Anda di halaman 1dari 6

HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

Asas-asas dan Karakteristik Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mandiri Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi

Dosen Pengampu:
DR. BERNA SUDJANA ERMAYA, S.H., M.H.

Disusun Oleh:
AGUNG PRANATA WEYNANDA
NPM: 211000022
KELAS: 02

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2022
Asas-asas dan Karakteristik Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

1. Asas Independensi atau Noninterfentif


Asas ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 2 UU Mahkamah Konstitusi yang menegaskan
bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman dengan merdeka.
Sehingga sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka kekuasaan extra judicial dilarang
melakukan campur tangan atau intervensi. Intervensi terhadap kekuasaan kehakiman
berdasarkan UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dapat dipidana.

2. Asas Praduga Rechtmatige


Sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi, objek yang menjadi perkara misalnya
permohonan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, maka undang-
undang tersebut harus selalu dianggap sah atau telah sesuai dengan hukum sebelum putusan
hakim konstitusi menyatakan sebaliknya.
Konsekuensinya, akibat putusan hakim konstitusi tersebut adalah “ex nunc” yaitu dianggap
ada sampai saat pembatalannya. Artinya, akibat ketidaksahan undang-undang karena
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, misalnya tidaklah berlaku surut namun sejak
pernyataan bertentangan oleh Mahkamah Konstitusi selanjutnya.

3. Asas Sidang Terbuka untuk Umum


Pasal 40 ayat (1) menyatakan bahwa Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum,
kecuali rapat permusyawaratan hakim. Dengan demikian persidangan yang dilakukan
Mahkamah konstitusi dapat diakses oleh publik, artinya setiap orang boleh hadir untuk
mendengar dan menyaksikan jalannya persidangan.
Asas ini membuka “social control” dari masyarakat agar jalannya persidangan berlangsung
secara fair dan obyektif. Meskipun persidangan terbuka untuk umum, tetapi setiap orang yang
hadir dalam persidangan wajib menaati tata tertib persidangan yang diatur oleh Mahkamah
Konstitusi.
4. Asas Hakim Majelis
Asas ini ditegaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
bahwa Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus dalam sidang pleno
Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar
biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah
Konstitusi.
Dalam hal Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan memimpin sidang pleno sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sidang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.
Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan pada waktu yang
bersamaan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (2) dan (3) sidang pleno dapat
dipimpin oleh ketua sementara yang dipilih dari dan oleh Anggota Mahkamah Konstitusi.

5. Asas Objektivitas
Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri,
apabila terkait hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan
suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat, atau penasihat hukum
atau antara hakim dan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana
yang disebutkan di atas, atau hakim atau panitera tersebut mempunyai kepentingan langsung
atau tidak langsung.

6. Asas Keaktifan Hakim Konstitusi (dominus litis)


Asas ini tercermin salah satunya dari asas pembuktian yang menunjukkan bahwa hakim
konstitusi dapat mencari kebenaran materil yang tidak terikat dalam menentukan atau memberi
penilaian terhadap kekuatan alat buktinya.
Selain itu asas keaktifan hakim konstitusi juga tercermin dalam kewenangan hakim konstitusi
memerintahkan kepada para pihak untuk hadir sendiri dalam persidangan sekalipun telah
diwakili oleh kuasa hukum.
Ketentuan ini dimaksudkan agar hakim konstitusi dalam menemukan kebenaran materil yang
dapat diperoleh dari kesaksian dan penjelasan para pihak yang berperkara. Hal ini
mencerminkan karakteristik hukum publik di dalam hukum acara Mahkamah konstitusi.
7. Asas Pembuktian Bebas
Hakim konstitusi bebas dalam menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian
beserta penilaian pembuktian atau sah tidaknya alat bukti berdasarkan keyakinannya.
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa Mahkamah
Konstitusi memutus perkara berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan
hakim. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.

8. Asas Putusan Berkekuatan Hukum Tetap dan Bersifat Final


Dalam pasal 47 disebutkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan
hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
Oleh karena itu putusan mahkamah konstitusi bersifat final dan tidak dimungkinkan untuk
diajukan upaya hukum lebih lanjut, seperti banding, kasasi dan seterusnya. Dengan asas ini
Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final.

9. Asas Putusan Mengikat secara “Erga Omnes”


Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang tidak hanya mengikat para pihak
(inter parties), tetapi juga harus ditaati oleh siapapun (erga omnes).
Ketentuan ini mencerminkan kekuatan hukum mengikat dan karena sifat hukumnya publik
maka berlaku pada pada siapa saja, tidak hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara.

10. Asas Sosialisasi


Dalam Pasal 13 dijelaskan hasil keputusan wajib diumumkan dan dilaporkan berkala
kepada masyarakat secara terbuka di berbagai media seperti buku, jurnal, berita Mahkamah
Konstitusi dan lain- lain. Sehingga masyarakat dapat membaca dan mengakses dengan bebas
putusan-putusan dari situs resmi Mahkamah Konstitusi.
11. Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
Dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 dijelaskan untuk memenuhi harapan para
pencari keadilan, maka pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang
efisien, efektif dan dengan biaya perkara yang ringan.
Walaupun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak boleh mengorbankan
ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.

Penerapan asas-asas ini yaitu pada seluruh proses penyelesaian sengketa oleh MK.
Pengambilan putusan penyelesaian Perselisihan Sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK)
didasarkan pada keyakinan hakim konstitusi setelah menilai bukti yang diajukan oleh para pihak.
Sementara itu, undang-undang telah membatasi kewenangan MK dalam Pemilukada yaitu hanya
untuk memutus hasil penghitungan suara Pilkada. Oleh karena itu, MK melalui penafsiran telah
menciptakan norma baru dalam putusan-putusan perkara Pemilukada. Dalam beberapa
putusannya, MK telah memperluas ruang lingkup kewenangan untuk menyelesaikan sengketa
Pilkada sampai pada proses Pilkada. Pada dasarnya, putusan MK terhadap sengketa Pilkada
menganut prinsip hukum yang bersifat Final dan Mengikat (binding). Prinsip hukum tersebut
mengandung 2 (dua) makna yaitu Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan
mengikat (binding) mengandung beberapa makna hukum, yaitu:

a) Untuk mewujudkan kepastian hukum sesegera mungkin bagi para pihak yang bersengketa.
b) Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan konstitusional, berbeda halnya dengan pengadilan
konvensional yang menerapkan ruang untuk menempuh upaya hukum.
c) Bermakna sebagai perekayasa hukum. Dalam artian, Mahkamah Konstitusi melalui putusan-
putusannya, diharapkan mampu merekayasa hukum sesuai yang telah digariskan oleh UUD
1945 sebagai konstitusi (gronwet).
d) Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir tunggal konstitusi. Dengan demikian,
kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia diharapkan mampu
menjaga stabilitas segenap elemen negara untuk tetap sejalan dengan amanat konstitusi.
Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding), melahirkan
sejumlah akibat hukum dalam penerapannya.
Dalam hal ini, digolongkan ke dalam 2 (dua) garis besar, yakni putusan Mahkamah Konstitusi
yang menimbulkan akibat hukum yang bermakna positif dan akibat hukum yang bermakna negatif.
Adapun akibat hukum yang bermakna positif, yaitu: Mengakhiri suatu sengketa hukum; Menjaga
prinsip checks and balances; dan Mendorong terjadinya proses politik. Sedangkan akibat hukum
yang ditimbulkan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding) dalam
makna negatif, yaitu: Tertutupnya akses upaya hukum dan terjadinya kekosongan hukum

Hukum Acara MK adalah hukum formil yang berfungsi untuk menegakkan hukum
materiilnya, yaitu bagian dari hukum konstitusi yang menjadi wewenang MK. Oleh karena itu
keberadaan Hukum Acara MK dapat disejajarkan dengan Hukum Acara Pidana, Hukum Acara
Perdata, dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Hukum Acara MK memiliki
karakteristik khusus, karena hukum materiil yang hendak ditegakkan tidak merujuk pada undang-
undang atau kitab undang-undang tertentu, melainkan konstitusi sebagai hukum dasar sistem
hukum itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai