Anda di halaman 1dari 4

Memandikan Jenazah Korban Bencana & Luka Bakar

Pada dasarnya, seorang muslim manapun yang meninggal harus dimandikan, dikafani dan dishalatkan.
Namun demikian, dalam kondisi bencana yang menelan korban dalam jumlah masif sehingga
menyulitkan untuk diperlakukan sesuai dengan hukum asal, maka jenazah tersebut boleh untuk tidak
dimandikan dan dikafani. Namun jenazahnya tetap wajib untuk dishalatkan. Jenazah cukup dibungkus
dengan pakaian yang ada maupun kain yang ditemukan seadanya.

Terkait dengan penguburan, hal tersebut bisa dilakukan secara massal dan tidak perlu dipisahkan antara
pria dan wanita. Dalilnya adalah,

)‫ من سورة البقرة‬286 ‫ال يكلّف هللا نفسا ً إالّ وسعها (أية‬

Allah tidak membebankan kepada seseorang (kewajiban) kecuali sesuai dengan kemampuannya (QS Al
Baqarah : 286).

Imam an-Nawawi rahimahullah menulis, “Apabila tidak memungkinkan untuk memandikan jenazah
lantaran langkanya air ataupun jenazah terbakar, maka jenazah tak perlu dimandikan, tetapi cukup
ditayamumi. Tayamum ini wajib. Sebab ia adalah upaya mensucikan yang tidak berhubugan dengan
menghilangkan najis, sehingga wajib beralih kepada tayamum saat tidak memungkinkan menggunakan
air.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, 5/128)

Di tengah kegentingan bencanya yang datang tanpa terduga, perawatan jenazah korban bencana sering
tidak bisa dilakukan sebagaiman dalam kondisi normal. Sebagaimana penguburannya dilakukan secara
massal. Lalu bagaimana sebenarnya hukum melakukan penguburan massal jenazah korban bencana
alam? Teknis Mengubur Jenazah dalam Mazhab Syafi’i Menurut mazhab Syafi’i, dalam kondisi normal
kita tidak boleh mengubur dua jenazah atau lebih dalam satu liang kubur. Masing-masing harus
disendirikan dengan satu liang kubur. Namun demikian dalam kondisi darurat kita diperbolehkan
mengubur dua jenazah atau lebih dalam satu liang kubur. Salah satu contoh kondisi darurat adalah
jumlah jenazah yang banyak dan sulit untuk membuatkan liang kubur bagi masing-asing jenazah karena
terbatasnya lahan. Ulama Nusantara bergelar ‘Alimul Hijaz (orang alimnya Makkah Madinah) Syekh
Nawawi Banten (w 1316 H/1898 M) menjelaskan: ‫ إِ ْن‬،‫ نَ َع ْم‬... ‫َواَل يَجُو ُز َج ْم ُع ْاثنَ ْي ِن فِي قَب ٍْر َوا ِح ٍد بَلْ يُ ْف َر ُد ُكلُّ َوا ِح ٍد بِقَب ٍْر‬
ِ ‫ فَيُجْ َم ُع بَ ْينَ ااْل ِ ْثنَ ْي ِن َوالثَّاَل ثَ ِة َواأْل َ ْكثَ ِر فَي قَب ٍْر بِ َح َس‬،‫ض‬
‫ب‬ َ ْ‫ْق اأْل َر‬
ِ ‫ضي‬ ٍ ِّ‫ت ْال َموْ تَى َو َع ُس َر إِ ْف َرا ُد ُكلِّ َمي‬
َ ِ‫ت بِقَب ٍْر ل‬ ِ ‫ُورةُ إِلَى َذلِكَ كَأ َ ْن َكثُ َر‬
َ ‫ضر‬َّ ‫ت ال‬
ِ ‫َد َع‬
ُ‫ضرُو َرة‬ َّ ‫ال‬. Artinya, “Tidak boleh mengumpulkan dua jenazah dalam satu liang kubur, namun masing-
masing harus disendirikan dengan liang kuburnya... Memang demikian, namun bila kondisi darurat
mengharuskan dua jenazah dikumpulkan dalam satu liang kubur, seperti jenazahnya banyak dan sulit
menyediakan satu liang kubur untuk masing-masing jenazah karena areanya terbatas, maka dua
jenazah, tiga dan selebihnya boleh dikumpulkan sesuai kondisi daruratnya,” (Lihat Muhammad bin Umar
bin Ali bin Nawawi Al-Jawi, Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in, [Beirut, Darul Fikr: tanpa keterangan
tahun], juz I, halaman 163).

Ketika terjadi musibah kebakaran, seringkali meninggalkan korban jiwa yang kondisi badannya melepuh
hebat dengan luka bakar tingkat tinggi. Dalam kondisi demikian, satu sisi ada keinginan untuk
menyempurnakan prosesi tajhizul janaiz dengan memandikan jenazah, namun di sisi lain, kenyataannya
setiap kali tubuh korban disiram air, maka akan banyak kulit ataupun daging yang terkelupas.

Secara umum, sebenarnya syariat islam memiliki prinsip dasar kemurahan. Ada banyak sekali
kemurahan yang diberikan dalam syariat Islam karena memang tujuan utama syariat Islam adalah untuk
memberikan kemaslahatan bagi umat manusia, bukan untuk mempersulit.

Demikian pula dalam persoalan memandikan jenazah. Ketika dianggap susah memandikan jenazah
korban kebakaran, maka syariat memperbolehkan mengganti prosesi memandikan tersebut dengan
tayammu. Hal ini ditegaskan oleh Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam kitabnya, Kanzur Raghibin Syarh
Minhaj at-Thalibin (j. 1 h. 404),

َ ‫َو َم ْن تَ َع َّذ َر ُغ ْسلُهُ – كَأ َ ْن احْ تَ َر‬


‫ َعلَى جُثَّتِ ِه لِتُ ْدفَنَ بِ َحالِهَا‬Yً‫ق َولَوْ ُغ ِّس َل لَتَهَرَّى (يُ ِّم َم) َواَل يُ َغ َّس ُل ُم َحافَظَة‬

“(Jika ada jenazah yang susah dimandikan), seperti korban kebakaran yang jika dimandikan maka
kulitnya akan terkelupas, (maka ditayammumi) dan tidak usah dimandikan untuk menjaga jasad mayit
sehingga dia dikuburkan dalam bentuk aslinya.”

- Islam mengajarkan agar suatu kaum mengurus jenazah anggotanya yang wafat. Jenazah Muslim
hukumnya fardhu kifayah untuk dimandikan, dikafani, dishalatkan, hingga dikuburkan. QS Abasa:21
menunjukkan bahwa manusia harus dikuburkan saat meninggal dunia. "Kemudian, Dia mematikannya
dan memasukkannya ke dalam kubur."
Rasulullah SAW pun melalui hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud menjelaskan bahwa umat Islam
harus segera mengurus jenazahnya.

"Tidak pantas di antara mayat seorang Muslim untuk ditahan di antara keluarganya."

Dalam keadaan normal, mayat wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan. Prosedur ini
dilakukan menurut tata cara yang sudah ditentukan dalam syariat Islam. Dalam keadaan darurat, di
mana pengurusan (penanganan) jenazah tidak mungkin memenuhi ketentuan syariat di atas maka
pengurusan jenazah dilakukan dengan cara darurat.

Ada kondisi di mana Nabi SAW pernah memerintahkan untuk mengubur para syuhada' Uhud dalam
bercak-bercak darah. Mereka tidak dimandikan dan tidak dishalatkan (HR Al Bukhari).

Hukum ini khusus bagi syahid ma'rakah (orang yang terbunuh di medan perang).

Adapun orang yang mati terbunuh karena membela hartanya atau kehormatannya, merujuk pada Asy
Syarhul Mumti (5/364), mereka tetap dimandikan, meskipun mereka juga syahid. Demikian orang yang
mati karena wabah tha'un atau karena penyakit perut, mati tenggelam, atau terbakar. Meskipun mereka
syahid, mereka tetap dimandikan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa tentang pengurusan jenazah dalam
keadaan darurat. Fatwa tersebut lahir pada 31 Desember 2004. Tidak lama setelah bencana tsunami di
Aceh terjadi pada 26 Desember 2004 silam. Ketika itu, tak kurang dari seratus ribu korban jiwa tewas.
Saksi mata bahkan melihat setiap jarak 100 meter ada 70 mayat di Banda Aceh.

Untuk kondisi darurat tersebut, MUI pun berfatwa bahwa jenazah boleh tidak dimandikan saat hendak
dikubur. Tapi, apabila memungkinkan, sebaiknya diguyur sebelum penguburan.

Pakaian yang melekat pada mayat atau kantong mayat dapat menjadi kafan bagi jenazah. Meski kafan
darurat itu terkena najis.
Tak hanya itu, menurut MUI, mayat boleh dishalatkan sesudah dikuburkan meski dari jarak jauh (shalat
ghaib). Boleh juga tidak dishalati menurut qaul mu'tamad (pendapat yang kuat).

Jenazah pun wajib segera dikuburkan. Pemakaman tersebut bisa dilakukan secara massal dalam jumlah
yang tidak terbatas. Meski terdiri atas satu atau beberapa liang kubur. Tak hanya itu, dalam kondisi
seperti tsunami Aceh, mayat tidak harus dihadapkan ke arah kiblat.

Penguburan massal juga boleh dilakukan tanpa memisahkan jenazah laki-laki dan perempuan. Pun,
antara Muslim dan non-Muslim. Jenazah boleh langsung dikuburkan di tempat jenazah ditemukan.
Mantan ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Hasanuddin AF menambahkan,
penanganan jenazah korban bencana dalam hukum Islam terbagi atas kondisi.

Pertama, saat jasad korban di temukan utuh. Kiai Hasanuddin mengungkapkan, umat Islam setem pat
masih wajib untuk memandikan, mengafani, hingga melaksanakan shalat jenazah untuk jasad tersebut,
seperti layaknya pemula saraan jenazah normal.

Kedua, untuk jasad korban yang tidak ditemukan utuh maka tak perlu dimandikan. Dia menjelaskan,
jenazah boleh lang sung dikafani hingga dishalatkan, dan dimakamkan secara Islami di tempat yang
sesuai kehendak sanak familinya.

Untuk jasad kategori ketiga ketika korban sudah tidak mungkin ditemukan. Sebelum memutuskan tidak
ditemukan, dia menjelaskan, keluarga jenazah harus memastikan proses pencarian korban sudah
diputuskan berakhir oleh pihak yang berwenang, misalnya, Badan Nasional Penang gulangan Bencana
(BNPB).

Kemudian, dari data BNPB atau pejabat daerah setempat, dapat diperoleh kepastian nama-nama orang
hilang itu serta agama mereka ialah Islam. Kemudian, handai tolan bisa melaksanakan shalat ghaib buat
mereka.

Anda mungkin juga menyukai