Anda di halaman 1dari 5

PENGERTIAN TABARRUK ,TAHLILAN, BUDAYA SELAMATAN

KEHAMILAN DALAM PANDANGAN ISLAM , MENURUT NAHDATUL


ULAMA (NU)

A.TABARRUK
tabaruk adalah salah satu bentuk tawasul, maka tasawul sendiri adalah mubah. Hanya saja
yang perlu dipahami bahwa segala sesuatu baik itu manusia, jejak, tempat tertentu, atau
apapun itu tidak bisa mendatangkan maslahat dan menolak mafsadat. Yang kuasa
mendatangkan maslahat dan menolak mafsadat hanyalah Allah SWT. Inilah yang perlu
diperhatikan bagi mereka yang melakukan praktik tawasul dan tabaruk sebagai disampaikan
oleh Abdurrahman Ba‘alawi dalam Bughyatul Mustarsyidin berikut ini:
‫ نعم ينبغي تنبيه العوام‬...‫ كما وردت به السنة الصحيحة‬، ً ‫التوسل باألنبياء واألولياء في حياتهم وبعد وفاتهم مباح شرعا‬
‫ ال يملك‬،‫ فيجب إرشادهم وإعالمهم بأن ال نافع وال ضا ّر إال هللا تعالى‬،‫على ألفاظ تصدر منهم تدل على القدح في توحيدهم‬
ً‫ قل إني ال أملك لكم ض ّراً وال رشدا‬:‫ قال تعالى لنبيه عليه الصالة والسالم‬،‫غيره لنفسه ض ّراً وال نفعا ً إال بإرادة هللا تعالى‬
‫اهـ‬.

Artinya, “Tawasul kepada para nabi dan para wali ketika mereka hidup atau setelah mereka
wafat adalah mubah menurut syar‘i sebagai tersebut dalam hadits shahih... Tetapi masyarakat
awam perlu diingatkan terkait dengan kalimat-kalimat yang dapat mencederai tauhid mereka.
Bimbingan dan pemberitahuan untuk mereka wajib dilakukan bahwa tiada yang dapat
mendatangkan manfaat dan mudharat selain Allah. Tiada yang berkuasa untuk mendatangkan
manfaat dan mudharat kecuali dengan kehendak-Nya. Dalam Surat Jin ayat 21, Allah
berfirman kepada Nabi Muhammad SAW, ‘Katakanlah, aku tak kuasa mendatangkan
mudharat dan petunjuk kepada kalian,’” . Lalu bagaimana penjelasannya terkait praktik
tabaruk? Sayyid Muhammad bin Alwi .Secara rinci Sayyid Muhammad bin Alwi
menyebutkan bahwa jejak dan tempat tertentu itu menjadi berkah karena dipakai untuk
peribadatan dan kebaikan sebagaimana dikutip berikut ini:

‫ وأما‬.‫أما األعيان؛ فالعتقاد فضلها وقربها من هللا سبحانه وتعالى مع اعتقاد عجزها عن جلب خير أو دفع شر إال بإذن هللا‬
‫ وأما األمكنة؛ فال فضل لها‬.‫ ومكرّمة ومعظّمة ومحبوبة ألجلها‬،‫ فهي مشرّفة بشرفها‬،‫اآلثار؛ فألنها منسوبة إلى تلك األعيان‬
‫ وإنما لما يحل فيها ويقع من خير وبر؛ كالصالة والصيام وجميع أنواع العبادات مما يقوم به عباد‬،‫لذاتها من حيث هي أمكنة‬
‫ وهذه هي البركة التي تطلب من هللا في‬،‫ وتحضرها المالئكة وتغشاها السكينة‬،‫هللا الصالحون؛ إذ تتنزل فيها الرحمات‬
‫األماكن المقصودة لذلك‬

Artinya, “Adapun benda, (kita) meyakini keutamaan dari Allah dan kedekatannya dengan
Allah sambil meyakini bahwa benda itu tidak sanggup mendatangkan maslahat dan menolak
mafsadat kecuali dengan izin Allah. Sedangkan jejak atau bekas, harus dipahai bahwa bekas
itu dinisbahkan kepada bendanya. Jejak atau bekas itu menjadi mulia karena kemuliaan
bendanya; serta terhormat, agung, dicintai karena kehormatan bendanya.

Sementrara tempat, tidak ada keutamaan apapun kalau ditinjau dari segi tempat itu sendiri.
tetapi ketika suatu ruang digunakan untuk kebaikan dan peribadatan yaitu shalat, puasa, dan
smua jenis ibadah yang pernah dilakukan oleh hamba-hamba Allah yang saleh, maka rahmat
Allah akan turun, malaikat ikut hadir, dan ketenteraman batin menyelimuti. Inilah keberkahan
dari Allah yang diharapkan di tempat-tempat tersebut,”

Praktik tabaruk terhadap jejak atau tempat-tempat tertentu bukan praktik mengada-ada atau
bid‘ah. Praktik tabaruk dilakukan oleh salafus saleh, orang-orang saleh terdahulu. Imam
Bukhari dalam Jamius Shahih-nya meriwayatkan praktik tabaruk yang dilakukan sahabat
Rasulullah SAW,”

Praktik tabaruk terhadap jejak atau tempat-tempat tertentu bukan praktik mengada-ada atau
bid‘ah. Praktik tabaruk dilakukan oleh salafus saleh, orang-orang saleh terdahulu. Imam
Bukhari dalam Jamius Shahih-nya meriwayatkan praktik tabaruk yang dilakukan sahabat
Rasulullah SAW,”

B. TAHLILAN

Tahlilan secara bahasa  berakar dari kata hallala (‫ )هَلَّ َل‬yuhallilu ( ‫) يُهَلِّ ُل‬ tahlilan ( ً‫ ) تَ ْهلِ ْيال‬artinya
adalah membaca “Laila illallah.” 
Istilah ini kemudian merujuk pada sebuah tradisi membaca kalimat dan doa- doa tertentu
yang diambil dari ayat al- Qur’an, dengan harapan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang
meninggal dunia. 
Biasanya tahlilan dilakukan selama 7 hari dari meninggalnya seseorang, kemudian hari ke 40,
100, dan pada hari ke 1000 nya.

KH Abdul Manan A.Ghani, Ketua Lembaga Ta'mir Masjid PBNU, menuliskan


bahwa tahlilan sering dilakukan secara rutin pada malam jum’at dan malam-malam tertentu
lainnya.
Bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang dihadiahkan untuk mayit menurut pendapat mayoritas
ulama’ boleh dan pahalanya bisa sampai kepada mayit tersebut.

َ‫قر ُؤهَا َر ُج ٌل ي ُِر ْي ُد هللا‬َ َ‫ان الَ ي‬ ْ ْ‫ يس قَ ْلبُ ْالقُر‬: ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّم قَا َل‬ َ ‫ُول هللا‬ َ ‫ض َي هللا َع ْنهُ اَ َّن َرس‬ ِ ‫ع َْن َسيِّ ِدنَا َم ْعقَلْ بِ ْن يَ َسارْ َر‬
ْ,‫ اِبْنُ اَبِ ْى َش ْيبَة‬, ْ‫ اَ ْلبَغ َِوى‬,‫ اَ ْل َح ِكيْم‬,‫ اَحْ َم ْد‬,‫ اَلنِّ َسائِى‬,ْ‫ اِبْنُ َما َجه‬,‫َوال َّدا َر ْاالَ ِخ َرة اِالَّ َغفَ َر هللاُ لَهُ اِ ْق َر ُؤهَا َعلَى َموْ تَا ُك ْم ) َر َواهُ اَبُوْ دَا ُو ْد‬
ْ َ‫ َوابْنُ ِحب‬,‫ اَ ْلبَ ْيهَقِ ْى‬,‫اَلطَّ ْب َرانِ ْى‬
‫ان‬

Dari sahabat Ma’qal bin Yasar r.a. bahwa Rasulallah s.a.w. bersabda : surat Yasin adalah
pokok dari al-Qur’an, tidak dibaca oleh seseorang yang mengharap ridha Allah kecuali
diampuni dosa-dosanya. Bacakanlah surat Yasin kepada orang-orang yang meninggal dunia
di antara kalian. (H.R. Abu Dawud, dll)

Adapun beberapa ulama juga berpendapat seperti Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa
ً‫ َواِ ْن خَت ُموْ ا ْالقرْ أن ِع ْن َدهُ َكانَ َح َسنا‬, ‫َويُ ْستَ َحبُّ اَ ْن يُق َرا َء ِعن َدهُ ش ْي ٌئ ِمنَ ْالقرْ أن‬
Bahwa, disunahkanmembacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada mayit, dan jika sampai khatam
al-Qur’an maka akan lebih baik.
Bahkan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’-nya menerangkan bahwa tidak hanya tahlil dan
doa, tetapi juga disunahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk membaca ayat-ayat Al-
Qur’an lalu setelahnya diiringi berdoa untuk mayit.
Begitu juga Imam al-Qurthubi memberikan penjelasan bahwa, dalil yang dijadikan acuan
oleh ulama’ kita tentang sampainya pahala kepada mayit adalah bahwa, Rasulallah SAW
pernah membelah pelepah kurma untuk ditancapkan di atas kubur dua sahabatnya sembari
bersabda “Semoga ini dapat meringankan keduanya di alam kubur sebelum pelepah ini
menjadi kering”.
Imam al-Qurtubi kemudian berpendapat, jika pelepah kurma saja dapat meringankan
beban si mayit, lalu bagaimanakah dengan bacaan-bacaan al-Qur’an dari sanak saudara dan
teman-temannya Tentu saja bacaan-bacaan al-Qur’an dan lainlainnyaakan lebih bermanfaat
bagi si mayit.

C.BUDAYA SELAMATAN KEHAMILAN DALAM PANDANGAN ISLAM

Di Jawa, bila acara ini diselenggarakan ketika usia kehamilan empat bulan maka disebut
dengan mapati. Istilah ini diambil dari kata papat yang berarti empat. Sedangkan bila acara
selamatan itu dilakukan ketika usia kandungan sudah tujuh bulan maka disebut dengan mituni
atau sering diucapkan mitoni. Istilah itu diambil dari kata pitu yang berarti tujuh. Baca: Doa
Ngupati, Usia Kandungan Empat Bulan Baca: Doa Tingkeban, Usia Kandungan Tujuh Bulan
Atas budaya tersebut ada sebagian orang yang mempertanyakan keabsahan pelaksanaan acara
selamatan tersebut.

Adakah dalil dan anjuran di dalam agama Islam tentang itu? Adakah Rasulullah
pernah memerintahkan atau mencontohkan hal itu?

Jelas, bila yang dikehendaki adalah dalil, anjuran, atau perintah yang secara langsung
menyebutkan nama kegiatan itu tak akan pernah ditemukan di sumber hukum Islam mana
pun. Namun bila kita mau mempelajari dengan baik kita bisa menemukan dalil-dalil yang
secara substansi bisa menjadi dasar keabsahan melakukan acara selamatan semacam itu.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim yang juga disebutkan bahwa Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallama bersabda:

‫ ثُ َّم‬،َ‫ك ُمضْ َغةً ِم ْث َل َذلِك‬


َ ِ‫ ثُ َّم يَ ُكونُ فِي َذل‬،َ‫ك َعلَقَةً ِم ْث َل َذلِك‬ َ ِ‫ ثُ َّم يَ ُكونُ فِي َذل‬،‫ط ِن أُ ِّم ِه أَرْ بَ ِعينَ يَوْ ًما‬
ْ َ‫إِ َّن أَ َح َد ُك ْم يُجْ َم ُع خَ ْلقُهُ فِي ب‬
‫ َو َشقِ ٌّي أَوْ َس ِعي ٌد‬،‫ َو َع َملِ ِه‬،‫ َوأَ َجلِ ِه‬،‫ب ِر ْزقِ ِه‬ ٍ ‫ َوي ُْؤ َم ُر بِأَرْ بَ ِع َكلِ َما‬،‫ك فَيَ ْنفُ ُخ فِي ِه الرُّ و َح‬
ِ ‫ بِ َك ْت‬:‫ت‬ ُ َ‫يُرْ َس ُل ْال َمل‬

Artinya: “Sesungguhnya setiap orang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam


perut ibunya selama empat puluh hari (berupa sperma), kemudian menjadi segumpal darah
dalam waktu empat puluh hari pula, kemudian menjadi segumpal daging dalam waktu empat
puluh hari juga. Kemudian diutuslah seorang malaikat meniupkan ruh ke dalamnya dan
diperintahkan untuk menuliskan empat hal; rejekinya, ajalnya, amalnya, dan apakah dia
menjadi orang yang celaka atau bahagia.” (Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahîh Muslim,
Kairo: Darul Ghad Al-Jadid, 2008, jil. VIII, juz 16, hal. 165).
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa di antara proses penciptaan manusia ketika
masih di dalam kandungan ibunya adalah bahwa pada mulanya ia berupa sperma (nuthfah)
yang berproses selama empat puluh hari lamanya, kemudian menjadi segumpal darah
(‘alaqah) yang juga berproses selama empat puluh hari lamanya, kemudian menjadi segumpal
daging (mudlghah) yang juga berproses selama empat puluh hari lamanya menjadi satu janin
dengan bagian-bagian tubuh yang lengkap sebagaimana layaknya rupa seorang manusia.

Dari sini dapat dilihat bahwa proses terbentuknya satu janin di dalam rahim seorang ibu
hingga sempurna membutuhkan waktu selama tiga kali empat puluh hari yang itu berarti
sama dengan seratus dua puluh hari dan dalam hitungan bulan sama dengan empat bulan
lamanya. Menurut hadits di atas setelah kurun waktu empat bulan itu barulah Allah
memerintahkan satu malaikat untuk melakukan dua hal, pertama meniupkan ruh ke dalam
janin tersebut.

Dengan ditiupnya ruh maka janin yang pada mulanya hanya seonggok daging kini
menjadi hidup, bernyawa. Ia tak lagi hanya sekedar makhluk mati tak ubahnya sebuah
tembikar yang terbuat dari tanah liat, tapi kini ia telah menjadi makhluk hidup. Kedua,
malaikat tersebut diperintah untuk mencatat empat perkara yang berkaitan dengan rejeki, ajal,
amal, dan bahagia atau celakanya si janin ketika ia hidup dan mengakhiri hidupnya di dunia
kelak. Pada fase yang demikian ini, berdasarkan hadits di atas, para ulama Nusantara
mengajari kita sebagai umatnya untuk memanjatkan doa kepada Allah subhânahû wa ta’âlâ
agar janin yang ada di kandungan diberi ruh yang baik dan juga rupa tubuh yang sempurna
tak kurang suatu apa sebagaimana layaknya tubuh seorang manusia normal pada umumnya.
Juga memohon kepada Allah agar sang janin diberi takdir-takdir yang baik pula.

Diberi umur yang panjang penuh berkah dan manfaat, rezeki yang melimpah penuh
keberkahan, ahli melakukan amalan-amalan saleh, dan digariskan sebagai hamba yang
berbahagia ketika hidup di dunia dan kelak meninggalkan dunia sebagai orang yang selamat
dengan membawa keimanan kepada Allah Ta’ala. Untuk memanjatkan permohonan-
permohonan baik bagi sang janin itu para ulama negeri ini juga menganjurkan untuk meminta
bantuan para tetangga dan sanak saudara untuk ikut serta mendoakannya.

Maka diundanglah mereka ke rumah pada waktu yang ditentukan guna bersama-sama
berdoa kepada Allah.  Acara selamatan atau kenduri ini—di Jawa khususnya—kemudian
dikenal dengan nama mapati atau empat bulanan karena diadakan ketika kandungan telah
mencapai usia empat bulan. Bagaimana dengan acara selamatan tujuh bulan atau mitoni?
Sebagaimana mapati acara selamatan mitoni juga diajarkan para ulama dahulu kepada umat
tidak secara asal. Acara selamatan yang telah membudaya ini diajarkan oleh mereka
setidaknya dengan berdasar pada firman Allah yang terdapat di dalam Surat Al-A’raf ayat
189: ‫ه‬

ْ َ‫َّت بِ ِه فَلَ َّما أَ ْثقَل‬


َُ ‫ت َدع ََوا هَّللا‬ ْ ‫ت َح ْماًل خَ فِيفًا فَ َمر‬ ٍ ‫َو الَّ ِذي خَ لَقَ ُك ْم ِم ْن نَ ْف‬
ْ َ‫س َوا ِح َد ٍة َو َج َع َل ِم ْنهَا َزوْ َجهَا لِيَ ْس ُكنَ إِلَ ْيهَا فَلَ َّما تَ َغ َّشاهَا َح َمل‬
َ‫صالِحًا لَنَ ُكون ََّن ِمنَ ال َّشا ِك ِرين‬ َ ‫ َربَّهُ َما لَئِ ْن آتَ ْيتَنَا‬ 

Artinya: “Dia lah dzat yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu dan darinya Dia
ciptakan istrinya agar ia merasa senang kepadanya. Maka ketika ia telah mencampurinya,
sang istri mengandung dengan kandungan yang ringan dan teruslah ia dengan kandungan
ringan itu. Lalu ketika ia merasa berat kandungannya keduanya berdoa kepada Allah
Tuhannya, “Apabila Engkau beri kami anak yang saleh maka pastilah kami termasuk orang-
orang yang bersyukur.” Ayat di atas bercerita tentang Nabi Adam dan ibu Hawa sebagai
pasangan suami istri. Imam Al-Baghawi dalam kitab tafsirnya menuturkan bahwa ketika
masa-masa awal kandungan ibu Hawa merasakan kandungannya sebagai sesuatu yang
ringan, tidak merasa berat. Ia berdiri dan duduk sebagaimana biasanya.

Namun ketika anak di dalam rahimnya kian membesar ibu Hawa merasakan
kandungannya makin berat dan makin dekat masa melahirkan. Maka kemudian Nabi Adam
dan istrinya berdoa memohon kepada Allah agar diberi seorang anak yang saleh sempurna
sebagaimana dirinya (Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi, Ma’âlimut Tanzîl, Kairo: Darul
Alamiyah, 2016, jil. II, hal. 191). Atas dasar inilah para ulama di negeri ini kala itu
menganjurkan kepada umat muslim untuk mendoakan jabang bayi yang ada di kandungan
ibunya yang telah memasuki masa hamil tua. Dan untuk keperluan itu dianjurkan untuk
mengumpulkan para tetangga agar ikut serta mendoakan jabang bayi agar diberi
kesempurnaan rupa, keselamatan, kesehatan dan kemudahan ketika nanti dilahirkan pada
waktunya.

Anda mungkin juga menyukai