Anda di halaman 1dari 32

Tugas Hukum Pidana Dalam Yurisprudensi

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 114/PUU-X/2012 TERHADAP


HUKUM PIDANA FORMIL DAN MATERIL

Dosen:

Dr. Somawijaya, S.H., M.H.

I Tajudin, S.H., M.H.

Ajie Ramdan, S.H., M.H.

Rully Herdita Ramadhani, S.H., M.H.

Nama:

Grace Evelyn Pardede 110110170035

Agustina Nababan 110110170….

Kristin E. Sijabat 110110170…

Sophia Juwita Sihole 110110170…

Febriani Tambunan 110110170…

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2020
BAB I

Latar Belakang

Mahkamah Konstitusi atau yang disingkat dengan MK didirikan pada tahun 2003 merupakan
salah satu pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pembentukannya ini sesuai
dengan amanat Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan Mahkamah
Konstitusi itu sendiri untuk check and balance dengan Mahkamah Agung dan badan
peradilan di bawahnya serta dengan kekuasaan legislatif DPR dan eksekutif lembaga
penyidik dan MPR. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan, sebagai cabang
kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya
berdasarkan ketentuan UUD 1945.

Kewenangan-kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur di dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a,


b, c dan d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur di dalam pasal tersebut, seperti:

a. Menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan


oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Memutus pembubaran partai politik; dan

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Menurut Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan the sole interpreter,
pengawal konstitusi, penafsir konstitusi, pengawal demokrasi, pelindung hak asasi manusia
dan perkara “impeachment” terhadap Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Hingga saat ini,
Mahkamah Konstitusi telah menghasilkan cukup banyak putusan yang berguna dan penting
untuk tegaknya konstitusi. Mahkamah Konstitusi menurut ketentuan Pasal 24 C ayat (1)
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai sifat putusan final dan mengikat; dan putusan
bersifat erga omnes. Putusan bersifat final dan mengikat menurut penjelasan Pasal 10 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada
upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam
undang-undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat. Sifat putusan Mahkamah
Konstitusi yang final dan mengikat berpengaruh sangat luas, oleh karena itu setiap
putusannya haruslah didasari nilai-nilai filosofi dan mempunyai nilai kepastian hukum yang
mengikat, yang bertengger nilainilai keadilan.

Mahkamah Konstitusi mengemban tugas mulia untuk menjaga agar semua produk hukum di
negara ini tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, apalagi melanggar konstitusi.
Putusan bersifat erga omnes berarti putusan Mahkamah Konstitusi yang mempunyai
kekuatan mengikat yang berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang
bersengketa. Menurut Bagir Manan, erga omnes adalah putusan yang akibat-akibatnya
berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi di masa
yang akan datang, jadi ketika peraturan perundangundangan dinyatakan tidak sah karena
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau peraturan perundang-undangan lain yang
lebih tinggi, maka menjadi batal dan tidak sah untuk setiap orang.

Bagir Manan menjelaskan putusan erga omnes, dapat dianggap memasuki fungsi
perundang-undangan (legislative function), hakim tidak lagi semata-mata menetapkan
hukum untuk suatu peristiwa konkret tetapi hukum bagi peristiwa yang akan datang
(abstract) dan ini mengandung unsur pembentukan hukum. Pembentukan hukum untuk
peristiwa yang bersifat abstrak adalah fungsi perundangundangan bukan fungsi peradilan.
Putusan bersifat erga omnes adalah sebagai konsekuensi pengujian undang-undang di
Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan pada ranah publik.

Putusan Mahkamah Konstitusi tentunya memiliki korelasi dengan hukum pidana itu sendiri
khususnya hukum acara pidana atau kita kenal dengan KUHAP. Dalam hal ini yakni putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012. Salah satu pasal yang mengatur tentang
upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap putusan bebas pada pengadilan
negeri. Secara umum upaya hukum merupakan suatu cara yang diberikan oleh undang
undang kepada seseorang ataupun badan hukum untuk dalam hal tertentu menolak putusan
hakim. Dalam teori dan praktek hukum dikenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu,
upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya
yaitu upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi terkecuali apabila terhadap suatu
putusan dikabulkannya tuntutan, sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan
eksekusi.

Pada hukum acara pidana, banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat
diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yaitu terdakwa atau penuntut umum
terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan banding apabila tidak
merasa puas dengan putusan Pengadilan Negeri, dapat mengajukan memori banding
kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri di mana putusan tersebut dibuat.
Dengan diajukannya banding menjadikan putusan Pengadilan Negeri belum dapat
dilaksanakan, karena putusan Pengadilan Negeri tersebut belum dapat dikatakan sebagai
putusan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi.

Sedangkan upaya hukum banding, Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang
dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak (terdakwa atau penuntut umum)
terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi. Terdakwa atau penuntut umum dapat
mengajukan kasasi bila masih merasa belum puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi
kepada Mahkamah Agung Pasal 244 KUHAP menyatakan “Terhadap putusan perkara
pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah
Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi
kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas”. Karena terdapat kata “kecuali”
yang artinya mengkhususkan terhadap putusan bebas memberikan muatan yang jelas
terhadap larangan mengajukan upaya hukum kasasi oleh penuntut umum.

Tetapi secara praktikal pelaksanaan perkara pidana, kasasi masih dapat diajukan terhadap
putusan bebas Pasal 244 KUHAP tersebut mengalami perubahan, dengan dikeluarkannya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 114/PUU-X/2012 yang mengabulkan permohonan
Pemohon terhadap frase “kecuali terhadap putusan bebas”. Dalam amar putusannya, Hakim
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa frase tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Sehingga memunculkan permasalahan yakni: (1) Apa ratio decidendi
dibalik vonis hukum kasasi terhadap putusan bebas? (2) Bagaimanakah implikasi upaya
hukum kasasi terhadap putusan bebas dalam perkara pidana?

Karena sebelumnya terhadap putusan bebas oleh pengadilan tingkat pertama tidak dapat
diajukan upaya hukum untuk diuji kembali pada tahapan peradilan yang ada di atasnya.
KUHAP telah mengaturnya dengan jelas dalam Pasal 64 dan Pasal 244. Jika membaca
redaksi pasal tersebut tidak lagi memerlukan penafsiran, karena ketika membaca kata-kata
yang ada di dalamnya secara keseluruhan sudah sangat dimengerti. Penafsiran lain
terhadap pasal tersebut dapat dilakukan apabila dianalisis dengan menggunakan metode a
contrario, dengan menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan
pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu undang-undang.

Lahirnya upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas diawali ketika Mahkamah Agung
mengabulkan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas terdakwa Natalegawa yang
diajukan jaksa, melalui Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 275/K/Pid/1983. Pertimbangan
atau alasan hukum (legal reasoning) yang digunakan Mahkamah Agung untuk menerima
upaya kasasi terhadap putusan bebas, yaitu: 1. asas ius contra legem; dan 2. konsepsi
putusan bebas yang dibedakan atas bebas murni (vrijspraak) dan bebas tidak murni
(verkapte vrijspraak).

Asas ius contra legem menyatakan bahwa wewenang seorang hakim untuk menyimpangi
ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ada yang telah ketinggalan zaman sehingga
tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Asas ini merupakan dasar bahwa
dengan wewenang yang di miliki oleh hakim untuk melakukan penemuan hukum jika suatu
peraturan dianggap telah usang atau ketinggalan zaman. Dalam hal ini proses pembentukan
hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan
hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkret.

Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum
dengan mengingat peristiwa konkret. Jika yurisprudensi tersebut di atas didasarkan pada
prinsip contra legem, menjadikan penggunaan yurisprudensi sebagai dasar pembenar agar
majelis hakim dapat menerima perkara yaitu upaya hukum kasasi jaksa penuntut umum
merupakan pengingkaran terhadap ketentuan undangundang (Pasal 64 dan Pasal 244
KUHAP), seharusnya hakim dalam menerima permohonan kasasi oleh jaksa penuntut
umum harus mempertimbangkannya dari sisi undang-undang, bukan melakukan penafsiran
terhadap ketentuan yang telah dengan jelas mengaturnya.

Terlebih lagi setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 114/PUU-


X/2012 yang mengabulkan permohonan pemohon terhadap pengujian Pasal 244 KUHAP
yaitu menyatakan bahwa frase “kecuali terhadap putusan bebas”, yang berakibat bagi
semua putusan bebas yang dapat diajukan kasasi oleh jaksa penuntut umum.

Rumusan Masalah

Bagaimanakah korelasinya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012


berpengaruh terhadap hukum pidana, baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana
formil?
BAB II
KASUS POSISI

2.1 Identitas Perkara Konstitusi


Nomor Pekara : 114/PUU-X/2012
Pemohon : Dr. H. Idrus, M.Kes
Hakim Ketua : Moh. Mahfud MD
Hakim Anggota : Achmad Sodiki
Hamdan Zoelva
M. Akil Mochtar
Ahmad Fadlil Sumadi
Muhammad Alim
Anwar Usman
Harjono
Maria Farida Indrati
Berlaku sejak : 28 Maret 2013.

2.2 Duduk Perkara


Pemohon didakwa dengan tuduhan telah melakukan korupsi dengan memperkaya diri
sendiri sebanyak Rp. 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) dengan dakwaan
primer 4 tahun penjara dan denda Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), subsider
1.5 tahun penjara, saat itu Pemohon adalah pejabat struktural Eselon II dan Istri
Pemohon pejabat Struktural Eselon III.

Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping tanggal 19 Juni 2008 dengan registrasi
perkara Nomor 55/PID/2007/PN.Lbs telah menjatuhkan putusan terhadap Pemohon
yang menyatakan bahwa Pemohon tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya, sehingga pengadilan negeri Lubuk
Sikaping telah membebaskan Pemohon dari segala dakwaan Penuntut Umum. Awalnya
Pemohon memperoleh kepastian bahwa atas dasar Pasal 244 KUHAP Penuntut Umum
tidak boleh mengajukan kasasi, akan tetapi atas dasar pasal yang sama Penuntut
Umum telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada tanggal 9 Juli 2008. Hal ini
menyebabkan Pemohon merasa kehilangan jaminan untuk memperoleh “kepastian
hukum yang adil”, karena frasa “kecuali terhadap putusan bebas” tidak memberikan
larangan yang tegas bagi Penuntut Umum untuk tidak boleh mengajukan kasasi kepada
Mahkamah Agung.
Alasan Penuntut Umum tetap mengajukan kasasi terhadap putusan bebas murni,
dengan dalih antara lain:
1) Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum
pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (3) dan ayat (6)
KUHAP;
2) Cara mengadili yang dilakukan judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan
Undang-Undang;
3) Putusan judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak),
melainkan putusan “bebas tidak murni”.
Dalil yang digunakan oleh Penuntut Umum adalah mengacu pada Keputusan Menteri
Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang
Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang didalam butir ke-19
TPP KUHAP tersebut ada menerangkan, “Terhadap putusan bebas tidak dapat
dimintakan banding; tetapi bersadarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan
kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini didasarkan
yurisprudensi.”

Oleh karena merasa hak konstitusionalnya dirugikan, maka Pemohon mengajukan


pengujian Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,
selengkapnya berbunyi: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan lain selain dari Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut
Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung
kecuali terhadap putusan bebas” terhadap:
 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara
Hukum“.
 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga Negara bersamaan
kedudukannnya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
 Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama didepan hukum “.

2.3 Dalil Pemohon


1) Bahwa Pemohon mendalilkan Hak Konstitusional Pemohon yang dijamin oleh
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan karena rumusan norma yang diatur
pada Pasal 244 KUHAP bersifat multitafsir.
2) Bahwa awalnya Pemohon berkeyakinan ketika Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping
pada tanggal 19 Juni 2008 telah menjatuhkan putusan yang membebaskan
Pemohon maka putusan tersebut adalah final, sebab atas dasar ketentuan Pasal
244 KUHAP Penuntut Umum tidak bisa melakukan upaya hukum kasasi. Namun
kenyataannya Penuntut Umum melakukan upaya kasasi atas dasar Pasal 244
KUHAP karena menurut Jaksa Penuntut Umum kata “bebas” dalam pasal ini dibagi
dalam dua kategori yaitu “bebas murni” dan “bebas tidak murni”
3) Bahwa Jaksa Penuntut Umum kemudian mengartikan bahwa jika Terdakwa diputus
bebas namun menurut pendapatnya keputusan bebas tersebut adalah bukan
bebas murni maka Jaksa Penuntut Umum berhak mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung atas dasar ketentuan Pasal 244 KUHAP. Dengan ketentuan
Pasal 244 KUHAP menimbulkan dua penafsiran yang berbeda. Dari sudut pandang
terdakwa maka Penuntut Umum tidak boleh kasasi namun dari sudut pandang
Penuntut Umum maka boleh kasasi.
4) Bahwa dengan demikian norma Pasal 244 KUHAP telah menimbulkan ketidak-
pastian bagi Pemohon dan bahwa ketidak-pastian ini telah merugikan Hak
Konstitusionalnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD
1945.
5) Bahwa sebagai konsekuensi Indonesia adalah Negara hukum [Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945], tentu hukum harus ditegakkan dan sebagai warga negara yang baik
harus menjunjung hukum itu [Pasal 27 ayat (1) UUD 1945], baik itu terdakwa
apalagi sebagai Jaksa Penuntut Umum.
6) Bahwa menurut hemat Pemohon frasa “kecuali terhadap putusan bebas” yang
terdapat Pasal 244 KUHAP adalah merupakan sumber ketidak-pastian hukum,
sehingga apabila frasa tersebut dihilangkan dari ketentuan Pasal 244 KUHAP akan
memberikan kepastian hukum, karena dengan demikian menjadi suatu kepastian
yang adil, baik bagi terdakwa maupun Penuntut Umum karena keduanya secara
pasti dapat mengajukan kasasi, tidak tergantung pada hasil putusan pengadilan.
Baik putusan pengadilan itu berupa putusan yang menghukum terdakwa,
memebebaskan secara murni atau tidak murni semuanya boleh kasasi.

2.4 Petitum
Bahwa berdasarkan alasan-alasan hukum yang telah diuraikan tersebut diatas, maka
Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan halhal sebagai
berikut:
1. Mengabulkan seluruh permohonan Pemohon.
2. Menyatakan bahwa frasa “bebas” pada Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang KUHAP adalah bebas murni atau juga termasuk bebas tidak murni;
3. Menyatakan bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” pada Pasal 244
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP adalah tidak bermakna dan
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena bertentangan dengan
UUD 1945;
atau
4. Menyatakan bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” pada Pasal 244
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP adalah tidak bermakna
secara bersyarat (conditionally unconstitutional) kecuali jika diartikan dengan tegas
melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan memori kasasi kepada
Mahkamah Agung terhadap putusan bebas dengan alasan apapun termasuk
alasan bebas murni maupun bebas tidak murni;
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya. Atau apabila majelis hakim Mahkamah Konstitusi
berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

2.5 Pendapat Mahkamah


1. Bahwa Pasal 244 KUHAP baik secara keseluruhan baik keseluruhan pasal tersebut
atau hanya frasa, “kecuali terhadap putusan bebas”, telah empat kali dimohonkan
pengujian, dan telah diputus oleh Mahkamah dengan putusan yang menyatakan
permohonan (para) Pemohon tidak dapat diterima;
a. Bahwa dalam putusan Mahkamah Nomor 17/PUU-VIII/2010, tanggal 25 Juli
2011, Mahkamah pada paragraf [3.12], halaman 51, antara lain,
mempertimbangkan, “Dalil-dalil Pemohon dalam permohonan ini, lebih
mempersoalkan kerugian konstitusionalnya dalam menjalankan profesi
advokat daripada sebagai pribadi yang langsung dirugikan oleh berlakunya
norma UndangUndang a quo. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tidak ada
kerugian konstitusional Pemohon dengan berlakunya Undang-Undang a quo”;
b. Bahwa dalam putusan Mahkamah Nomor 56/PUU-IX/2011, tanggal 15 Maret
2012, pada paragraf [3.3], halaman 57, antara lain mempertimbangkan, “...
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa salah satu kewenangan
Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar. Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 tersebut harus dimaknai bahwa yang dapat menjadi objek pengujian ke
Mahkamah adalah materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-
Undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dijabarkan lebih
lanjut oleh ketentuan UndangUndang bahwa Pemohon wajib menguraikan
dengan jelas “materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-
undang dianggap bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945” [vide Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK].
Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang
sudah diundangkan secara sah dan oleh Pemohon didalilkan sesuai dengan
UUD 1945 bukanlah merupakan objek pengujian Undang-Undang.”
c. Bahwa dalam putusan Mahkamah Nomor 85/PUU-IX/2011, tanggal 27 Maret
2012, pada paragraf [3.3.1], halaman 46-47, antara lain mempertimbangkan,
“...terhadap petitum permohonan Pemohon supaya Mahkamah menyatakan
frasa “...kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP, tidak
bertentangan dengan UUD 1945 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat,
Semua pertimbangan dan amar putusan Mahkamah menyangkut pengujian
konstitusionalitas Pasal 244 KUHAP dalam Putusan Nomor 56/PUU-IX/2011
tanggal 15 Maret 2012 mutatis mutandis menjadi pertimbangan dalam putusan
a quo, sehingga Mahkamah tidak berwenang mengadili permohonan a quo;”
d. Bahwa dalam putusan Mahkamah Nomor 71/PUU-X/2012, tanggal 23
Oktober 2012, yang dimohonkan oleh Pemohon yang sama dalam
permohonan a quo, pada paragraf [3.6], antara lain mempertimbangkan,
“...menurut Mahkamah, permohonan Pemohon, baik antar dalil-dalil dalam
posita maupun antara posita dan petitumnya terdapat pertentangan satu sama
lain. Di satu pihak Pemohon mendalilkan Pasal 244 KUHAP tersebut tidak
bermakna, di pihak lain Pemohon mendalilkan Pasal 244 KUHAP bermakna,
masing-masing dengan konsekuensi sebagaimana telah diuraikan di atas.
Selain itu, apabila dalil dalam posita tersebut dikaitkan dengan petitum, maka
antara dalil tersebut dan petitum juga bertentangan. Terlebih lagi Pemohon
memohon supaya Putusan PN Lubuk Sikaping atas perkara Pemohon menjadi
memiliki kekuatan hukum tetap. Atas dasar pertentangan-pertentangan antar
dalil-dalil dalam permohonan Pemohon dan antara dalil-dalil dalam posita
dengan petitum, maka menurut Mahkamah, permohonan a quo kabur (obscuur
libel). Oleh karena itu Mahkamah tidak perlu mempertimbangkan lebih lanjut
tentang kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing)
Pemohon, dan pokok permohonan”
2. Bahwa terhadap pengujian Pasal 244 KUHAP baik secara keseluruhan maupun
frasa tertentu dalam pasal tersebut belum pernah dipertimbangkan pokok
permohonannya, maka pokok permohonan pengujian konstitusionalitas dalam
permohonan a quo akan dipertimbangkan sebagai berikut:
a. Kewenangan Mahkamah Agung dibatasi oleh Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP.
Pasal 67 KUHAP menentukan pengecualian untuk memohon pemeriksaan
banding terhadap putusan tingkat pertama yang menyatakan bebas, lepas dari
segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan
hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat, maka Pasal 244 KUHAP
mengecualikan permohonan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas.
Kedua ketentuan tersebut sama sekali tidak memberikan upaya hukum biasa
terhadap putusan bebas, yang berarti fungsi Mahkamah Agung sebagai
pengadilan kasasi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan
yang ada di bawahnya sama sekali ditiadakan.
b. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa terhadap beberapa putusan bebas
yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung,
memang tidak diajukan permohonan banding [vide Pasal 67 KUHAP], akan
tetapi diajukan permohonan kasasi dan Mahkamah Agung mengadilinya.
Padahal menurut ketentuan Pasal 244 KUHAP terhadap putusan bebas tidak
boleh dilakukan upaya hukum kasasi. Hal ini mengakibatkan terjadinya
ketidakpastian hukum dalam praktik karena adanya kontradiksi dalam
implementasi pasal tersebut.
c. Bhawa putusan Mahkamah berdasarkan Pasal 47 UU MK memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka
untuk umum. Artinya, putusan tersebut tidak berlaku surut. Mahkamah dalam
hal ini tidak berwenang menguji putusan Mahkamah Agung yang telah berlaku
mengikat secara hukum. Hal ini berarti bahwa putusan Mahkamah ini tidak
membuat status hukum baru terhadap putusan Mahkamah Agung yang telah
diputus sebelumnya.
d. Bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan”. Dalam penegakan hukum dan
keadilan, terkandung juga makna bahwa yang benar itu harus dinyatakan
benar, dan yang salah itu harus dinyatakan salah. Dalam hubungan itu,
putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung kemudian dimohonkan pemeriksaan kasasi, tidak boleh
diartikan bahwa Mahkamah Agung pasti menyatakan terdakwa bersalah dan
dijatuhi pidana. Bisa saja Mahkamah Agung sependapat dengan pengadilan
yang berada di bawahnya. Artinya terdakwa tetap dibebaskan dalam putusan
kasasi. Dalam keadaan ini, berarti fungsi Mahkamah Agung sebagai
pengadilan negara tertinggi tetap terselenggara, dan hukum serta keadilan
tetap ditegakkan.
3. Bhawa menurut Mahkamah permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk
sebagian. Adapun dalil-dalil permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya,
menurut Mahkamah tidak beralasan menurut hukum.
2.6 Amar Putusan
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1 Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2 Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;
3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

2.7 Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)


Terhadap putusan ini, Hakim Konstitusi Harjono memiliki pendapat berbeda (dissenting
opinion). Menurutnya, pasal a quo tidak dapat dipisahkan dengan pasal-pasal lain
dalam KUHAP bahkan dari sistem KUHAP secara komprehensif. Pasal yang
dimohonkan pemohon berkaitan dengan Pasal 191 KUHAP yang berbunyi: “(1) jika
pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa
atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,
maka terdakwa diputus bebas”. (2) dinyatakan bahwa: "jika pengadilan berpendapat
bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdawa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu perbuatan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
hukum”.

Berdasarkan pasal tersebut, KUHAP membedakan bahwa ayat (1) menyangkut


masalah fakta (a question of fact), sedangkan ayat (2) adalah persoalan hukum (a
question of law). Persoalan fakta sumbernya adalah persidangan pemeriksaan bukti
oleh karena itu keyakinan hakim menjadi penting, sedangkan masalah hukum
menyangkut pendapat hakim terhadap peristiwa yang terjadi. Pertanggungjawaban
dalam hukum pidana baru relevan kalau sudah terbukti dari pemeriksaaan persidangan
adanya fakta hukum hubungan antara seseorang yang melakukan dengan perbuatan
yang didakwakan. Kalau dalam persidangan tidak dapat dibuktikan adanya fakta hukum
demikian maka seharusnya dan sewajarnya terdakwa dibebaskan. Siapa yang
seharusnya dapat menentukan ada fakta hukum hubungan antara seseorang dengan
perbuatan pidana tertentu, tidak lain adalah hakim yang memeriksa pembuktian di
persidangan bukannya pihak lain. Kepada mereka (terdakwa) yang telah menjalani
pemeriksaan persidangan yang terpaksa hak asasinya dikurangi karena statusnya
terdakwa yang kepadanya penahanan dapat dilakukan, ternyata tidak didapatkan fakta
hukum dalam persidangan yang sah bahwa mereka (terdakwa) adalah yang melakukan
perbuatan yang didakwakan, maka haruslah dihargai haknya dan dilindungi demi
kepastian hukum. Jika haknya tidak dilindungi maka akan dipertanyakan apa artinya
persidangan yang telah dijalaninya, padahal persidangan tersebut sah secara hukum,
sehingga putusannya harus dihormati. Terdakwa dalam persidangan berhadapan
dengan institusi baik penuntut umum maupun hakim bukan berhadapan dengan
perorangannya. Perlindungan yang demikian sesuai dengan jaminan terhadap hak
asasi manusia.

Dengan demikian, pengecualian pengajuan kasasi terhadap putusan bebas


sebagaimana diatur oleh Pasal 244 KUHAP merupakan perlindungan hak asasi
manusia terhadap mereka yang haknya pernah dilanggar karena statusnya terdakwa,
setelah adanya putusan pengadilan yang sah. Perlindungan terhadap seseorang yang
telah diputus bebas tidak saja dengan cara melarang pengajuan banding pada putusan
bebas (Pasal 67 KUHAP), bahkan terdakwa berhak untuk menuntut ganti rugi
sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 68 juncto Pasal 95 jika terdakwa diadili ternyata
keliru mengenai orangnya. Seorang terdakwa diadili keliru mengenai orangnya
sewajarnya kalau kemudian harus diputus bebas dan bahkan hukum mrmberi hak untuk
menuntut ganti rugi. Demikian lah KUHAP melindungi hak asasi seseorang. Kasasi
bukanlah cara Mahkamah Agung untuk mengawasi hakim pada peradilan yang
dibawahnya. Kasasi adalah upaya hukum biasa. Sebagai upaya hukum kasasi
dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada pihak yang memerlukan.

KUHAP telah melindungi pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan yang
demikian dengan membuka kemungkinan untuk dikoreksi yaitu dengan cara
mengajukan kasasi sebagai upaya hukum, sekali lagi kasasi diberikan kepada pihak-
pihak dan bukan sarana Mahkamah Agung untuk mengawasi peradilan di bawahnya.
Karena upaya hukum kasasi dimaksudkan sebagai upaya hukum untuk melindungi
pihak yang terlibat dalam proses peradilan maka hanya pihak saja yang diberi hak
tersebut. Proses peradilan dinyatakan cacat hukum apabila pengadilan telah: (a)
menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya yaitu secara salah atau
bahkan tidak meterapkan peraturan hukum yang seharusnya diterapkan, (b) mengadili
dengan cara yang tidak benar menurut undang-undang, (c) pengadilan telah melampaui
kewenangannya (vide Pasal 253 KUHAP).
Terdakwa harus mendapatkan perlindungan hukum termasuk harus tetap dianggap tak
bersalah, haknya untuk diadili dengan proses due process of law dan proses peradilan
yang tidak cacat hukum. Sekali terdakwa diadili dengan proses yang benar maka
hakhak terdakwa harus dijaga berdasarkan keputusan tersebut sebab kalau tidak maka
tidak ada makna proses peradilan yang telah dialaminya dan tidak ada kepastian hukum
baik terhadap proses peradilannya maupun bagi terdakwa sendiri.

Dengan dihilangkannya frasa "kecuali putusan bebas" Pasal 244 KUHAP maka secara
fundamental telah merobohkan sistem KUHAP, yang implikasinya akan memandulkan
banyak pasal KUHAP yang lain, padahal penghilangan tersebut tidak ada dasar
konstitusionalnya. Praktik bukanlah rujukan untuk menyatakan sebuah undang-undang
bertentangan dengan Undang Undang Dasar dan justru pengujian undang-undang
seringkali dimaksudkan untuk mengoreksi apakah praktik yang berlaku telah sesuai
dengan konstitusi, oleh karenanya tidak jarang Mahkamah memutuskan dengan
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) untuk mengoreksi praktik yang
tidak benar tersebut dan tidak sebaliknya.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Upaya Hukum
Suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, maka untuk
kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim perlu untuk diperiksa ulang, agar
kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi dapat diperbaiki. Srtiap putusan hakim pada
umumnya tersedia upaya hukum, yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau
memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.1 Upaya hukum merupakan upaya yang
diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal
tertentu melawan putusan hakim. Upaya hukum berkaitan dengan hak asasi manusia
terhadap putusan yang diberikan oleh hakim. Menurut pasal 1 ayat (12), upaya hukum
adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan
yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk
mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang.2 Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Hukum Pidana
BAB XVII dan BAB XVIII upaya hukum terdiri dari dua, yaitu upaya hukum biasa dan luar
biasa.
a. Upaya hukum biasa
 Banding
Upaya hukum banding adalah upaya yang dapat diminta oleh pihak yang
berkepentingan, supaya putusan peradilan tingkat pertama diperiksa lagi dalam
peradilan tingkat banding, secara yuridis formal undang – undang memberi
upaya kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan permintaan
pemeriksaan putusan peradilan tingkat pertama di peradilan tingkat banding. 3
Pemeriksaan banding merupakan suatu penilaian baru (judicial novum),
sehingga dapat diajukan saksi – saksi baru, ahli-ahli, dan surat-surat baru. 4
Dalam hal upaya hukum ini, terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta
banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap
putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah
kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilaan dalam acara
cepat.
1
Sudikno Mertokusumo, 2013, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, hal. 242-
243
2
Andi Hamzah, 2014, KUHP & KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 231
3
Yahya Harahap, 2008, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 429
4
Andi Hamzah, 2013, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 292.
 Kasasi
Kasasi merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
terhadap penerapan hukum (putusan yang bertentangan dengan hukum) dalam
perkara yang diputus oleh semua pengadilan tingkat terakhir selain Mahkamah
Agung. Tujuan dari kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan penerapan
hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-
undang atau keliru dalam menerapkan hukum. Putusan yang dapat diajukan
permohonan kasasi ialah putusan perkara pidana pada tingkat terakhir oleh
pengadilan, kecuali terhadap putusan Mahkamah Agung dan putusan bebas
(pasal 244 Kitan Undang-Undang Hukum Acara Pidana).5
b. Upaya hukum luar biasa
 Pemeriksan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum (Pasal 259 KUHAP)
Kasasi demi kepentingan hukum adalah upaya hukum luar biasa yang diajukan
terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
dari pengadilan lain selain Mahkamah Agung (pasal 259 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana). Tujuannya adalah agar hukum diterapkan secara benar,
sehingga ada kesatuan dalam peradilan. Permohonan kasasi hanya dapat
dilakukan satu kali dan pihak yang melakukan permohonan adalah Jaksa
Agung.
 Pemeriksaan Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa yang diajukan terhadap
semua putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum(pasal 263
ayat 1 KUHAP). Peninjauan kembali adalah hak terpidana atau ahli warisnya.
Peninjauan kembali merupakan kewenangan Mahkamah Agung, dalam hal
tersebut Mahkamah Agung tidak hanya memeriksa penerapan hukumnya
(judex yuris), namun memeriksa fakta dan bukti yang diajukan dalam sautu
perkara yang diajukan.

B. Upaya Hukum Kasasi


Kasasi merupakan salah satu hak yang termasuk dalam kategori upaya hukum biasa.
Pengajuan kasasi wajib diterima oleh pihak pengadilan, namun permohonan tersebut
diterima atau ditolak merupakan kompetensi dari Mahkamah Agung untuk
memutuskannya. Kasasi dapat diartikulasikan sebagai hak yang diberikan kepada

5
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Grafika, hal. 299-300.
terdakwa dan penuntut umum untuk meminta kepada Mahkamah Agung, agar dilakukan
pemeriksaan terhadap putusan perkara pidana yang diberikan oleh pengadilan tingkat
bawahnya.6
Tujuan utama upaya hukum kasasi, yakni:7
1. Sebagai koreksi terhadap kesalahan putusan bawahan
Dalam hal ini, upaya hukum kasasi adalah untuk meluruskan kesalahan dalam
penerapan hukum, supaya hukum diimplementasikan sebagaimana mestinya serta
cara mengadili perkara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang
berlaku. Dapat dipahami bahwa majelis hakim yang memutusnya sebelumnya
merupakan manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan maupun kekhilafan.
Sehingga dapat dimunkinkan majelis hakim melkukan kesalahan atau kekhilafan
dalam memutus suatu perkara. Maka dengan upaya kasasi, Mahkamah Agung
melakukan koreksi terhadap kesalahan yang terjadi pada pengadilan;
2. Menciptakan dan membentuk hukum baru
Dalam hal ini Mahkamah Agung berperan untuk menciptakan hukum baru dalam
bentuk yurisprudensi. Berdasarkan jabatan dan wewenang yang melekat padanya
dalam bentuk judge making law, tidak jarang Mahkamah Agung menciptakan hukum
baru yang disebut hukum kasus atau case law. Hal terssebut bertujuan untuk
mengisi kekosongan hukum maupun dalam rangka menyejajarkan makna dan nilai
dari ketentuan undang-undang sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembangan nilai-nilai yang muncul di dalam masyarakat;
3. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum.
Tujuan dari upaya hukum kasasi yakni dalam rangka mewujudkan kesadaran akan
keseragaman penerapan hukum. Melalui putusan kasasi dalam bentuk
yurisprudensi, akan mengarahkan terhadap keseragaman pandangan dan
penerapam hukum. Oleh karena itu, apabila dikemudian hari ada suatu peristiwa
hukum yang memiliki sejumlah persamaan dengan peristiwa hukum sebelumnya
yang telah dijatuhi vonis oleh Mahkamah Agung, akan dapaat diputus dengan
merujuk pada putusan sebelumnya.

C. Vonis Bebas
Hakim memiliki kebebasan dalam mengadili dan memutus perkara supaya dapat
menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, sehingga dapat memberikan putusan yang
berdasarkan kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Oleh karena itu, kebebasan hakim

6
Muhammad, H. Rusli, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bhakti, hal. 266
7
Harahap, M. Yahya, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 539-542
dalam memutus perkara adalah suatu pembawaan dari peradilan. 8 Proses peradilan
akan berakhir dengan adanya putusan akhir atau vonis. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana putusan dapat berupa pemidanaan, putusan bebas, atau lepas
dari segala tuntutan hukum. Dalam pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, menjelaskan
mengenai putusan bebas dan putusan lepas:
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa
diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

Dalam putusan bebas, argumentasi penuntut umum maupun penasihat hukum baik
mengenai kesalahan terdakwa, perbuatan yang didakwakan maupun berkenaan dengan
alat bukti sah, memerlukan kejelian dan kecermatan untuk mempertimbangkan sehingga
terhadap suatu hal harus betul-betul meyakinkan. Jika tidak meyakinkan atau
menimbulkan keragu-raguan maka hakim wajib membebaskannya,9 tetapi jika hakim
keliru membebaskan orang yang bersalah maka ia hanya akan berhadapan dengan
pertanggungjawaban yuridis karena salah menerapkan hukum.10 Penjatugan putusan
bebas hendaknya harus didukung dengan bukti-bukti yang ada. Pertimbangan hakim
merupakan peranan yang penting dalam putusan bebas.

D. Upaya Hukum Kasasi atas Putusan Bebas


Adanya larangan kasasi terhadap putusan bebas, dipandang terlalu idealistic dan belum
sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Mahkamah Agung tidak melahirkan
yurisprudensi yang bertentangan dengan undang-undang, namun Mahkamah Agung
meluruskan penerapan hukum yang dilakukan agar penerapan hukum tersebut sesuai
dengan arti dan makna yang terkandung di dalamnya, maka Mahkamah Agung
membenarkan pengajuan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas.11 Selain adanya
putusan Mahkamah Agung, putusan bebas dapat dimintakan kasasi dengan adanya
putusan Mahkamah Konstitusi No. 114/PUU-X/2012 yang menyatakan frasa “kecuali
terhadap putusan bebas” tersebut bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat, maka Mahkamah Agung berwenang memeriksa permohonan

8
Dahlan Sinaga, Dahlan Sinaga, 2015, Kemandirian dan Kebebasan Hakim Memutus Perkara Pidana dalam
Negara Hukum Pancasila, Jakarta: Nusamedia, hal. 24
9
Leden Marpaung, 1995, Putusan Bebas Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 50
10
Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, 2013, Diskresi Hakim Sebuah Instrumen
Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-Perkara Pidana, Bandung: Alfabeta, hal. 198
11
Harun M Husein, 1992, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 118-120
kasasi terhadap putusan bebas dan memperkenankan permohonan kasasi atas putusan
bebas.

E. Kewenangan Mahkamah Konstitusi


Dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negaram dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan
demikian, Mahkamah Konstitusi adalah lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan
yudikatif yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya
berdasarkan ketentuan UUD 1945. Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam mengani
perkara konstitusi sebagaimana tercantum dalam pasal 24C ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu:
1. Menguji undang-undnag terhadap Undang-Undang Dasar 1945;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945;
3. Memutus pembubaran partai politik;
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Selain itu berdasarkan pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan pasal 24C ayat (2) UUD
1945 yang ditegaskan lagi oleh pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah
Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud
dalam UUD 1945.
BAB IV

ANALISIS

4.1 Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 Terhadap


KUHAP

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 memang tidak dipungkiri


menimbulkan banyak perdebatan dalam memahaminya. Pemohon pada
permohonannya berpendapat, bahwa putusan bebas oleh pengadilan tingkat
pertama tidak dapat diajukan upaya hukum untuk diuji kembali pada tahap peradilan
yang ada di atasnya dan sudah sangat jelas diatur dalam Pasal 64 dan Pasal 244
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209). Terlihat pernyataan Pemohon tersebut benar,
karena jika dilihat konstruksi pasal tersebut tidak perlu untuk ditafsirkan, pun bisa
dilakukan jika dianalisis dengan menggunakan metode a contrario (dengan
menafsirkan undang-undang berdasarkan pertentangan mengenai masalah yang
dihadapi dan masalah yang diatur di suatu undang-undang) sekalipun sebenarnya itu
merupakan tindakan secara sepihak.

Perlu diketahui, bahwa adanya upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas diawali
ketika Mahkamah Agung mengabulkan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas
terdakwa Natalegawa yang diajukan jaksa, melalui Putusan Mahkamah Agung Reg.
No. 275/K/Pid/1983 dengan pertimbangan hukumnya yaitu asas ius contra legem
dan konsepsi putusan bebas yang dibedakan atas bebas murni (vrijspraak) dan
bebas tidak murni (verkapte vrijspraak). Asas ius contra legem adalah kewenangan
hakim dalam menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ada dan
dianggap ketinggalan zaman sehingga dirasa tidak mampu lagi dalam memenuhi
rasa keadilan masyarakat.12 Asas ini merupakan dasar bahwa wewenang yang
dimiliki oleh hakim untuk melakukan penemuan hukum adalah jika suatu peraturan
dianggap telah usang atau ketinggalan zaman. Jika yurisprudensi Putusan
Mahkamah Agung Reg. No. 275/K/Pid/1983 atau bahkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 didasarkan pada asas ius contra legem,
pandangan tersebut justru merupakan hal yang keliru. KUHAP yang merupakan
undang-undang tentang hukum acara pidana, sampai saat ini belum mencapai
12
M. Budiono, K. Wantjik Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1981 dengan Uraian Ringkasan,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981, hlm. 24.
seabad dalam masa berlakunya. Yurisprudensi yang digunakan sebagai dasar untuk
menerima permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas
tersebut dikeluarkan pada tahun 1983. Berbicara secara logis, tidak mungkin
peraturan yang baru berumur lebih kurang dua tahun telah dianggap sebagai
peraturan yang ketinggalan zaman atau usang, sehingga hakim dapat mengeluarkan
putusan yang mengubah kepastian upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas.
Jika berkaca pada civil law, undang-undang negara yang menganutnya berprinsip
bahwa untuk memecahkan permasalahan hukum, harus terlebih dahulu merujuk
pada undang-undang. Selanjutnya apabila permasalahan hukum yang dihadapi
tersebut belum diatur dalam undang-undang, barulah kemudian dapat dirujuk pada
sumber hukum yang selanjutnya. Sedangkan yurisprudensi sendiri dipakai dalam
menentukan kebiasaan sebagai sumber hukum formil yang ditentukan melalui
putusan hakim dengan perkara yang sama dengan sebelumnya. Dengan demikian
dapat dimaknai, bahwa yurisprudensi juga memiliki kedudukan yang sama dan
bersifat mengikat terhadap perkara yang sebelumnya tidak diatur dalam undang-
undang. Akan tetapi, jika undang-undang telah mengaturnya secara jelas,
yurisprudensi tidak dapat dijadikan sebagai dasar oleh hakim untuk memberikan
putusan.

Dapat disimpulkan, penggunaan yurisprudensi sebagai dasar pembenar agar hakim


dapat menerima perkara atau permohonan mengenai upaya hukum kasasi Jaksa
Penuntut Umum adalah pengingkaran terhadap ketentuan undang-undang itu
sendiri, seperti pada Pasal 64 dan Pasal 244 KUHAP. Hakim seharusnya dalam
menerima permohonan kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum harus
mempertimbangkannya dari sisi undang-undang, bukan melakukan penafsiran
terhadap ketentuan yang sudah jelas mengaturnya. Permasalahan ini sangat terlihat
dengan jelas pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 ini.
Hakim Mahkamah Konstitusi pada akhirnya mengabulkan permohonan pemohon
terhadap pengujian Pasal 244 KUHAP pada frasa “kecuali terhadap putusan bebas,
yang mengakibatkan semua putusan bebas dapat diajukan kasasi oleh Jaksa
Penuntut Umum. Dengan demikian, putusan ini justru tidak dapat memberikan
kepastian hukum yang sebenarnya serta tidak memberikan keadilan terhadap
penyelesaian perkara pidana. Jika dahulu kasasi yang dilakukan terhadap putusan
bebas tidak murni, maka pada saat ini hal tersebut berlaku bagi semua putusan
bebas.

Mengenai permasalahan putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni, tidak
perlu dihiraukan lagi. Baik putusan bebas itu bersifat murni atau tidak murni,
Mahkamah Agung tidak menganggapnya sebagai masalah dan justru pihak-pihak
lain yang menganggapnya sebagai suatu hambatan. Berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi telah
menyatakan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP
bertentangan dengan konstitusi dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Sehingga ketentuan Pasal 244 KUHAP, dihapus frasa “kecuali terhadap
putusan bebas” dan kini berbunyi: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan
pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,
terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi
kepada Mahkamah Agung.”

Pasal 253 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa pemeriksaan dalam tingkat kasasi
dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan:

1. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya;
2. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-
undang; dan
3. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

Dijelaskan sebelumnya, bahwa tujuan kasasi adalah menciptakan kesatuan


penerapan hukum dengan membatalkan putusan yang bertentangan dengan
undang-undang atau suatu kekeliruan dalam menerapkan hukum.13

4.2 Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi atas Pengajuan Kasasi oleh Jaksa
Penuntut Umum Terhadap Vonis Bebas dalam Mewujudkan Kepastian Hukum

Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012, sudah


banyak permasalahan terkait upaya kasasi terhadap putusan bebas di pengadilan
tingkat pertama walaupun tidak sedikit pula mendapatkan argumen pembenar yang
sama kuatnya. Hal ini terlihat pada pendapat mahkamah yaitu sudah 4 (empat) kali
dimohonkan pengujian dan diputus oleh mahkamah dengan putusan yang
menyatakan permohonan Pemohon dalam putusan Mahkamah Nomor 17/PUU-
VIII/2010, Nomor 56/PUU-IX/2011, Nomor 85/PUU-IX/2011, dan Nomor 71/PUU-
X/2012 tidak dapat diterima.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, satu sisi jika tidak dibukanya pengajuan
kasasi atas vonis bebas di pengadilan tingkat pertama, akan dipandang sebagai
13
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 298.
upaya dalam menciptakan kepastian hukum. Akan tetapi, disisi lain ketentuan
tersebut seolah-olah melepaskan hakim yang mengadili suatu perkara pada tingkat
pertama dan terbebas dari tanggung jawab, kesalahan, maupun kekhilafan atas
putusan yang dijatuhkan. Kedua pernyataan tersebut pada akhirnya justru
mengarahkan kepada situasi yang penuh dengan ketidakpastian. Pada Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012, Hakim Mahkamah Konstitusi sendiri
justru terpecah ke dalam 2 (dua) pandangan yang berbeda (dissenting opinion)
dalam menguji konstitusionalitas Pasal 244 KUHAP yang dimohonkan Pemohon.

Menurut para Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD, Achmad Sodiki, Muhammad Alim,
Hamdan Zoelva, Anwar Usman, M. Akil Mochtar, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan
Maria Farida Indrati, permohonan Pemohon atas ketidakpastian hukum Pasal 244
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada frasa “kecuali terhadap
putusan bebas” dikabulkan atau dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.

Sedangkan pendapat Hakim Konstitusi Harjono, yakni ketentuan Pasal 244 KUHAP
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal itu didasarkan pada argumentasi bahwa
keberadaan Pasal 244 KUHAP merupakan upaya perlindungan terhadap hak asasi
manusia terhadap orang-orang yang haknya pernah dilanggar karena statusnya
sebagai terdakwa, setelah dijatuhkan putusan pengadilan yang sah. Sekalipun
ditemukan sejumlah praktik yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP,
hal itu sebenarnya tidak bisa dijadikan rujukan untuk menyatakan sebuah undang-
undang bertentangan dengan UUD 1945. Oleh Hakim Harjono, yang seharusnya
dilakukan adalah pengujian undang-undang dijadikan sebagai koreksi terkait apakah
praktik yang dijalankan sudah sesuai dengan konstitusi atau tidak. Pun kemudian,
dissenting opinion ini sama sekali tidak seimbang. Hampir semua Hakim Konstitusi
berpendapat bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244
KUHAP bertentangan dengan konstitusi sehingga dinyatakan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat.

Lalu bagaimana sesungguhnya pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam rangka


menciptakan kepastian hukum atas upaya JAKSA PENUNTUT UMUM dalam
mengajukan kasasi terhadap vonis bebas? Jika dicermati secara seksama putusan
Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian konstitusionalitas Pasal 244 KUHAP, maka
dapat dilihat bahwa upaya mewujudkan kepastian hukum dalam hal pengajuan
kasasi atas vonis bebas oleh JAKSA PENUNTUT UMUM mendapat pertimbangan
yang sangat mendasar. Hal ini tercermin dari pendapat Mahkamah yang berbunyi:
“Apabila Pasal 67 KUHAP menentukan pengecualian untuk memohon pemeriksaan
banding terhadap putusan tingkat pertama yang menyatakan bebas, lepas dari
segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan
hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat, maka Pasal 244 KUHAP
mengecualikan permohonan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas. Kedua
ketentuan tersebut sama sekali tidak memberikan upaya hukum biasa terhadap
putusan bebas, yang berarti fungsi Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi
terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan yang ada di bawahnya
sama sekali ditiadakan.”

Mahkamah juga berpendapat bahwa diluar penilaian atas putusan-putusan


Mahkamah Agung, kenyataan selama inilah yang menunjukkan beberapa putusan
bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama atau pengadilan di bawah
Mahkamah Agung. Dibandingkan dengan permohonan banding (vide Pasal 67
KUHAP), Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi dan Mahkamah
Agung justru mengadilinya. Dari sini jelas sudah bertentangan dengan ketentuan
pada Pasal 244 KUHAP terhadap putusan bebas yang tidak boleh dilakukan upaya
hukum kasasi. Hal ini yang sebenarnya mengakibatkan terjadinya ketidakpastian
hukum dalam praktik karena terjadinya kontradiksi dalam implementasi pasal
tersebut. Di satu sisi, pasal tersebut melarang upaya hukum kasasi, namun di lain
pihak Mahkamah Agung dalam praktiknya menerima dan mengadili permohonan
kasasi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan di bawahnya. Oleh
karena itu, untuk menjamin kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di
hadapan hukum, Mahkamah perlu menentukan konstitusionalitas Pasal 244 KUHAP
khususnya frasa “kecuali terhadap putusan bebas.”

Dari pendapat Mahkamah tersebut dapat dipahami bahwa terjadinya kontradiksi


dalam implementasi Pasal 244 KUHAP selama ini telah menimbulkan ketidakpastian
hukum di tengah-tengah masyarakat. Pelarangan permintaan kasasi atas putusan
bebas oleh penuntut umum di satu sisi dan diterimanya permohonan kasasi atas
putusan bebas oleh Mahkamah Agung di sisi lain pada akhirnya menjadi problem
yang tidak semestinya terjadi dan harus segera diakhiri. Atas dasar sejumlah
pertimbangan itulah, maka kemudian putusan Mahkamah Konstitusi dengan Nomor
114/PUU-X/2012 yang diucapkan pada sidang pleno Mahkamah Konstitusi pada
Kamis, 28 Maret 2013 lalu, yang menyatakan bahwa frasa “kecuali terhadap putusan
bebas” sebagaimana tercantum dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah bertentangan dengan UUD NRI
Tahun 1945 dianggap telah memberi kepastian hukum dalam hal pengajuan kasasi
oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap vonis bebas. Dengan adanya putusan
Mahkamah Konstitusi dimaksud, maka Jaksa Penuntut Umum telah memperoleh
kepastian hukum dalam mengajukan kasasi atas putusan bebas yang dijatuhkan
pada pengadilan tingkat pertama. Selain itu, sebagaimana diungkapkan oleh Cleiren
and Nijboer, et. Al., seperti dikutip Andi Hamzah (2008: 41) yang mengatakan bahwa
hukum pidana itu adalah hukum tertulis, tidak seorangpun dapat dipidana
berdasarkan hukum kebiasaan dan hukum kebiasaan tidak menciptakan hal dapat
dipidana (strafbaarheid), maka KUHAP sebagai hukum tertulis harus terlepas dari
ragam ketentuan yang terkesan samar-samar dan tidak menimbulkan ragam
penafsiran agar proses penerapannya dapat dijalankan dengan baik. Jika terdapat
peraturan perundang-undangan yang tidak jelas, maka hal itu menuntut untuk
diberikan penjelasan (Kurnia, 2009: 58).

Patut juga dicatat bahwa berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam
upaya penegakan hukum dan keadilan, tentu tidak dapat dilepaskan dari sebuah
kejujuran tentang makna kebenaran. Yang benar akan dinyatakan benar dan yang
salah akan dinyatakan salah. Oleh sebab itu, maka sekalipun permintaan kasasi atas
vonis bebas (vrijspraak) telah memperoleh ruang legitimasi yang memadai, namun
demikian tidak berarti serta merta dapat dimaknai bahwa Mahkamah Agung akan
selalu menyatakan dan memutuskan seseorang terdakwa selalu bersalah dan
dijatuhi pidana sebagaimana didakwakan penuntut umum. Karena bagaimanapun
perlindungan hak-hak tersangka atau terdakwa yang terdapat dalam sistem
peradilan pidana merupakan salah satu prasyarat terselenggaranya proses hukum
yang adil (Tahir, 2010: 9).

Jadi semestinya tidak ada yang perlu dirisaukan dengan putusan MK yang satu ini.
Para terpidana yang memperoleh vonis bebas di pengadilan tingkat pertama tidak
perlu merisaukan putusan ini sepanjang mampu membuktikan ketidakterlibatannya
dalam sebuah perkara yang didakwakan kepadanya. Artinya bahwa upaya kasasi
atas putusan bebas yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama tidak dengan
sendirinya akan membatalkan putusan pengadilan di tingkat bawahnya. Bisa saja
menguatkan atau membatalkan putusan bebas yang diajukan kasasi ke MA. Semua
itu tergantung pada pertimbangan MA dalam mengadili perkara yang diajukan. Harap
diingat juga bahwa salah satu tujuan hukum adalah dalam rangka menciptakan
adanya kepastian, selain keadilan dan kemanfaatan. Manakala hukum justru
melahirkan ketidakpastian, maka semestinya hukum yang demikian patut dikoreksi
keberadaannya. Langkah itulah yang sesungguhnya dilakukan MK melalui pengujian
atas Pasal 244 KUHAP. Ketentuan pelarangan pengajuan kasasi oleh penuntut
umum terhadap vonis bebas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 244 KUHAP
sangat tidak sejalan dengan fakta hukum yang selama ini terjadi.

Oleh karena itu, maka dalam rangka mewujudkan tujuan hukum, khususnya
mewujudkan kepastian, menjadi sangat tepat untuk menghilangkan frasa “kecuali
terhadap putusan bebas” sebagaimana tertuang dalam Pasal 244 KUHAP selama
ini. Bagaimanapun harus diakui bahwa hakim adalah manusia biasa yang tidak
mungkin luput dari berbagai kesalahan dan kekhilafan. Oleh sebab itu, selayaknya
sebuah vonis bebas difasilitasi dengan ruang terbuka untuk menguji kebenaran
materil vonis dimaksud. Dengan demikian, maka upaya mewujudkan keadilan dan
kemanfaatan sebagai bagian penting dari pilar-pilar hukum itu sendiri akan lebih
dimungkinkan untuk diwujudnyatakan. Dengan adanya putusan Mahkamah
Konstitusi ini, maka bagi para terpidana yang telah memperoleh vonis bebas di
pengadilan tingkat pertama, tidak lagi dapat mengasumsikan hal itu sebagai sebuah
putusan final (inkracht).

Sebab Jaksa Penuntut Umum telah memiliki ruang legalitas yang cukup untuk
mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Putusan ini sekaligus menutup ruang
bagi upaya memperdebatkan keabsahan kasasi yang diajukan jaksa atas vonis
bebas di pengadilan tingkat pertama. Yang patut dipikirkan kemudian adalah
bagaimana kemudian agar Mahkamah Agung dapat bekerja dengan profesional,
transparan dan independen serta objektif dalam menangani setiap permintaan kasasi
atas vonis bebas yang diajukan oleh penuntut umum. Hal ini perlu diingatkan agar
jangan sampai putusan kasasi Mahkamah Agung atas vonis bebas justru melahirkan
suatu putusan yang berseberangan dengan nilai kebenaran dan keadilan.
Mahkamah Agung juga perlu membentengi integritas para punggawanya agar tidak
mudah tergoda dan terpengaruh dengan berbagai iming-iming pihak tertentu dalam
menangani suatu perkara.

Sehingga dengan demikian, maka kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung


sebagai lembaga peradilan tertinggi dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran
dapat terpelihara dengan utuh. Oleh sebab itu, maka putusan MK dengan Nomor
114/PUU-X/2012 yang mengabulkan permohonan pemohon dalam menentukan
konstitusionalitas Pasal 244 KUHAP patut dimaknai sebagai ruang yang sangat
efektif dalam mengakhiri kontradiksi yang terjadi selama ini. Kalaupun kemudian
ditemukan pendapat berbeda antara sesama hakim konstitusi dalam menguji
konstitusionalitas Pasal 244 KUHAP, hal itu harus dilihat dan diletakkan dalam porsi
yang semestinya, yaitu sebagai sebuah dinamika dalam rangka mewujudkan
independensi, transparansi dan objektivitas hakim dalam menangani suatu perkara.
Pertimbangan yang digunakan Mahkamah Konstitusi dalam memutus judicial review
atas perkara ini lebih didasarkan dalam rangka memberikan kepastian hukum atas
pengajuan kasasi oleh JAKSA PENUNTUT UMUM terhadap vonis bebas.
PENUTUP

a. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, kelompok kami dapat


mengambil kesimpulan terkait dengan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 114/PUU-X/2012 Terhadap KUHAP bahwa tersebut bisa dipandang dari dua
sisi. Sisi pertama didasarkan pada kewenangan Mahkamah Agung untuk mengadili
terhadap pengajuan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum atas putusan
bebas yang telah diberikan pada Pengadilan Negeri. Akan tetapi jika ditinjau dalam
Pasal 244 KUHAP yang telah mengecualikan putusan bebas untuk dapat
dilakukannya upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum, Mahkamah Agung
menilai bahwa hal tersebut telah bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Dengan demikian peran Mahkamah Konstitusi untuk melakukan tugasnya dalam


pengujian unsur materil atas permohonan yang diajukan dan telah
mempertimbangkan bahwa atas muatan Pasal 244 KUHAP yang berisi “kecuali
terhadap putusan bebas” telah sepakat secara konstitusionalitas. Akan tetapi, pada
satu sisi lainnya menyatakan bahwa implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
114/PUU-X/2012 terhadap hukum pidana formil atas muatan KUHAP memberikan
pertimbangan hukum bahwa mayoritas majelis hakim MK telah menerima
permohonan Pemohon yang akhirnya dianggap bermasalah, bertentangan, dan
membawahi muatan dari KUHAP sendiri.

Dalam muatan yang terdapat dalam Pasal 244 KUHAP atas frasa “terhadap putusan
bebas yang diajukan kasasi” dianggap bahwa pasal ini hanya sekedar dibuat untuk
melindungi HAM setiap orang yang haknya tidak bebas saat berasa dalam posisi
terdakwa, dan setelah putusan dijatuhkan yaitu terhadap putusan bebas. Kemudian
ditinjau berdasarkan pendapat yang diberikan oleh Hakim MK Harjono atas
pembatasan JPU sehingga dapat mengajukan upaya hukum kasasi terhadap
terhadap putusan bebas, dikarenakan hanya sekedar untuk mengingatkan bahwa
putusan yang dihasikan oleh hakim pada Pengadilan Negeri atau dibawah putusan
Mahkamah Agung bersifat tetap dan mengikat. Seharusnya tidak dapat dimintakan
permohonan upaya hukum kasasi kembali dikarenakan dalam hal hakim
memberikan putusan didasarkan pada keyakinan untuk melihat perkara yang
ditanganinya disertai dengan ketentuan normatifnya.

Dengan demikian bertentangan jika ditinjau berdasarkan kepentingan terdakwa yang


telah mendapatkan putusan bebas, jika dimintakan upaya hukum kasasi kembali
oleh Jaksa Penuntut Umum bertentangan dengan konstruksi untuk melindungi dan
menjamin hak-hak kepentingannya mereka yang diputus pada pengadilan tingkat
pertama.

Dengan demikian terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 114/PUU-X/2012


yang mengabulkan permohonan pemohon dalam menentukan konstitusionalitas
Pasal 244 KUHAP sudah selayaknya ditinjau sebagai ruang yang sangat efektif
dalam mengakhiri kontradiksi yang terjadi selama ini. Jikalau dikemudian ditemukan
pendapat berbeda antara sesama hakim konstitusi dalam menguji konstitusionalitas
Pasal 244 KUHAP, hal tersebut harus dilihat dan diletakkan dalam ditinjau
proposional, yaitu sebagai sebuah dinamika dalam rangka mewujudkan
independensi, transparansi dan objektivitas hakim dalam menangani suatu perkara.
Pertimbangan yang digunakan Mahkamah Konstitusi dalam memutus judicial review
atas perkara ini lebih didasarkan dalam rangka memberikan kepastian hukum atas
pengajuan kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap vonis bebas.

b. Saran

Berdasarkan kesimpulan telah dipaparkan tersebut, maka saran yang dapat


diberikan oleh kelompok kami antara lain:

1. Pembentuk Undang-Undang (pembentuk KUHAP) dalam tugasnya untuk


merumuskan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan
datang hendaknya memiliki substansi yang tegas dalam upaya merumuskan
suatu pasal, dalam kasus yang di bahas dalam paper ini yaitu berupa
pembentukan terhadap upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum
terhadap putusan bebas.

2. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan


datang, pembentuk KUHAP diharapkan dapat melakukan perbaikan secara jelas
atas muatan Pasal 244 KUHAP tersebut, yaitu dengan mendasarkan rumusan
terkait dengan hak Jaksa Penuntut Umum dalam usaha mengajukan upaya
hukum kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) sehingga Jaksa Penuntut
Umum tidak lagi memakai adanya penafsiran dalam menyelesaikan kasus-kasus
yang dalam putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri dinyatakan
bebas.

Selain itu dapat juga ditinjau berdasarkan prosedur yang dijalankan oleh pembentuk
KUHAP diharapkan dalam merumuskan juga bahwa untuk penyelesaian kasus-
kasus pada pengadilan tingkat satu dinyatakan bebas, seharusnya melalui tahapan
upaya hukum banding terlebih dahulu sebelum mengajukan upaya hukum kasasi,
dengan tujuan agar putusan yang telah dikeluarkan tersebut bias dilihat
kebenarannya sehingga dengan diatasinya berdampak dengan tidak terjadi
penumpukan perkara yang ada pada tingkat Mahkamah Agung.
Daftar Pustaka

Buku:
Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin. 2013. Diskresi Hakim
Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-Perkara Pidana.
Bandung: Alfabeta.
H. Rusli, Muhammad. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: Citra Aditya
Bhakti.
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. 2013. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. 2014. KUHP & KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta.
M Husein, Harun. 1992. Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
M. Harahap, Yahya 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta:
Sinar Grafika.
M. Yahya, Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Jakarta:
Sinar Grafika.
Marpaung, Leden. 1995. Putusan Bebas Masalah dan Pemecahannya. Jakarta: Sinar
Grafika.
Mertokusumo, Sudikno. 2013. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka.
Sinaga, Dahlan. 2015. Kemandirian dan Kebebasan Hakim Memutus Perkara Pidana
dalam Negara Hukum Pancasila. Jakarta: Nusamedia.

Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Kiab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 114/PUU-X/2012.

Anda mungkin juga menyukai