Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk


memperoleh putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap
putusan yang dijatuhkan oleh Hakim belum tentu dapat menjamin kebenaran
secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan,
bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruan dan kekilafan itu dapat
diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakim
itu dimungkinkan untuk diperiksa ulang. Cara yang tepat untuk dapat
mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan melaksanakan upaya
hukum. Jadi, Upaya hukum merupakan Upaya atau alat untuk mencegah atau
memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan (Krisna Harahap, 2003 : 114-115).

Upaya hukum merupakan hak terdakwa yang dapat dipergunakan apabila


siterdakwa merasa tidak puas atas putusan yang diberikan oleh pengadilan.
Karena upaya hukum ini merupakan hak, jadi hak tersebut bisa saja dipergunakan
dan bisa juga siterdakwa tidak menggunakan hak tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaiman Pengertian Putusan Pengadilan?
2. Bagaiman Bentuk Struktur Putusan Pengadilan?
3. Apa Saja Tujuan Putusan Pengadilan?
4. Apa Saja Asas-Asas Putusan Pengadilan?
5. Apa Saja Jenis-Jenis Putusan Pengadilan?0

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Putusan Pengadilan


Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 memberi definisi tentang putusan sebagai berikut: "Putusan adalah
keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa.”
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Putusan hakim adalah : “suatu
pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu,
diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa antara para pihak”.1
Putusan hakim atau yang lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan
adalah merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh para pihak yang
berperkara guna menyelesaikan sengketa yang dihadapi, dengan putusan hakim
akan mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka
hadapi.2 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, suatu putusan hakim
merupakan suat pernyataan yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat
Negara yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan dimuka persidangan
sesuai dengan perundangan yang ada yang menjadi hukum bagi para pihak yang
mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau
supaya jangan melakukan suatu perbuatan yang harus ditaati.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, apabila
pemeriksaan perkara selesai, Majelis hakim karena jabatannya melakukan
musyawarah untuk mengambil putusan yang akan diajukan. Proses pemeriksaan
dianggap selesai apabila telah menempu tahap jawaban dari tergugat sesuai dari
pasal 121 HIR, Pasal 113 Rv, yang dibarengi dengan replik 3 dari penggugat

1
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo. 1993. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty.
Jogyakarta. hlm. 174.
2
Moh. Taufik Makarao. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Cet. I. Rineka Cipta.
Jakarta. 2004. Hlm. 124.
3
Jawaban atas tangkisan terdakwa atau pengacaranya

2
berdasarkan Pasal 115 Rv, maupun duplik4 dari tergugat, dan dilanjutkan dengan
proses tahap pembuktian dan konklusi.5
Jika semua tahapan ini telah tuntas diselesaikan, Majelis menyatakan
pemeriksaan ditutup dan proses selanjutnya adalah menjatuhkan atau pengucapan
putusan. Mendahului pengucapan putusan itulah tahap musyawarah bagi Majelis
untuk menentukan putusan apa yang hendak dijatuhkan kepda pihak yang
berperkara. Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan putusan pada uraian ini
adalah putusan peradilan tingkat pertama.
Untuk dapat membuat putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan
kepastian dan mencerminkan keadilan bagi para pihak yang berperkara, hakim
harus mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang
akan ditetapkan baik peraturan hukum tertulis dalam perundang - undangan
maupun peraturan hukum tidak tertulis atau hukum adat.
Bukan hanya yang diucapkan saja tetapi juga pernyataan yang dituangkan
dalam bentuk tulisan dan diucapkan oleh hakim di muka sidang karena jabatan
ketika bermusyawarah hakim wajib mencukupkan semua alasan-alasan hukum
yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak. Hakim wajib mengadili semua
bagian gugatan.Pengadilan menjatuhkan putusan atas hal-hal yang tidak diminta
atau mengabulkan lebih dari yang digugat.

B. Struktur Putusan Pengadilan


Dilihat dari wujudnya, setiap putusan pengadilan dalam perkara perdata
terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu :
1. Kepala Putusan
Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala putusan yang
berbunyi :
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).

4
Jawaban kedua sebagai jawaban atas replik
5
Kesimpulan (Pendapat)

3
Kepala putusan memiliki kekuatan eksekutorial kepada putusan
pengadilan. Pencantuman kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam putusan pengadilan oleh pembuat
Undang-Undang juga dimaksudkan agar hakim selalu menginsafi, bahwa
karena sumpah jabatannya ia tidak hanya bertanggung jawab pada hukum,
diri sendiri, dan kepada rakyat, tetapi juga bertanggung jawab kepada
Tuhan Yang Maha Esa (Penjelasan Umum angka 6 UU No.14/1970) .
2. Identitas pihak-pihak yang berperkara
Dalam putusan pengadilan identitas pihak penggugat, tergugat dan
turut tergugat harus dimuat secara jelas, yaitu nama, alamat, pekerjaan, dan
sebagainya serta nama kuasanya kalau yang bersangkutan menguasakan
kepada orang lain.
3. Pertimbangan (alasan-alasan)
Dalam putusan pengadilan terhadap perkara perdata terdiri atas 2 (dua)
bagian, yaitu :
a. Pertimbangan tentang duduk perkaranya (feitelijke gronden), adalah
bukan pertimbangan dalam arti sebenarnya, oleh karenanya
pertimbangan tersebut hanya menyebutkan apa yang terjadi didepan
pengadilan. Seringkali dalam prakteknya gugatan penggugat dan
jawaban tergugat dikutif secara lengkap, padahal dalam Pasal 184
HIR/Pasal 195 RBg menentukan bahwa setiap putusan pengadilan
dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban
dengan jelas.
b. Pertimbangan tentang hukumnya (rechtsgronden), adalah
pertimbangan atau alasan dalam arti yang sebenarnya, pertimbangan
hukum inilah yang menentukan nilai dari suatu putusan pengadilan,
yang penting diketahui oleh pihak-pihak yang berperkara dan hakim
yang meninjau putusan tersebut dalam pemeriksaan tingkat banding
dan tingkat kasasi.

4
4. Amar Putusan
Dalam gugatan penggugat ada yang namanya petitum, yakni apa yang
dituntut atau diminta supaya diputuskan oleh hakim. Jadi Amar putusan
(diktum) itu adalah putusan pengadilan merupakan jawaban terhadap petitum
dalam gugatan penggugat.Dalam Hukum Acara Perdata hakim wajib
mengadili semua tuntutan, baik dalam konvensi maupun rekonvensi, bila
tidak dilakukan putusan tersebut harus dibatalkan (MA Nomor 104
K/Sip/1968). 6

C. Tujuan Putusan Pengadilan


Secara umum manfaat dari putusan hakim peradilan agama adalah dapat
diselesaikannya sengketa-sengketa yang terkait dengan hal-hal yang terkait
dengan syariat-syariat hukum perdata Islam seperti perkawinan, waris, waqaf dan
sebagainya dengan berdasarkan pada asas keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan. Disamping itu tujuan adanya putusan pengadilan adalah
memberikan kepastian hukum.

D. Asas-Asas Putusan Pengadilan


Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 178 H.I.R, Pasal 189 R.Bg. dan
beberapa pasal dalam Undang – undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
kehakiman, maka wajib bagi hakim sebagai aparatur Negara yang diberi tugas
untuk itu, untuk selalu memegang teguh asas-asas yang telah digariskan oleh
undang-undang, agar keputusan yang dibuat tidak terdapat cacat hukum, yakni :
1. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Menurut asas ini setiap putusan yang jatuhkan oleh hakim harus
berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup, memuat dasar dasar putusan,
serta menampilkan pasal pasal dalam peraturan undang – undang tertentu yang
berhubungan dengan perkara yang diputus, serta berdasarkan sumber hukum
lainnya, baik berupa yurisprudensi, hukum kebiasaan atau hukum adapt baik

6
H. Riduan Syahrani, S.H. 2009. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Cet V. PT.
Citra Aditya Bakti Bandung.

5
tertulis maupun tidak tertulis, sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang –
undang No. 4 tahun 2004 pasal 25 Ayat (1). Bahkan menurut pasal 178 ayat
(1) hakim wajb mencukupkan segala alasan hukm yang tidak dikemukakan
para pihak yang berperkara.
2. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Asas ini diatur dalam Pasal 178 ayat (2) H.I.R., Pasal 189 ayat (2)
R.Bg. dan Pasal 50 Rv. Yakni, Hakim dalam setiap keputusannya harus secara
menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi tuntutan dan mengabaikan
gugatan selebihnya. Hakim tidak boleh hanya memerriksa sebagian saja dari
tuntutn yang diajukan oleh penggugat.
3. Tidak boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan
Menurut asas ini hakim tidak boleh memutus melebihi gugatan yang
diajukan (ultra petitum partium). Sehingga menurut asas ini hakim yang
mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugat dianggap telah
melampaui batas kewenangan atau ultra vires harus dinyatakan cacat atau
invalid, meskipun hal itu dilakukan dengan itikad baik. Hal ini diatur dalam
Asas ini diatur dalam Pasal 178 ayat (3) H.I.R., Pasal 189 ayat (3) R.Bg. dan
Pasal 50 Rv.
4. Diucapkan di Muka Umum
Prinsip putusan diucapkan dalam sidang terbuka ini ditegaskan dalam
Undang undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 20.
Hal ini tidak terkecuali terhadap pemeriksaan yang dilakukan dalam sidang
tertutup, khususnya dalam bidang hukum keluarga, misalnya perkara
perceraian, sebab meskipun perundangan membenarkan perkara perceraian
diperiksa dengan cara tertutup.
Namun dalam pasal 34 peraturan Pemerintah tahun 1975 menegaskan
bahwa putusan gugatan perceraian harus tetap diucapkan dalam sidang yang
terbuka untuk umum. Sehingga prinsip keterbukaan ini bersifat memaksa
(imperative), tidak dapat dikesampingkan, pelanggaran terhadap prinsip ini
dapat mengakibatkan putusan menjadi cacat hukum.

6
E. JENIS-JENIS PUTUSAN PENGADILAN
1. Berdasarkan Lingkungan Peradilan
a. Putusan Perkara Pidana
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang
menangani perkara pidana dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) sebagai ketentuan utama dalam penyusunannya.
KUHAP merupakan penyebutan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana. Indonesia, Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, UU Nomor 8 Tahun 1981, LN Nomor 76 Tahun 1981,
TLN Nomor 3258, Pasal 285.
b. Putusan Perkara Perdata
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang
menangani perkara perdata dengan HIR, Rbg, dan Rv sebagai ketentuan
utama dalam penyusunannya.
c. Putusan Perkara Perdata Agama
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang
menangani perkara agama. Putusan dalam perkara agama mengikuti
putusan perkara perdata dengan beberapa modifikasi seperti yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama.
d. Putusan Perkara Tata Usaha Negara
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang
menangani perkara tata usaha negara. Putusan dalam perkara tata usaha
negara mengikuti putusan perkara perdata dengan beberapa modifikasi
seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
e. Putusan Perkara Militer
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang
menangani perkara pidana militer dengan Undang-Undang Nomor 31

7
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sebagai ketentuan utama dalam
penyusunannya.

2. Berdasarkan Pada Tahap Persidangan


a. Putusan Sela
Putusan sela merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis
hakim, namun belum menyinggung pokok perkara yang terdapat dalam
dakwaan/gugatan. Dalam perkara pidana, putusan sela berkaitan dengan
pengajuan keberatan dari Terdakwa/Penasihat Hukumnya mengenai
kewenangan pengadilan untuk mengadili perkara, dakwaan tidak dapat
diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan. Pada sisi lainnya, didalam
perkara perdata, putusan sela dapat berupa putusan preparatoir, putusan
interlocutoir, putusan incidenteel, dan putusan provisioneel.
1) Putusan Preparatoir, merupakan salah satu spesifikasi yang
terkandung dalam putusan sela, yang dijatuhkan oleh hakim guna
mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan perkara. Sifat dasar
dari putusan ini adalah tidak mempengaruhi pokok perkara itu
sendiri. Misalnya, putusan yang menetapkan bahwa gugatan balik
(gugatan dalam rekonvensi) tidak akan diputus bersama- sama
dengan gugatan dalam konvensi, atau sebelum hakim memulai
pemeriksaan, terlebih dahulu menjatuhkan putusan tentang tahap-
tahap proses atau jadwal persidangan. Umpamanya pembatasan
tahap jawab-menjawab atau replik-duplik dan tahap pembuktian.
Akan tetapi, dalam praktik hal ini jarang terjadi. Proses
pemeriksaan berjalan dan berlangsung sesuai dengan kebijakan
hakim, yaitu dengan memperhitungkan tenggang pemunduran
persidangan oleh hakim tanpa lebih dahulu ditentukan tahap-
tahapnya. Heikhal A. S. Pane, Penerapan Uitvoerbaar bij
Voorraad dalam Putusan Hakim pada Pengadilan Tingkat
Pertama (Studi Kasus: Putusan Perkara Perdata Register Nomor:

8
89/PDT.G/ 2005/PN.TNG), Skripsi, (Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2009), hal. 20.
2) Putusan Interlacutoir adalah putusan sela yang dijatuhkan oleh
hakim dengan amar yang berisikan perintah pembuktian dan dapat
mempengaruhi pokok perkara. Misalnya putusan yang berisi
perintah untuk memberikan keterangan ahli, putusan tentang beban
pembuktian kepada salah satu pihak agar membuktikan suatu
putusan dengan amar memerintahkan dilakukan pemeriksaan
setempat (descente).
3) Putusan Insidentil, adalah salah satu jenis putusan sela yang
berhubungan dengan adanya incident, yang diartikan dalam Rv.
sebagai peristiwa atau kejadian yang menunda jalannya proses
pemeriksaan perkara. Putusan incidenteel dapat dibedakan menjadi
putusan incidenteel dalam gugatan intervensi yang terbagi menjadi
voeging, tussenkomst, dan vrijwaring dan putusan incidenteel
dalam sita jaminan (conservatoir beslag).
b. Putusan Akhir
Putusan akhir merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis
hakim setelah memeriksa pokok perkara dengan memperhatikan fakta-
fakta yang terjadi di persidangan. Putusan yang lazim disebut sebagai end
vonis ini dapat dibedakan dalam perkara pidana dan militer pada satu sisi
dan perkara perdata, agama, dan tata usaha negara pada sisi lainnya, yang
secara lengkap adalah sebagai berikut:
1) Putusan Akhir dalam Perkara Pidana dan Militer, dalam
perkara pidana dan militer, putusan akhir dapat berupa putusan
yang bersifat pemidanaan dan putusan yang bukan bersifat
pemidanaan, yang terdiri dari bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum.
2) Putusan Akhir dalam Perkara Perdara, Agama dan TUN,
Dalam perkara perdata, agama, dan tata usaha negara, putusan

9
akhir dapat dibedakan menjadi putusan yang bersifat declaratoir,
condemnatoir, dan constitutief.
a) Putusan Declaratoir
Putusan declaratoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh
hakim dengan amar yang menyatakan atau menegaskan tentang
suatu keadaan atau kedudukan yang sah menurut hukum semata-
mata. Misalnya, tentang kedudukan sebagai anak sah, kedudukan
sebagai ahli waris, atau tentang pengangkatan anak.
b) Putusan Condemnatoir
Putusan condemnatoir adalah putusan yang dijatuhkan
oleh hakim dengan amar yang bersifat menghukum. Bentuk
hukuman dalam perkara perdata berbeda dengan hukuman
dalam perkara pidana. Dalam perkara perdata, bentuk
hukumannya berupa kewajiban untuk melaksanakan atau
memenuhi prestasi yang dibebankan kepada pihak yang
terhukum. Prestasi yang dimaksud dapat berupa memberi,
berbuat, atau tidak berbuat.
c) Putusan Constitutif
Putusan constitutief adalah putusan yang dijatuh-kan
oleh hakim yang amarnya menciptakan suatu keadaan hukum
yang baru, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan
hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru.
Misalnya putusan perceraian, merupakan putusan yang
meniadakan keadaan hukum yakni tidak ada lagi ikatan hukum
antara suami dan istri sehingga putusan itu meniadakan
hubungan perkawinan yang ada, dan bersamaan dengan itu
timbul keadaan hukum yang baru kepada suami dan istri, yaitu
sebagai janda dan duda.

10
3. Berdasarkan Hadir Tidaknya Pihak
a. Putusan Verstek
Putusan verstek, yaitu putusan yang dijatuhkan karena
tergugat/termohon tidak hadir dalam persidangan padahal sudah
dipanggil secara resmi, sedangkan penggugat/pemohon hadir.
b. Putusan Gugur
Putusan gugur, yaitu putusan yang menyatakan bahwa
gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah
hadir meskipun sudah dipanggil secara resmi dan tergugat/termohon
hadir dalam sidang dan mohon putusan.
c. Putusan Kontadiktoir
Putusan kontradiktoir, yaitu putusan akhir yang pada saat
dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu pihak atau
para pihak.
4. Berdasarkan Amar
a. Putusan Tidak Menerima Penggugat
Putusan tidak menerima penggugat yaitu gugatan
penggugat/permohonan pemohon tidak diterima karena tidak terpenuhinya
syarat hkum baik formil maupun materil (putusan negatif).
b. Putusan Menolak Gugatan Penggugat
Putusan menolak gugatan penggugat, yaitu putusan akhir yang
dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan, tetapi ternyata
dalil- dalil penggugat tidak terbukti (putusan negatif).
c. Putusan Mengabulkan Gugatan Penggugat Untuk Sebagian Dan
Menolak Tidak Menerima Selebihnya
Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan
menolak tidak menerima selebihnya, yaitu putusan akhir yang dalil gugat
ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti atau tidak memulai
syarat ( putusan campuran positif dan negatif).

11
d. Putusan Mengabulkan Gugatan Penggugat Seluruhnya
Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya, yaitu
putusan yang terpenuhinya syarat gugat dan terbuktinya dalil- dali gugat
(putusan positif).

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Putusan hakim adalah : “suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai
pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.
Putusan hakim atau yang lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan
adalah merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh para pihak yang
berperkara guna menyelesaikan sengketa yang dihadapi, dengan putusan hakim
akan mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka
hadapi.
Untuk dapat membuat putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan
kepastian dan mencerminkan keadilan bagi para pihak yang berperkara, hakim
harus mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang
akan ditetapkan baik peraturan hukum tertulis dalam perundang - undangan
maupun peraturan hukum tidak tertulis atau hukum adat.

B. Saran
Kami selaku penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi pedoman
untuk kita bersama,terkhusus bagi pembaca makalah ini,namun kami selaku
penulis menyaran kan kepada pembaca agar sebagus nya mencari referensi lain
untuk menambah keyakinan kita dalam menimba ilmu,dan membuat ilmu yang
kita pegang menjadi kokoh. Sekian dari kami,banyak maaf atas segala ke khilafan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo. 1993. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty.
Jogyakarta.

Moh. Taufik Makarao. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Cet. I. Rineka Cipta.
Jakarta. 2004.

H. Riduan Syahrani, S.H. 2009. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Cet
V. PT. Citra Aditya Bakti Bandung.

14

Anda mungkin juga menyukai