014. Penerapan Teori Hukum dalam Sistem Peradilan Indonesia. Bandung:
PT. Alumni.
Pitlo, S. M. d. A., 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Jakarta: Citra Aditya Bakti.
Qamar, N. & dkk, 2017. Logika Hukum: Meretas Pikir dan Nalar. Makassar: CV. Social Politic
Genius (SIGn).
Rakhmat, M., 2015. Logika Hukum: Dialog Antara Analitik Sintetik hingga Pembacaan
terhadap Dekontruksi atas makna Teks & Realitas Hukum. Majalengka: Unit
Penerbitan Universitas Majalengka.
Soekadijo, R. G., 2003. Logika Dasar: Tradisional, Simbolik dan Induktif. 9 ed. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Jurnal
Weruin, U. U., 2017. Logika, Penalaran dan Argumentasi Hukum. Jurnal Konstitusi, XIV(2).
Khalid, A., 2014. Penafsiran Hukum Oleh Hakim dalam Sistem Peradilan di Indonesia. Al' Adl,
VI(11), pp. 9-36.
Penulisan Hukum
Anonim, “Hubungan Bahasa Indonesia, Logika dan Argumentasi Hukum”, (Makalah: Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya 2017).
Website