Anda di halaman 1dari 13

UPAYA HUKUM LUAR BIASA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Hukum Acara Pidana

Dosen Pengampu: Nurul Alimi Sirrullah, S.Hi., MH

Disusun Oleh:

Husnul Khotimah

Ainor Rahman

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ULUM

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

SUMENEP

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap Terpidana memiliki hak hukum yakni keberatan atas
Putusan Hakim Pidana yang dijatuhkan padanya. Hak Hukum tersebut
dapat digunakan apabila Terpidana merasa Hukuman yang dijatuhkan
terlalu berat atau Terpidana merasa tidak pernah melakukan perbuatan
pidana yang dituntutkan.
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk
tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau
banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan
peninjauan kembali. Dalam praktek Kasus Pidana kita mengenal ada 2
(dua) macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya
hukum luar biasa.
Dalam Upaya Hukum Luar Biasa tentu ada beberapa hal yang
menarik untuk dibahas, diantaranya adalah Kasasi demi Kepentingan
Hukum (KDKH), Peninjauan Kembali (PK) serta ada ketentuan yang
langsung dapat diajukan terhadap Presiden, yakni Upaya Hukum Grasi,
Amnesti dan Abolisi.
Dalam kesempatan ini penulis berkesempatan untuk menulis
atau menyusun sebuah makalah tentang Upaya Hukum Luar Biasa.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan dapat diambil rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Pengaturan Kasasi Demi Kepentingan Hukum (KDKH)
Sebagai Upaya Hukum Luar Biasa?
2. Bagaimana Pengaturan Peninjauan Kembali (PK) Sebagai Upaya
Hukum Luar Biasa?
3. Grasi, Amnesti dan Abolisi dalam Perspektif Hukum Pidana?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengaturan Kasasi Demi Kepentingan Hukum (KDKH) Sebagai
Upaya Hukum Luar Biasa
Kasasi demi kepentingan hukum (KDKH) ialah upaya hukum
luar biasa yang diajukan terhadap semua putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dan Putusan Pengadilan selain
Putusan Mahkamah Agung. Dengan demikian, terbatas pada Putusan
Pengadilan Negeri dan/atau Pengadilan Tinggi yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Kasasi demi Kepentingan Hukum diatur dalam pasal 259-262
KUHAP, khususnya Pasal 259 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP yang
menyatakan bahwa ;
1. Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan
lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu
kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung.
2. Dikatakan bahwa putusan kasasi demi kepentingan hukum
tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
Upaya hukum Kasasi demi Kepentingan Hukum memang
berbeda dengan upaya hukum Peninjauan Kembali. Perbedaan yang
sangat jelas terletak pada ketentuan pasal 259 ayat :
1. putusan yang dapat diajukan Kasasi demi Kepentingan
Hukum adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dari Pengadilan Negeri dan Pengadian Tinggi
saja.
2. dimana dijelaskan bahwa putusan Kasasi demi Kepentingan
Hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan,
dalam hal ini baik Jaksa maupun terpidana pun tidak boleh
dirugikan dengan adanya permohonan kasasi demi
kepentingan hukum oleh Jaksa.
Berbeda dengan Peninjauan Kembali yang dapat diajukan
terhadap putusan pengadilan dari Mahkamah Agung. Berdasarkan
KUHAP, alasan materiil mengajukan Kasasi demi Kepentingan Hukum
memang tidak secara jelas disebutkan, namun melalui istilah “Kasasi
demi Kepentingan Hukum” dapat diketahui bahwa alasannya yaitu dari
sudut kepentingan hukum.
Syarat materiil permintaan Kasasi demi Kepentingan Hukum,
tidak berbeda dengan kasasi biasa yakni apakah benar suatu peraturan
hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya,
apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan sesuai ketentuan
undang-undang, serta apakah benar pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya.
Kasasi demi Kepentingan Hukum merupakan sarana untuk
melawan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,
sehingga keadilan dapat diperoleh agar negara dan masyarakat tidak
dirugikan sebagai akibat dari kekeliruan atau keteledoran Hakim.
Upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum dapat juga
menjadi kepentingan negara, tetapi pada prinsipnya kepentingan
Terpidana/Terdakwa yang tidak boleh dirugikan. Hal itu dapat dilihat
dari batas yang menjadi patokan mengapa kepentingan
Terpidana/Terdakwa yang dilindungi, yaitu ;
1. Tidak menjatuhkan putusan pemidanaan atas putusan
pembebasan.
2. Tidak boleh menjatuhkan putusan yang akan memperberat
pidana.
3. Tidak boleh mencabut hak perdata Terdakwa jika hal itu
tidak terdapat dalam putusan yang dikasasi.
Kasasi demi kepentingan hukum juga tidak dapat merubah
status Terdakwa. Berdasarkan hal tersebut apakah sebenanya upaya
hukum ini perlu dilakukan perbaikan mengingat fungsinya yang tidak
mewujudkan tujuan hukum yaitu, memberikan kemanfaatan, kepastian
dan keadilan bagi pihak yang melakukan upaya hukum ini.
B. Pengaturan Peninjauan Kembali (PK) Sebagai Upaya Hukum
Luar Biasa
Hakim adalah aktor utama penegakan hukum (law
enforcement) di pengadilan yang mempunyai peran lebih apabila
dibandingkan dengan jaksa, pengacara, dan panitera. Pada saat
ditegakkan, hukum mulai memasuki wilayah das sein (yang
senyatanya) dan meninggalkan wilayah das sollen (yang seharusnya).
Hukum tidak lagi sekedar barisan pasal-pasal mati yang terdapat dalam
suatu peraturan perundang-undangan, tetapi sudah “dihidupkan” oleh
living interpretator yang bernama hakim1. Dalam memutus suatu
perkara, hakim harus mengkombinasikan tiga hal penting yaitu,
kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Dengan cara itu, maka
pertimbangan-pertimbangan hukum yang menjadi dasar penyusunan
putusan menjadi baik.
Namun demikian, suatu putusan hakim juga tidak luput dari
kekeliruan atau kehilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak.
Oleh karena itu, demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim
perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang, agar kekeliruan atau
kehilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki. Bagi setiap
putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum, yaitu upaya atau
alat mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan2.
Secara normatif, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) membedakan upaya hukum menjadi dua macam.
1. upaya hukum biasa yaitu Banding hingga Kasasi
sebagaimana diatur dalam Bab XVII Pasal 233 KUHAP
sampai dengan Pasal 258 KUHAP
2. Upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali (PK)
yang diatur dalam Pasal 263 KUHAP sampai dengan Pasal
269 KUHAP, kemudian upaya hukum luar biasa yang lain
1
A. Ahsin Tohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Jakarta:
ELSAM, 2004, h. 15-16
2
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:
Liberty, 1998, h. 168.
adalah Kasasi demi kepentingan hukum yang diatur dalam
Pasal 259 KUHAP sampai dengan Pasal 262 KUHAP.
Melalui upaya hukum yang tersedia tersebut, maka dalam
rangka mewujudkan keadilan, para pihak memiliki hak untuk
mengajukan upaya hukum apabila terdapat putusan hakim yang dirasa
tidak adil.
Upaya hukum merupakan hak terdakwa/terpidana dan
Jaksa/Penuntut Umum yang dapat dipergunakan apabila ada pihak
yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan oleh pengadilan.
Karena upaya hukum ini merupakan hak, jadi hak tersebut bisa saja
dipergunakan dan bisa juga terdakwa/terpidana dan Jaksa/ Penuntut
Umum tidak menggunakan hak tersebut. Akan tetapi, bila hak untuk
mengajukan upaya hukum tersebut dipergunakan oleh
terdakwa/terpidana dan Jaksa/Penuntut Umum, maka pengadilan wajib
menerimanya3.
Upaya hukum PK pada prinsipnya merupakan upaya hukum
luar biasa (extraordinary remedy) terhadap putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Upaya hukum
PK bertujuan untuk memberikan keadilan hukum, dan bisa diajukan
oleh pihak yang berperkara baik untuk perkara pidana maupun perkara
perdata. PK merupakan hak terpidana selama menjalani masa pidana di
dalam lembaga pemasyarakatan.
Alasan PK dikategorikan sebagai upaya hukum luar biasa
karena mempunyai keistimewaan, artinya dapat digunakan untuk
membuka kembali (mengungkap) suatu keputusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan suatu putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, harus
dilaksanakan untuk menghormati kepastian hukum. Dengan demikian,
lembaga PK adalah suatu upaya hukum yang dipergunakan untuk

3
Ristu Darmawan, Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali
Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Pidana, Naskah Tesis Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 2012, h. 21.
menarik kembali atau menolak putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap4.
syarat materiil untuk dapat mengajukan PK diatur dalam Pasal
263 ayat (2) KUHAP yaitu, Permintaan peninjauan kembali dilakukan
atas dasar ;
1. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan
kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan
bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap
perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
2. Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa
sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai
dasar dan alas an putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,
ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
3. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Khusus dalam perkara pidana, pengajuan permohonan PK
tersebut dapat diuji dengan dua asas dalam teori hukum yaitu, “lex
posteriory derogate lex priory” dan “lex superiory derogate lex
inferiory”.
1. asas lex posteriory derogate lex priory, dalam hirarki
peraturan yang sama maka bila terjadi polemik maka
peraturan yang terbarulah yang digunakan. Artinya, putusan
MK, yang memiliki posisi sejajar dengan Undang-Undang
tersebut seharusnya berlaku mengalahkan Undang-Undang
sebelumnya (UU Kekuasaan Kehakiman dan UU
Mahkamah Agung).
4
Tim Pengkaji Pusat Litbang, Problematika Penerimaan Peninjauan
kembali dan Grasi dalam Penegakan Hukum, Jakarta: Puslitbang Kejagung
RI, 2006, h. 8. Dalam Ristu Darmawan, Upaya Hukum Luar Biasa
Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Pidana,
Naskah Tesis Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Universitas
Indonesia, 2012, h. 22
2. asas lex superiory derogate lex inferiory, yang mengatakan
bahwa peraturan yang lebih rendah dikalahkan oleh
peraturan yang lebih tinggi, maka Putusan MK seharusnya
lebih tinggi dari pada SEMA yang hanya mengikat secara
internal.
Dengan menggunakan kedua asas ini ini maka secara hukum
sebenarnya polemik tersebut telah dianggap selesai dan dengan
demikian yang diikuti oleh masyarakat dan aparat penegak hukum
adalah Putusan MK yang menyatakan bahwa permohonan PK dapat
diajukan lebih dari 1 (satu) kali.
C. Grasi, Amnesti dan Abolisi dalam Perspektif Hukum Pidana
Grasi, amnesti dan abolisi merupkan salah satu upaya untuk
meringankan dan menghapuskan suatu pidana. Pemberian Grasi,
amnesty dan abolisi merupakan kewenangan Presiden dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA) atau Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-
Undang Dasar 1945, yang berbunyi:
a. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
b. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
1. Grasi
Grasi dalam hukum pidana, tidak hanya mengenai ampunan atau
pengurangan hukuman terhadap putusan hakim saja. Kita perlu
melihat grasi dari sisi lainnya, untuk mengetahui mengenai
eksistensi grasi dalam perspektif hukum pidana. Sisi-sisi lain
tersebut, yakni grasi sebagai hak warga negara, grasi mengatasi
keterbatasan hukum (recovery system), grasi sebagai dasar
hapusnya hak Negara menjalankan pidana, dan grasi dihubungkan
dengan tujuan pemidanaan.
Grasi sendiri merupakan bagian dari hukum tata negara karena
berkaitan dengan hak preogatif presiden namun tidak bisa
dipungkiri bahwa grasi merupakan bagian dari suatu sistem
pemidanaan karena bisa meringankan dan menghilangkan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Peran grasi dalam
sistem pemidanaan diperlukan dengan memperhatikan
kegunaannya5.
Grasi diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi) sebagaimana telah diubah
oleh Undang–Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU
5/2010). Definisi hukum Grasi diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU
Grasi yang berbunyi:
Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada
terpidana yang diberikan oleh Presiden.
Dalam Pasal 2 ayat (1) UU 5/2010 diatur bahwa terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
Jika seseorang memohon grasi kepada Presiden dan dikabulkan,
maka Presiden mengampuni perbuatan yang bersangkutan.
Kesalahan orang yang bersangkutan tetap ada, namun hukuman
pidananya saja yang dihilangkan.
2. Amnesti
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan amnesti
sebagai pengampunan atau juga penghapusan hukuman yang
diberikan kepala negara kepada seseorang atau juga sekelompok
orang yang sudah melakukan tindak pidana tertentu. Defenisi
tersebut diperjelas melalui ketentuan dalam undang Undang-
Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan
Abolisi, dimana disebutkan bahwa;

5
Yon Artiono Arba’i. Aku Menolak Hukuman Mati : Telaah atas
Penerapan Pidana Mati, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta,
2012, h. 28
Amnesti adalah pernyataan umum yang diterbitkan melalui
atau dengan undang-undang tentang pencabutan semua
akibat dari pemindanaan suatu perbuatan pidana tertentu
atau satu kelompok perbuatan pidana.
Dengan demikian amnesti tersebut mencabut status terpidana
seseorang dimana pencabutan tersebut dinyatakan kepada
masyarakat luas. Amnesty dapat diartikan sebagai pengampunan
atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada
seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak
pidana tertentu. Amnesti yang diberikan untuk banyak orang dapat
disebut sebagai amnesti umum. Amnesti diatur di dalam Pasal 14
Ayat (1) UUD 1945. Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun
1954 menyatakan bahwa akibat dari pemberian amnesti adalah
semua akibat hukum pidana terhadap orang yang diberikan amnesti
dihapuskan. Dengan kata lain, sifat kesalahan dari orang yang
diberikan amnesti juga hilang. Amnesti diberikan Presiden dengan
memperhatikan pertimbangan dari MA serta DPR dan dapat
diberikan tanpa pengajuan permohonan terlebih dahulu.
3. Abolisi
Seperti halnya amnesti, abolisi juga diatur pada Undang – Undang
Darurat. Adapun pengertian abolisi menurut undang – undang
tersebut adalah penghapusan proses hukum seseorang yang sedang
berjalan. Sedangkan dalam Kamus Hukum karya Marwan dan
Jimmy, abolisi didefinisikan sebagai suatu hak untuk
menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan
atau menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana,
serta melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah
dijalankan. Pemberian abolisi dilakukan oleh presiden setelah
sebelumnya mendapat nasihat dari Mahkamah Agung.
Abolisi dan Amnesti memiliki persamaan dalam hal keduanya
diberikan setelah memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat (Pasal 14 ayat 2 UUD 1945). Adapun perbedaannya
disebutkan melalui pasal 4 Undang – Undang Darurat, yaitu bahwa
dengan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana terhadap
orang-orang diberikan amnesti dihapuskan. Sedangkan untuk
pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang yang
diberikan abolisi ditiadakan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Permohonan kasasi demi kepentingan hukum ini ajukan oleh
Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung secara tertulis terhadap
putusan yang telah diputuskan oleh pengadilan selain dari Mahkamah
Agung melalui panitera pengadilan yang telah memutus perkara dalam
tingkat pertama, disertai dengan risalah yang memuat alasan
permintaan tersebut, dengan ketentuan tidak boleh merugikan pihak
yang berkepentingan dan hanya boleh diajukan sebanyak satu kali saja.
Salinan risalah yang diajukan oleh Jaksa Agung disampaikan
kepada yang berkepentingan, demikian juga dengan salinan putusan
kasasi demi kepentingan hukum oleh Mahkamah Agung juga
disampaikan kepada yang bersangkutan disertai dengan berkas perkara.
Peninjauan kembali dilakukan terhadap putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap oleh terpidana atau ahli
warisnya kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Grasi, amnesty dan abolisi merupkan salah satu upaya untuk
meringankan dan menghapuskan suatu pidana. Pemberian Grasi,
amnesty dan abolisi merupakan kewenangan Presiden dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA) atau Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-
Undang Dasar 1945.
DAFTAR PUSTAKA

A. Ahsin Tohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Jakarta:


ELSAM, 2004.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:


Liberty, 1998.

Ristu Darmawan, Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali


Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Pidana, Naskah Tesis
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Universitas
Indonesia, 2012.

Tim Pengkaji Pusat Litbang, Problematika Penerimaan Peninjauan


kembali dan Grasi dalam Penegakan Hukum, Jakarta: Puslitbang
Kejagung RI, 2006.

Dalam Ristu Darmawan, Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali


Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Pidana, Naskah Tesis
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Universitas
Indonesia, 2012.

Yon Artiono Arba’i. Aku Menolak Hukuman Mati : Telaah atas


Penerapan Pidana Mati, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG),
Jakarta, 2012.

Anda mungkin juga menyukai