Anda di halaman 1dari 11

BAB XV

PUTUSAN PENGADILAN

A. Capaian Pembelajaran
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Putusan Pengadilan. Anda diharapkan harus
mampu:
1.1 Menjelaskan Pengertian Putusan Pengadilan
1.2 Menjelaskan Asas Putusan
1.3 Menjelaskan Formulasi Putusan
1.4 Menjelaskan Mencari dan Menemukan Hukum
1.5 Menjelaskan Putusan ditinjau dari Berbagai Segi

B. Materi
Pembelajaran 1.1
Pengertian Putusan Pengadilan

Sesuai ketentuan Pasal 178 HIR Juncto Pasal 189 RBg, yang pada pokoknya
menjelaskan bahwa jika pemeriksaan perkara selesai, Majelis Hakim karena jabatannya
melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan untuk
menyelesaikan perkara. Putusan pengadilan merupakan suatu hal yang sangat diinginkan
oleh para pihak yang berperkara untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan dalam
perkara yang mereka hadapi. Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar
menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan rasa keadilan, maka hakim harus benar-
benar melaksanakan peradilan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, baik
peraturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis, sebagaimana ketentuan Pasal 28 (1) UU
4 / 2004, Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Jika ditinjau dari ketentuan tersebut di atas maka pengertian Putusan Pengadilan
adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk
umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara. Setiap putusan pengadilan
harus dibuat dalam bentuk tertulis, yang ditandatangani oleh hakim ketua majelis dan
anggota yang memeriksa dan memutus perkara serta panitera pengganti (PP) yang ikut
dalam proses persidangan, sesuai ketentuan Pasal 25 (2) UU 4 / 2004. Dan mengenai apa
yang diucapkan oleh hakim dalam sidang pengadilan, harus sama dan sesuai dengan apa
yang dituangkan dalam bentuk tertulis, begitupun sebaliknya, apa yang tertuang secara
tertulis harus sama dan sesuai dengan apa yang diucapkan oleh majelis hakim dalam
sidang pengadilan. Untuk mencegah terjadinya perbedaan antara isi putusan yang
diucapkan dengan isi putusan yang dituangkan dalam bentuk tertulis, maka Mahkamah
Agung Republik Indonesia (MA-RI), dalam Surat Edaran Nomor 5 Tahun 1959, tanggal, 20
April 1959 dan Nomor 1 Tahun 1962, tanggal 7 Maret 1962, telah menginstruksikan
kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan tersebut diucapkan, konsepnya
harus sudah disiapkan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 178 Ayat (2) HIR Juncto Pasal 189 Ayat (2) RBg,
dalam suatu perkara perdata, hakim wajib mengadili semua tuntutan (petitum), hal ini
ditegaskan dalam Yurisprundensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 335 K/Sip/1973,
tanggal, 4 -12-1975. Akan tetapi hakim dilarang menjatuhkan putusan terhadap sesuatu
yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari apa yang dituntut, sesuai ketentuan Pasal
178 Ayat (3) HIR Juncto Pasal 189 Ayat (3) RBg.

Pembelajaran 1.2
Asas Putusan

Untuk menghindari suatu putusan yang mengandung cacat formil, sebagaimana


ketentuan yag diatur dalam Pasal 178 HIR Juncto Pasal 189 RBg, serta Pasal 19 UU 4 /
2004, yang mengatur tentang penegakkan asas-asas putusan hakim, antara lain, yaitu;
1. Putusan Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci.
Dalam perkara perdata, suatu putusan hakim harus memuat pertimbangan yang
jelas dan cukup. Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan hukum itu,
bertitik tolak dari ketentuan;
(a) Pasal-pasal tertentu dari ketentuan undang-undang
(b) Hukum kebiasaan
(c) Yurisprudensi atau
(d) Dokterin hukum
Hal ini, diatur dalam ketentuan Pasal 25 (1) UU 4 / 2004, yang menegaskan bahwa
segala putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan
serta mencantumkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan tertentu yang
berkaitan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan hukum yang tidak tertulis
maupun yurisprudensi atau doktrin hukum. Bahkan menurut ketentuan Pasal 178
Ayat (1) HIR, hakim yang kerena jabatan (ex-officio), wajib mencukupkan segala
alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang berperkara. Jika
ditinjuau dari ketentuan tersebut di atas, apabila dalam suatu putusan hakim, tidak
mempertimbangkan pasal-pasal tersebut maka, putusan tersebut dapat dibatalkan
pada tingkat banding maupun kasasi.
2. Hakim Wajib Mengadili seluruh Bagian Gugatan
Asas kedua ini, ditegaskan dalam ketentuan Pasal 178 Ayat (2) HIR Juncto Pasal
189 Ayat (2) RBg, dan Pasal 50 Rv, yang dijelaskan sebagai berikut; Putusan harus
secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili seiap segi gugatan yang
diajukan. Tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja dan
mengabaikan gugatan selebihnya. Cara mengadili yang demikian, bertentangan
dengan asas yang digariskan dalam undang-undang.
3. Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan
Pengaturan mengenai larangan mengabulkan melebihi tuntutan ditegaskan dalam
Pasal 178 Ayat (3) HIR, Juncto Pasal 189 Ayat (3) RBg serta Pasal 50 Rv, yang
menyatakan bahwa putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang
dikemukakan dalam gugatan. Dalam hukum acara perdata biasa disebut dengan
asas ultra petitum partium. Hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun
petitum, dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultra vires yakni bertindak
melampaui wewenangnya. Apabila putusan mengandung ultra petitum maka
putusan itu, harus dinyatakan cacat (infalid), meskipun hal itu, dilakukan oleh hakim
dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public
interest). Oleh karena itu, jika hakim melanggar asas ultra petitum, maka dianggap
melanggar prinsip rule of law, karena tindakan tersebut tidak sesuai dengan hukum,
walupun sesuai dengan prinsip rule of law, tetap dianggap melanggar hukum. Dan
disamping itu, tindakan hakim yang mengabulkan melebihi dari yang dituntut, nyata-
nyata melampaui batas wewenang yang diberikan Pasal 178 Ayat (3) HIR, pada hal
sesuai dengan prinsip rule of law, siapapun tidak boleh melakukan tindakan yang
melampaui batas wewenangnya (beyond the power of this authority).
Apa lagi hakim mengabulkan sesuatu, yang sama sekali tidak diajukan dalam
tuntutan atau petitum gugatan, hal ini nyata-nyata melanggar asas ultra petitum,
maka terhadap putusan itu, harus dibatalkan.
4. Diucapkan di Muka Umum
Putusan dalam suatu perkara perdata, harus diucapkan di hadapan persidangan
yang bersifat terbuka untuk umum, karena prinsip keterbukaan untuk umum ini,
bersifat memaksa (imperatif). Keterbukaan untuk umum ini, merupakan salah satu
bagian yang tidak terpisahkan dari asas fair trial. Berdasarkan asas fair trial bahwa
pemeriksaan persidangan harus dilaksanakan berdasarkan proses yang jujur sejak
awal sampai akhir. Dalam literatur hukum disebut the open justice principle. Menurut
Robertson “Tujuan utama prinsip ini, adalah untuk menjamin proses peradilan
terhindar dari perbuatan tercela (misbehaviar) dari pejabat peradilan” (1993; 803).
Prinsip keterbukaan untuk umum ini, dianggap memiliki efek pencegah terjadinya
proses peradilan yang bersifat berat sebelah atau diskriminatif, karena proses
pemeriksaan dari awal sampai putusan dijatuhkan, dilihat dan didengar oleh publik.
Bahkan dibertitakan secara luas, dengan demikian membuat hakim lebih berhati-hati
dalam bertindak. Prinsip pemeriksaan secara terbuka untuk umum atau the open
justice principle, berlawanan dengan peradilan yang bersifat rahasia atau secrecy
seperti halnya dalam proses pemeriksaan secara arbitarse. Dalam proses
pemeriksaan secara arbitrase, pemeriksaan dilakukan secara konfidensial, dengan
maksud untuk menjaga kredibilitas para pihak yang bersengketa. Terkait dengan hal
ini, memang hukum membenarkan pola pemeriksaan lembaga extra judicial
berdasarkan kesepakatan para pihak, namun penyelesaian sengketa melalui
peradilan negara (state court), harus ditegakkan prinsip keterbukaan untuk umum.
Sehubungan dengan penerapan asas ini, maka pelanggaran atas asas keterbukaan
untuk umum, mengakibatkan putusan yang dijatuhkan menjadi tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum, sehingga putusan yang demikian itu, tidak mempunyai
kekuatan eksekutorial. Disamping itu, dalam kasus-kasus tertentu, hukum
membenarkan pemeriksaan secara tertutup.
Misalnya dalam perkara perceraian, sesuai ketentuan Pasal 39 Ayat 3) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, mengenai tata cara pemeriksaan perkaranya
dilakukan secara tertutup, yang kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 33 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, (PP No. 9 Tahun 1975), yang dijelaskan bahwa
pemeriksaan atas suatu gugatan perceraian dilakukan secara tertutup, tidak hanya
terbatas pada pemeriksaan para pihak yang berperkara, tetapi juga meliputi
pemeriksaan saksi-saksi.
Penerapan prinsip pemeriksaan perkara perceraian secara tertutup untuk umum ini,
juga merupakan prinsip yang bersifat imperatif. Karena jika dilangsungkan secara
terbuka maka akan melanggar ketertiban umum (public order), sehingga
mengakibatkan pemeriksaan menjadi batal demi hukum. Alasan proses pemeriksaan
perkara perceraian dilakukan secara tertutup untuk melindungi nama baik suami-istri
dalam pergaulan masyarakat dan tidak layak membeberkan secara terbuka rahasia
rumah tangga orang kepada khalayak ramai sebab bertentangan dengan moral.
Walaupun perkara perceraian, dapat diperiksa secara tertutup, namun putusan tetap
diucapkan secara terbuka untuk umum, sesuai ketentuan Pasal 34 Peraturan
Pemerintah tersebut di atas, Juncto Pasal 20 Undang-undang Nomor 4 Tahun
2004.

Pembelajaran 1.3
Formulasi Putusan
Pengaturan mengenai formulasi putusan secara umum, diatur dalam ketentuan
Pasal 184 Ayat (1) HIR Juncto Pasal 195 RBg, serta Pasal 25 UU 4 / 2004. Maksud dari
formulasi putusan adalah susunan atau sistematika yang harus dirumuskan dalam putusan
agar memenuhi syarat sesuai aturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka terdapat beberapa formula yang harus
dicantumkan dalam putusan, antara lain, yaitu;
1) Putusan harus Memuat secara Ringkas dan Jelas Pokok Perkara, Jawaban,
Pertimbangan dan Amar Putusan. Terkait apa saja yang seharusnya dicantumkan
dalam putusan adalah sebagai berikut:
(a) Dalil Gugatan
Dalam putusan, dapat dicantumkan dalil-dalil gugatan atau fundamentum
petendi, yang dijelaskan secara singkat dasar hukumnya dan dihubungkan
dengan fakta-fakta yang menjadi dasar gugatan. Uraian yang memuat dalil-dalil
gugatan ini disampaikan di bawah penyebutan identitas para pihak.
(b) Jawaban Tergugat
Keharusan mencantumkan jawaban tergugat secara ringkas dan tidak secara
keseluruhan serta cukup diambil pokoknya saja yang relevan dengan syarat tidak
menghilangkan makna yang mendasar dari jawaban itu. Hal ini, diatur dalam
Pasal 184 Ayat (1) HIR. Pengertian jawaban dalam arti luas, yang meliputi replik
dan duplik serta konklusi.
(c) Uraian Singkat Ringkasan dan Lingkup Pembuktian
Dalam putusan juga memuat deskripsi tentang fakta-fakta dan alat-alat bukti
yang ringkas dan jelas, yang dimulai dengan pembuktian dari penggugat dan
dilanjutkan dengan pembuktian tergugat.
(d) Pertimbangan hukum
Dalam putusan pengadilan, pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari
dari putusan. Terkait pertimbangan hukum itu, harus memuat analisis,
argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim pemeriksa perkara.
(e) Ketentuan Undang-Undang
Secara baku, penempatan pokok masalah dalam putusan pada bagian
memperhatikan. Penempatan pokok masalah dalam putusan ini, setelah uraian
pertimbangan. Keharusan penyebutan pasal-pasal tertentu dari peraturan
perundang-undangan yang diterapkan dalam putusan sesuai ketentuan Pasal
184 Ayat (2) HIR, Juncto Pasal 25 (1) UU 4 / 2004, yang menegaskan bahwa jika
putusan didasarkan pada aturan undang-undang yang pasti, maka aturan itu
harus disebutkan.
(f) Amar Putusan
Amar putusan itu, harus dirumuskan secara ringkas dan jelas, dengan acuan
sebagai berikut:
 Gugatan Mengandung Cacat Formil,
Seperti gugatan tidak memiliki dasar hukum, gugatan salah orang (error in
persona) atau kurang pihak (plurium litis consortium), mengandung cacat
berupa gugatan tidak jelas (obscuur libel) atau melanggar kompetensi absolut
atau relatif dan lain-lainnya. Jika gugatan mengandung cacat formil, maka
putusan dengan tegas dan jelas mencantumkan dalam amar putusan,
menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke verklaard). Jadi
cacat formilnya suatu gugatan, berupa cacat surat kuasa, error in persona,
obscuur libel, prematur, kedaluarsa, nebis in idem, maka amar putusannya
adalah menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Jika cacat formilnya
mengenai yurisdiksi atau kompetensi mengadili, maka amar putusannya
adalah (1) menyatakan hakim tidak berwenang mengadili atau (2) Gugatan
Tidak Dapat Diterima. Akan tetapi, jika cacat formil yang diajukan
berdasarkan Eksepsi yang diajukan tergugat dan tergugat juga mengajukan
rekonvensi, maka amar putusan yang dijatuhkan adalah (1) Dalam Konvensi;
(a) Tentang Eksepsi, menyatakan mengabulkan eksepsi tergugat (b) Dalam
Pokok Perkara; menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima; (2) Dalam
Rekonvensi: mungkin bisa berupa; menyatakan Gugatan Rekonvensi Tidak
Dapat Diterima atau (a) menolak Rekonvensi (jika tidak terbukti); (b)
Mengabulkan Seluruh atau Sebagian (jika terbukti).

2) Mencantumkan Biaya Perkara


Pengaturan mengenai pencantumnan biaya perkara dalam putusan, ditegaskan
dalam Pasal 184 Ayat (1) HIR Juncto Pasal 187 Ayat (1) RBg. Prinsip pembebanan
biaya perkara dalam putusan itu, dibebankan kepada pihak yang kalah, sesuai
dengan ketentuan Pasal 181 Ayat (1) HIR. Besarnya biaya perkara yang
dibebankan, menurut Pasal 183 Ayat (1) HIR, harus disebut dan dicantumkan dalam
putusan. Akan tetapi, prinsip ini bersifat imperatif, jika kekalahan itu bersifat mutlak.
Misalnya, gugatan ditolak seluruhnya, maka pembebanan biaya perkara dalam
kasus tersebut, seluruhnya dibebankan kepada penggugat atau gugatan penggugat
dikabulkan seluruhnya, maka biaya perkara dibebankan kepada tergugat.
Pembelajaran 1.4
Mencari Dan Menemukan Hukum

Dalam menyelesaikan suatu perkara melalui proses peradilan, hakim tidak hanya
berfungsi dalam meminpin persidangan, agar para pihak menaati aturan sesuai dengan tata
tertib beracara yang digariskan dalam hukum acara perdata. Akan tetapi hakim juga
berfungsi untuk mencari dan menemukan hukum yang objektif sebagai landasan untuk
memutus perkara yang sedang diperiksa. Oleh karena itu, terkait dengan penemuan hukum
oleh hakim dalam memutus perkara ini, maka terdapat beberapa asas yang perlu
diperhatikan oleh hakim, antara lain yaitu;
1. Pengadilan Tidak Boleh Menolak Memeriksa dan Mengadili Perkara;
Penerapan asas ini, diatur dalam Pasal 16 (1) UU 4 / 2004. Oleh karena itu, hakim
harus memeriksa perkara yang diajukan kepadanya serta wajib mencari dan
menemukan hukum yang objektif dan materiil untuk diterapkan dalam penyelesaian
sengketa dan tidak boleh mengadili berdasarkan perasaan atau pendapat subjektif
hakim, tetapi harus berdasarkan hukum yang objetif atau materiil yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.
2. Prinsip Hakim Dianggap Mengetahui Hukum (Ius Curia Novit)
Dalam hal menemukan hukum, hakim dianggap mengetahui semua hukum atau
Curia Novit Jus. Prinsip ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 16 (1) UU 4 / 2004
Berdasarkan prinsip Curia Novit Jus, maka hakim dianggap mengetahui dan
memahami segala hukum. Oleh karena itu, hakim mempunyai kewenangan untuk
menentukan objek hukum yang mana yang diterapkan sesuai materi pokok perkara
yang menyangkut hubungan hukum para pihak yang berperkara dalam
kenyataannya. Jadi yang mempunyai hak dan kewenangan untuk menemukan dan
menerapkan hukum yang objektif adalah mutlak hak dan kewenangan hakim bukan
para pihak. Prinsip hukum tersebut, pada dasarnya hanya teori dan asumsi, namun
dalam kenyataan tidak demikian, karena bagaimana pun hakim juga manusia yang
mempunyai kekuarangan dan keterbatasnnya, karena begitu luas dan kompleksnya
hukum, tidak akan mungkin seorang hakim mengetahui segala macam seluk beluk
hukum. Namun prinsip dan adagium hukum itu sampai sekarang tetap
dipertahankan untuk mengokohkan fungsi dan kewajiban hakim agar benar-benar
mengadili perkara yang diperiksa berdasarkan hukum, bukan diluar hukum
3. Mencari dan Menemukan Hukum yang Objektif dari Sumber Hukum yang
Dibenarkan;
Prinsip ini yang perlu ditegakkan oleh hakim, karena dalam menjatuhkan suatu
putusan, hakim harus mencari dan menemukan hukum yang objektif yang
bersumber dari ketentuan undang-undang untuk diterapkan. Terkait dengan
menemukan hukum yang objektif ini, ada beberapa sumber hukum yang menjadi
dasar acuan, antara lain;

(a) Ketentuan Hukum Positif (hukum yang berlaku)


Hukum positif yang bersumber dari civil law, yang dikenal dengan sistem
perundang-undangan atau statute law system, sumber hukum utamanya adalah
hukum positif yang berbentuk koodifikasi, yang dianut oleh negara-negara
kontinental di kawasan eropa seperti, Jerman, Perancis, dan Belanda. Sistem ini
juga dianut di Indonesia hingga sekarang.
(b) Dari Sumber Hukum yang Tidak Tertulis
Sejak awal kehidupan masyarakat Indonesia diatur dengan hukum yang tidak
tertulis (Adat). Setelah penjajahan Belanda, mulai diperkenalkan sistem hukum
yang bersumber dari perundang-undangan yang pemberlakuannya dipadukan
dengan hukum Adat. Namun hukum Adat sebagai hukum asli bangsa Indonesia
dari masing-masing daerah tetap diakui dan dipertahankan sampai sekarang.

Pembelajaran 1.5
Putusan Ditinjau Dari Berbagai Segi

Pada dasarnya, pengaturan mengenai putusan pengadilan, secara tegas diatur dalam
ketentuan Pasal 185 HIR Juncto Pasal 196 RBg dan Pasal 46-48 Rv. Terkait dengan
putusan pengadilan, maka terdapat berbagai segi tinjauan putusan pengadilan yang dapat
dijatuhkan oleh hakim, antara lain;

1. Dari Aspek Kehadiran Para Pihak


Dalam suatu tuntutan hukum yang mengandung unsur sengketa, terdapat dua pihak
atau lebih yang saling berhadapan di muka persidangan. Dengan demikian,
gugatan hukum yang terdapat unsur sengketa ini biasa disebut gugatan contentiosa,
yang melibatkan pertentangan antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa.
Oleh karena itu, proses penyelesaian sengketa di dalam persidangan pengadilan
harus dihadiri oleh para pihak yang bersengketa itu, melalui proses pemanggilan
secara patut oleh juru sita pengadilan, sesuai ketentuan Pasal 390 Ayat(1) HIR
Juncto Pasal 1-14 Rv. Akan tetapi, walaupun para pihak telah dipanggil secara
patut, namun tidak datang menghadap pada hari sidang yang telah ditentukan,
tanpa alasan yang sah, bahkan dengan sengaja mengingkari panggilan tersebut.
Atas tindakan pengingkaran itu, hukum memberi wewenang kepada hakim untuk
menjatuhkan putusan sebagai ganjaran atas tindakan pengingkaran itu.
2. Putusan Ditinjau dari Sifatnya
Jika ditinjau dari sifat putusan, maka terdapat beberapa jenis putusan yang
diucapkan oleh hakim, antara lain sebagai berikut:
1) Putusan Deklarator,
Putsuan Deklarator adalah putusan yang berisi pernyataan atau penegasan
tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata.
2) Putusan Constitutief
Putusan constitutief atau constitutief vonnis adalah putusan yang memastikan
suatu keadaan hukum, baik yang besifat meniadakan sesuatu keadaan hukum
maupun yang menimbulkan suatu keadaan hukum baru.
3) Putusan Condemnatoir
Putusan condemnatoir adalah putusan yang memuat amar menghukum salah
satu pihak yang berperkara. Putusan condemnatoir ini, merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari amar putusan deklarator atau konstitutif.
Jika ditinjau dari saat penjatuhan putusan, maka terdapat beberapa jenis putusan,
yang diklasifikasikan sebagai berikut;
a) Putusan Sela
Putusan sela disebut juga putusan sementara atau temporary award atau interim
award atau juga disebut incidenteel vonnis atau putusan insidentil atau tussen
vonnis artinya putusan antara. Putusan sela ini, diatur dalam ketentuan Pasal 185
Ayat (1) HIR Juncto Pasal 48 Rv. Putusan sela itu, pada dasarnya berisi perintah
yang harus dilakukan para pihak yang bersengketa untuk memudahkan hakim
menyelesaikan pemeriksaan perkara. Dan apabila ditinjau dari segi teori dan praktek
maka terdapat beberapa jenis putusan sela, antara lain sebagai berikut;

(a) Putusan Preparatoir


Putusan preparatoir atau preparatoir vonnis yang bertujuan untuk persiapan
jalannya pemeriksaan. Misalnya, sebelum memulai pemeriksaan, maka terlebih
dahulu menerbitkan putusan preparatoir berupa tahapan-tahapan proses atau
jadwal persidangan. Jika disesuaikan dengan tuntutan modern sekarang ini,
putusan preparatoir ini sangat identik dengan penerapan prinsip jadwal proses
peradilan atau timetable persidangan secara pasti. Hakim memerintahkan para
pihak untuk tunduk pada jadwal atau timetable yang sudah ditetapkan
sebelumnya. Sistem ini dilakukan untuk menghindari jadwal pemeriksaan yang
tidak pasti, yang sering terjadi dalam praktek.
(b) Putusan Interlacutoir
Putusan interlacutoir merupakan bentuk khusus putusan sela yang berisi
bermacam-macam perintah sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai hakim,
antara lain sebagai berikut;
a) Putusan interlacutoir yang memerintahkan untuk mendengar keterangan ahli,
sesuai Pasal 154 HIR.
b) Putusan interlacutoir yang memerintahkan pemeriksaan setempat, sesuai
Pasal 153 HIR;
c) Putusan interlacutoir yang memerintahkan pengucapan atau pengangkatan
sumpah baik sumpah penentuh maupun sumpah tambahan, sesuai Pasal
155 HIR Juncto Pasal 1929 BW, dll
(c) Putusan Insidentil
Putusan Insidentil atau incidenteel vonnis yaitu putusan sela yangberkaitan
langsung dengan gugatan insidentil atau yang berkaitan dengan penyitaan yang
dibebankan dengan uang jaminan dari pemohon sita, agar sita dilaksanakan.
(d) Putusan Provisi
Putusan provisi diatur dalam Pasal 180 HIR Juncto Pasal 191 RBg. Putusan
provisi disebut juga sebagai provisionele beschikking yaitu keputusan yang
bersifat sementara atau interim award, yang berisi tindakan sementara
menunggu sampai putusan akhir mengenai pokok perkara dijatuhkan. Oleh
karena itu, putusan provisi tidak boleh mengenai materi pokok perkara, tetapi
hanya terbatas mengenai tindakan sementara berupa larangan melanjutkan
suatu kegiatan. Misalnya, melarang melanjutkan pembangunan di atas tanah
berperkara dengan ancaman hukuman membayar uang paksa.

b) Putusan Akhir
Putusan akhir atau eind vonnis atau dalam sistem Common Law sama dengan final
judgement. Jika putusan sela dilakukan pada saat proses pemeriksaan pokok
perkara sedang berlangsung, sedangkan putusan akhir diambil dan dijatuhkan pada
akhir pemeriksaan perkara pokok. Atau dalam praktek biasa disebut putusan
penghabisan. Putusan akhir merupakan tindakan dari hakim untuk menyelesaikan
dan mengakhiri suatu sengketa antara para pihak.
C. Latihan
1. Bagaimana Pengertian dari Putusan Pengadilan?
Uraikan jawaban anda
2. Bagaimana Asas Putusan?
Uraikan jawaban anda
3. Bagimana Formulasi Putusan?
Uraikan penjelasan anda
4. Mengapa hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara?
Uraikan penjelasan anda
5. Mengapa suatu gugatan dapat dinyatakan Gugur dan dapat putus melalui Verstek?
Uraikan penjelasan anda

D. Referensi
Frances Russell dan Christine Loche, English Law and Language, Cassel, London, 1992
h.30, Dalam M.Yahyah Harahap.
M. Yahyah Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Cet.III, Jakarta, 2005
Riduan Syahrani, Sistem Peradilan dan Hukum Acara Perdata di Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2016

Anda mungkin juga menyukai