Anda di halaman 1dari 2

Dalam kajian fiqih mazhab, ada beberapa sebab, sehingga mayit (jenazah) tidak mungkin ditangani

secara sempurna sebagaimana kelazimannya. Pertama, jenazah sebab mati terbakar jasadnya. Jika
dimandikan dengan menggunakan air, justru bisa merusak jasad jenazah. Kedua, jenazah dalam kondisi
meninggal akibat penyakit menular, seperti akibat penyakit judzam (lepra), tha’un, dan wabah
sejenisnya, yang bila dimandikan, justru penyakit itu akan berpindah kepada yang memandikannya.
Pada saat menangani jenazah dengan kondisi sedemikian ini, umumnya para fuqaha membolehkan tidak
memandikan jenazah, melainkan hanya menuangkan air ke badan jenazah saja, tanpa dalku
(dibersihkan). Ulama Hanafiyah menyatakan: ‫“ والمنتفخ الذي تعذر مسه يصب عليه الماء‬Bagi jenazah yang
badannya gosong sehingga uzur untuk disentuh, maka cukup dengan dituangkan air padanya.” (Muraqiy
al-Falakh, halaman 224) Jika kondisi semacam masih sulit, maka ulama dari kalangan Hanafiyah
menyarankan agar berpindah pada men-tayamum-inya. Pendapat ini juga dipedomani oleh kalangan
Malikiyah. Salah satu ulama dari kalangan Hanafiyah menyampaikan: ‫َم ْن تَ َع َّذ َر ُغ ْسلُهُ ؛ لِ َعد َِم َما يُ ْغ َس ُل بِ ِه فَيُيَ َّم ُم‬
‫“ بِالص َِّعي ِد‬Bila suatu saat ada jenazah yang uzur untuk dimandikan, karena ketiadaan hal yang
memungkinkan bisanya dibasuh, maka tayamumilah dengan debu.” (Al-Inayah, Juz 16, halaman 261).
Lantas bagaimana bila jenazah tidak mungkin dimandikan sebab penyakit tha’un yang dideritanya?
Dalam hal ini ada beberapa pendapat. Pendapat pertama dari pengarang kitab Al-Mudawwanah yang
bermazhab Maliki, mengatakan: ‫وت وقد َغ َم َرت‬ ُ ‫صيبُهُ القُرُو ُح فيَ ُم‬
ِ ُ‫ وسُئ َل مالك عن الذي ت‬: ‫في ُغسْل الميِّت المجرُوح قال‬
ٌ
‫ أليس قول مالك ال يُيَ َّم ُم بالصَّعيد َميِّت إال‬: ‫ قلت‬.‫صبّا على ق ْد ِر طاقتهم‬ َ ً َ ‫ُصبُّ عليه الما ُء‬َ ‫ ي‬: ‫ قال‬. ‫أن يَتَزَ لَّ َع‬
ْ ُ‫ وهم يَخافونَ ُغ ْسلَه‬، ُ‫القُرُو ُح َج َس َده‬
‫ فال يُيَ َّم ُمونَ ويُ َغ َّسلُونَ ويُ َحنَّطُونَ على قَ ْد ِر‬، ‫جربُ أو َمجْ دُو ٌر أو غير ذلك ممن بهم ال َّداء‬ َ َ‫ مجرو ٌح أو أ‬S‫رجل ؟ فأ َّما‬ ٍ ‫رج ٌل مع نسا ٍء أو امرأةٌ مع‬
‫ نعم‬: ‫“ )ما ال يَتَزَ لَّعُون منه وال يَتَفَ َّس ُخون ؟ قال‬Persoalan memandikan jenazah karena terkena penyakit. Mushannif
berkata: Imam Malik ditanya mengenai seseorang yang meninggal akibat terkena wabah penyakit
bernanah, sementara di seluruh tubuh jenazah masih menunjukkan bisul bernanah itu. Mereka takut
tertular karena memandikannya. Imam Malik menjawab: ‘Cukup siram dengan air menurut kadar
kemampuan kalian.’ Komentarku: ‘Bukankah Imam Malik pernah berpendapat bahwa seorang jenazah
tidak ditayamumi melainkan oleh seorang laki-laki yang bersama seorang perempuan, atau seorang
perempuan bersama seorang laki-laki? Padahal, orang yang meninggal karena wabah atau sebab
penyakit jarab (penyakit baru yang asing), majdur (cacar), atau penyakit lainnya yang menular, maka
orang tersebut tidak perlu ditayamumi, dimandikan, atau dikafani hingga kadar tidak menyebabkan
tertularnya penyakit, dan tidak menyebabkan bahaya?’ Imam Malik menjawab: ‘Iya’.” (Al-Mudawwanah,
juz I, halaman 472). Imam Al-Rafi’i dari kalangan mazhab Syafi’i, pengarang Kitab al-Syarhu al-Kabir,
menyampaikan: ُّ‫ فيُصب‬، ‫تزلع ما ٌء من غير ذلك ؛ كمجدور ونحوه‬ ٍ ُّ ‫وصب على مجروح أمكن الصَّب عليه من غير خشية‬
‫تقط ٍع أو‬
‫تقطعه فإن لم يُمكن بأن خيف ما َذ َك َر يُ ِّم َم‬ ُّ ‫ف تزلُّعه أو‬ ْ ‫“ الماء عليه إن لم يَ َخ‬Cukup dituangkan air pada jenazah dengan
wabah menular sekedar kemampuan menuangkannya, tanpa unsur khawatir terlepasnya anggota badan
jenazah, atau dirusakkan oleh air, dan semacamnya. Seperti orang yang tertimpa cacar misalnya, maka
cukup dituangkan air ke badan jenazah, jika tidak takut rusaknya badan jenazah atau terpotongnya.
Namun, jika khawatir lepas, atau rusaknya jenazah, sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka
ditayamumi.” (Al-Syarhu al-Kabir li al-Rafii, Juz 4, halaman 410). Pendapat Imam al-Rafii ini nampaknya
sama dengan pendapat dari kalangan Malikiyah, bahwa untuk menghadapi jenazah dengan penyakit
menular, maka solusinya adalah 1) disiram dengan air menurut kadar kemampuan tidak membahayakan
diri yang memandikan serta tidak merusak jenazah, dan 2) ditayamumkan. Imam Nawawi rahimahullah
dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, yang juga dinukil oleh Syeikh Abu Bakar bin Syatha’ dalam I’anatu
al-Thalibin, menyampaikan batasan bahwa bila terdapat ada potensi dlarar (bahaya) pada pihak yang
memandikan, maka cukup dengan mentayamumi jenazah secara wajib. ‫إذا تعذر غسل الميت لفقد الماء أو احترق‬
‫ فوجب االنتقال فيه عند العجز عن الماء‬، ‫ وهذا التيمم واجب ؛ ألنه تطهير ال يتعلق بإزالة نجاسة‬، ‫ لم يُ َغسَّل بل يُيَ َّمم‬،‫بحيث لو ُغسِّل لتَهَرَّى‬
‫ ولو كان ملدوغا ً بحيث لو ُغسَّل لتَهَرَّى أو خيف على الغاسل يُ ِّمم لما ذكرناه‬، ‫“ إلى التيمم كغسل الجنابة‬Bila sulit memandikan
jenazah sebab ketiadaan air atau jenazah gosong sebab terbakar, dengan sekira jika dimandikan justru
berakibat merusak, maka ia tidak dimandikan, melainkan cukup ditayamumi. Hukum mentayamumi ini
adalah wajib, karena tayamum menjadi wasilah bagi penyucian yang tidak ada kaitannya dengan
menghilangkan najis. Kewajiban berpindah pada mentayamumi ini juga berlaku bagi pihak yang tidak
bisa tersentuh air, seperti sebab mandi jinabat. Meskipun kondisi jenazah itu hancur, dengan sekira bila
dimandikan maka menjadi terkelupas, atau timbul kekhawatiran bagi orang yang memandikannya, maka
cukup dengan mentayamumkannya, sebagaimana yang telah kami sebutkan.” (Al-Majmu’ Syarah al-
Muhadzab, Juz 5, halaman 178 dan I’anatu al-Thalibin, Juz 2, halaman 127). Ulama kalangan Hanabilah,
tampaknya bersepakat dengan kalangan Syafi’iyah, dan menyatakan mentayamumi jenazah, hukumnya
adalah wajib. Berangkat dari berbagai pendapat kalangan empat mazhab di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa untuk menghadapi jenazah yang menurut informasi dari dokter justru dapat
menularkan penyakit kepada pihak yang masih hidup, maka pendapat yang paling mendekati keamanan
adalah cukup dengan jalan mentayammumkannya. Hal ini sesuai dengan semangat ayat: ‫ي ُِري ُد هللا بِ ُك ُم ْاليُس َْر‬
‫“ َوالَ ي ُِري ُد بِ ُك ُم ْال ُع ْس َر‬Allah menghendaki kamu kemudahan, dan tidak menghendaki timbulnya kesulitan” (QS
Al-Baqarah [2]: 185). Allah SWT juga berfirman: ‫“ فَاتَّقُوا هللا َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم‬Bertaqwalah kamu kepada Allah
semampu kalian!” (QS Al-Taghabun [64]: 16) Bagaimana hukum merawat jenazah korban wabah
layaknya orang yang mati syahid? Dengan berdasar penjelasan di atas, tidak mungkin memasukkan
orang yang meninggal karena penyakit atau wabah menular sebagai yang menyerupai mati syahid,
sehingga perawatannya pun tidak bisa disamakan dengannya. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa
orang yang mati syahid adalah mati karena peperangan yang dibenarkan syariat (jihad) melalui angkat
senjata. Alhasil, berlaku ketetapan yang berasal dari hadits: ‫“ ما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم‬Apa yang aku
perintahkan melakukan, maka kerjakanlah semampu kalian!” (Syarah Arbain Nawawiyah) Jadi,
perlakuan terhadap jenazah korban wabah menular yang paling dekat adalah mentayamumkannya.
Yang patut direkomendasikan kepada masyarakat/petugas yang merawat jenazah dengan wabah
berbahaya adalah tetap memperhatikan standar prosedur keamanan sehingga tidak membahayakan diri
sendiri, apalagi lingkungan. Misalnya, memakai masker, sarung tangan, dan hand sanitizer. Dalam
beberapa kasus yang pernah terjadi, penanganan tidak hati-hati, justru menimbulkan mudarat bagi yang
lain yang masih sehat. Kita bisa bercermin dari kasus memandikan korban Ebola di Sierra Leone, yang
justru berakibat kematian bagi yang memandikan jenazah. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Anda mungkin juga menyukai