JENAZAH
1. Pengertian Jenazah
Kata jenazah, bila ditinjau dari segi bahasa (etimologis), berasal dari
bahasa Arab dan menjadi turunan dari isim masdar (adjective) yang
diambi dari fi’il madi janaza-yajnizu-janazatan wa jinazatan. Bila huruf
jim dari kata tersebut dibaca fathah (janazatan), kata ini berarti orang
yang telah meninggal dunia. Namun bila huruf jim-nya dibaca kasrah,
maka kata ini memiliki arti orang yang mengantuk. Demikian keterangan
yang dijelaskan oleh sang penulis kitab Matali’ al-Anwar (An-Nawawi t.th,
104).
Dalam kamus al-Munawwir, kata jenazah diartikan sebagai “seseorang
yang telah meninggal dunia dan diletakkan dalam usungan” (Munawwir
1997, 215). Kata ini bersinonim dengan al-mayyit (Arab) atau mayat
(Indonesia) (Departemen Agama 1993, 516). Karenanya, Ibn al-Faris
memaknai kematian (al-mawt) sebagai peristiwa berpisahnya nyawa dari
badan atau jasad (an-Nawawi t.th, 105).
Luis Ma’luf di dalam kitab al-Munjid mendefenisikan jenazah sebagai
berikut:
13
14
Barry 1994, 285). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
jenazah diartikan sebagai badan atau tubuh yang sudah mati
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 639).
Lebih jauh lagi, Ustad Labib Mz. Memperluas pemaknaan tersebut
dengan seseorang yang terputus hubungannya antara ruh dengan badan,
perpisahan antara keduanya, perubahan dar suatu keadaan ke keadaan
lainnya (Labib Mz 2000, 77).
Di dalam kitab Fathul Qadir didefenisikan sebagai berikut:
Artinya: ”kata al-janaiz adalah jama’ dari kata janazah. Apabila huruf
“jim” berbaris kasrah berarti beranda usungan mayat, tetapi kalau
berbaris fathah maka artinya mayat (Hanafi 1994, 103).
dunia dengan cara menyiramkan air ke seluruh tubuh atau jasad tersebut
dengan cara tertentu yang disertai dengan niat kepada Allah SWT.
Disunnahkan untuk segera memandikan mayat dan mempersiapkan
penguburannya apabila dia telah benar-benar mati, seperti mati
dikarenakan suatu sebab atau muncul tanda-tanda kematiannya seperti
kedua telapak kakinya menjadi lembek dan tidak tegak, atau hidungnya
miring atau pelipisnya berlubang atau meleleh kulit wajahnya, atau copot
kedua mata kakinya dari betisnya atau menyusut buah testisnya, apabila
ragu karena tidak ada sebab yang membuatnya mati, atau kemungkinan
dia hanya diam atau muncul tanda-tanda yang menakutkan atau lainnya,
hendaknya ditunggu hingga benar-benar bahwa dia mati, misalnya
dengan baunya yang berubah atau lainnya (Ad-Dimasyqi, Yahya 2007,
888).
2. Hukum Memandikan Jenazah
Apabila ada seseorang yang meninggal dunia, maka kewajiban bagi
sekelompok orang adalah untuk segera menyelenggarakan jenazahnya,
salah satu diantara poin tersebut adalah memandikan jenazah. Adapun
hukum memandikan jenazah ini, Imam al-Syairazi dalam kitabnya al-
Muhazzab menjelaskan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah :
Dari Ibnu Abbas semoga Allah meridhai keduanya, bahwa Nabi SAW
telah besabda mengenai orang yang jatuh dari kendaraannya lalu
meninggal dunia, Lalu Rasulullah bersabda: mandikanlah ia dengan
air daun bidara, kafanilah ia dengan dua lapis kain(HR.
Muttafaqun’alaihi)(ash-Shan’ani t.th, 191).
16
ال
Hadis ini menjadi dalil wajibnya memandikan jenazah (ash-Shan’ani t.th,
191)
Rasulullah saw., dan selalu dilaksanakan oleh kaum muslimin (Sabiq 2010,
44).
3. Syarat-syarat memandikan jenazah
Dalam hal memandikan jenazah terdapat beberapa hal pokok yang
tidak dapat di tinggalkan, seperti syarat-syarat bagi orang yang
memandikan jenazah dan ada juga syarat-syarat bagi jenazah yang akan
dimandikan. Adapun syarat-syarat bagi orang yang akan memandikan
jenazah tersebut diantaranya adalah :
a. Orang yang memandikan itu adalah orang muslim, baligh dan berakal
b. Orang itu berniat memandikan jenazah
c. Orang yang akan memandikan jenazah haruslah orang yang
terpercaya atau amanah. Sebagaimana yang dikatakan Imam al-
Syairazi :
Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah
Tuhan yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan
janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya".
maka dia harus mengerjakan amal perbuatan yang shaleh dan dia
dilarang mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu dan dengan
siapapun.
e. Apabila perempuan yang meninggal ditengah kaum laki-laki yang
disana tidak ada mahram dan tidak ada juga suami, maka hendaklah ia
ditayamumkan oleh laki-laki yang bukan mahram tadi dari muka dan
tangan hingga siku dengan tidak melihat aurat perempuan itu. Jika ada
mahramnya, maka ia wajib memandikannya, bila tidak ada suaminya.
Bila suaminya ada, maka suami itu didahulukan dari pada laki-laki
mahram.
Apabila laki-laki meninggal dunia ditengah kaum wanita yang
diantara mereka tidak ada istri dan tidak ada pula mahramnya, maka
hendaklah ia ditayamumkan oleh salah seorang dari wanita yang
bukan mahram tadi dengan menggunakan lapis yang menghalangi
sentuhan dengan cara tidak melihat auratnya. Bila diantara mereka
ada istri maka ialah yang wajib memandikannya sekalipun tanpa
menggunakan pelapis. Bila tidak ada istri, tetapi diantara mereka ada
wanita mahram, seperti anak perempuannya atau saudara
perempuannya ataupun ibunya, maka ialah yang lebih utama untuk
memandikannnya. Istrinya hendaklah didahulukan dari wanita
mahram (al-jaziri 1996, 504). Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah
SAW :
“Anak bayi tidak perlu dishalati, tidak boleh mewarisi, dan tidak boleh
mewariskan sampai ia berteriak” (HR. At-Tarmidziy)(Az-Zuhaili 2010,
539).
21
“Jika seorang bati yang lahir itu sempat teriak sebelum meninggal,
maka ia harus dishalatkan dan mendapatkan warisan”.
“Jika mayat itu laki-laki tidak ada istrinya maka manusia yang pertama
memandikannya adalah Bapaknya kemudian kakeknya kemudian
anak laki-lakinya kemudian cucu laki-lakinya kemudian saudara laki-
lakinya kemudian anak saudara laki-lakinya kemudian pamannya
kemudian anak pamannya. Dikarenakan mereka berhak untuk
menyalatkannya maka mereka juga berhak memandikannya dan jika
ada istrinya maka istrinya boleh untuk memandikannya jenazah
suaminya” (an-Nawawi t.th, 113).
3) Ibu didahulukan, jika tidak ada ayah, atas anak laki-laki dan wali laki-
laki
4) Wali laki-laki didahulukan atas wali wanita yang setingkat dengannya.
Demikian juga, wali yang baligh didahulukan atas yang belum baligh
5) Anak wanita didahulukan atas cucu laki-laki melalui anak laki-laki,
kakek, dan saudara laki-laki
6) Cucu laki-laki melalui anak laki-laki didahulukan atas kakek
7) Kakek didahulukan atas saudara laki-laki
8) Saudara laki-laki didahulukan atas saudara perempuan
9) Saudara perempuan didahulukan atas anak lelaki dari saudara laki-
laki
10)Paman dari pihak ayah didahulukan atas paman dari pihak ibu
11)Paman dari pihak ibu didahulukan atas hakim syar’i
12)Hakim syar’i didahulukan atas orang-orang Islam yang adil
Wali yang belum baligh, gila atau tidak ada ditempat dianggap tidak
ada. Orang yang bernasab kepada mayat dari jalur ayah dan ibu sekaligus
lebih utama daripada yang bernasab kepadanya dari salah satu jalur saja.
Orang yang bernasab kepada mayat dari jalur ayah lebih utama daripada
yang bernasab dari jalur ibu.
Jika jumlah wali yang ada dalam satu tingkat lebih dari satu orang
maka mereka sama-sama mempunyai hak, karena dalil menunjukkan
kepada keseluruhan tanpa membedakan satu dari yang lain. Kebiasaan
meminta izin kepada anak laki-laki terta saja, pada dasarnya tidak
mempunyai sandaran dalam agama.
Apabila sebelumnya si mati telah berwasiat kepada seseorang untuk
mengurusi mayatnya, hal itu tidak menggugurka izin wali, karena
keduanya dapat digabungkan, yaitu dengan cara si wali memberi izin
kepada orang yang diberi wasiat dan orang itulah yang mengurusi mayat.
Dengan demikian, perintah syari’at dan kehendak si mati dapat
terlaksana sekaligus (Mughniyah1999, 98 ).
29
mayat. Selanjutnya mayat dengan agak keras agar keluar apa yang ada
didalam perut mayat. Setiap kali tangan menekan keras perut maka air
disiram dengan banyak sampai tidak muncul bau yang dapat keluar
darinya.Setelah itu, menelungkupkan mayat.
Wajib menutupi aurat mayat yang sedang dimandikan, kecuali mayat
yang berumur kurang dari tujuh tahun maka tidak mengapa ketika
memandikannya tanpa memakai penutup apapun, seperti yang
disebutkan oleh hanbali.Sedangkan menurut mayoritas ulama, tidak
memakai penutup apapun yang dianjurkan saja hukumnya karena lebih
mudah dalam memandikannya dan lebih memnbersihkannya.Pada saat
itu, memandikan orang yang masih hidup.Juga , lebih dapat karena
mungkin saja keluar benda najis darinya.
Seandainya memandikan mayat yang berumur kurang dari tujuh
tahun dengan mengenakan baju ringan dan luas lengan bajunya maka
tetap boleh. Syafi’i mengatakan, tidak sampai membutnya tidak
mengenakan apapun, hanya saja memandikannya dengan tetap
mengenakan baju itu lebih dianjurkan karena lebih dapat menutupinya.
Nabi saw, sendiri dimandikan dengan tetap mengenakan baju (Az-Zuhaili
2010, 538).
Baju itu hendaknya yang sudah usang atau tipis. Kemudian apabila
baju itu lebar, hendaknya tangannya dimasukkan ke dalam lengan
bajunya dan memandikannya dari bawahnya. Apabila baju itu sempit,
maka kerah baju itu dirobek lalu tangannya dimasukkan ke dalam lengan
lengan bajunya. Apabila bukan baju, atau tidak dapat dimandikan dengan
baju itu, maka perlu ditutupi antara pusar dan paha, diharamkan untuk
dilihat.
Makhruh bagi orang yang memandikan untuk melihat sesuatu yang
ada pada badannya kecuali diperlukan seperti ingin mengetahui tempat
yang dimandikan. Sedangkan orang yang membantunya, hendaknya tidak
melihat kecuali karena darurat. Hendaknya disediakan air yang dingin
31
dalam sebuah bejana yang besar untuk memandikannya, dan ini lebih
baik dari pada air yang hangat, kecuali apabila diperlukan air hangat
dikarenakan keadaan cuaca yang sangat dingin atau karena kotor. Bejana
tempat airnya hendaknya agak dijauhkan dari mayat yang dimandikan
sehingga air yang ada di dalamnya tidak terkena percikannya ketika
memandikan (Ad-Dimasyqi, Yahya 2007, 889)
Sayyid Sabiq juga mengatakan, adapun yang wajib dilakukan ketika
memandikan jenazah adalah mengalirkan air ke seluruh tubuhnya, satu
kali, walaupun jeanazah tersebut sedang junub atau haid. Sunahnya,
jenazah diletakkan ditempat yang agak tinggi, pakaiannya dilepas dan
diganti dengan sesuatu yang menutupi auratnya, jika mayatnya sudah
baligh. Orang-orang yang hadir dalam proses pemandian hanya orang-
orang yang diperlukan, dan hendaklah memandikan itu orang yang jujur,
shalih, dan dapat dipercaya agar bisa menutupi sisi buruknya dan
menceritakan sisi baiknya saja (Sabiq 2008, 48).
Proses selanjutnya adalah memandikan dengan air dan sabun atau air
yang jernih (tanpa sabun) sebanyak tiga kali. Tubuh yang pertama kali
dimandikan adalah bagian kanan. Jika ingin memandikannya lebih dari
tiga kali setelah tubuhnya bersih karena suatu alasan atau tanpa suatu
alasan, orang yang memandikan boleh melakukannya sebanyak lima atau
tujuh kali.
Ibnu Mundzir mengatakan, “sesungguhnya bilangan memandikan
diserahkan kepada orang yang memandikan dengan syarat yang telah
disebutkan dalam hadits, yaitu ganjil” (Sabiq 2008, 55).
Jika mayat yang dimandikan adalah mayat perempuan, maka
disunatkan untuk mengurai jalinan rambutnya kemudian dibasuh dan
kembali dibuat jalinan dan diletakkan dibagian belakang. Ummu Athiyah
meriwayatkan bahwa kaum perempuan membuat rambut putri
Rasulullah saw. yang meninggal menjadi tiga jalinan, seperti yang
disebutkan dalam Hadis Al-Lu’lu’ Wal Marjan :
32