Dosen:
Nama:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2020
BAB I
Latar Belakang
Mahkamah Konstitusi atau yang disingkat dengan MK didirikan pada tahun 2003 merupakan
salah satu pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pembentukannya ini sesuai
dengan amanat Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan Mahkamah
Konstitusi itu sendiri untuk check and balance dengan Mahkamah Agung dan badan
peradilan di bawahnya serta dengan kekuasaan legislatif DPR dan eksekutif lembaga
penyidik dan MPR. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan, sebagai cabang
kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya
berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Menurut Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan the sole interpreter,
pengawal konstitusi, penafsir konstitusi, pengawal demokrasi, pelindung hak asasi manusia
dan perkara “impeachment” terhadap Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Hingga saat ini,
Mahkamah Konstitusi telah menghasilkan cukup banyak putusan yang berguna dan penting
untuk tegaknya konstitusi. Mahkamah Konstitusi menurut ketentuan Pasal 24 C ayat (1)
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai sifat putusan final dan mengikat; dan putusan
bersifat erga omnes. Putusan bersifat final dan mengikat menurut penjelasan Pasal 10 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada
upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam
undang-undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat. Sifat putusan Mahkamah
Konstitusi yang final dan mengikat berpengaruh sangat luas, oleh karena itu setiap
putusannya haruslah didasari nilai-nilai filosofi dan mempunyai nilai kepastian hukum yang
mengikat, yang bertengger nilainilai keadilan.
Mahkamah Konstitusi mengemban tugas mulia untuk menjaga agar semua produk hukum di
negara ini tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, apalagi melanggar konstitusi.
Putusan bersifat erga omnes berarti putusan Mahkamah Konstitusi yang mempunyai
kekuatan mengikat yang berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang
bersengketa. Menurut Bagir Manan, erga omnes adalah putusan yang akibat-akibatnya
berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi di masa
yang akan datang, jadi ketika peraturan perundangundangan dinyatakan tidak sah karena
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau peraturan perundang-undangan lain yang
lebih tinggi, maka menjadi batal dan tidak sah untuk setiap orang.
Bagir Manan menjelaskan putusan erga omnes, dapat dianggap memasuki fungsi
perundang-undangan (legislative function), hakim tidak lagi semata-mata menetapkan
hukum untuk suatu peristiwa konkret tetapi hukum bagi peristiwa yang akan datang
(abstract) dan ini mengandung unsur pembentukan hukum. Pembentukan hukum untuk
peristiwa yang bersifat abstrak adalah fungsi perundangundangan bukan fungsi peradilan.
Putusan bersifat erga omnes adalah sebagai konsekuensi pengujian undang-undang di
Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan pada ranah publik.
Putusan Mahkamah Konstitusi tentunya memiliki korelasi dengan hukum pidana itu sendiri
khususnya hukum acara pidana atau kita kenal dengan KUHAP. Dalam hal ini yakni putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012. Salah satu pasal yang mengatur tentang
upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap putusan bebas pada pengadilan
negeri. Secara umum upaya hukum merupakan suatu cara yang diberikan oleh undang
undang kepada seseorang ataupun badan hukum untuk dalam hal tertentu menolak putusan
hakim. Dalam teori dan praktek hukum dikenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu,
upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya
yaitu upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi terkecuali apabila terhadap suatu
putusan dikabulkannya tuntutan, sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan
eksekusi.
Pada hukum acara pidana, banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat
diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yaitu terdakwa atau penuntut umum
terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan banding apabila tidak
merasa puas dengan putusan Pengadilan Negeri, dapat mengajukan memori banding
kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri di mana putusan tersebut dibuat.
Dengan diajukannya banding menjadikan putusan Pengadilan Negeri belum dapat
dilaksanakan, karena putusan Pengadilan Negeri tersebut belum dapat dikatakan sebagai
putusan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi.
Sedangkan upaya hukum banding, Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang
dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak (terdakwa atau penuntut umum)
terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi. Terdakwa atau penuntut umum dapat
mengajukan kasasi bila masih merasa belum puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi
kepada Mahkamah Agung Pasal 244 KUHAP menyatakan “Terhadap putusan perkara
pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah
Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi
kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas”. Karena terdapat kata “kecuali”
yang artinya mengkhususkan terhadap putusan bebas memberikan muatan yang jelas
terhadap larangan mengajukan upaya hukum kasasi oleh penuntut umum.
Tetapi secara praktikal pelaksanaan perkara pidana, kasasi masih dapat diajukan terhadap
putusan bebas Pasal 244 KUHAP tersebut mengalami perubahan, dengan dikeluarkannya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 114/PUU-X/2012 yang mengabulkan permohonan
Pemohon terhadap frase “kecuali terhadap putusan bebas”. Dalam amar putusannya, Hakim
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa frase tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Sehingga memunculkan permasalahan yakni: (1) Apa ratio decidendi
dibalik vonis hukum kasasi terhadap putusan bebas? (2) Bagaimanakah implikasi upaya
hukum kasasi terhadap putusan bebas dalam perkara pidana?
Karena sebelumnya terhadap putusan bebas oleh pengadilan tingkat pertama tidak dapat
diajukan upaya hukum untuk diuji kembali pada tahapan peradilan yang ada di atasnya.
KUHAP telah mengaturnya dengan jelas dalam Pasal 64 dan Pasal 244. Jika membaca
redaksi pasal tersebut tidak lagi memerlukan penafsiran, karena ketika membaca kata-kata
yang ada di dalamnya secara keseluruhan sudah sangat dimengerti. Penafsiran lain
terhadap pasal tersebut dapat dilakukan apabila dianalisis dengan menggunakan metode a
contrario, dengan menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan
pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu undang-undang.
Lahirnya upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas diawali ketika Mahkamah Agung
mengabulkan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas terdakwa Natalegawa yang
diajukan jaksa, melalui Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 275/K/Pid/1983. Pertimbangan
atau alasan hukum (legal reasoning) yang digunakan Mahkamah Agung untuk menerima
upaya kasasi terhadap putusan bebas, yaitu: 1. asas ius contra legem; dan 2. konsepsi
putusan bebas yang dibedakan atas bebas murni (vrijspraak) dan bebas tidak murni
(verkapte vrijspraak).
Asas ius contra legem menyatakan bahwa wewenang seorang hakim untuk menyimpangi
ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ada yang telah ketinggalan zaman sehingga
tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Asas ini merupakan dasar bahwa
dengan wewenang yang di miliki oleh hakim untuk melakukan penemuan hukum jika suatu
peraturan dianggap telah usang atau ketinggalan zaman. Dalam hal ini proses pembentukan
hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan
hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkret.
Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum
dengan mengingat peristiwa konkret. Jika yurisprudensi tersebut di atas didasarkan pada
prinsip contra legem, menjadikan penggunaan yurisprudensi sebagai dasar pembenar agar
majelis hakim dapat menerima perkara yaitu upaya hukum kasasi jaksa penuntut umum
merupakan pengingkaran terhadap ketentuan undangundang (Pasal 64 dan Pasal 244
KUHAP), seharusnya hakim dalam menerima permohonan kasasi oleh jaksa penuntut
umum harus mempertimbangkannya dari sisi undang-undang, bukan melakukan penafsiran
terhadap ketentuan yang telah dengan jelas mengaturnya.
Rumusan Masalah
Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping tanggal 19 Juni 2008 dengan registrasi
perkara Nomor 55/PID/2007/PN.Lbs telah menjatuhkan putusan terhadap Pemohon
yang menyatakan bahwa Pemohon tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya, sehingga pengadilan negeri Lubuk
Sikaping telah membebaskan Pemohon dari segala dakwaan Penuntut Umum. Awalnya
Pemohon memperoleh kepastian bahwa atas dasar Pasal 244 KUHAP Penuntut Umum
tidak boleh mengajukan kasasi, akan tetapi atas dasar pasal yang sama Penuntut
Umum telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada tanggal 9 Juli 2008. Hal ini
menyebabkan Pemohon merasa kehilangan jaminan untuk memperoleh “kepastian
hukum yang adil”, karena frasa “kecuali terhadap putusan bebas” tidak memberikan
larangan yang tegas bagi Penuntut Umum untuk tidak boleh mengajukan kasasi kepada
Mahkamah Agung.
Alasan Penuntut Umum tetap mengajukan kasasi terhadap putusan bebas murni,
dengan dalih antara lain:
1) Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum
pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (3) dan ayat (6)
KUHAP;
2) Cara mengadili yang dilakukan judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan
Undang-Undang;
3) Putusan judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak),
melainkan putusan “bebas tidak murni”.
Dalil yang digunakan oleh Penuntut Umum adalah mengacu pada Keputusan Menteri
Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang
Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang didalam butir ke-19
TPP KUHAP tersebut ada menerangkan, “Terhadap putusan bebas tidak dapat
dimintakan banding; tetapi bersadarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan
kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini didasarkan
yurisprudensi.”
2.4 Petitum
Bahwa berdasarkan alasan-alasan hukum yang telah diuraikan tersebut diatas, maka
Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan halhal sebagai
berikut:
1. Mengabulkan seluruh permohonan Pemohon.
2. Menyatakan bahwa frasa “bebas” pada Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang KUHAP adalah bebas murni atau juga termasuk bebas tidak murni;
3. Menyatakan bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” pada Pasal 244
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP adalah tidak bermakna dan
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena bertentangan dengan
UUD 1945;
atau
4. Menyatakan bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” pada Pasal 244
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP adalah tidak bermakna
secara bersyarat (conditionally unconstitutional) kecuali jika diartikan dengan tegas
melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan memori kasasi kepada
Mahkamah Agung terhadap putusan bebas dengan alasan apapun termasuk
alasan bebas murni maupun bebas tidak murni;
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya. Atau apabila majelis hakim Mahkamah Konstitusi
berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
KUHAP telah melindungi pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan yang
demikian dengan membuka kemungkinan untuk dikoreksi yaitu dengan cara
mengajukan kasasi sebagai upaya hukum, sekali lagi kasasi diberikan kepada pihak-
pihak dan bukan sarana Mahkamah Agung untuk mengawasi peradilan di bawahnya.
Karena upaya hukum kasasi dimaksudkan sebagai upaya hukum untuk melindungi
pihak yang terlibat dalam proses peradilan maka hanya pihak saja yang diberi hak
tersebut. Proses peradilan dinyatakan cacat hukum apabila pengadilan telah: (a)
menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya yaitu secara salah atau
bahkan tidak meterapkan peraturan hukum yang seharusnya diterapkan, (b) mengadili
dengan cara yang tidak benar menurut undang-undang, (c) pengadilan telah melampaui
kewenangannya (vide Pasal 253 KUHAP).
Terdakwa harus mendapatkan perlindungan hukum termasuk harus tetap dianggap tak
bersalah, haknya untuk diadili dengan proses due process of law dan proses peradilan
yang tidak cacat hukum. Sekali terdakwa diadili dengan proses yang benar maka
hakhak terdakwa harus dijaga berdasarkan keputusan tersebut sebab kalau tidak maka
tidak ada makna proses peradilan yang telah dialaminya dan tidak ada kepastian hukum
baik terhadap proses peradilannya maupun bagi terdakwa sendiri.
Dengan dihilangkannya frasa "kecuali putusan bebas" Pasal 244 KUHAP maka secara
fundamental telah merobohkan sistem KUHAP, yang implikasinya akan memandulkan
banyak pasal KUHAP yang lain, padahal penghilangan tersebut tidak ada dasar
konstitusionalnya. Praktik bukanlah rujukan untuk menyatakan sebuah undang-undang
bertentangan dengan Undang Undang Dasar dan justru pengujian undang-undang
seringkali dimaksudkan untuk mengoreksi apakah praktik yang berlaku telah sesuai
dengan konstitusi, oleh karenanya tidak jarang Mahkamah memutuskan dengan
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) untuk mengoreksi praktik yang
tidak benar tersebut dan tidak sebaliknya.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Upaya Hukum
Suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, maka untuk
kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim perlu untuk diperiksa ulang, agar
kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi dapat diperbaiki. Srtiap putusan hakim pada
umumnya tersedia upaya hukum, yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau
memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.1 Upaya hukum merupakan upaya yang
diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal
tertentu melawan putusan hakim. Upaya hukum berkaitan dengan hak asasi manusia
terhadap putusan yang diberikan oleh hakim. Menurut pasal 1 ayat (12), upaya hukum
adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan
yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk
mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang.2 Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Hukum Pidana
BAB XVII dan BAB XVIII upaya hukum terdiri dari dua, yaitu upaya hukum biasa dan luar
biasa.
a. Upaya hukum biasa
Banding
Upaya hukum banding adalah upaya yang dapat diminta oleh pihak yang
berkepentingan, supaya putusan peradilan tingkat pertama diperiksa lagi dalam
peradilan tingkat banding, secara yuridis formal undang – undang memberi
upaya kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan permintaan
pemeriksaan putusan peradilan tingkat pertama di peradilan tingkat banding. 3
Pemeriksaan banding merupakan suatu penilaian baru (judicial novum),
sehingga dapat diajukan saksi – saksi baru, ahli-ahli, dan surat-surat baru. 4
Dalam hal upaya hukum ini, terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta
banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap
putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah
kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilaan dalam acara
cepat.
1
Sudikno Mertokusumo, 2013, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, hal. 242-
243
2
Andi Hamzah, 2014, KUHP & KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 231
3
Yahya Harahap, 2008, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 429
4
Andi Hamzah, 2013, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 292.
Kasasi
Kasasi merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
terhadap penerapan hukum (putusan yang bertentangan dengan hukum) dalam
perkara yang diputus oleh semua pengadilan tingkat terakhir selain Mahkamah
Agung. Tujuan dari kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan penerapan
hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-
undang atau keliru dalam menerapkan hukum. Putusan yang dapat diajukan
permohonan kasasi ialah putusan perkara pidana pada tingkat terakhir oleh
pengadilan, kecuali terhadap putusan Mahkamah Agung dan putusan bebas
(pasal 244 Kitan Undang-Undang Hukum Acara Pidana).5
b. Upaya hukum luar biasa
Pemeriksan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum (Pasal 259 KUHAP)
Kasasi demi kepentingan hukum adalah upaya hukum luar biasa yang diajukan
terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
dari pengadilan lain selain Mahkamah Agung (pasal 259 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana). Tujuannya adalah agar hukum diterapkan secara benar,
sehingga ada kesatuan dalam peradilan. Permohonan kasasi hanya dapat
dilakukan satu kali dan pihak yang melakukan permohonan adalah Jaksa
Agung.
Pemeriksaan Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa yang diajukan terhadap
semua putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum(pasal 263
ayat 1 KUHAP). Peninjauan kembali adalah hak terpidana atau ahli warisnya.
Peninjauan kembali merupakan kewenangan Mahkamah Agung, dalam hal
tersebut Mahkamah Agung tidak hanya memeriksa penerapan hukumnya
(judex yuris), namun memeriksa fakta dan bukti yang diajukan dalam sautu
perkara yang diajukan.
5
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Grafika, hal. 299-300.
terdakwa dan penuntut umum untuk meminta kepada Mahkamah Agung, agar dilakukan
pemeriksaan terhadap putusan perkara pidana yang diberikan oleh pengadilan tingkat
bawahnya.6
Tujuan utama upaya hukum kasasi, yakni:7
1. Sebagai koreksi terhadap kesalahan putusan bawahan
Dalam hal ini, upaya hukum kasasi adalah untuk meluruskan kesalahan dalam
penerapan hukum, supaya hukum diimplementasikan sebagaimana mestinya serta
cara mengadili perkara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang
berlaku. Dapat dipahami bahwa majelis hakim yang memutusnya sebelumnya
merupakan manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan maupun kekhilafan.
Sehingga dapat dimunkinkan majelis hakim melkukan kesalahan atau kekhilafan
dalam memutus suatu perkara. Maka dengan upaya kasasi, Mahkamah Agung
melakukan koreksi terhadap kesalahan yang terjadi pada pengadilan;
2. Menciptakan dan membentuk hukum baru
Dalam hal ini Mahkamah Agung berperan untuk menciptakan hukum baru dalam
bentuk yurisprudensi. Berdasarkan jabatan dan wewenang yang melekat padanya
dalam bentuk judge making law, tidak jarang Mahkamah Agung menciptakan hukum
baru yang disebut hukum kasus atau case law. Hal terssebut bertujuan untuk
mengisi kekosongan hukum maupun dalam rangka menyejajarkan makna dan nilai
dari ketentuan undang-undang sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembangan nilai-nilai yang muncul di dalam masyarakat;
3. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum.
Tujuan dari upaya hukum kasasi yakni dalam rangka mewujudkan kesadaran akan
keseragaman penerapan hukum. Melalui putusan kasasi dalam bentuk
yurisprudensi, akan mengarahkan terhadap keseragaman pandangan dan
penerapam hukum. Oleh karena itu, apabila dikemudian hari ada suatu peristiwa
hukum yang memiliki sejumlah persamaan dengan peristiwa hukum sebelumnya
yang telah dijatuhi vonis oleh Mahkamah Agung, akan dapaat diputus dengan
merujuk pada putusan sebelumnya.
C. Vonis Bebas
Hakim memiliki kebebasan dalam mengadili dan memutus perkara supaya dapat
menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, sehingga dapat memberikan putusan yang
berdasarkan kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Oleh karena itu, kebebasan hakim
6
Muhammad, H. Rusli, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bhakti, hal. 266
7
Harahap, M. Yahya, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 539-542
dalam memutus perkara adalah suatu pembawaan dari peradilan. 8 Proses peradilan
akan berakhir dengan adanya putusan akhir atau vonis. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana putusan dapat berupa pemidanaan, putusan bebas, atau lepas
dari segala tuntutan hukum. Dalam pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, menjelaskan
mengenai putusan bebas dan putusan lepas:
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa
diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Dalam putusan bebas, argumentasi penuntut umum maupun penasihat hukum baik
mengenai kesalahan terdakwa, perbuatan yang didakwakan maupun berkenaan dengan
alat bukti sah, memerlukan kejelian dan kecermatan untuk mempertimbangkan sehingga
terhadap suatu hal harus betul-betul meyakinkan. Jika tidak meyakinkan atau
menimbulkan keragu-raguan maka hakim wajib membebaskannya,9 tetapi jika hakim
keliru membebaskan orang yang bersalah maka ia hanya akan berhadapan dengan
pertanggungjawaban yuridis karena salah menerapkan hukum.10 Penjatugan putusan
bebas hendaknya harus didukung dengan bukti-bukti yang ada. Pertimbangan hakim
merupakan peranan yang penting dalam putusan bebas.
8
Dahlan Sinaga, Dahlan Sinaga, 2015, Kemandirian dan Kebebasan Hakim Memutus Perkara Pidana dalam
Negara Hukum Pancasila, Jakarta: Nusamedia, hal. 24
9
Leden Marpaung, 1995, Putusan Bebas Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 50
10
Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, 2013, Diskresi Hakim Sebuah Instrumen
Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-Perkara Pidana, Bandung: Alfabeta, hal. 198
11
Harun M Husein, 1992, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 118-120
kasasi terhadap putusan bebas dan memperkenankan permohonan kasasi atas putusan
bebas.
Selain itu berdasarkan pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan pasal 24C ayat (2) UUD
1945 yang ditegaskan lagi oleh pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah
Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud
dalam UUD 1945.
BAB IV
ANALISIS
Perlu diketahui, bahwa adanya upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas diawali
ketika Mahkamah Agung mengabulkan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas
terdakwa Natalegawa yang diajukan jaksa, melalui Putusan Mahkamah Agung Reg.
No. 275/K/Pid/1983 dengan pertimbangan hukumnya yaitu asas ius contra legem
dan konsepsi putusan bebas yang dibedakan atas bebas murni (vrijspraak) dan
bebas tidak murni (verkapte vrijspraak). Asas ius contra legem adalah kewenangan
hakim dalam menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ada dan
dianggap ketinggalan zaman sehingga dirasa tidak mampu lagi dalam memenuhi
rasa keadilan masyarakat.12 Asas ini merupakan dasar bahwa wewenang yang
dimiliki oleh hakim untuk melakukan penemuan hukum adalah jika suatu peraturan
dianggap telah usang atau ketinggalan zaman. Jika yurisprudensi Putusan
Mahkamah Agung Reg. No. 275/K/Pid/1983 atau bahkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 didasarkan pada asas ius contra legem,
pandangan tersebut justru merupakan hal yang keliru. KUHAP yang merupakan
undang-undang tentang hukum acara pidana, sampai saat ini belum mencapai
12
M. Budiono, K. Wantjik Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1981 dengan Uraian Ringkasan,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981, hlm. 24.
seabad dalam masa berlakunya. Yurisprudensi yang digunakan sebagai dasar untuk
menerima permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas
tersebut dikeluarkan pada tahun 1983. Berbicara secara logis, tidak mungkin
peraturan yang baru berumur lebih kurang dua tahun telah dianggap sebagai
peraturan yang ketinggalan zaman atau usang, sehingga hakim dapat mengeluarkan
putusan yang mengubah kepastian upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas.
Jika berkaca pada civil law, undang-undang negara yang menganutnya berprinsip
bahwa untuk memecahkan permasalahan hukum, harus terlebih dahulu merujuk
pada undang-undang. Selanjutnya apabila permasalahan hukum yang dihadapi
tersebut belum diatur dalam undang-undang, barulah kemudian dapat dirujuk pada
sumber hukum yang selanjutnya. Sedangkan yurisprudensi sendiri dipakai dalam
menentukan kebiasaan sebagai sumber hukum formil yang ditentukan melalui
putusan hakim dengan perkara yang sama dengan sebelumnya. Dengan demikian
dapat dimaknai, bahwa yurisprudensi juga memiliki kedudukan yang sama dan
bersifat mengikat terhadap perkara yang sebelumnya tidak diatur dalam undang-
undang. Akan tetapi, jika undang-undang telah mengaturnya secara jelas,
yurisprudensi tidak dapat dijadikan sebagai dasar oleh hakim untuk memberikan
putusan.
Mengenai permasalahan putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni, tidak
perlu dihiraukan lagi. Baik putusan bebas itu bersifat murni atau tidak murni,
Mahkamah Agung tidak menganggapnya sebagai masalah dan justru pihak-pihak
lain yang menganggapnya sebagai suatu hambatan. Berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi telah
menyatakan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP
bertentangan dengan konstitusi dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Sehingga ketentuan Pasal 244 KUHAP, dihapus frasa “kecuali terhadap
putusan bebas” dan kini berbunyi: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan
pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,
terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi
kepada Mahkamah Agung.”
Pasal 253 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa pemeriksaan dalam tingkat kasasi
dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan:
1. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya;
2. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-
undang; dan
3. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
4.2 Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi atas Pengajuan Kasasi oleh Jaksa
Penuntut Umum Terhadap Vonis Bebas dalam Mewujudkan Kepastian Hukum
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, satu sisi jika tidak dibukanya pengajuan
kasasi atas vonis bebas di pengadilan tingkat pertama, akan dipandang sebagai
13
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 298.
upaya dalam menciptakan kepastian hukum. Akan tetapi, disisi lain ketentuan
tersebut seolah-olah melepaskan hakim yang mengadili suatu perkara pada tingkat
pertama dan terbebas dari tanggung jawab, kesalahan, maupun kekhilafan atas
putusan yang dijatuhkan. Kedua pernyataan tersebut pada akhirnya justru
mengarahkan kepada situasi yang penuh dengan ketidakpastian. Pada Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012, Hakim Mahkamah Konstitusi sendiri
justru terpecah ke dalam 2 (dua) pandangan yang berbeda (dissenting opinion)
dalam menguji konstitusionalitas Pasal 244 KUHAP yang dimohonkan Pemohon.
Menurut para Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD, Achmad Sodiki, Muhammad Alim,
Hamdan Zoelva, Anwar Usman, M. Akil Mochtar, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan
Maria Farida Indrati, permohonan Pemohon atas ketidakpastian hukum Pasal 244
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada frasa “kecuali terhadap
putusan bebas” dikabulkan atau dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Sedangkan pendapat Hakim Konstitusi Harjono, yakni ketentuan Pasal 244 KUHAP
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal itu didasarkan pada argumentasi bahwa
keberadaan Pasal 244 KUHAP merupakan upaya perlindungan terhadap hak asasi
manusia terhadap orang-orang yang haknya pernah dilanggar karena statusnya
sebagai terdakwa, setelah dijatuhkan putusan pengadilan yang sah. Sekalipun
ditemukan sejumlah praktik yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP,
hal itu sebenarnya tidak bisa dijadikan rujukan untuk menyatakan sebuah undang-
undang bertentangan dengan UUD 1945. Oleh Hakim Harjono, yang seharusnya
dilakukan adalah pengujian undang-undang dijadikan sebagai koreksi terkait apakah
praktik yang dijalankan sudah sesuai dengan konstitusi atau tidak. Pun kemudian,
dissenting opinion ini sama sekali tidak seimbang. Hampir semua Hakim Konstitusi
berpendapat bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244
KUHAP bertentangan dengan konstitusi sehingga dinyatakan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat.
Patut juga dicatat bahwa berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam
upaya penegakan hukum dan keadilan, tentu tidak dapat dilepaskan dari sebuah
kejujuran tentang makna kebenaran. Yang benar akan dinyatakan benar dan yang
salah akan dinyatakan salah. Oleh sebab itu, maka sekalipun permintaan kasasi atas
vonis bebas (vrijspraak) telah memperoleh ruang legitimasi yang memadai, namun
demikian tidak berarti serta merta dapat dimaknai bahwa Mahkamah Agung akan
selalu menyatakan dan memutuskan seseorang terdakwa selalu bersalah dan
dijatuhi pidana sebagaimana didakwakan penuntut umum. Karena bagaimanapun
perlindungan hak-hak tersangka atau terdakwa yang terdapat dalam sistem
peradilan pidana merupakan salah satu prasyarat terselenggaranya proses hukum
yang adil (Tahir, 2010: 9).
Jadi semestinya tidak ada yang perlu dirisaukan dengan putusan MK yang satu ini.
Para terpidana yang memperoleh vonis bebas di pengadilan tingkat pertama tidak
perlu merisaukan putusan ini sepanjang mampu membuktikan ketidakterlibatannya
dalam sebuah perkara yang didakwakan kepadanya. Artinya bahwa upaya kasasi
atas putusan bebas yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama tidak dengan
sendirinya akan membatalkan putusan pengadilan di tingkat bawahnya. Bisa saja
menguatkan atau membatalkan putusan bebas yang diajukan kasasi ke MA. Semua
itu tergantung pada pertimbangan MA dalam mengadili perkara yang diajukan. Harap
diingat juga bahwa salah satu tujuan hukum adalah dalam rangka menciptakan
adanya kepastian, selain keadilan dan kemanfaatan. Manakala hukum justru
melahirkan ketidakpastian, maka semestinya hukum yang demikian patut dikoreksi
keberadaannya. Langkah itulah yang sesungguhnya dilakukan MK melalui pengujian
atas Pasal 244 KUHAP. Ketentuan pelarangan pengajuan kasasi oleh penuntut
umum terhadap vonis bebas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 244 KUHAP
sangat tidak sejalan dengan fakta hukum yang selama ini terjadi.
Oleh karena itu, maka dalam rangka mewujudkan tujuan hukum, khususnya
mewujudkan kepastian, menjadi sangat tepat untuk menghilangkan frasa “kecuali
terhadap putusan bebas” sebagaimana tertuang dalam Pasal 244 KUHAP selama
ini. Bagaimanapun harus diakui bahwa hakim adalah manusia biasa yang tidak
mungkin luput dari berbagai kesalahan dan kekhilafan. Oleh sebab itu, selayaknya
sebuah vonis bebas difasilitasi dengan ruang terbuka untuk menguji kebenaran
materil vonis dimaksud. Dengan demikian, maka upaya mewujudkan keadilan dan
kemanfaatan sebagai bagian penting dari pilar-pilar hukum itu sendiri akan lebih
dimungkinkan untuk diwujudnyatakan. Dengan adanya putusan Mahkamah
Konstitusi ini, maka bagi para terpidana yang telah memperoleh vonis bebas di
pengadilan tingkat pertama, tidak lagi dapat mengasumsikan hal itu sebagai sebuah
putusan final (inkracht).
Sebab Jaksa Penuntut Umum telah memiliki ruang legalitas yang cukup untuk
mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Putusan ini sekaligus menutup ruang
bagi upaya memperdebatkan keabsahan kasasi yang diajukan jaksa atas vonis
bebas di pengadilan tingkat pertama. Yang patut dipikirkan kemudian adalah
bagaimana kemudian agar Mahkamah Agung dapat bekerja dengan profesional,
transparan dan independen serta objektif dalam menangani setiap permintaan kasasi
atas vonis bebas yang diajukan oleh penuntut umum. Hal ini perlu diingatkan agar
jangan sampai putusan kasasi Mahkamah Agung atas vonis bebas justru melahirkan
suatu putusan yang berseberangan dengan nilai kebenaran dan keadilan.
Mahkamah Agung juga perlu membentengi integritas para punggawanya agar tidak
mudah tergoda dan terpengaruh dengan berbagai iming-iming pihak tertentu dalam
menangani suatu perkara.
a. Kesimpulan
Dalam muatan yang terdapat dalam Pasal 244 KUHAP atas frasa “terhadap putusan
bebas yang diajukan kasasi” dianggap bahwa pasal ini hanya sekedar dibuat untuk
melindungi HAM setiap orang yang haknya tidak bebas saat berasa dalam posisi
terdakwa, dan setelah putusan dijatuhkan yaitu terhadap putusan bebas. Kemudian
ditinjau berdasarkan pendapat yang diberikan oleh Hakim MK Harjono atas
pembatasan JPU sehingga dapat mengajukan upaya hukum kasasi terhadap
terhadap putusan bebas, dikarenakan hanya sekedar untuk mengingatkan bahwa
putusan yang dihasikan oleh hakim pada Pengadilan Negeri atau dibawah putusan
Mahkamah Agung bersifat tetap dan mengikat. Seharusnya tidak dapat dimintakan
permohonan upaya hukum kasasi kembali dikarenakan dalam hal hakim
memberikan putusan didasarkan pada keyakinan untuk melihat perkara yang
ditanganinya disertai dengan ketentuan normatifnya.
b. Saran
Selain itu dapat juga ditinjau berdasarkan prosedur yang dijalankan oleh pembentuk
KUHAP diharapkan dalam merumuskan juga bahwa untuk penyelesaian kasus-
kasus pada pengadilan tingkat satu dinyatakan bebas, seharusnya melalui tahapan
upaya hukum banding terlebih dahulu sebelum mengajukan upaya hukum kasasi,
dengan tujuan agar putusan yang telah dikeluarkan tersebut bias dilihat
kebenarannya sehingga dengan diatasinya berdampak dengan tidak terjadi
penumpukan perkara yang ada pada tingkat Mahkamah Agung.
Daftar Pustaka
Buku:
Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin. 2013. Diskresi Hakim
Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-Perkara Pidana.
Bandung: Alfabeta.
H. Rusli, Muhammad. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: Citra Aditya
Bhakti.
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. 2013. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. 2014. KUHP & KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta.
M Husein, Harun. 1992. Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
M. Harahap, Yahya 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta:
Sinar Grafika.
M. Yahya, Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Jakarta:
Sinar Grafika.
Marpaung, Leden. 1995. Putusan Bebas Masalah dan Pemecahannya. Jakarta: Sinar
Grafika.
Mertokusumo, Sudikno. 2013. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka.
Sinaga, Dahlan. 2015. Kemandirian dan Kebebasan Hakim Memutus Perkara Pidana
dalam Negara Hukum Pancasila. Jakarta: Nusamedia.
Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Kiab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 114/PUU-X/2012.