Anda di halaman 1dari 13

Pendahuluan

Dalam kondisi umat islam saat ini, semakin banyak perbedaan pandang
mengenai perkembangan tradisi-tradisi nenek moyang terdahulu, yang telah dipengaruhi oleh
Hindu-budha. Sehingga masuknya agama Islam di Indonesia sekitar abad ke7 hingga saat ini,
umat islam masih melaksanakan berbagai bentuk tradisi lama seperti: tahlilan, selametan,
haul, dan sebagainya. Dengan melihat fenomena yang ada, tradisi-tradisi yang sering
dilaksanakan (seperti yang telah disebutkan di atas), dianggap sebagai bentuk ritual keagamaan,
untuk itu kami mencoba mengutip pandangan para Imam Mazhab mengenai tradisi Tahlilan
yang masih sangat kental di tengah-tengah masyarakat, dan sebagai bentuk penelitian yang telah
kami lakukan pada tanggal 16 mei 2013 yang lalu. Tahlilan, jika di artikan secara bahasa yakni,
membaca kalimat Laa ilaha illa Allah dan bernilai ibadah bagi yang membacanya, namun secara
istilah tahlilan tersebut menjadi persoalan di tengah-tengah masyarakat mengenai
pelaksanaannya, karena dianggap sabagai aktivitas keagamaan pada waktu-waktu tertentu dalam
rangka menyikapi kematian sesorang. Pandangan Imam Mazhab (Syafii, Maliki, Hanafi,
Hanbali) mengungkapkan bahwa; pelaksanaan rangkaian acara tahlilan dan makan-makan di
rumah keluarga mayit, merupakan hal yang di benci, dan termasuk bidah yang buruk. Secara
tegas para Imam Mazhab tersebut, telah mengungkapkan berikut dengan hadits-hadits yang
telah di sampaikan oleh Rasulullah saw. namun realita yang ada, tradisi tersebut masih
berkembang, bukan hanya pada masyarakat pedesaan, tapi juga masyarakat kota, seperti
yokyakarta. Untuk itu kami mengadakan penelitian ini, agar dapat mengetahui bagaimana
sentuhan Islam terhadap budaya lokal yang ada di daerah Gowok.

1. A. Definisi Tahlilan dan Latar Belakang Terbentuknya

Tahlil secara bahasa (etimologis) membaca kalimat Laa ilaha illa Allah dan setiap muslim yang
membacanya bernilai pahala di sisi Allah swt. Sedangka pengertian tahlil secara istilh
(terminologis) yang diartikan aktivitas keagamaan pada waktu-waktu tertentu dalam rangka
menyikapi kematian seseorang. Acara tersebut diselenggarakan ketika salah seorang dari anggota
keluarga telah meninggal dunia. Setelah proses penguburan selesai dilakukan, seluruh keluarga,
serta masyarakat sekitar berkumpul di rumah keluarga mayit, untuk menyelenggarakan acara
pembacaan beberapa ayat al-Quran, dzikir-dzikir dan doa-doa yang ditujukan untuk mayit di
alam sana. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang berulang-ulang,
maka acara tersebut dikenal dengan istilah tahlilan. Pelaksanaan tradisi tahlilan ini merupakan
simbol ketaatan kepada tradisi leluhur sebagai penerus tradisi yang pernah ada.[1]

Unsur-unsur animisme-dinamisme hingga kini pengaruhnya masih mewarnai sendi-sendi


kehidupan masyarakat, terutama dalam ritualitas kebudayaan. Hal ini bisa diamati pada
seremonial-seremonial budaya dalam masyarakat masih menunjukkan akan kepercayaannya
terhadap makhluk supranatural. Jika ditelusuri sejak masuknya Islam ke Jawa sekitar abad ke-7,
hingga saat ini tradisi tahlilan yang masih dilakukan dan terus berkembang di tengah-tengah
masyarakat.[2]
Sebelum masuknya agama islam di Indonesia, masyarakat Indonesia yang kebanyakan memeluk
paham animisme dinamisme, agama Hindu Budha dengan segala amalan dan tradisi yang ada
didalamnya. Sementara itu pula agama Islam telah sampai ke Nusantara telah melewati
perjalanan yang sangat panjang. Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri lag adanya kenyataan
berbagai pengaruh kepercayaan lain yang menempel secara tidak sengaja ketubuh ajaran Islam.
Melihat kondisi yang semacam itu dapat dimaklumi kalau akhirnya dalam praktek umat islam di
Indonesia pada saat ini memperlihatkan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran
Islam.

Dalam kehidupan beraqidah (keyakinan) agama Islam mengajarkan kepada umat untuk memiliki
tauhid yang murni. Bersih dari berbagai macam syirik maupun khurafat (tahayul). Namun pada
prakteknya masih banyak masyrakat yang memiliki kepercayaan terhadap benda-benda keramat
semacam keris, tombak, pedang, kepercayaan tentang primbon, percaya terhadap kuburan-
kuburan yang dianggap keramat, seperti kuburan para wali, ulama, raja-raja dan lain sebagainya.

Sementara dalam kehidupan beribadah agama islam memberikan tuntunan secara pasti
sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw. yang bertitik tolak dari prinsip ini dalam ilmu Ushul
Fiqh ada kaidah yang mengatakan bahwa dalam ibadah mahdah semua amalan terlarang, kecuali
sesuai tuntunan Rasulullah. Sedangkan dalam urusan keduniaan semua amalan diperbolehkan,
kecuali yang secara jelas telah dilarang dalam al-Quran. Rasulullah sendiri telah jelas
menyatakan dengan tegas bahwa Semua bidah dalam ibadah mahdiyah adalah sesat, dan
semua yang sesat akan masuk neraka.

1. B. Pandangan Empat Madzhab

Dari Jarir bin Abdullah al Bajali Radhiyallahu Anhu, beliau berkata:

Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul pada keluarga orang meninggal
dan membuat makanan (untuk disajikan ke pelayat) termasuk niyahah (meratapi jenazah yang
terlarang). (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Syaikh al Albani).

Syaikh al Albani menjelaskan, Lafal hadits (( ) kami berpendapat) ini kedudukannya sama
dengan meriwayatkan ijma (kesepakatan) para sahabat atau taqrir (persetujuan) Nabi Shallallahu
Alaihi Wasallam. Jika ini adalah taqrir Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, maka artinya, hadits
ini marfu hukman (jalur periwayatannya sampai kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam).
Bagaimana pun juga, hadits ini dapat dijadikan hujjah. (Lihat Shahih Ibnu Majah, 2/48).

Ijma para sahabat menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah al-Quran dan Sunnah. Ini
merupakan kesepakatan para ulama Islam seluruhnya.

Riwayat lain, dari Abdullah bin Jafar, beliau berkata, Ketika sampai kabar gugurnya Jafar,
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,


Buatkanlah makanan untuk keluarga Jafar karena telah datang kepada mereka urusan yang
menyibukkan. (HR. Ahmad, asy-Syafii, dan selainnya, dihasankan oleh Syaikh al Albani).

Apa yang kita saksikan di masyarakat kita, ternyata sangat berbeda dengan apa yang
diperintahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Beliau memerintahkan untuk membuat
makanan, tapi bukan untuk para pelayat. Sebaliknya, keluarga yang sedang dirundung dukalah
yang lebih berhak untuk dilayani.

Dari Ibn Abi Syaibah, beliau berkata,

:

:
:
:

Jarir mendatangi Umar, lalu Umar berkata, Apakah kamu sekalian suka meratapi janazah?
Jarir menjawab, Tidak. Umar berkata, Apakah ada di antara wanita-wanita kalian, suka
berkumpul di rumah keluarga jenazah dan memakan hidangannya? Jarir menjawab, Ya. Umar
berkata, Hal demikan itu adalah sama dengan niyahah (meratap).

Pandangan Ulama Mazhab Dalam Menyikapi Tradisi Tahlilan

1. Mazhab Syafii

Saudara-saudara kita yang melaksanakan tahlilan pada umumnya berdalil, tahlilan adalah ciri
khas penganut mazhab Syafii. Namun apa kata Imam Syafii sendiri tentang hal ini? Beliau
berkata dalam kitabnya (al Umm, 1/318), Dan saya membenci berkumpul-kumpul (dalam
musibah kematian) sekalipun tanpa diiringi tangisan, karena hal itu akan memperbarui
kesedihan dan memberatkan tanggungan (keluarga mayit) serta berdasarkan atsar (hadits) yang
telah lalu.

Perkataan beliau di atas sangat jelas dan tak bisa ditakwil atau ditafsirkan kepada arti dan makna
lain, kecuali bahwa beliau dengan tegas melarang berkumpul-kumpul di rumah duka. Imam
Syafii juga berkata, Dan saya menyukai agar para tetangga mayit beserta kerabatnya untuk
membuatkan makanan yang mengenyangkan bagi keluarga mayit di hari dan malam kematian.
Karena hal tersebut termasuk sunnah dan amalan baik para generasi mulia sebelum dan sesudah
kita. (Al Umm,1/317).

Imam Nawawirahimahullahberkata, Dan adapun duduk-duduk ketika melayat maka hal ini
dibenci oleh Syafii, pengarang kitab ini (As-Sirozi) dan seluruh kawan-kawan kami (ulama-
ulama mazhab Syafii). (Majmu Syarh Muhadzdzab, 5/278).

Imam Nawawi juga menukil dalam al Majmu (5/290) perkataan pengarang kitab asy-Syamil,
Adapun apabila keluarga mayit membuatkan makanan dan mengundang manusia untuk makan-
makan, maka hal itu tidaklah dinukil sedikit pun (dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam)
bahkan termasuk bidah (hal yang diada-adakan dalam agama), bukan sunnah.

2. Mazhab Maliki

Imam at-Thurthusi berkata dalam kitab al Hawadits wa al Bida hal. 170-171, Tidak apa-apa
seorang memberikan makanan kepada keluarga mayit. Tetangga dekat maupun jauh. Karena
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tatkala mendengar kabar wafatnya Jafar, beliau bersabda,
Buatkanlah makanan untuk keluarga Jafar karena telah datang kepada mereka urusan yang
menyibukkan. Makanan seperti ini sangat dianjurkan oleh mayoritas ulama karena hal tersebut
merupakan perbuatan baik kepada keluarga dan tetangga. Adapun bila keluarga mayit yang
membuatkan makanan dan mengundang masyarakat untuk makan-makan, maka tidak dinukil
dari para salaf sedikit pun. Bahkan hal itu termasuk bidah tercela. Dalam masalah ini, Syafii
sependapat mazhab Maliki.

3. Mazhab Hanafi

Al- Allamah Ibnu Humam berkata dalam Syarh Hidayah hal. 1/473, tentang kumpul-kumpul
seperti ini, Bidah yang buruk.

4. Mazhab Hanbali

Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya al Mughni hal. 1/496, Adapun keluarga mayit
membuatkan makanan untuk manusia, maka hal tersebut dibenci karena akan menambah
musibah mereka dan menyibukkan mereka serta menyerupai perilaku orang-orang jahiliyah.
Dan inilah mazhab Hanbali sebagaimana tersebut dalam kitab al Inshof, 2/565 oleh al
Mardawaih. Inilah di antara perkataan para ulama mazhab menyikapi tahlilan. Ternyata, selain
menguras tidak sedikit harta benda kitabahkan ada yang sampai berhutang untuk
menyelenggarakan tahlilanjuga tidak bernilai ibadah di sisi Allah Subhaanahu Wataala
bahkan dia adalah bidah yang dicela oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, para
sahabatnya, dan ulama seluruh mazhab.

Sejatinya, seorang muslim setelah mengetahui hukum sesuatu, maka dia akan berkata seperti
perkataan orang-orang mukmin yang diabadikan dalam al Quran, Kami mendengar, dan kami
patuh. (QS. An-Nur: 51).

Dan jangan sampai, justru ucapan kita sebagaimana pernyataan orang-orang musyrik yang juga
diabadikan dalam al Quran, ketika diseru untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah Azza
Wajalla, mereka menjawab, (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati
dari (perbuatan) nenek moyang kami.
Maka Allah Azza Wajalla berkata kepada mereka, (Apakah mereka akan mengikuti juga)
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun dan tidak mendapat
petunjuk? (QS. Al Baqarah: 170).

1. C. Faktor Yang Menyebabkan Perbedaan Pemahaman Tahlilan

1. Doktrin Organisasi Muhammadiyah dan NU

Organisai Muhammadiyah sejak semula menempatkan diri sebagai salah satu organisasi
keagamaan islam yang berkhidmat menybarluaskan agama islam sebagaimana Al-Quran dan
As-Sunnah. Organisasi muhammadiyah dalam menetapkan tuntunan yang berhubungan dengan
masalah agama baik bagi kehidupan perseorangan atau bagi kehidupan bermasyarakat adalah
berdasarkan Al-Quran dan sunnah Rasul, dan bilamana ada suatu persoalan yang belum ada
tuntunannya dalam Al-Quran dan sunnah Rasul, maka dilakukan ijtihad. Ijtihad adalah
mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan ajaran Islam,
berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu. Dalam hal ini organisasi Muhammadiyah
berpendirian bahwa pintu ijtihad senantiasa terbuka.[3]

Organisasi Nahdhotul Ulama adalah organisasi keagamaan yang mengakui sebagai penganut
mazhab Ahlu al-sunnah wa al-jamaah, yaitu suatu mazhab tidak hanya membahas menenai
aqidah, tetapi mengenai fiqih dan akhlaq atau tasawuf. Dalam hal aqidah mengikuti mazhab yang
dipelopori oleh Imam Al-Asyari dan Imam Al- Maturidi, dalam bidang fiqih mengikuti salah
satu mazhab yaitu Imam Syafii.[4] Organisasi Nahdhotul Ulama dalam menentukan suatu
hukum, lebih dahulu mencari dan menggali pendapat Ulama, terutama yang bermazhab Ulama
Syafii, baru setelah itu Al-Quran dan Al-Sunnah, artinya dalam menyikapi suatu masalah
keagamaan, organisasi Nadhotul Ulama dapat dikatakan menangguhkan penilaian (pendekatan
normatif, yaitu yang langsung mendasar pada Al-Quran dan Al-Sunnah).[5]

Clifford Geertz menganalisa pertentangan doktrin organisasi Muhammadiyah dan organisasi


Nahdhotul Ulama membagi menjadi lima pasang yang saling bertolak belakang. Lima pasang
pertentangan yang diajukan oleh Clifford Geertz sebagai berikut:

1. Kelompok Nahdhotul Ulama cenderung kurang menaruh perhatian (tetepi masih


memperhatikan juga) terhadap kemurnian Islam mereka dan lebih memiliki kelonggaran
untuk membolehkan upacara-upacara non Islam, paling sedikitnya bersedia memberikan
suatu tempat kecil dalam lingkungan keagamaan. Kelompok Muhammadiyah cenderung
tetap menuntut Islam yang sudah dimurnikan dari tiap anasir keagamaan lain.
2. Kelompk Nadhotul Ulama cenderung untuk membenarkan praktek dengan kebiasaan dan
berdasarkan mazhab yang terperinci dalam kitab-kitab ulasan keagamaan yang
tradisional. Kelompok Muhammadiyah cenderung untuk membenarkan hal itu atas dasar
nilai pragmatisnya dalam kehidupan masa kini dan dengan penunjukan umum kepada Al-
Quran dan Hadist yang ditafsirkan secara jelas.
3. Kelompok Nahdhotul Ulama cenderung menitikberatkan hubungan dengan Tuhan di
mana penerimaan rahmat dan berkat sebagai hasil kemurahan-Nya dan sebagai ganjaran
untuk keteguhan dan suatu pengertian bahwa peruntungan seseorang seluruhnya
ditetapkan oleh kehendak Tuhan merupakan ciri-ciri pokoknya. Kelompok
Muhammadiyah cenderung menitikberatkan hubungan dengan mana nama kerja keras
dan penentuan nasib sendiri jadi titikberatnya.
4. Kelompok Nahdhotul Ulama cenderung untuk memegangi konsep totalistk mengenai
peanan agama dalam kehidupan, di mana segi usaha manusia cenderung menerima
makna keagamaan dan di mana batas antara apa yang bersifat keagamaan dan sekuler,
cenderung kabur. Kelompok Muhammadiyah memegang pengertian yang sempit tentang
agama di mana hanya aspek-aspek tertentu yang jelas batasnya yang dianggap suci dan di
mana batas antara apa yang agama dan apa yang sekuler cenderung cukup tajam.
5. Kelompok Nahdhotul Ulama cenderung untuk memberi tekanan pada aspek
penyempurnaan langsung agama, untuk memberi tekanan pada pengalaman keagamaan.
Kelomok Muhammadiyah cenderung memberikan tekanan pada aspek instrumental
agama dan sangat memperhatikan tingkah laku keagamaan.[6]

1. Penerimaaan dan Penolakan Terhadap Tahlilan

Tahlilan merupakan suatu bentuk ritual keagamaan yang dilakukan sebagai umat islam untuk
memperingati peristiwa kehidupan. Kegiatan ini dilakukan pada saat-saat tertentu. Misalnya,
pada saat tujuh hari, keempat puluh hari, seratus hari meninggalnya seseorang dan lain-
lain.tujuan dari tahlilan pada saat menyikapi adalah menghadiakan pahala kepada si mayat agar
diampuni dosa-dosanya selama hidup di dunia.

Kejelasan hukum tahlilan dalam peringatan kematian, memang masih dipermasalahkan oleh
golongan Muhammadiyah. Sebagai masyarakat menyelenggarakan aktivitas tahlilan setelah ada
keluarga yang meninggal dunia, peristiwa kematian tersebut melahirkan kesedihan, kegelisahan,
serta beban moral dari keluarga yang masih hidup kepada anggota keluarga yang telah
meninggal. Kondisi itulah muncul kesadaran seseorang akan kebutuhan spiritual. Pergeseran
yang paling dominan adalah pemakaian aktivitas dzikir sebagai sarana untuk mengirim doa
kepada orang yang telah meninggal dunia. Pelaksanaan tahlilan/dzikir dalam konsep masyarakat
Islam Jawa justru banyak dipakai bagian dari slametan yang berhubungan dengan kematian atau
sedhekahan dan merupakan sistem keyakinan agama Islam santri Jawa.[7]

Aktivitas penyelenggaraan tahlilan di masyarakat sepertinya sudah merupakan satu kesepakatan


tidak tertulis dalam umat Islam, meskipun secara syariah masih diperdebatkan keabsahannya
oleh sebagian umat Islam tidak bisa melepaskan diri dari aktivitas tersebut. keluarg yang
ditinggal mati biasanya mempunyai tanggung jawab moral untuk mendoakan keluarga yang telah
meninggal dunia untuk menunjukan kepedulian terhadap si mayat.
Penyelenggaraan aktivitas tahlilan tanpa disadari telah terformulasikan menjadi suatu kelaziman
atau kebiasaan yang mengikat, sebagai konsekuensinya, jarang keluarga yang ditinggal mati
tidak menyelenggarakan acara tersebut dengan berbagai alasan. Misalnya, ketakutan moral
diasingkan dari arena sosial, dianggap telah bersikap acuh tak acuh terhadap anggota keluarga
yang telah meninggal dunia, serta melanggar adat dan nilai-nilai. Bahkan acara tersebut bukan
saja telah membangun imaji norma, namun juga telah berhasil menciptakan imaji hukum.[8]

Masuknya aspek kultural dalam penyelenggaraan tahlilan adalah akibat dari pengaruh
model pengembangan Islam yang dilakukan oleh para wali songo. Untuk menguatkan posisi
agama Islam di Jawa, para wali songo telah melakukan asimilasi terhadap tradisi Jawa sebagai
alat peyebaran agama Islam. Sebagai bagian dari metode penyebaran Islam ternyata mampu
diterima oleh masyarakat awam dan sebagai agama kerajaan Jawa. Munculnya aspek kultural
memang tidak lepas dari kerajaan-kerajaan Jawa-Islam, terutama pengaruh agama Hindu. Tradisi
inilah yang dalam kehidupan masyarakat Jawa melahirkan satu bentuk persilangan antara tradisi
Islam dan Hindu Jawa, yang dikenal dengan Islam sinkretis.[9]

Dalam penyebaran dakwah agama Islam organisasi Muhammadiyah mempunyai ciri-ciri khusus
yang menjadi identitas atau jati diri dari perjuangan organisasi Muhammadiyah. Adapun ciri-ciri
dari perjuangan organisasi Muhammadiyah adalah: pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan
Islam, kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam dan ketiga, Muhammadiyah
sebagai gerakan reformasi (tajdid).[10] Ciri yang paling melekat pada organisasi
Muhammadiyah adalah sebagai gerakan tajdid. Makna tajdid dari segi bahasa berarti gerakan
pembaharuan atau reformasi, sedangkan dari segi istilah adalah gerakan pemurnian atau
purifikasi, dalam hubungannya dengan salah satu ciri organisasi Muhammadiyah sebagai
gerakan tajdid, maka organisasi Muhammadiyah dapat dinyatakan sebagai gerakan purifikasi dan
sekaligus gerakan reformasi. Sikap tajdid yang menjadi fokus organisasi Muhammadiyah adalah
pemurnian atau pembersihan ajaran-ajaran Islam dari sinkritisme dan melakukan berbagai
pembaharuan cara-cara pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat.[11]

Organisasi Muhammadiyah memandang pesoalan keagamaan yang tercampuri dengan tradisi


atau budaya dari luar agama Islam dipandang menyalahi hukum Islam, oleh karena itu harus
dibersihkan atau direformasikan (tajdid) sebagaimana ciri dari perrjuangan dakwah organisasi
Muhammadiyah. Adapun beberapa kegiatan keagamaan yang dikattegorikan oleh organisasi
Muhammadiyah sebagai tradisi budaya dan bukan suatu ajaran dari agama Islam diantara ialah
tahlilan, khaul dan berzanzi. Dari kegiatan keagamaan tersebut, tahlilan nampaknya cukup
mendapat perhaian serius dari organisasi Muhammadiyah. Hal tersebut didasarkan pada
kenyataan bahwa tahlilan merupakan suatu aktivitas keagamaan yang paling sering dilakukan
oleh masyarakat dalam menyikapi suatu peristiwa yang dianggap penting. Salah satunya adalah
menyikapi peristiwa kematian seseorang.

Mazhab ahlu al-sunnah wa al-jamaah pada dasarnya berusaha mencampurkan antara


keberbagaian living tradision yang bersifat nisbi dan meupakan dari fakta sejarah manusia di
sepanjang dan ketauhidan Islam yang bersifat mutlak dan tidak mengalami perubahan sampai
kapanpun. Percampuran ini seakan mencoba menjelaskan bagaimana cara menjalankan syariat
Islam ketika doktrin agama yang bersifat normatif dan kering harus diturunkan kedaratan
empirik yang dinamis dan menjelma menjadi satu tradisi.[12]
Penentangan organisasi Muhammadiyah mengenai tahlilan bukan terletak pada pelarangan
membaca kalimat thoyyibah, akan tetapi hal-hal yang menyertainnya. Adapun pandangan
organisasi Muhammadiyah dalam persoalan tahlilan dapat dilihat dari salah satu tujuan
didirikannya Muhammadiyah, terutama dalam bidang pemurnian tauhid dan ibadah. Adapun
rumusannya sebagai berikut:

1. Meniadakan kebiasan selametan bagi orang hamil pertama kali memasuki bulan ketujuh,
kebiasaan ini merupakan peninggalan dari adat istiadat Jawa kuno, biasanya diadakan
dengan membuat rujak dari kelapa muda yang belum berdaging yang dikenal dengan
cangkir dicampur dengan berbagai bahan-bahan lain seperti buah delima, buah jeruk dan
lain-lain. Masing-masing daerah berbeda-beda cara dan macam upacara menujuhbulani
ini, tapi pada dasarnya berjiwa sama yaitu dengan maksud mendoakan bagi keselamatan
calon bayi yang masih dalam kandungan ibu.
2. Menghilangkan tradisi keagamaan yang tumbuh dari kepercayaan Islam sendiri, seperti:
selametan untuk menghormati Syeh bdul Qadir Jaelani, Syeh Saman dan lain-lain yang
terkenal dan manakiban. Selaan itu terdapat pula kebiasaan membaca berzanzi, yaitu
suatu karya puisi serta syair-syair yang mengandung banyak pujian kepada Nabi
Muhammad SAW yang disalah artikan.
3. Bacaan Yaasin dan bermacam-macam dzikir yang hanya khusus dibaca pada malam
jumat, dan hari-hari tertentu adalah bidah. Begitu pula ziarah hanya pada waktu-waktu
tertentu dan kuburan tertentu. Ibadah yang tidak ada dasarnya dalam agama islam, harus
ditinggalkan.
4. Mendoakan kepada orang yang masih hidup atau orang yang sudah mati tidak dilarang
oleh agama islam, akan tetapi mengirimkan bacaan ayat-ayat al-Quran agar bisa diterima
si mayat yang ada dalam kubur jelas tidak berdasar pada agama islam yang benar. Oleh
karena itu, harus ditinggalkan. Demikian juga tahlilan dan shalawatan pada hari kematian
ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, dan keseribu hari merupkan bidah yang mesti
ditinggalkan dari peribadatan umat islam.[13]

Rumusan organisasi Muhammadiyah di atas merupakan bagian dari amal usaha organisasi
Muhammadiyah terutama dalam bidang pemurnian tauhid dan ibadah dalam islam. K.H. Ahmad
Dahlan sendiri mempunyai tekad dan semangat dalam menghadapi segala tantangan dan
rintangan saat mendirikan organisasi Muhammadiyah. Adapun tekad mendirikan organisasi
Muhammadiyah adalah keinginann untuk berjuang menegakkan dan menyiarkan agama islam
yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah terutama dalam bidang tauhid dan ibadah yang
dinilai oleh K.H. Ahmad Dahlan telah banyak tercampuri ajaran dari luar ajaran islam, sehingga
harus dibersihkan agar umat islam dapat menanamkan jiwa dan amalan agama yang bersih dan
lurus sebagaimana ditentukan dalam al-Quran dan as-Sunnah.

Pandangan organisasi Nahdhatul Ulama terhadap tahlilan sangat bertolak belakang dengan
pandangan organisasi Muhammadiyah. Dikembangkannya tahlilan sebagai salah satu metode
dakwah Nahdhatul Ulama, pada dasarya tidak terlepas dari paradigma yang dipakai para ulama
Nahdhatul ulama yaitu memelihara warisan yang lama yang baik dan mengambil hal baru
yvang lebih baik (al-muhafadhatu alal-qadimis shalih maal-akhdzi bil jadidil-ashlah).
Diambilnya paradigma tersebut terkait erat dengan kondisi masyarakat islam pada waktu itu,
terutama masyarakat pedesaan yang sangat erat antara agama dan budaya.[14]
Dalam perkembangannya, organisasi Nahdhatul Ulama cenderung lebih menitikberatkan pada
masalah-masalah yang banyak diilhami oleh budaya atau tradisi yang keberadaannya jelas-jelas
diakui oleh organisasi Nahdhatul Ulama. K.H. A. Muchith Muzadi dalam bukunya yang berjudul
NU dan Fiqih Kontekstual mengatakan sebagai berikut:

1. Agama islam bukan kebudayaan, tetapi islam tidak menghapus dan menolak kebudayaan,
kecuali yang tidak sejalan, tidak sesuai, merugikan atau bertentangan dengan islam.
2. Budaya lama yang baik, dipelihara dan dikembangkan, sedang budaya baru yang lebih
baik dicari dan dipergunakan.[15]

Salah satu tradisi lama yang dipandang baik oleh oganisasi Nahdhatul Ulama adalah tahlilan,
istighatsah, dan lain sebagainya, yang semua itu kemudian diperkuat oleh penegasan secara
terbuka sebagai identitas warga Nahdhatul Ulama. Tahlilan bukanlah agama, tetapi budaya yang
baik dan patut dilestarikan.

1. D. Rangkaian Acara Tahlilan di Gowok

Tahlilan adalah bentuk ritual keagamaan yang penuh dengan puji-pujian kepada Allah swt.
Tahlilan ini biasanya dilakukan setelah sholat isya, dengan dipimin seorang modin untuk
mengatur masalah sosial keagamaan warga yang telah menjadi kesepakatan dan kesiapan yang
berhajat. Acara tahlilan biasanya dilakukan di rumah keluarga yang berduka. Waktu
pelaksanaannya bermacam-macam, ada yang dimulai dari hari pertama sampai pada hari ke-7
setelah mayit dikuburkan, seperti tahlilan yang dilaksanakan dirumah bapak Abdullah, yang
telah meninggal dunia bapak Rumat (Orang tua dari bapak Abdullah) pada hari minggu tanggal
12- mei-2013 yang lalu. Ada juga yang mengadakan tradisi tersebut mulai hari pertama sampai
hari ke-3, dari hari ke-4 sampai hari ke-7, ada juga yang dimulai dari hari ke-3,7,40, dan hari ke-
100. Tergantung pada kemampuan tuan rumah yang mengadakan acara tahlilan tersebut. Dan
biasanya hari pertama, tamu yang hadir lebih ramai dibanding hari-hari biasanya, yang disebut
dengan taziah. Para tamu yang hadir di waktu taziah biasanya memberikan sedekah pada tuan
rumah yang sedang berduka, baik itu berupa makanan pokok (beras, gula, dan
sebagainya), maupun sumbangan uang. Bahkan bantuan dengan tenaga pada keluarga berduka
merupakan sedekah yang sangat berharga.[16]

Sebelum acara berlangsung, tuan rumah dan beberapa tokoh masyarakat (khususnya
perempuan) telah mempersiapkan hidangan, sebagai bentuk penjamuan terhadap tamu yang
hadir nantinya. Dan beberapa tamu yang telah datang lebih awal, mereka melewati waktu
dengan berbincang-bincang bersama (antar tamu dan tuan rumah) saling canda-gurau, sehingga
tidak tampak kesedihan yang amat mendalam bagi keluarga yang berduka. Sekitar 15 menit
kemudian, para tamu telah hadir, pada malam itu (malam ke-5) tamu yang hadir berjumlah 32
orang (laki-laki 23 orang, dan perempuan 9 orang). Ketika semua masyarakat berkumpul,
acarapun dimulai. Seorang pembawa acara yaitu mas Awaluddin pada malam ke5, yang telah
ditunjuk sebagai moderator dan sekaligus modin, langsung membuka acara dan mengurutkan
acara-acara yang akan dilaksanakan.

Adapun rangkaian acara tahlilan, yaitu:


Pembukaan
Pembacaan surah Al-Fatihah sebanyak tiga kali.

Al-Fatihah pertama diniatkan kepada Nabi Muhammad saw. dan keluarganya, para istrinya, dan
semua anak keturunannya. Pembacaan Al-Fatihah kedua diniatkan kepada para nabi dan rasul,
para wali dan ulama, para syuhada (orang-orang yang mati syahid), orang-orang yang sholeh,
para sahabat dan tabiin, para malaikat yang selalu (di dekatkan kepada Allah) dan terutama
kepada Syaikh Abdul Qadir Jaelani. Al-Fatihah ketiga diniatkan kepada kaum muslim secara
umum dan kepada almarhum beserta keluarga khususnya.

Pembacaan surah yasiin

Di pimpin oleh modin, atau yang mewakili jika modin berhalangan hadir, kemudian pembacaan
surah yasiin dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat yang hadir.

Setelah pembacaan surah yasiin selesai, kemudian di lanjutkan dengan bacaan-bacaan


berikut ini :

Al-fatihah tiga kali


Surat al-Ikhlas; sebanyak tiga kali
Surat al-Falaq;
Surat an-Nas;
Surat al-Baqarah ; dari ayat 1 sampai 5
Surat al-Baqarah ayat 163
Surat al-Baqarah ayat 255
Surat al-Baqarah dari ayat 284-286
Surat Hud ayat 73
Surat al-Ahzab ayat 33
Surat al-Ahzab ayat 56
Surat ali Imran ayat 173
Surat al-Anfal ayat 40
Tahlil
Istghfar
Shalawat nabi
Takbir
Tahmid
Doa dan sebagainya

Doa biasanya terdiri dari doa tahlil, doa selamat dan doa khusus yang ditujukan kepada mayit.

Setelah rangkaian acara tersebut telah dilaksanakan, maka dilanjutkan dengan Penyajian
makanan kepada para tamu yang hadir. bentuk penyajian makanan yang disuguhkan sangat
sederhana, diantaranya: Nasi, ikan lele, lalapan, sambel, dan ada buah pisang dan semangka, air
minum yang disuguhkan ialah teh hangat. Dari bentuk makanan tersebut, dapat dilihat bahwa
tidak ada penyuguhan makanan yang bermakna khusus (sesajenan).
Penyuguhan makanan pada tamu bukan hal yang wajib, akan tetapi perlu dilakukan sebagai
bentuk penjamuan pada tamu yang telah hadir. Dulu, ritual tahlilan dilaksanakan dengan syarat-
syarat yang harus dipenuhi, seperti: bubur merah, nasi kuning, makanan yang berbentuk
piramida, dan lain sebagainya. Tujuan yang ingin dicapai dengan memenuhi syarat tersebut, agar
sesajen itu bisa sampai sebagai bentuk kiriman kepada mayit, hal itu disebut dengan bedah
bumi (sesajen yang dianggap sakral). Namun, seiring perkembangan zaman bentuk sesajen
tersebut mulai pudar dikalangan masyarakat, karena semakin berkembangnya juga pemikiran
tokoh-tokoh masyarakat yang ada.[17]

Ada beberapa tujuan yang diharapkan dalam acara tahlilan tersebut, yakni:

Belasungkawa (turut berduka cita)


Mempererat ukhwa islamiyah
Mendoakan almarhum yang telah meninggal dunia
Menghibur keluarga yang berduka agar tidak larut pada kesedihan yang mendalam
Bentuk turut berduka cita, dengan berkumpul bersama[18]

Menurut pak Abdullah, acara tahlilan itu boleh-boleh saja selagi tidak menyimpang pada Al-
Quran dan Hadits. Bahkan tahlil, dzikir, ngaji yasiin, dan bentuk ibadah lainnya yang ada dalam
rangkai acara tahlilan, itu adalah hal yang disunnahkan dengan tujun keridhaan Allah swt.
Maka niat juga harus selalu diluruskan semata-mata karena Allah swt.

Dokumentasi:

Kesimpulan
Dari pembahasan yang dibahas dalam tahlilan diatas, akhirnya penulis dapat menarik
kesimpulan:

1. Pengertian Tahlilan sacara bahasa (etimologi) di mata mayarakat Desa Gowok sama,
yaitu membaca la illaha Illa Allah dan setiap muslim yang membacanya akan
mendapatkan pahala dari Allah. Akan Tetapi perbedaan yang terjadi dalam mayarakat
adalah pengertin Tahlilan secara ( Terminologis) yang diartikan sebagai aktivitas
keagamaan pada waktu-waktu dalam rangka menyikapi kematian seseorang. Masyarakat
muhammadiyah berpendapat bahwa aktivitass tahlilan tidak bersumber pada Al-Quran
dan Hadits. Penolakan terhadap aktivitas tahlilan pada masyarakat muhammadiyah
adalah pokok-pokok yang menyertainya, yaitu : a). Mengirim bacaan-bacaan ayat suci
Al-Quran kepada si mayat atau menghadirkan pahala kepada si mayat, b). Bacaan tahlil
yang memakai urutan-urutan yang sudah dilegitimasi dan, c). Aktivitas tahlilan dikaitkan
dengan dengan hari-hari tertentu seperti hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus
dan keseribu mennggalnya seseorang. Disamping itu, doktrin yang dikembangakan oleh
organisasi Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama saling berbeda. Organisai
Muhammadiyah yang berlandaskan al-Quran dan Hadits ingin mengikis habis budaya
yang dianggap bertentangan dengan al-Quran dan Hadits,sedangkan organisasi Nahdatul
Ulama yang berfaham Ahluss sunnah wal Jamaah ingin berusaha mempertahankan
budaya lama yang dianggap baik sebagaimana paradigmaorgansasi tersebut. Pandangan
para Nahdziyin sangat bertolak belakang denganalasan penganut Muhammadiyah, para
Nahdziyin beranggapan bahwa aktivitas tahlilan merupakan kegiatan keagamaan yang
baik dan bersumber pada al-Quran dan Hadits. Keberterimaan organisasi Nahdatul
Ulama dan para ulamanya dalam mensosialisasikan aktivitas tahlilan di masyarakat
dengan intepretasi hukum yang menyertainya.
2. Perbedaan pemahaman tahlilan di Masyarakat berimplikasi pada tindakan atau perilaku
sosial yang berbeda di Masyarakat, akibatnya menimbulkan hubungan-hub8ngan sosial
atau inetraksi sosial yang tidak harmonis dan mengarah ke konflik yang lebih besar.
Adanya fanatisme yang tinggi terhada organisasi yang dianut oleh masyarakat, akan
menyebabkan masyarakat saling menunjukkan jati diri kepaa kelompok lain. Adapun
hubungahubungan sosial itu daat kita lihat dalam bidang politik, bidang pendidikan,
sarana peribadatan. Dalam dimensi politik masing-masing kelompok memupunyai sarana
politik sendiri-sendiri, dalam bidang pendidikan masyarakat mempunyai fasilitas
pendidikan formal tau non-formal yang mengatas namakan organisasi keagamaan, dalam
sarana peribadatan masing-masing mempunyai sarana peribadatan ( masjid ) sendiri-
sendiri.
3. Mengenai tradisi tahlilan, para Imam Mazhab memiliki pandangan, hal itu merupakan
bidah yang buruk dan dibenci.

Anda mungkin juga menyukai