Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

FIQIH JANAZAH

DISUSUN OLEH:

JUMADI 202004010026
AFIF ROHMATULLOH ZAIN 202004010036

UNIVERSITAS DARUL ULUM


JOMBANG
2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puja dan puji syukur kehadirat Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, Rabb semesta alam yang telah menghendaki
terselesaikannya tugas makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat berbingkai
salam tak lupa juga penulis hanturkan kepada junjungan Nabi umat islam
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Yang telah membawa kita dari
zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang yakni Islam
Rahmatan Lil ‘alamin.

Makalah dengan topik pembahasan “Fiqih Janazah” ini disusun dengan


ringkas, dengan harapan agar pembaca dapat memahami dan mengambil
manfaat dari makalah ini. Terselesaikannya pembuatan makalah ini, tidak
terlepas dari bantuan pihak lain.

Oleh karena itu tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini.

Penulis menyadari penyusunan makalah ini masih banyak kekurangannya.


Oleh karena itu, penulis mohon kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca guna perbaikan isi dari pembahasan topik ini. Semoga makalah ini
dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Jombang, Mei 2022

Penulis,

2
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar belakang

Syariat Islam mengajarkan bahwa setiap manusia pasti akan

mengalami kematian yang tidak pernah diketahui kapan waktunya.

Sebagai makhluk sebaik-baik ciptaan Allah SWT dan ditempatkan

pada derajat yang tinggi, maka Islam sangat menghormati orang

muslim yang telah meninggal dunia. Oleh sebab itu, menjelang

menghadapi kehariban Allah SWT orang yang telah meninggal dunia

mendapatkan perhatian khusus dari muslim lainnya yang masih hidup.

Dalam ketentuan hukum Islam jika seorang muslim meninggal

dunia maka hukumnya fardhu kifayah atas orang-orang muslim yang

masih hidup untuk menyelenggarakan 4 perkara, yaitu memandikan,

mengkafani, menshalatkan dan menguburkan orang yang telah

meninggal tersebut. Dan merujuk pada Hadits riwayat Abu Hurairah

RA:

‫ َأِرْس ُعوا‬: ‫َع ْن َأيِب ُه َر ْيَر َة ريض هللا عنه َع ْن الَّنِّيِب صىل هللا عليه وسمل َقاَل‬

‫اِب ْلِج َناَز ِة َف ْن َتُك َص اِلَح ًة َفَخٌرْي ُتَقِّد ُم وَهَنا َو ْن َيُك ِس َو ى َذ َكِل َفٌّرَش َتَض ُع وَنُه َع ْن‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ِر َقاِبْمُك‬

3
"Segeralah mengurus jenazah. Karena jika jenazah itu adalah orang

shalih, berarti kalian telah mempercepat kebaikan untuknya. Dan jika

jenazah tersebut selain orang shalih, berarti kalian telah meletakkan

kejelekan di pundak kalian." (HR Bukhari no 1315 dan Muslim no

944).

Untuk lebih jelasnya 4 persoalan tersebut, pemakalah akan

mencoba menguraikan dalam penjelasan berikut ini.

II. Rumusan masalah

1. Apa pengertian jenazah?


2. Bagaimana tata cara memandikan jenazah?
3. Bagaimana tatacara mengkafani jenazah?

III. Tujuan makalah

1. Untuk mengetahui pengertian jenazah


2. Untuk mengetahui tata cara memandikan jenazah
3. Untuk mengetahui tata cara mengkafani jenazah

4
BAB II

PEMBAHASAN

I. Pengertian jenazah

Kata jenazah bila ditinjau dari segi bahasa berasal dari bahasa

arab dan menjadi turunan dari isim mashdar yang diambil dari fi’il

madhi janaza-yajnizu-janazatan wa jinazatan. Bila huruf jim dibaca

fathah (janazatan),kata ini berarti orang yang telah meninggal dunia.

Namun bila huruf jimnya dibaca kasrah, maka kata ini berarti orang

yang mengantuk. Sedangkan jika dibaca kasrah (jinazah) berarti

keranda yang digunakan untuk mengusung jenazah ke pemakaman.

Lebih jauh, jenazah menurut Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin

S., mengartikan jenazah sebagai orang yang telah meninggal yang

diletakkan dalm usungan dan hendak dibawa ke kubur untuk

dimakamkan.

Dalam buku Tuntutan Praktis Perawatan Jenazah , kata

jenazah yang berasal dari kata bahasa arab tersebut memiliki arti

tubuh mayat. Sedangkan kata Jinazah berarti tandu pembawa tubuh

mayat. Asal katanya berasal dari fi’il madhi “Janaza” yang

mempunyai arti menutupi. Oleh karena itu disebut jenazah karena

tubuh mayat itu harus ditutupi.

5
Dalam kamus al-Munawwir, kata jenazah diartikan sebagai

“seseorang yang telah meninggal dunia dan diletakkan dalam

usungan. Kata ini bersinonim dengan al-mayyit (Arab) atau mayat

(Indonesia) Karenanya, Ibn al-Faris memaknai kematian (al-mayyit)

sebagai peristiwa berpisahnya nyawa (ruh) dari badan (jasad) 35.

Lebih jauh, kata jenazah, menurut Hasan Sadiliy, memiliki

makna “seseorang yang telah meninggal dunia yang sudah terputus

masa kehidupannya dengan alam dunia ini”. Selanjutnya, kata jenazah

juga diartikan oleh Partanto serta dahlan al-Barry sebagai “raga yang

sudah tidak bernyawa lagi”, sedangkan dalam kamus besar bahasa

Indonesia, kata Jenazah diartikan sebagai badan atau tubuh orang

yang sudah mati.

Sedangkan Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S., mengartikan

kata Jenazah sebagai orang yang telah meninggal yang diletakkan di

dalam usungan dan hendak dibawa kekubur untuk ditanamkan

(makamkan).

Labib Mz. Memperluas pemaknaan tersebut dengan seseorang

yang terputus hubungannya antara ruh dengan badan, perpisahan

antara keduanya, perubahan dari suatu keadaan ke keadaan yang

lainnya.

Jenazah atau mayat dalam penggunaan sehari-hari, atau

kadaver dalam istilah medis, sastra, hukum, atau forensik, adalah

6
badan atau tubuh yang sudah mati atau tidak bernyawa. Istilah-istilah

tersebut biasanya merujuk pada tubuh mati manusia.

Dari berbagai pengertian tentang Jenazah diatas, dapat ditarik

kesimpulan bahwa pengertian dari Jenazah adalah seseorang yang

telah terputus antara jasad dan ruhnya, serta telah meninggalkan alam

dunia dan berpindah ke alam akhirat.

II. Hal-Hal Yang Harus Dilakukan Sesudah Meninggal

Apabila seseorang meninggal, maka ada beberapa hal yang harus

dilakukan:

1. Hendaklah dipejamkan (ditutupkan) matanya, menyebut kebaikan,

mendoakan, meminta ampun atas dosanya.

Dalil hadits dari Ummu Salamah Hindun bintu Abi Umayyah

radhiallahu’anha, ia mengatakan:

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika mendatangi Abu

Salamah yang telah meninggal, ketika itu kedua matanya terbuka.

Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam pun memejamkan kedua mata

Abu Salamah dan bersabda: “Sesungguhnya bila ruh telah dicabut,

maka pandangan matanya mengikutinya” (HR. Muslim no. 920).

2. Mengikat dagunya agar tidak terbuka

Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah mengatakan:

7
‫و شد حلييه] و ذكل خمافة أن يبقى مفه مفتوحا حاةل غسهل و حاةل جتهزيه فيشد‬

‫]حىت ينطبق مفه مع أسنانه‬

“Ketika mayit meninggal [ditutup mulutnya] yaitu karena

dikhawatirkan mulutnya terbuka ketika dimandikan dan ketika

dipersiapkan. Sehingga hendaknya ditutup sampai bersatu antara gigi

dan mulutnya” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil

Mukhtasharat, 1/424).

Adapun tata caranya longgar, biasanya dengan menggunakan kain

yang lebar dan panjang diikat melingkar dari dagu hinggake atas

kepalanya, sehingga agar mulutnya tertahan dan tidak bisa terbuka.

3. Melemaskan persendian si mayit

Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:

“Adapun melemaskan persendian, hikmahnya untuk memudahkan

ketika dimandikan. Caranya dengan merentangkan tangannya lalu

ditekuk. Dan direntangkan pundaknya lalu ditekuk. Kemudian pada

tangan yang satunya lagi. Demikian juga dilakukan pada kaki.

Kakinya pegang lalu ditekuk, kemudian direntangkan, sebanyak dua

kali atau tiga kali. Sampai ia mudah untuk dimandikan” (Ad Durar Al

Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/424).

Dan hendaknya berlaku lembut pada mayit.

4. Hendaklah ditutup seluruh badannya dengan kain sebagai

penghormatan kepadanya dan supaya tidak terbuka ‘auratnya.

Berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, beliau mengatakan:

8
‫أَّن رسوَل ِهللا صىَّل ُهللا عليه وسمَّل ِح َني ُتُو َيِّف ِّجُس َي بْرُب ٍد ِح َرَب ٍة‬

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau wafat, beliau

ditutup dengan kain hibrah (sejenis kain Yaman yang bercorak)” (HR.

Bukhari no. 5814, Muslim no. 942)

5. Tidak ada halangan untuk mencium mayat bagi keluarganya atau

sahabat-sahabatnya yang sangat sayang dan berdukacita sebab

matinya.

6. Ahli mayat yang mampu hendaklah dengan segera membayar utang si

mayat jika ia berutang, baik dibayar dari harta peninggalannya atau

dari pertolongan keluarga sendiri.

7. Melepas pakaian yang melekat di badannya

Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:

“[Dilepaskan pakaiannya] yaitu pakaian yang dipakai mayit ketika

meninggal. Disunnahkan untuk dilepaskan ketika ia baru wafat.

Kemudian ditutup dengan rida (kain) atau semisalnya” (Ad Durar Al

Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/424).

Namun orang yang meninggal dunia ketika ihram tidaklah boleh

ditutup wajah dan kepalanya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas

radhiyallahu ‘anhuma di atas.

9
Cara melepaskan pakaiannya jika memang sulit untuk dilepaskan

dengan cara biasa, maka digunting hingga terlepas.

8. Mendoakan keaikan untuk si mayit

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah memejamkan mata

Abu Salamah, beliau berdo’a:

‫اللهم اغفر أليب سلمة وارفع درجته يف املهديني واخلفه يف عقبه يف الغابرين‬

‫واغفر لنا وهل اي رب العاملني وافسح هل يف قربه ونور هل فيه‬

“Ya Allah ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya dan jadikan

ia termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk, dan berilah

ganti yang lebih baik bagi anak keturunannya, dan ampunilah kami

dan dia wahai Rabb semesta alam, luaskanlah kuburnya dan

terangilah” (HR. Muslim no. 920).

Atau boleh juga doa-doa lainnya yang berisi kebaikan untuk mayit.

9. Menutup tempat mandi dari pandangan orang banyak

Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:

“Mayat ditutup dalam suatu ruangan yang tertutup pintu dan

jendelanya. Sehingga tidak terlihat oleh siapapun kecuali orang yang

mengurus pemandian jenazah. Dan tidak boleh dimandikan di

10
hadapan orang-orang banyak” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah

Akhsharil Mukhtasharat, 1/428).

Kemudian mayit ditutup dengan kain pada bagian auratnya terhadap

sesama jenis, yaitu dari pusar hingga lutut bagi laki-laki dan dari dada

hingga lutut bagi wanita.

10. Menyegerakan pengurusan jenazah

Apabila seorang Muslim sudah dipastikan meninggal, maka salah satu

hal yang perlu dilakukan yakni menyegerakan penyelenggaraan

jenazah.

sementara menunda pengurusan jenazah, merupakan perbuatan yang

bertentangan dengan perintah Nabi Muhammad SAW. Rasulullah

SAW bersabda dalam hadits riwayat Abu Hurairah RA:

‫ َأِرْس ُعوا‬: ‫َع ْن َأيِب ُه َر ْيَر َة ريض هللا عنه َع ْن الَّنِّيِب صىل هللا عليه وسمل َقاَل‬

‫اِب ْلِج َناَز ِة َف ْن َتُك َص اِلَح ًة َفَخٌرْي ُتَقِّد ُم وَهَنا َو ْن َيُك ِس َو ى َذ َكِل َفٌّرَش َتَض ُع وَنُه َع ْن‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ِر َقاِبْمُك‬

"Segeralah mengurus jenazah. Karena jika jenazah itu adalah orang

shalih, berarti kalian telah mempercepat kebaikan untuknya. Dan jika

jenazah tersebut selain orang shalih, berarti kalian telah meletakkan

kejelekan di pundak kalian." (HR Bukhari no 1315 dan Muslim no

944).

11
III. Memandikan Jenazah

Setiap orang muslim yang meninggal dunia harus dimandikan,

dikafani dan dishalatkan terlebih dahulu sebelum dikuburkan

terkecuali bagi orang-orang yang mati syahid. Hukum memandikan

jenazah orang muslim menurut jumhur ulama adalah fardhu kifayah.

Artinya, kewajiban ini dibebankan kepada seluruh mukallaf di tempat

itu, tetapi jika telah dilakukan oleh sebagian orang maka gugurlah

kewajiban seluruh mukallaf. Adapun dalil yang menjelaskan

kewajiban memandikan jenazah ini terdapat dalam sebuah hadits

Rasulullah saw. Yakninya:

‫ ىف ا ذل ي سقط عن‬:‫عن ا بن عبا س ا ن ا لنيب صىل ا هلل عليه و سمل قا ل‬

)‫ر ا حلته مفا ت ا غسلو ه مبا ء و سد ر (رواه ا لبخرو مسمل‬

“dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi SAW telah tentang orang

yang jatuh dari kendaraannya lalu mati, “mandikanlah air dan daun

bidara.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Kewajiban mengurus jenazah sejatinya memberi banyak

hikmah bagi seorang muslim, bahkan ketika dia tidak langsung

melakukannya. Rasulullah SAW dalam hadits menjelaskan besarnya

pahala mereka yang menghadiri pengurusan jenazah.

12
‫ َو َمْن َش ِهَد َح ىَّت ُتْد َفَن‬، ‫َمْن َش ِهَد اْلَجَناَز َة َح ىَّت ُيَص َىِّل َعَلَهْيا َفُهَل ِق َري اٌط‬

‫ ِق يَل َو َم ا اْلِقَري اَط اِن َقاَل ِم ْثُل اْلَج َبَلِنْي اْلَع ِظ َميِنْي‬. ‫اَك َن ُهَل ِق َري اَط اِن‬

Artinya: "Barangsiapa yang menghadiri prosesi jenazah

sampai ia menyolatkannya, maka baginya satu qiroth. Lalu

barangsiapa yang menghadiri prosesi jenazah hingga dimakamkan,

maka baginya dua qiroth." Ada yang bertanya, "Apa yang dimaksud

dua qiroth?" Rasulullah SAW menjawab, "Dua qiroth itu semisal dua

gunung yang besar." (HR Bukhari).

Memandikan mayit hukumnya fardhu kifayah. Berdasarkan

hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:

‫ إ ْذ َو َقَع عن‬، ‫بيَنا رجٌل واقٌف مع النِّيب صىَّل ُهللا عليِه وسَمَّل بَع َر َفَة‬

‫ اْغِس لوُه‬: ‫ فقاَل النُّيب صىَّل ُهللا عليِه وسَمَّل‬، ‫ أو قال فَأْقَعَص ْتُه‬، ‫راحلِتِه َفَو َقَص ْتُه‬

‫ وال َخُتِّم روا‬، ‫ وال َحُتِّنُط وُه‬، ‫ َثْو َبْي ِه‬: ‫ أو قاَل‬، ‫ وَكِّفُنوُه يف َثْو َبِنْي‬، ‫مباٍء وِس ْد ٍر‬

‫ فإ َّن َهللا يْب َع ُثُه يوَم القيامِة ُيَليِّب‬، ‫رأَس ُه‬

“Ada seorang lelaki yang sedang wukuf di Arafah bersama

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Tiba-tiba ia terjatuh dari hewan

13
tunggangannya lalu meninggal. Maka Nabi Shallallahu’alaihi

Wasallam bersabda: mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan

kafanilah dia dengan dua lapis kain, jangan beri minyak wangi dan

jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya di hari

Kiamat dalam keadaan bertalbiyah” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim

no. 1206).

Juga hadits dari Ummu ‘Athiyyah radhialahu’anha, ia berkata:

‫ اْغِس ْلهَن ا‬: ‫ خفرج فقال‬، ‫ُتوفيْت إحدى بناِت النِّيب صىَّل ُهللا عليِه وسَمَّل‬

‫ واجعلَن يف‬، ‫ مباٍء وسدٍر‬، ‫ أو أكَرث من ذكل إن رأيَّنُت ذكل‬، ‫ أو مخًس ا‬، ‫ثالاًث‬

‫ فإذا فرغَّنُت فآِذ َّنيِن فلام فرغنا آذانه فألقى إلينا‬، ‫ أو شيًئا من اكفوٍر‬، ‫اآلخرِة اكفوًر ا‬

‫حقوه فضفران شعرها ثالثة قرون وألقيناها خلفها‬

“Salah seorang putri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

meninggal (yaitu Zainab). Maka beliau keluar dan bersabda:

“mandikanlah ia tiga kali, atau lima kali atau lebih dari itu jika kalian

menganggap itu perlu. Dengan air dan daun bidara. Dan jadikanlah

siraman akhirnya adalah air yang dicampur kapur barus, atau sedikit

kapur barus. Jika kalian sudah selesai, maka biarkanlah aku masuk”.

Ketika kami telah menyelesaikannya, maka kami beritahukan kepada

14
beliau. Kemudian diberikan kepada kami kain penutup badannya, dan

kami menguncir rambutnya menjadi tiga kunciran, lalu kami arahkan

ke belakangnya” (HR. Bukhari no. 1258, Muslim no. 939).

Kadar wajib dari mengkafani jenazah adalah sekedar menutup

seluruh tubuhnya dengan bagus. Adapun yang selainnya hukumnya

sunnah. Kecuali orang yang meninggal dalam keadaan ihram, maka

tidak ditutup kepalanya

Yang memandikan mayit hendaknya orang yang paham fikih

pemandian mayit. Lebih diutamakan jika dari kalangan kerabat mayit.

Sebagaimana yang memandikan jenazah Nabi Shallallahu’alaihi

Wasallam adalah Ali radhiallahu’anhu dan kerabat Nabi.

Dan wajib bagi jenazah laki-laki dimandikan oleh laki-laki.

Demikian juga jenazah wanita dimandikan oleh wanita. Karena

Kecuali suami terhadap istrinya atau sebaliknya. Hal ini dikarenakan

wajibnya menjaga aurat.

Kecuali bagi anak yang berusia kurang dari 7 tahun maka

boleh dimandikan oleh lelaki atau wanita.

Syarat bagi orang yang memandikan jenazah:

1. Muslim, berakal, dan baligh

2. Berniat memandikan jenazah

3. Jujur dan sholeh

15
4. Terpercaya, amanah, mengetahui hukum memandikan mayat dan

memandikan sebagaimana yang diajarkan sunnah serta mampu

menutup aib si mayat.

Mayat yang wajib dimandikan:

1. Mayat seorang muslim bukan kafir

2. bukan bayi yang keguguran dan jika lahir dalam keadaan sudah

meninggal tidak dimandikan

3. ada sebagian tubuh mayat yang dapat dimandikan

4. bukan mayat yang mati syahid (mati dalam peperangan untuk

membela agama Allah)

IV. Hal-Hal Yang Harus Dipersiapkan Sebelum Memandikan

Jenazah

Siapkan terlebih dahulu segala sesuatu yang dibutuhkan untuk

keperluan mandinya, seperti:

1. tempat memandikan pada ruangan tertutup.

2. ember, gayung, dan air.

3. kapas.

4. kapur barus.

5. daun bidara/ daun kelor.

16
6. kaos tangan dan sarung tangan kain sesuai dengan jumlah

petugas yang memandikan.

7. Kain penutup mayat 5-6.

8. Handuk.

9. Sabun (lebih baik cair), shampoo, cutton buds.

10. Minyak wangi.

11. Tempat sampah untuk membuang kotoran

12. Kafan yang menyesuaikan keadaan dan jenis kelamin jenazah.

Sebelum memandikan jenazah ada baiknya kita memenuhi

aturan sebelum memandikan jenazah yaitu:

a) Mengikat kepala mayit.

b) Melemaskan persendian si mayit

c) Meletakkan kedua tangan diaatas perut (seperti orang yang

melakukan shalat).

d) Mengikat dan menyatukan persendian lutut.

e) Menyatukan kedua ibu jari kaki.

f) Menghadapkan mayyit kearah kiblat.

V. Tata Cara Memandikan Jenazah

17
Pada mulanya kita sediakan air sebanyak mungkin, air kapur

barus, dan sabun, kain. Kemudian lakukan bacaan niat, ketentuan

bacaan niat yaitu:

1) Jika mayat laki-laki dewasa, lafadz niatnya adalah:

(Nawaitul ghusla lihaadzal mayyit fardhal kifaayati lillaahita’ala).

2) Jika mayat perempuan dewasa:

(Nawaitul ghusla lihaadzal mayyitati fardhal kifaayati lillaahita’ala)

3) Jika mayat kanak-kanak laki-laki:

(Nawaitul ghusla lihaadzal mayyit tifli fardhal kifaayati lillahita’ala)

4) Jika mayat kanak-kanak perempuan:

(Nawaitul ghusla lihaadzal mayyit tiflati fardhal kifaayati lillahita’ala)

Tinggikan kepala jenazah agar air tidak mengalir kearah

kepala. Masukkan jari tangan yang telah dibalut dengan kain basah ke

mulut jenazah, gosok giginya dan bersihkan hidungnya, kemudian

siramkan. Siramkan air kesebelah kanan dahulu kemudian kesebelah

kiri tubuh jenazah.

Setelah itu dudukkan mayit dan tekan-tekan perut, agar

kotoran dalam perut keluar. Dan bersihkan dubur mayit dengan niat

istinja’ bagi mayit. Bacaan niat: nawaitul istinjaa-i minal mayyit

frdhan ‘alayya lillahita’ala. Dan ketika membersihkan “auratnya”,

hendaklah tangan orang yang memandikan dilapisi dengan kain,

karena menyentuh aurat itu hukumnya haram.

Kemudian ambilkan wudhu bagi simayit, dengan bacaan niat:

18
(nawaitul wudhu-a lihaadzal mayyit lillaahita’ala).

Setelah itu hendaklah dimandikan tiga kali dengan air sabun

atau dengan air bidara, dengan memulainya bagian yang kanan. Dan

seandainya tiga kali tidak cukup, misalnya belum bersih maka

hendaklah dilebihinya menjadi lima atau tujuh kali. Rasulullah SAW

bersabda:

‫ اواكرث من ذكل ان رايّنت‬: ‫ثالًاث او مخًس ا او سبعا‬: ‫اغسلهناوترًّا‬

“mandikanlah jenazah-jenazah itu secara (hitungan) ganjil,

tiga, lima, tujuh kali. Atau boleh lebih jika kau pandang perlu”.

Jika telah selesai memandikan mayat, hendaklah tubuhnya

dikeringkan dengan kain atau handuk yang bersih, agar kain kafannya

tidak basah, lalu ditaruh, diatas minyak wangi.

tetapi kalau mayit meninggal ketika sedang ihram, maka harus

dimandikan seperti biasa tanpa dikenai kafur atau lainnya yang berbau

harum.

Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:

‫ وذكل بأن ميد‬،‫وأما تليني مفاصهل فاحلمكة يف ذكل أن تلني عند الغسل‬

‫ وكذكل يفعل‬،‫ وهكذا يفعل بيده األخرى‬،‫ وميد منكبه مث يثنيه‬،‫يده مث يثنهيا‬

‫ فيقبض رجهل ليثنهيا مث ميدها مرتني أو ثالًاث حىت تلني عند الغسل‬،‫برجليه‬

19
“Adapun melemaskan persendian, hikmahnya untuk

memudahkan ketika dimandikan. Caranya dengan merentangkan

tangannya lalu ditekuk. Dan direntangkan pundaknya lalu ditekuk.

Kemudian pada tangan yang satunya lagi. Demikian juga dilakukan

pada kaki. Kakinya pegang lalu ditekuk, kemudian direntangkan,

sebanyak dua kali atau tiga kali. Sampai ia mudah untuk dimandikan”

(Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/424).

Dan hendaknya berlaku lembut pada mayit. Karena Rasulullah

shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

‫َكُرْس َع ْظ ِم اْلَم ِّي ِت َكَكِرْس ِه َح ًّيا‬

“Memecah tulang orang yang telah meninggal dunia adalah

seperti memecahnya dalam keadaan hidup” (HR. Abu Daud no. 3207,

dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Melepas pakaian yang melekat di badannya

Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:

(‫ )وخلع ثيابه‬،‫ الثياب اليت مات فهيا يسن أن ختلع ساعة موته‬:‫يعين‬

‫ويسرت برداء أو حنوه‬

“[Dilepaskan pakaiannya] yaitu pakaian yang dipakai mayit

ketika meninggal. Disunnahkan untuk dilepaskan ketika ia baru wafat.

20
Kemudian ditutup dengan rida (kain) atau semisalnya” (Ad Durar Al

Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/424).

Namun orang yang meninggal dunia ketika ihram tidaklah

boleh ditutup wajah dan kepalanya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas

radhiyallahu ‘anhuma di atas.

Cara melepaskan pakaiannya jika memang sulit untuk

dilepaskan dengan cara biasa, maka digunting hingga terlepas.

Menutup tempat mandi dari pandangan orang banyak

Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:

‫ وال يراه أحد إال‬،‫أن يسرت يف داخل غرفة مغلقة األبواب والنوافذ‬

‫ وال جيوز أن يغسل أمام الناس‬،‫اذلين يتولون تغسيهل‬

“Mayat ditutup dalam suatu ruangan yang tertutup pintu dan

jendelanya. Sehingga tidak terlihat oleh siapapun kecuali orang yang

mengurus pemandian jenazah. Dan tidak boleh dimandikan di

hadapan orang-orang banyak” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah

Akhsharil Mukhtasharat, 1/428).

Kemudian mayit ditutup dengan kain pada bagian auratnya

terhadap sesama jenis, yaitu dari pusar hingga lutut bagi laki-laki dan

dari dada hingga lutut bagi wanita.

21
‫‪Teknis pemandian‬‬

‫‪Disebutkan dalam Matan Akhsharil Mukhtasharat:‬‬

‫نوى ومسى وهام كفي غسل ّيَح َّمث يرفع راس غري َح اِم ل اىل قرب‬

‫ُج ُلوس ويعرص َبْط نه ِبِر ْفق َو يكرث اَملاء ِح يَنِئٍذ َّمث يلف عىل َيده خرَقة فينجيه َهبا‬

‫َو حرم مس َع وَر ة من ُهَل سبع‬

‫َّمث يْد خل اصبعيه َو َعَلَهْيا خرَقة مبلوةل يِف َفمه فميسح اسنانه َو يِف َمْنخَر ْيِه‬

‫فينظفهام ِباَل ادخال َم اء َّمث يوضئه َو يغسل راسه وحليته برغوة السدر وبدنه بثفهل‬

‫َّمث يِفيض َعَلْي ِه اَملاء َو سن تثليث وتيامن وامرار َيده لك مّر ة عىل َبْط نه فان مل‬

‫ينق َز اد َح ىَّت ينقى َو كره اْقِتَص ار عىل مّر ة َو َم اء َح ار وخالل واشنان ِباَل َح اَج ة‬

‫وترسحي شعره‬

‫َو سن اكفور َو سدر يِف الاخرية وخضاب شعر وقص َش اِر ب وتقلمي‬

‫اظفار ان طاال‬

‫‪“Berniat dan membaca basmalah, keduanya wajib ketika‬‬

‫‪mandi untuk orang hidup. Kemudian angkat kepalanya jika ia bukan‬‬

‫‪wanita hamil, sampai mendekati posisi duduk. Kemudian tekan-tekan‬‬

‫‪perutnya dengan lembut. Perbanyak aliran air ketika itu, kemudian‬‬

‫‪22‬‬
lapisi tangan dengan kain dan lakukan istinja (cebok) dengannya.

Namun diharamkan menyentuh aurat orang yang berusia 7 tahun (atau

lebih). Kemudian masukkan kain yang basah dengan jari-jari ke

mulutnya lalu gosoklah giginya dan kedua lubang hidungnya.

Bersihkan keduanya tanpa memasukkan air. Kemudian lakukanlah

wudhu pada mayit. Kemudian cucilah kepalanya dan jenggotnya

dengan busa dari daun bidara. Dan juga pada badannya beserta bagian

belakangnya. Kemudian siram air padanya. Disunnahkan diulang

hingga tiga kali dan disunnahkan juga memulai dari sebelah kanan.

Juga disunnahkan melewatkan air pada perutnya dengan tangan. Jika

belum bersih diulang terus hingga bersih. Dimakruhkan hanya

mencukupkan sekali saja, dan dimakruhkan menggunakan air panas

dan juga daun usynan tanpa kebutuhan. Kemudian sisirlah rambutnya

dan disunnahkan air kapur barus dan bidara pada siraman terakhir.

Disunnahkan menyemir rambutnya dan memotong kumisnya serta

memotong kukunya jika panjang”.

Janin yang keguguran

Janin yang mati karena keguguran dan telah berumur lebih

dari empat bulan, maka dimandikan dan dishalatkan. Jika 4 bulan atau

kurang maka tidak perlu. Berdasarkan hadits dari Al Mughirah bin

Syu’bah secara marfu’:

‫والِّس قُط ُيصىِّل عليه وُيدَع ى لواَدل يه ابملغفرِة والرمحِة‬

23
“Janin yang mati keguguran, dia dishalatkan dan

dido’akanampunan dan rahmat untuk kedua orang tuanya” (HR. Abu

Dawud no. 3180, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:

‫ وإ منا يلف‬،‫ الصحيح أنه ال يكفن‬:‫السقط اذلي معره دون أربعة أشهر‬

‫ فإذا متت هل أربعة أشهر فإنه‬،‫ وليس هل حمك اإلنسان‬،‫ويدفن يف ماكن طاهر‬

‫ ويصىل عليه‬،‫ ويكفن‬،‫ فيغسل‬،‫يعامل اكحلي‬

“Janin yang mati keguguran jika di bawah empat bulan maka

yang shahih ia tidak dikafani. Namun ia dilipat dan dikuburkan di

tempat yang bersih. Dan ia tidak diperlakukan sebagaimana manusia.

Jika sudah berusia 4 bulan (atau lebh) maka diperlakukan

sebagaimana manusia yang hidup, yaitu dimandikan, dikafani dan

dishalatkan” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil

Mukhtasharat, 1/435).

VI. Yang Berhak Memandikan Jenazah

24
Syarat-syarat orang yang memandikan jenazah sendiri

sebetulnya sempat disinggung Rasulullah SAW dalam haditsnya,

‫ِلَيْغِس ْل َم ْو اَت ْمُك اْلَم ْأُم ْو ُنْو َن‬

Artinya: "Hendaklah jenazah-jenazah kalian dimandikan oleh

orang yang dapat dipercaya." (HR Ibnu Majah).

Yang memandikan mayit hendaknya orang yang paham fikih

pemandian mayit. Lebih diutamakan jika dari kalangan kerabat mayit.

Sebagaimana yang memandikan jenazah Nabi Shallallahu’alaihi

Wasallam adalah Ali radhiallahu’anhu dan kerabat Nabi. Ali

mengatakan:

‫ فذَهبُت أنُظ ُر ما يكوُن مَن‬, ‫غسلُت رسوَل ِهللا صىَّل ُهللا عليه وسمَّل‬

‫ وويل دفَنه وإ جناَنه دوَن الناِس أربعٌة‬, ‫ واكن طيًبا حًّيا وميًتا‬, ‫امليِت فمل أَر شيًئا‬

‫ وصاٌحل موىل رسوِل ِهللا‬, ‫ والفضُل بُن العباِس‬, ‫ والعباُس‬, ‫ عُّيل بُن أيب طالٍب‬:

‫صىَّل ُهللا عليه وسمَّل وأحلَد لرسوِل ِهللا صىَّل ُهللا عليه وسمَّل حلًد ا وُنِص َب عليه‬

‫اللُنب َنصًبا‬

“Aku memandikan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Dan aku memperhatikan jasad beliau seorang tidak ada celanya. Jasad

beliau bagus ketika hidup maupun ketika sudah wafat. Dan yang

menguburkan beliau dan menutupi beliau dari pandangan orang-orang

25
ada empat orang: Ali bin Abi Thalib, Al Abbas, Al Fadhl bin Al

Abbas, dan Shalih pembantu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Aku juga membuat liang lahat untuk Rasulullah Shallallahu’alaihi

Wasallam dan di atasnya diletakkan batu bata” (HR. Ibnu Majah no.

1467 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Dan wajib bagi jenazah laki-laki dimandikan oleh laki-laki.

Demikian juga jenazah wanita dimandikan oleh wanita. Karena

Kecuali suami terhadap istrinya atau sebaliknya. Hal ini dikarenakan

wajibnya menjaga aurat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

ditanya:

‫اي رسوَل اِهَّلل عوراُتنا ما نأيت مهنا وما نَذ ُر قاَل احَفْظ عورَتَك إ اَّل من‬

‫زوجِتَك أو ما ملكت مييُنَك‬

“Wahai Rasulullah, mengenai aurat kami, kepada siapa boleh

kami tampakkan dan kepada siapa tidak boleh ditampakkan?

Rasulullah menjawab: “tutuplah auratmu kecuali kepada istrimu atau

budak wanitamu” (HR. Tirmidzi no. 2794, dihasankan Al Albani

dalam Shahih At Tirmidzi).

Kecuali bagi anak yang berusia kurang dari 7 tahun maka

boleh dimandikan oleh lelaki atau wanita.

4 kelompok orang yang paling berhak memandikan jenazah

1. Orang yang sudah diwasiatkan

26
Jika jenazah sebelum meninggal telah berwasiat kepada

seseorang untuk memandikannya. Maka, orang yang tertulis dalam

wasiatnya tersebut yang paling berhak memandikannya, bahkan lebih

berhak dari keluarga jenazah sendiri.

2. Orang yang memiliki hubungan baik dengan jenazah

Orang yang dilarang memandikan jenazah adalah orang yang

memiliki dendam. Atau pun mereka yang pernah memiliki riwayat

pertikaian dengan jenazah meskipun orang yang bersangkutan adalah

saudaranya atau anggota keluarga jenazah sendiri.

3. Orang berilmu yang ditunjuk keluarga

Bila keluarga jenazah merasa keberatan dan tidak mampu

memandikan jenazah, maka keluarganya diizinkan untuk memilih

orang lain. Orang yang dimaksud adalah mereka yang dianggap lebih

memahami ilmu dan hukum-hukumnya berikut dapat dipercaya.

4. Orang yang sholeh

Masih berkaitan dengan yang telah dibahas sebelumnya, orang

yang memandikan jenazah diutamakan adalah orang yang

27
berpengetahuan seputar ilmu merawat jenazah, jujur, dan sholeh.

Kemudian, yang paling utama juga, orang yang memandikan ini

adalah mereka yang dapat dipercaya untuk menjaga rahasia dan

menjaga hal-hal buruk pada jenazah.

Mengenai hal ini, Rasulullah SAW pernah bersabda dalam

haditsnya yang diceritakan oleh Yahya bin Al Jazzar dari istri

Rasulullah, Aisyah RA. Berikut haditsnya,

‫َع ْن َعاِئَش َة َقاَلْت َقاَل َر ُس وُل اِهَّلل َص ىَّل اُهَّلل َعَلْي ِه َو َس َمَّل َمْن َغَّس َل َم ِّي ًتا‬

‫َفَأَّدى ِف يِه اَأْلَم اَنَة َو َلْم ُيْفِش َعَلْي ِه َم ا َيُكوُن ِم ْنُه ِع ْنَد َذ َكِل َخ َر َج ِم ْن ُذ ُنوِبِه َكَيْو ِم‬

‫َو َدَل ْتُه ُأُّم ُه َقاَل ِلَيِهِل َأْقَر ُبْمُك ِم ْنُه ْن اَك َن َيْعُمَل َف ْن اَك َن اَل َيْعُمَل َفَم ْن َتَر ْو َن َأَّن ِع ْنَد ُه‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫امحد‬- ‫َح ًّظ ا ِم ْن َو َر ٍع َو َأَم اَنٍة‬-

Artinya: Aisyah RA berkata, "Barangsiapa yang memandikan

jenazah, maka ia menunaikan amanat itu dan ia tidak membuka

(rahasianya) kepada orang lain apa-apa yang dilihat pada mayat itu.

Yang demikian itu baginya telah keluar (bersih) segala dosanya

sebagaimana di waktu dilahirkan ibunya. Kemudian Rasulullah SAW

bersabda, "Dan hendaklah yang mengaturnya keluarga sendiri yang

terdekat jika mereka mengetahui (cara memandikan jenazah), jika

tidak dapat, siapa saja yang dipandang berhak karena wara'nya dan

dapat dipercaya," (HR Ahmad).

28
Kalau mayat itu laki-laki, hendaklah yang meamandikannya

laki-laki pula, tidak boleh perempuan memandikan mayat laki-laki

kecuali istri dan muhrimnya. Sebaliknya jika mayat itu perempuan,

hendaklah dimandikan oleh perempuan pula, tidak boleh laki-laki

memandikan perempuan kecuali suami dan muhrimnya.

Jika suami dan muhrim sama-sama ada, suami lebih berhak

untuk memandikan istrinya, begitu juga jika istri dan muhrim sama-

sama ada, maka istri lebih berhak untuk memandikan suaminya.

Bila meninggal seorang perempuan, dan ditempat itu tidak ada

perempuan, suami, atau muhrimnya pun tidak ada, maka mayat itu

hendaklah “ditayammumkan” saja., idak dimandikan oleh laki-laki

yang lain. Begitu juga jika meninggal seorang laki-laki, sedangkan

disana tidak ada laki-laki, istri atau muhrimnya, maka mayat itu

hendaklah ditayammumkan saja.

Kalau mayat kanak-kanak laki-laki, maka boleh perempuan

memandikannya, begitu juga kalau mayat kanak-kanak perempuan,

boleh pula laki-laki memandikannya.

Jika ada beberapa orang yang berhak yang memandikan, maka

yang lebih berhak ialah keluarga yang terdekat kepada mayat kalau ia

mengetahui akan kewajiban mandi serta dipercayai. Kalau tidak,

berpindahlah hak kepada yang lebih jauh yang berpengetahuan serta

amanah (dipercayai).

29
Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫َمْن َغَّس َل َم ِّي ًتا َفْلَيْغَتِس ْل َو َمْن َمَحُهَل َفْلَيَتَو َّض ْأ‬

“Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan

barangsiapa yang memikul jenazah, maka hendaklah dia wudhu“. (HR Abu

Dawud no. 3161 dihasankan Al Albani dalam Ahkamul Janaiz no. 71).

VII. Mengkafani Jenazah

Mengkafani mayit hukumnya sebagaimana memandikannya,

yaitu fardhu kifayah. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas

radhiallahu’anhu tentang orang yang meninggal karena jatuh dari

untanya, di dalam hadits tersebut Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

bersabda:

“Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah

dia dengan dua lapis kain” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Pakailah pakaian yang berwarna putih dan kafanilah mayit

dengan kain warna putih. Karena itu adalah sebaik-baik pakaian

kalian” (HR. Abu Daud no. 3878, Tirmidzi no. 994, dishahihkan Al

Albani dalam Shahih Al Jami no.1236).

30
Kadar wajib dari mengkafani jenazah adalah sekedar menutup

seluruh tubuhnya dengan bagus. Adapun yang selainnya hukumnya

sunnah. Kecuali orang yang meninggal dalam keadaan ihram, maka

tidak ditutup kepalanya.

Mengkafani jenazah adalah menutupi atau membungkus

jenazah dengan sesuatu yang dapat menutupi tubuhnya walau hanya

sehelai kain. Hukum mengkafani jenazah muslim dan bukan mati

syahid adalah fardhu kifayah.

Kafan diambilkan dari harta si mayat sendiri jika ia

meninggalkan harta, kalau ia tidak meninggalkan harta, maka

kafannya wajib atas orang yang wajib memberi belanjananya ketika ia

hidup. Kalau yang wajib memberi belanja itu tidak pula mampu,

hendaklah diambilkan dari baitul mal, dan diatur menurut hukum

agama islam. Jika baitul mal tidak ada atau tidak teratur, maka wajib

atas orang muslim yang mampu. Demikian pula belanja lain-lain yang

bersangkutan dengan keperluan mayat.

Hal-hal yang disunnahkan dalam mengkafani jenazah adalah:

a. Kain kafan yang digunakan hendaknya kain kafan yang bagus,

bersih, dan menutupi seluruh tubuh mayat.

b. Kain kafan hendaknya berwarna putih.

Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha ia berkata:

31
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dikafankan dengan 3

helai kain putih sahuliyah dari Kursuf, tanpa gamis dan tanpa

imamah” (HR. Muslim no. 941).

Jumlah kain kafan untuk mayat laki-laki hendaknya 3 lapis

kain, tiap-tiap lapis menutupi sekalian badannya. Sebagian ulama

berpendapat, satu dari tiga lapis itu hendaklah izar (kain mandi), dua

lapis menutupi sekalian badannya.

Cara mengafani:

a. Dihamparkan sehelai-sehelai dan ditaburkan diatas tiap-tiap

lapis itu harum-haruman seperti kapur barus dan sebagainya.

b. Lantas mayat diletakkan diatasnya sesudah diberi kapur barus

dan sebagainya. Kedua tangannya diletakkan diatas dadanya,

tangan kanan diatas tangan kiri, atau kedua tangan itu

diluruskan menurut lambungnya (rusuknya).

c. Tutuplah lubang-lubang (hidung, telinga, mulut, kubul dan

dubur) yang mungkin masih mengeluarkan kotoran dengan

kapas.

d. Selimutkan kain kafan sebelah kanan paling atas, kemudian

ujung lembar sebelah kiri. Selanjutnya, lakukan seperti ini

selembar demi selmbar dengan cara yang lembut.

e. Ikatlah dengan tali yang sudah disiapkan sebelumnya di bawah

kain kafan tiga atau lima ikatan.

32
Untuk kain kafan mayat perempuan terdiri dari 5 lembar kain

kafan, yaitu terdiri dari:

Lembar pertama berfungsi untuk menutupi seluruh badan.

Lembar kedua berfungsi sebagai kerudung kepala.

Lembar ketiga berfungsi sebagai baju kurung.

Lembar keempat berfungsi sebagai untuk menutup pinggang

hingga kaki.

Lembar kelima berfungsi untuk menutup pinggul dan paha.

Cara mengafani:

a. Susunlah kain kafan yang sudah dipotong-potong untuk

masing-masing bagian dengan tertib.

b. Angkatlah jenazah dalam keadaan tertutup dengan kain dan

letakkan diatas kain kafan sejajar, serta taaburi dengan wangi-

wangian atau kapur barus.

c. Tutuplah lubang-lubang yang mungkin masih mengeluarkan

kotoran dengan kapas.

d. Tutupkan kain pembungkus pada kedua pahanya.

e. Pakaikan sarung.

f. Pakaikan baju kurung.

g. Dandani rambutnya dengan tiga dandanan, lalu julurkan

kebelakang.

h. Pakaikan kerudung.

33
i. Membungkus dengan lembar kain terakhir dengan cara

menemukan kedua ujung kain kiri dan kanan lalu digulungkan

kedalam.

j. Ikat dengan tali pengikat yang telah disiapkan.

VIII. Membaikkan pemakaian kain kafan

Kafan yang baik maksudnya baik sifatnya dan baik cara

memakainya, serta terbuat dari bahan yang baik. Sifat-sifatnya telah

diterangkan, yaitu kain yang putih, begitu pula cara memakaikannya

dengan baik. Adapun baik yang tersangkut dengan dasar kain ialah,

jangan sampai berlebih-lebihan memilih dasar kain yang mahal-mahal

harganya. Sabda rasulullah saw:

‫ التغالواىف‬:‫عن عىل بن اىب طالب قال رسول هللا صىل الهه عليه وسمل‬

‫ رواه أبوداود‬.‫الكفن فانه يسلب رسيعا‬

Dari ‘ali bin abi thalib: “Berkata Rasulullah saw: Janganlah

kamu berlebih-lebihan memilih kain yang mahal-mahal untu kafan,

karena sesungguhnya kafan itu akan hancur dengan seegera.

IX. Bagaimana Mengurus Jenazah Yang Tidak Boleh Dimandikan?

Apabila tidak ada air untuk memandikan mayit, atau

dikhawatirkan akan tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau

mayat tersebut seorang wanita di tengah-tengah kaum lelaki,

34
sedangkan tidak ada mahramnya atau sebaliknya, maka mayat

tersebut di tayammumi dengan tanah (debu) yang baik, diusap wajah

dan kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau yang lainnya.

Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:

(‫ فيرضب أحدمه يديه )وإ ذا تعذر غسل ميت ميم‬،‫وذكل ألجل املشقة‬

‫ وميثلون ذلكل‬،‫ ويقوم مقام الغسل‬،‫ وميسح كفيه‬،‫ وميسح وهجه‬،‫ابلرتاب‬

‫ وكذكل من‬،‫ فال يستطيعون أن يغسلوه‬،‫ابحملرتق اذلي إذا غسل متزق محله‬

‫ حبيث إنه إذا صب عليه املاء متزق‬،‫ وجدلته بشعة‬،‫اكن يف بدنه جروح كثرية‬

‫ ومتزق محله؛ فال يغسل واحلاةل هذه‬،‫جدله‬

“[Jika ada udzur untuk dimandikan, maka mayit di-

tayammumi], yaitu karena adanya masyaqqah. Maka salah seorang

memukulkan kedua tangannya ke debu kemudian diusap ke wajah dan

kedua telapak tangannya. Ini sudah menggantikan posisi mandi.

Misalnya bagi orang yang mati terbakar dan jika dimandikan akan

rusak dagingnya, maka tidak bisa dimandikan. Demikian juga orang

yang penuh dengan luka dan kulitnya berantakan. Jika terkena

dimandikan dengan air maka akan robek-robek kulitnya dan

dagingnya. Maka yang seperti ini tidak dimandikan” (Ad Durar Al

Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/435-436).

35
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sedikitnya pernah

mengeluarkan dua fatwa tentang proses mengurus jenazah yang tidak

boleh dimandikan. Fatwa pertama adalah pedoman pengurusan

jenazah pasien COVID-10 nomor 18/2020.

"Setelah jenazah karena dlarurah syar'iyah tidak dimandikan

atau ditayamumkan, maka dikafani dengan kain yang menutup

seluruh tubuh dan dimasukkan ke dalam kantong jenazah yang aman

dan tidak tembus air untuk mencegah penyebaran virus dan menjaga

keselamatan petugas," tulis fatwa tersebut.

Fatwa lainnya dikeluarkan pada 31 Desember 2004 saat terjadi

bencana tsunami Aceh dengan korban yang sangat banyak. Dalam

fatwa bernomor 34/2004 tersebut, jenazah boleh tidak dimandikan

namun sebaiknya diguyur sebelum dikubur jika memungkinkan.

Pakaian yang melekat pada mayat atau kantong mayat dapat

menjadi kafan bagi jenazah, walaupun terkena najis. Jenazah wajib

segera dikubur dan boleh dishalati sesudahnya walaupun dari jarak

jauh dengan salat ghaib.

36
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Sepanjang uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya manusia

sebagi makhluk yang mulia di sisi Allah SWT dan untuk menghormati

kemuliannya itu perlu mendapat perhatian khusus dalam hal penyelenggaraan

jenazahnya. Dimana, penyelengaraan jenazah seorang muslim itu hukumnya

adalah fardhu kifayah. Artinya, kewajiban ini dibebankan kepada seluruh

mukallaf di tempat itu, tetapi jika telah dilakukan oleh sebagian orang maka

gugurlah kewajiban seluruh mukallaf.

Adapun 4 perkara yang menjadi kewajiban itu ialah

Memandikan

Mengkafani

Menshalatkan

Menguburkan

Adapun hikmah yang dapat diambil dari tata cara pengurusan jenazah, antara

lain:

Memperoleh pahala yang besar.

Menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi diantara sesama muslim.

37
Membantu meringankan beban kelurga jenazah dan sebagai ungkapan

belasungkawa atas musibah yang dideritanya.

Mengingatkan dan menyadarkan manusia bahwa setiap manusia akan mati

dan masing-masing supaya mempersiapkan bekal untuk hidup setelah mati.

Sebagai bukti bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia, sehingga

apabila salah seorang manusia meninggal dihormati dan diurus dengan

sebaik-baiknya menurut aturan Allah SWT dan RasulNya.

38
DAFTAR PUSTAKA

Mas’ud, Ibnu & Abidin, Zainal S. 2000. fiqh mazhab syafi’i, Bandung:

Pustaka Setia

Nawawi, Imam, al-jana’iz, Beirut: Dar al-fikr,tt

Rasyid, sulaiman. 1987. Fiqih islam. Bandung: Sinar Baru

39

Anda mungkin juga menyukai