Dosen Pengampu :
Disusun oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hakim dan Undang-Undang adalah satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan jika kita
membahas negara Indonesia sebagai negara hukum. Hakim harus mampu memberikan dan
mewujudkan keadilan di mata hukum (equality before the law) bagi seluruh masyarakat
maupun pihak terkait lainnya. Hakim merupakan pejabat peradilan negara yang diberikan
wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Hakim dalam menjalankan tugas dan
fungsinya juga wajib menjaga kemandirian peradilan. Selain itu, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pasal ini semakin mempertegas bahwa dalam memutus suatu
perkara, hakim dituntut harus bersikap adil demi mencapai apa yang menjadi tujuan dari
Mahkamah Agung menegaskan bahwa seluruh badan peradilan yang ada di bawah
Mahkamah Agung perlu untuk menaati asas “peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat,
dan biaya ringan” sesuai yang diatur dalam ketentuan pasal 2 ayat (4) Undang-Undang
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak memberikan definisi dari sederhana, cepat, dan
biaya ringan. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
sederhana, cepat, dan biaya ringan” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara harus
dilakukan secara efisien dan efektif serta hanya memerlukan biaya yang sedikit, namun
harus tetap mengedepankan aspek ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan karena
penegakan keadilan sangat berhubungan dengan penegakan hak. 1 Tentu di sini dapat terlihat
bahwa analisis terhadap putusan hakim menjadi penting sebagai sarana check and balances
terhadap kewenangan hakim dalam memutus perkara sesuai yang telah dimandatkan Pasal
B. Identifikasi Masalah
MDN?
1 Alan Ryan, Justice - Oxford Readings In Politics And Government, Oxford University Press, 1993, hlm. 1-2.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Tujuan dari proses peradilan adalah untuk memperoleh putusan hakim. 2 Putusan
hakim atau putusan peradilan adalah suatu hal yang menjadi final bagi para pihak yang
berperkara guna menyelesaikan sengketa yang terjadi di kedua belah pihak. Hal ini karena
dengan adanya putusan hakim, maka pihak yang bersengketa mendapatkan kepastian
Hakim adalah pilar utama untuk pencari keadilan dalam proses peradilan. Salah satu
hakim dituntut untuk memberikan keadilan kepada pihak yang bersengketa. Adapun
pemberian kepada hakim untuk memutus putusan dan memerintahkan pelaksanaan lebih
dahulu putusan meskipun belum memperoleh kekuatan tetap diatur dalam Pasal 180 ayat
(1) HIR, Pasal 191 ayat (1) Rbg, dan Pasal 54 Rv. Hal ini karena melalui putusan pengadilan
itu dapatlah diketahui hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang berperkara, namun
hal itu bukan berarti tujuan akhir dari para pihak yang berperkara tersebut telah selesai
terutama bagi pihak yang menang, hal ini disebabkan pihak yang menang tidak
mengharapkan kemenangannya itu hanya di atas kertas belaka tetapi harus ada pelaksanaan
2 M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet. III, Jakarta : Sinar Grafika Offset. 2003. hlm. 48.
3 Moh. Taufik Makarao. Pokok Pokok Hukum Acara Perdata, cet I. Jakarta : PT Rineka Cipta. 2004. hlm. 124.
4 M. Husni, Ilyas Ismail, dan Muzakkir Abubakar, Putusan Serta Merta dan Pelaksanaannya (Suatu penelitian
(http://prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.2.11.2013/4.29.36.muhamm
ad.h usni.pdf , diakses pada tanggal 27 Oktober 2017 pukul 22.24 WIB), hlm. 2
Menurut Prof. Sudikno Mertokusumo, “putusan hakim adalah suatu pernyataan
yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan di persidangan dan
bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau suatu sengketa antara para
pihak. 5 Disamping itu, menurut Lilik Mulyadi, “jika ditinjau dari visi praktik dan teoritis,
putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara perdata
yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara perdata pada
umumnya dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan mengakhiri suatu perkara.”
pernyataan yang dibuat dalam bentuk tertulis oleh hakim untuk menyelesaikan atau
mengakhiri perkara yang terjadi guna menegakkan kepastian hukum dan keadilan bagi
Pengaturan mengenai asas putusan hakim tertuang dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189
RBg, dan beberapa dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Sesuai dengan asas ini, maka setiap putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus
berdasarkan pertimbangan yang jelas. Asas ini tertuang dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004, dimana “Segala putusan pengadilan selain harus memuat
alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.”
Selain itu, asas ini juga diatur dalam Pasal 178 ayat (1) HIR, yang menyatakan
bahwa, “hakim karena jabatannya atau secara ex officio, wajib mencukupkan segala
hakim harus mampu menemukan hukum yang tepat untuk menggenapi segala alasan
dan dasar hukum yang ada dalam pertimbangan putusannya. Dalam hal ini, apabila
Ketentuan mengenai asas ini dituangkan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189
ayat (2) Rbg, dan Pasal 50 Rv. Adapun maksud dari asas ini adalah bahwa dalam setiap
putusannya, hakim harus memeriksa secara menyeluruh bagian dari setiap segi gugatan
yang diajukan. Hakim tidak boleh memeriksa dan memutus hanya sebagian saja.
Asas ini diatur dalam Pasal 178 ayat (3) HIR, Pasal 189 ayat (3) Rbg, dan Pasal 50
Rv. Asas ini disebut sebagai Ultra Petitum Partium. Adapun maksud dari asas ini adalah
bahwa suatu putusan yang mengandung ultra petitum harus dinyatakan sebagai cacat
walaupun hal itu dilakukan atas dasar itikad baik hakim. Asas ini berhubungan dengan
fungsi peradilan perdata hanya sebagai sarana penyelesaian sengketa antara kedua belah
Asas ini tertuang dengan jelas dalam Pasal 20 UU Nomor 4 Tahun 2004, yang
berbunyi, “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
Berdasarkan pada Pasal 185 HIR, Pasal 196 RBg, Pasal 46 sampai dengan Pasal 48
Rv, dan juga sesuai dengan Pasal 180 HIR dan Pasal 191 RBg, terdapat beberapa jenis
1. Putusan Sela
Putusan sela adalah putusan yang bersifat sementara dan bukan merupakan putusan
akhir. Putusan Sela diatur dalam Pasal 185 ayat (1) HIR atau Pasal 48 Rv. Tujuan dari
pemeriksaan perkara yang sedang dilakukan. Putusan sela tidak bisa berdiri sendiri
tanpa adanya putusan akhir. Selain itu, putusan sela diucapkan secara terpisah sehingga
jika pihak yang berperkara menginginkan putusan sela, maka hakim dapat memberikan
2. Putusan Preparatoir
Putusan ini adalah salah satu spesifikasi yang tertuang dalam putusan sela.
Putusan ini dijatuhkan oleh hakim untuk mempersiapkan pemeriksaan perkara. Putusan
3. Putusan Interlocutoir
Putusan ini adalah bentuk khusus dari Putusan Sela yang berisi berbagai perintah
akhir dalam suatu pokok perkara. Adapun jenis-jenis putusan ini adalah :
sumpah penentu ataupun sumpah tambahan (Pasal 155 HIR dan Pasal 1929
KUHPer)
e. Putusan yang memerintahkan kepada hakim agar saksi tersebut dipanggil secara
4. Putusan Insidentil
Putusan ini adalah bagian dari Putusan Sela yang berhubungan langsung dengan
adanya insiden. Dalam Rv dijelaskan, insiden yang dimaksud dalam hal ini adalah
peristiwa yang menunda jalannya proses pemeriksaan perkara. Secara umum, putusan
Bentuk gugatan yang interventie yang dapat diajukan pihak ketiga yang
- Voeging
- Tussenkomst
- Vrijwaring
perintah atas pengangkatan sita tersebut harus dituangkan dalam putusan insidentil.
5. Putusan Provisionil
Putusan ini bersifat sementara dan diatur dalam Pasal 180 HIR dan Pasal 191 Rbg.
Putusan ini berisi tindakan sementara menunggu sampai putusan akhir mengenai pokok
perkara dijatuhkan.
6. Putusan Akhir
mengakhiri perkara perdata pada tingkat pemeriksaan tertentu. Perkara perdata dapat
tingkat kasasi di Mahkamah Agung. 6 Dalam penggolongan putusan akhir, ada beberapa
tinjauan, yaitu :
6 H. Zainuddin Mappong, Eksekusi Putusan Serta Merta (Proses Gugatan Dan Cara Membuat Putusan Serta
Pelaksanaan Eksekusi Dalam Perkara Perdata), Tunggal Mandiri Publishing, Malang, 2010, hlm 34
a. Ditinjau dari Sifat Putusan
- Putusan Declaratoir, yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim dengan amar
yang menyatakan atau menegaskan tentang suatu keadaan atau kedudukan yang
sah menurut hukum semata. Misalnya, dalam perkara anak sah, kedudukan
- Putusan Constitutief, yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang amarnya
menciptakan suatu keadaan hukum yang baru, baik itu yang bersifat meniadakan
keadaan hukum ataupun yang menimbulkan hukum yang baru. Misalnya, dalam
- Putusan Condemnatoir, yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim dengan amar
mengganti kerugian.
pihak yang bersengketa. Namun, ada beberapa sengketa yang dimana salah
● Putusan Gugatan Gugur, hal ini apabila penggugat tidak datang pada hari
sidang yang telah ditentukan dan sudah dipanggil secara patut. Hal ini
● Putusan Verstek, yaitu putusan yang berupa hukuman yang diberikan oleh
persidangan dan sudah dipanggil secara patut. Hal ini diatur dalam Pasal
diucapkan para pihak hadir dan pada saat putusan diucapkan salah satu
pihak tidak hadir. Namun, dalam putusan ini yang perlu diperhatikan
adalah dalam putusan ini, ketidakhadiran itu terjadi pada saat putusan
sidang pertama.
Putusan dalam hal ini bertitik tumpu pada penetapan dan penegasan kepastian
● Menyatakan gugatan tidak dapat diterima, dimana hal ini terjadi karena
adanya cacat formil, dimana pihak yang mengajukan gugatan adalah kuasa
yang tidak didukung oleh surat kuasa khusus yang memenuhi syarat atau
● Gugatan Daluwarsa
yang diajukan tidak memenuhi batas minimal pembuktian atau alat bukti
CONTOH KASUS
35/Pdt.G/2012/PN.Blg
a. Para pihak :
Lestari Tbk
b. Penyebab sengketa :
Pihak penggugat yang mengklaim bahwa tanah tempat bangunan pihak tergugat berdiri dan
beroperasi adalah hak milik penggugat sehingga penggugat menuntut penggunaan tanah
● Menyatakan demi hukum bahwa apa yang dilakukan tergugat adalah Perbuatan
Melawan Hukum
● Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah diletakkan dalam perkara ini
● Menyatakan demi hukum bahwa tanah tersebut adalah hak dan kepunyaan penggugat
● Menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi kepada penggugat - penggugat secara
● Menghukum tergugat untuk segera untuk mengosongkan tanah serta bangunan di atas
tanah satu bulan sejak diputuskan tidak membayar ganti rugi materiil dan immateriil
harinya jika tergugat lalai untuk memenuhi isi putusan terhitung sejak putusan perkara
● Bahwa karena gugatan penggugat - penggugat didukung oleh bukti yang kuat,
menyatakan dalam putusan perkara ini dapat dijalankan dengan serta merta walaupun
tersebut dengan alasan bahwa apa yang diajukan oleh penggugat - penggugat/para
pembanding itu ada pengulangan saja dari apa yang telah disampaikan dalam tingkat
pengadilan negeri
perkara8
7http://sipp.pnbalige.go.id/list_perkara/type/Q3BrdU1Venl1c3FZSW9JWnVTSUdqMGlPQXI1Tk8yeWNu
WU5zZDVJb1R3bmJic1BRVGc1Ty9ucC9hRlVpOGZKL1ZmNjRPdFNaSGthc1hTY0hPTFhnclE9PQ=
8https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/dff892c7dbb50554bdec08d9ac25f5be.html,
PEMBAHASAN MASALAH
yang dapat dijumpai. Pada Putusan Hakim dalam kasus Putusan No.35/Pdt.G/2012/PN.Blg,
dijelaskan bahwasannya seluruh gugatan oleh penggugat tidak dapat diterima dan
memberikan konsekuensi kepada penggugat untuk membayar biaya perkara. Dalam hal ini,
Putusan Hakim mengacu pada asas wajib mengadili seluruh bagian gugatannya berdasarkan
Pasal 178 ayat 2 H.I.R, Pasal 189 ayat 2 RBg., dan Pasal 50 RV. Seluruh Petitum yang
dilayangkan oleh penggugat terhadap tergugat tidak memiliki pembuktian yang kuat bahkan
penggugat pun tidak bisa membuktikan bahwa tanah tersebut memang merupakan hak milik
sebagai pelanggar hukum yang tidak terbukti di pengadilan, maka Hakim tidak menerima
penggugat dengan membayar biaya perkara namun masih memberikan kesempatan untuk
banding.
yang sama dengan tidak menerima seluruh gugatan dari pihak penggugat dan menghukum
pihak penggugat untuk kembali membayar biaya perkara dikarenakan poin-poin yang
diungkapkan oleh pihak penggugat hanyalah pengulangan dari kasus di Pengadilan Negeri
sebelumnya dan tidak ada tinjauan lebih lanjut untuk dapat membuktikan bahwa tergugat
pihak penggugat yang tidak masih tidak dapat dibuktikan kejelasan kepemilikannya oleh
pihak penggugat. Pada kasus ini, Putusan Hakim melibatkan asas Memuat Dasar Alasan
yang Jelas dan Rinci sesuai Pasal 25 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 mengenai kekuasaan
Kehakiman. Menurut Pasal 178 ayat 1 H.I.R, Hakim juga memiliki asas pembenaran dalam
kekuasaan dalam mencukupkan segala alasan hukum yang tidak ditemukan di dalam
perkara dan di dalam posisi ini Hakim telah melaksanakan asas tersebut sesuai dengan
jabatannya dengan mengungkapkan tidak ada nya perkembangan poin dari persidangan
sebelum banding yang terjadi di PN Balige. Dalam asas putusan hakim ini, dapat dilihat
hakim sebagai pemegang jabatan yang memiliki judicative power dan judicial power of the
state10 dalam menyelesaikan suatu perkara yang dianggap tidak ada penyelesaian oleh antar
pihak yang beracara dan tidak dapat membuktikan suatu perkara hingga putusan hakim
Berdasarkan pada jenis - jenis putusan hakim di dalam hukum acara perdata dan
Putusan No. 35/Pdt.G/2012/PN.Blg maka dapat disimpulkan bahwa kedua jenis putusan
adalah putusan yang diberikan oleh hakim untuk meniadakan suatu hubungan hukum atau
dengan jenis constitutief (pengaturan) dengan dasar pertimbangan melihat dari petitum dan
9 Subekti dan Tjitrosoedibio, op.cit, hal. 43 atau pandu, op.cit, halaman 60.
11 Sarwono, S.H., M.Hum., Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, 2020, hlm. 212.
a. Menyatakan sah demi hukum bahwa tanah tersebut adalah tanah penggugat dan pihak
tergugat tidak memiliki itikad baik untuk membayar ganti rugi terhadap penggugat atas
b. Menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi secara lunas, mengosongkan tanah
yang saat ini ditempat oleh tergugat, serta membayar uang paksa karena tanah tersebut
b. Penggugat diwajibkan membayar biaya perkara. Hal ini sesuai dengan Pasal 192 Rbg
dimana pihak yang dikalahkan dalam persidangan wajib untuk membayar biaya
menyebabkan perubahan kondisi dan menimbulkan suatu hubungan hukum yang baru, baik
antara para pihak maupun antara para pihak dengan objek sengketa. Pada kondisi sebelum
adanya Putusan No. 35/Pdt.G/2012/PN.Blg tanah yang ini masih berstatus sengketa antara
penggugat (yang menyatakan bahwa tanah tersebut adalah miliknya) dan tergugat (yang
menggunakan tanah tersebut) serta hal ini (kehendak penggugat) juga dituangkan dalam
petitum penggugat. Namun, status sengketa ini menjadi jelas dan menimbulkan sebuah
kondisi, serta hubungan hukum baru setelah adanya Putusan No. 35/Pdt.G/2012/PN.Blg
yang menyatakan bahwa petitum penggugat tidak dapat diterima dimana di dalam petitum
tersebut penggugat mencantumkan tuntutan agar tanah tersebut dinyatakan sah demi hukum
menjadi milik penggugat berikut dengan pengaturan tentang penggunaan tergugat terhadap
tanah tersebut selama ini. Penjelasan lebih lanjut mengenai aspek - aspek yang
menimbulkan perubahan kondisi serta hubungan hukum baru ini adalah sebagai berikut :
dapat diterima karena klaim tersebut dianggap tidak beralasan atau melawan hak yang
menyebabkan petitumnya tidak dapat diterima oleh hakim. Oleh karena itu, putusan ini
menimbulkan hubungan hukum baru antara penggugat dengan tergugat dan objek
sengketa, dimana penggugat tidak lagi dapat mengklaim tanah tersebut sebagai miliknya
dan penggunaan tanah tersebut oleh tergugat selama ini adalah dianggap sah dan tidak
bertentangan dengan hak penggugat sebagai pemilik sah atas tanah tersebut karena
b. Permintaan ganti rugi, pembayaran, pengosongan objek sengketa oleh tergugat yang
awalnya dimintakan oleh penggugat juga tidak dapat diterima karena klaim tersebut
juga dianggap tidak beralasan atau melawan hak. Oleh karena itu, tercipta hubungan
hukum yang baru antara penggugat dengan tergugat dan objek sengketa, dimana
tergugat menjadi tidak memiliki kewajiban hukum dan tidak harus melakukan ganti
rugi, pembayaran, dan pengosongan terhadap tanah tersebut karena tidak diperintahkan
oleh hakim atas dasar putusan bahwa penggugat tidak berhak atas tanah tersebut.
putusan banding dari Putusan No. 35/Pdt.G/2012/PN.Blg juga tergolong pada jenis putusan
constitutief (pengaturan) karena putusan ini juga turut menciptakan hubungan hukum
baru, baik antara para pihak maupun antara para pihak dengan objek sengketa. Dimana pada
karena apa yang dijelaskan oleh penggugat dianggap hanya pengulangan dan tidak
c. Penggugat harus membayar biaya perkara yang besarnya ditentukan melalui putusan
hubungan hukum baru yang ditimbulkan akibat adanya Putusan No. 35/Pdt.G/2012/PN.Blg
KESIMPULAN
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang diucapkan oleh hakim sebagai pejabat
yang diberi wewenang tersebut dan diucapkan di persidangan serta bertujuan mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau suatu sengketa antara para pihak. Putusan hakim biasanya
dibentuk dalam bentuk tertulis untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara yang terjadi guna
menegakkan kepastian hukum dan keadilan bagi pihak yang bersengketa. Beberapa asas
putusan hakim antara lain memuat dasar alasan yang jelas dan rinci, wajib mengadili seluruh
bagian gugatannya tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan, dan diucapkan di muka umum.
Jenis-jenis putusan hakim antara lain adalah putusan sela, putusan preparatoir, putusan
merupakan hasil putusan banding No. 35/Pdt.G/2012/PN.Blg, dapat ditemukan bahwa putusan
hakim tersebut mengandung asas wajib mengadili seluruh bagian gugatannya berdasarkan pasal
178 ayat 2 HIR, pasal 189 ayat 2 RBg, dan pasal 50 RV. Hal ini ditunjukkan dengan cara hakim
tetap mencermati seluruh petitum yang dilayangkan oleh penggugat. Selain itu, pada kasus
jelas dan rinci sesuai pasal 25 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 mengenai Kekuasaan Kehakiman.
Hal ini ditunjukkan dengan fakta bahwa hakim mengungkapkan tidak ada nya perkembangan
(pengaturan). Putusan constitutief adalah putusan yang diberikan oleh hakim untuk meniadakan
suatu hubungan hukum atau mengadakan suatu hubungan hukum yang baru antara para pihak.
Hal ini didasari dengan alasan bahwa petitum dan putusan tersebut dapat disimpulkan bahwa
putusannya menyebabkan perubahan kondisi dan menimbulkan suatu hubungan hukum yang
baru, baik antara para pihak maupun antara para pihak dengan objek sengketa. Kemdian
mengenai Putusan No. 335/PDT/2013/PT-MDN yang merupakan putusan banding dari Putusan
karena putusan ini juga turut menciptakan hubungan hukum baru, baik antara para pihak
Instrumen Hukum:
Buku:
Sarwono, S.H., M.Hum., Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, 2020.
Moh. Taufik Makarao. Pokok Pokok Hukum Acara Perdata, cet I. Jakarta : PT Rineka Cipta.
2004.
M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet. III, Jakarta : Sinar Grafika Offset. 2003.
Alan Ryan, Justice - Oxford Readings In Politics And Government, Oxford University Press.
Jurnal:
H. Zainuddin Mappong, Eksekusi Putusan Serta Merta (Proses Gugatan Dan Cara Membuat
M. Husni, Ilyas Ismail, dan Muzakkir Abubakar, Putusan Serta Merta dan Pelaksanaannya
(http://prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.2.11.2013/4.29.36.muhamma
d.h usni.pdf , diakses pada tanggal 27 Oktober 2017 pukul 22.24 WIB),