PUTUSAN PENGADILAN
A. Capaian Pembelajaran
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Putusan Pengadilan. Anda diharapkan harus
mampu:
1.1 Menjelaskan Pengertian Putusan Pengadilan
1.2 Menjelaskan Asas Putusan
1.3 Menjelaskan Formulasi Putusan
1.4 Menjelaskan Mencari dan Menemukan Hukum
1.5 Menjelaskan Putusan ditinjau dari Berbagai Segi
B. Materi
Pembelajaran 1.1
Pengertian Putusan Pengadilan
Sesuai ketentuan Pasal 178 HIR Juncto Pasal 189 RBg, yang pada pokoknya
menjelaskan bahwa jika pemeriksaan perkara selesai, Majelis Hakim karena jabatannya
melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan untuk
menyelesaikan perkara. Putusan pengadilan merupakan suatu hal yang sangat diinginkan
oleh para pihak yang berperkara untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan dalam
perkara yang mereka hadapi. Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar
menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan rasa keadilan, maka hakim harus benar-
benar melaksanakan peradilan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, baik
peraturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis, sebagaimana ketentuan Pasal 28 (1) UU
4 / 2004, Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Jika ditinjau dari ketentuan tersebut di atas maka pengertian Putusan Pengadilan
adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk
umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara. Setiap putusan pengadilan
harus dibuat dalam bentuk tertulis, yang ditandatangani oleh hakim ketua majelis dan
anggota yang memeriksa dan memutus perkara serta panitera pengganti (PP) yang ikut
dalam proses persidangan, sesuai ketentuan Pasal 25 (2) UU 4 / 2004. Dan mengenai apa
yang diucapkan oleh hakim dalam sidang pengadilan, harus sama dan sesuai dengan apa
yang dituangkan dalam bentuk tertulis, begitupun sebaliknya, apa yang tertuang secara
tertulis harus sama dan sesuai dengan apa yang diucapkan oleh majelis hakim dalam
sidang pengadilan. Untuk mencegah terjadinya perbedaan antara isi putusan yang
diucapkan dengan isi putusan yang dituangkan dalam bentuk tertulis, maka Mahkamah
Agung Republik Indonesia (MA-RI), dalam Surat Edaran Nomor 5 Tahun 1959, tanggal, 20
April 1959 dan Nomor 1 Tahun 1962, tanggal 7 Maret 1962, telah menginstruksikan
kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan tersebut diucapkan, konsepnya
harus sudah disiapkan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 178 Ayat (2) HIR Juncto Pasal 189 Ayat (2) RBg,
dalam suatu perkara perdata, hakim wajib mengadili semua tuntutan (petitum), hal ini
ditegaskan dalam Yurisprundensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 335 K/Sip/1973,
tanggal, 4 -12-1975. Akan tetapi hakim dilarang menjatuhkan putusan terhadap sesuatu
yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari apa yang dituntut, sesuai ketentuan Pasal
178 Ayat (3) HIR Juncto Pasal 189 Ayat (3) RBg.
Pembelajaran 1.2
Asas Putusan
Pembelajaran 1.3
Formulasi Putusan
Pengaturan mengenai formulasi putusan secara umum, diatur dalam ketentuan
Pasal 184 Ayat (1) HIR Juncto Pasal 195 RBg, serta Pasal 25 UU 4 / 2004. Maksud dari
formulasi putusan adalah susunan atau sistematika yang harus dirumuskan dalam putusan
agar memenuhi syarat sesuai aturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka terdapat beberapa formula yang harus
dicantumkan dalam putusan, antara lain, yaitu;
1) Putusan harus Memuat secara Ringkas dan Jelas Pokok Perkara, Jawaban,
Pertimbangan dan Amar Putusan. Terkait apa saja yang seharusnya dicantumkan
dalam putusan adalah sebagai berikut:
(a) Dalil Gugatan
Dalam putusan, dapat dicantumkan dalil-dalil gugatan atau fundamentum
petendi, yang dijelaskan secara singkat dasar hukumnya dan dihubungkan
dengan fakta-fakta yang menjadi dasar gugatan. Uraian yang memuat dalil-dalil
gugatan ini disampaikan di bawah penyebutan identitas para pihak.
(b) Jawaban Tergugat
Keharusan mencantumkan jawaban tergugat secara ringkas dan tidak secara
keseluruhan serta cukup diambil pokoknya saja yang relevan dengan syarat tidak
menghilangkan makna yang mendasar dari jawaban itu. Hal ini, diatur dalam
Pasal 184 Ayat (1) HIR. Pengertian jawaban dalam arti luas, yang meliputi replik
dan duplik serta konklusi.
(c) Uraian Singkat Ringkasan dan Lingkup Pembuktian
Dalam putusan juga memuat deskripsi tentang fakta-fakta dan alat-alat bukti
yang ringkas dan jelas, yang dimulai dengan pembuktian dari penggugat dan
dilanjutkan dengan pembuktian tergugat.
(d) Pertimbangan hukum
Dalam putusan pengadilan, pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari
dari putusan. Terkait pertimbangan hukum itu, harus memuat analisis,
argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim pemeriksa perkara.
(e) Ketentuan Undang-Undang
Secara baku, penempatan pokok masalah dalam putusan pada bagian
memperhatikan. Penempatan pokok masalah dalam putusan ini, setelah uraian
pertimbangan. Keharusan penyebutan pasal-pasal tertentu dari peraturan
perundang-undangan yang diterapkan dalam putusan sesuai ketentuan Pasal
184 Ayat (2) HIR, Juncto Pasal 25 (1) UU 4 / 2004, yang menegaskan bahwa jika
putusan didasarkan pada aturan undang-undang yang pasti, maka aturan itu
harus disebutkan.
(f) Amar Putusan
Amar putusan itu, harus dirumuskan secara ringkas dan jelas, dengan acuan
sebagai berikut:
Gugatan Mengandung Cacat Formil,
Seperti gugatan tidak memiliki dasar hukum, gugatan salah orang (error in
persona) atau kurang pihak (plurium litis consortium), mengandung cacat
berupa gugatan tidak jelas (obscuur libel) atau melanggar kompetensi absolut
atau relatif dan lain-lainnya. Jika gugatan mengandung cacat formil, maka
putusan dengan tegas dan jelas mencantumkan dalam amar putusan,
menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke verklaard). Jadi
cacat formilnya suatu gugatan, berupa cacat surat kuasa, error in persona,
obscuur libel, prematur, kedaluarsa, nebis in idem, maka amar putusannya
adalah menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Jika cacat formilnya
mengenai yurisdiksi atau kompetensi mengadili, maka amar putusannya
adalah (1) menyatakan hakim tidak berwenang mengadili atau (2) Gugatan
Tidak Dapat Diterima. Akan tetapi, jika cacat formil yang diajukan
berdasarkan Eksepsi yang diajukan tergugat dan tergugat juga mengajukan
rekonvensi, maka amar putusan yang dijatuhkan adalah (1) Dalam Konvensi;
(a) Tentang Eksepsi, menyatakan mengabulkan eksepsi tergugat (b) Dalam
Pokok Perkara; menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima; (2) Dalam
Rekonvensi: mungkin bisa berupa; menyatakan Gugatan Rekonvensi Tidak
Dapat Diterima atau (a) menolak Rekonvensi (jika tidak terbukti); (b)
Mengabulkan Seluruh atau Sebagian (jika terbukti).
Dalam menyelesaikan suatu perkara melalui proses peradilan, hakim tidak hanya
berfungsi dalam meminpin persidangan, agar para pihak menaati aturan sesuai dengan tata
tertib beracara yang digariskan dalam hukum acara perdata. Akan tetapi hakim juga
berfungsi untuk mencari dan menemukan hukum yang objektif sebagai landasan untuk
memutus perkara yang sedang diperiksa. Oleh karena itu, terkait dengan penemuan hukum
oleh hakim dalam memutus perkara ini, maka terdapat beberapa asas yang perlu
diperhatikan oleh hakim, antara lain yaitu;
1. Pengadilan Tidak Boleh Menolak Memeriksa dan Mengadili Perkara;
Penerapan asas ini, diatur dalam Pasal 16 (1) UU 4 / 2004. Oleh karena itu, hakim
harus memeriksa perkara yang diajukan kepadanya serta wajib mencari dan
menemukan hukum yang objektif dan materiil untuk diterapkan dalam penyelesaian
sengketa dan tidak boleh mengadili berdasarkan perasaan atau pendapat subjektif
hakim, tetapi harus berdasarkan hukum yang objetif atau materiil yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.
2. Prinsip Hakim Dianggap Mengetahui Hukum (Ius Curia Novit)
Dalam hal menemukan hukum, hakim dianggap mengetahui semua hukum atau
Curia Novit Jus. Prinsip ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 16 (1) UU 4 / 2004
Berdasarkan prinsip Curia Novit Jus, maka hakim dianggap mengetahui dan
memahami segala hukum. Oleh karena itu, hakim mempunyai kewenangan untuk
menentukan objek hukum yang mana yang diterapkan sesuai materi pokok perkara
yang menyangkut hubungan hukum para pihak yang berperkara dalam
kenyataannya. Jadi yang mempunyai hak dan kewenangan untuk menemukan dan
menerapkan hukum yang objektif adalah mutlak hak dan kewenangan hakim bukan
para pihak. Prinsip hukum tersebut, pada dasarnya hanya teori dan asumsi, namun
dalam kenyataan tidak demikian, karena bagaimana pun hakim juga manusia yang
mempunyai kekuarangan dan keterbatasnnya, karena begitu luas dan kompleksnya
hukum, tidak akan mungkin seorang hakim mengetahui segala macam seluk beluk
hukum. Namun prinsip dan adagium hukum itu sampai sekarang tetap
dipertahankan untuk mengokohkan fungsi dan kewajiban hakim agar benar-benar
mengadili perkara yang diperiksa berdasarkan hukum, bukan diluar hukum
3. Mencari dan Menemukan Hukum yang Objektif dari Sumber Hukum yang
Dibenarkan;
Prinsip ini yang perlu ditegakkan oleh hakim, karena dalam menjatuhkan suatu
putusan, hakim harus mencari dan menemukan hukum yang objektif yang
bersumber dari ketentuan undang-undang untuk diterapkan. Terkait dengan
menemukan hukum yang objektif ini, ada beberapa sumber hukum yang menjadi
dasar acuan, antara lain;
Pembelajaran 1.5
Putusan Ditinjau Dari Berbagai Segi
Pada dasarnya, pengaturan mengenai putusan pengadilan, secara tegas diatur dalam
ketentuan Pasal 185 HIR Juncto Pasal 196 RBg dan Pasal 46-48 Rv. Terkait dengan
putusan pengadilan, maka terdapat berbagai segi tinjauan putusan pengadilan yang dapat
dijatuhkan oleh hakim, antara lain;
b) Putusan Akhir
Putusan akhir atau eind vonnis atau dalam sistem Common Law sama dengan final
judgement. Jika putusan sela dilakukan pada saat proses pemeriksaan pokok
perkara sedang berlangsung, sedangkan putusan akhir diambil dan dijatuhkan pada
akhir pemeriksaan perkara pokok. Atau dalam praktek biasa disebut putusan
penghabisan. Putusan akhir merupakan tindakan dari hakim untuk menyelesaikan
dan mengakhiri suatu sengketa antara para pihak.
C. Latihan
1. Bagaimana Pengertian dari Putusan Pengadilan?
Uraikan jawaban anda
2. Bagaimana Asas Putusan?
Uraikan jawaban anda
3. Bagimana Formulasi Putusan?
Uraikan penjelasan anda
4. Mengapa hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara?
Uraikan penjelasan anda
5. Mengapa suatu gugatan dapat dinyatakan Gugur dan dapat putus melalui Verstek?
Uraikan penjelasan anda
D. Referensi
Frances Russell dan Christine Loche, English Law and Language, Cassel, London, 1992
h.30, Dalam M.Yahyah Harahap.
M. Yahyah Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Cet.III, Jakarta, 2005
Riduan Syahrani, Sistem Peradilan dan Hukum Acara Perdata di Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2016