Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

JUM’AT
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH FIKIH 1
DOSEN PENGAMPU : MOH. IRFAN, S.Pd, M.HI.

OLEH :
Amalia Nur Atiqoh (202004010007)
Ayu Eka Rizki AG (202004010012)
Rodotul Jannah (202004010015)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS DARUL ULUM JOMBANG
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-nya kepada kita semua berupa, ilmu dan amal.
Berkat rahmat dan karunia-nya pula, penyusun dapat menyelesaikan makalah
agama islam yang insyaallah tepat pada waktunya.

Terimakasih penyusun ucapkan kepada Bapak Moh. Irfan, S.Pd, M.HI.


Selaku dosen Mata Kuliah Fikih 1, yang telah memberikan arahan terkait tugas
makalah ini. Tanpa bimbingan dari beliau mungkin, penyusun tidak akan dapat
menyelesaikan tugas ini sesuai dengan format yang telah di tentukan.
Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan
makalah untuk kedepannya. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi
peneliti dan pembaca.

Jombang, 22 Mei 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
A. Pengertian Sholat Jum’at...........................................................................3
B. Sejarah Shalat Jum’at................................................................................4
C. Hukum Shalat Jum’at................................................................................6
D. Kedudukan Sholat Jum’at terhadap Shalat Dzuhur...................................9
E. Waktu Pelaksanaan Shalat Jumat............................................................12
F. Jumlah Jamaah Shalat Jum’at.....................................................................17
G. Keutamaan dan Arti Penting Hari Jum’at...............................................18
H. Kewajiban Mengerjakan Shalat Jum’at...................................................20
I. Syarat Menunaikan Shalat Jum’at...............................................................21
J. Tempat Penyelenggaraan Shalat Jum’at.....................................................27
K. Adzan dan Khutbah.................................................................................28
L. Hikmah Shalat Jum’at.............................................................................36
BAB III PENUTUP...............................................................................................37
A. Kesimpulan..............................................................................................37
Saran...................................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................38

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Shalat Jum'at adalah ibadah shalat yang dikerjakan di hari jum'at dua
rakaat secara berjamaah dan dilaksanakan setelah khutbah. Shalah Jum'at
memiliki hukum wajib 'ain bagi setiap muslim laki-laki atau pria dewasa
beragama islam, merdeka sudah mukallaf, sehat badan serta muqaim (bukan
dalam keadaan mussafir) dan menetap di dalam negeri atau tempat tertentu.
Allah telah menganugerahkan bermacam-macam keistimewaan dan
keutamaan kepada umat. Diantara keistimewaan itu adalah hari Jum’at, setelah
kaum Yahudi dan Nasrani dipalingkan darinya. Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata:
“Hari ini dinamakan Jum’at, karena artinya merupakan turunan dari kata al-jam’u
yang berarti perkumpulan, karena umat Islam berkumpul pada hari itu setiap
pekan di balai-balai pertemuan yang luas. Allah SWT memerintahkan hamba-
hamba-Nya yang mukmin berkumpul untuk melaksanakan ibadah kepada-Nya.
Allah berfirman yang Artinya :
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,
Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli.yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S. Al-
Jumuah: 9)
Maksudnya adalah apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah
azan di hari Jum'at, maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan
muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya.
Di dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW. Bersabda yang atinya :“Sebaik-
baik hari di kala matahari terbit ialah hari jum’at. Pada hari inilah Nabi Adam AS
diciptakan. Pada hari ini pula, Ia dimasukan kedalam surga. Dan tidaklah hari
kiamat akan terjadi kecuali pada hari jum’at”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Shalat Jum’at?

1
2. Apa hukum Shalat Jum’at?
3. Apa kewajiban mengerjakan shalat Jum’at?
4. Bagaimana orang-orang yang berkewajiban menunaikan Shalat Jum’at?
5. Bagaimana waktu dan tempat penyelenggaraan shalat Jum’at?
6. Bagaimana syarat sah dan rukun Khutbah?
7. Bagaiman Hikamh Shalat Jum’at?

C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Shalat Jm’at
2. Mengetahui hukum Shalat Jum’at.
3. Mengetahui Kewajiban Mengerjakan Shalat Jum’at.
4. Mengetahui orang-orang yang berkewajiban menunaikan shalat Jum’at.
5. Mengetahui waktu dan tempat penyelenggaraan shalat Jum’at.
6. Mengetahui syarat sah dan rukun Khutbah.
7. Mengetahui hikmah shalat Jum’at.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sholat Jum’at


Kata Jum’at berasal dari kata Jumu’ah yang artinya berkumpul atau
berjamaah, karena pada hari Jum’at umat Islam yang laki-laki dewasa diwajibkan
untuk melaksankan shalat Jum’at bersama-sama, baik di masjid maupun di
tempat-tempat yang di pandang layak untuk melaksanakan shalat Jum’at seperti
di aula kantor dan sebagainya. 1
Dibawah ini beberapa pengertian shalat Jum’at :
1. Shalat Jum’at adalah shalat wajib dua raka’at yang dilaksanakan dengan
berjamaah diwaktu Zuhur dengan didahului oleh dua khotbah.2
2. Shalat Jum’at adalah wajib atas semua laki-laki yang merdeka, dewasa,
tidak sedang berpergian, yang tidak punya alasan sah (untuk tidak
mengikuti shalat)3
3. Shalat Jum’at adalah ibadah shalat yang dikerjakan di hari Jum’at dua
rakaat secara berjamaah dan dilaksanakan setelah khotbah.4
4. Shalat Jum’at adalah shalat wajib yang dikerjakan pada hari Jum’at.
Waktunya sama seperti shalat Zuhur. Jumlah bilangan rakaatnya adalah
dua rakaat. Sebelum menunaikan shalat, imam memberikan khotbah
kepada para jamaah sebanyak dua khotbah.5
5. Shalat Jum’at adalah salah satu amal ibadah yang paling penting dalam
agama Islam. Ia merupakakan amal yang sangat di ridhai Allah. Apabila
dilaksanakan dengan sempurna, maka ia menjadi tebusan bagi
pelakunya. Ia menghapuskan dosa-dosa kecil yang dilakukan selama
jangka waktu sepuluh hari. Begitu besar kasih sayang Allah sehingga
melalui satu amal ibadah ini, Allah akan mengabaikan dan memaafkan
banyak sekali dosa yang telah dilakukan seseorang. 6

1
M.S. Tajul Khalwaty, Menyibak Kemuliaan Hari Jum’at, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hal. 3
2
Umay M. Dja’far Shiddieq, Syari’ah Ibadah, (Jakarta: Pusat: al-Ghuraba, 2006), hal. 75.
3
Abu Bakr Ibn al-Mundzir, al-Ijma’ (ad-Doha: Dar ats-Tsaqafah, 1987). hal 38
4
Djamaludin Ar-Raut, Shalat Jum’at Yang Sia-Sia Tanpa Pahala..., hal. 119.
5
Imam Musbikin, Manusia di Balik Kewajiban Shalat Jum’at, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2008),
hal. 80.
6
Jamal ad-Din M. Zarabozo, Jum’at Sujud Pilihan Insan Takwa, (Jakarta: Cendekia 2002), hal. 12

3
Shalat jum’at merupakan kewajiban bagi setiap muslim laki-laki yang
telah dewasa, yang waktunya tepat pada waktu zhuhur. Shalat jum’at
pelaksanaannya harus dengan berjama’ah bersama sejumlah kaum muslimin di
suatu tempat. pada hakikatnya salat jum’at ini merupakan pengganti salat zhuhur,
sehingga seseorang melakukan shalat jum’at di masjid ia tidak perlu lagi
melakukan shalat zhuhur.
B. Sejarah Shalat Jum’at
Sesungguhnya shalat Jum’at sudah diperintahkan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad semenjak beliau masih di Mekkah (sebelum hijrah), akan tetapi
selama di Mekkah belum dapat dikerjakan, dan baru setelah hijrah ke Madinah
bisa dikerjakan. Hadits-hadits sahih menjelaskan, bahwa permulaan Rasulullah
mengerjakan shalat Jum’at, yaitu ketika di Madinah.7
Hari yang dimaksudkan oleh Allah tersebut oleh kalangan Arab waktu itu
dinamakan “Arubah”. Muhammad Ibnu Sirin, ahli sejarah Islam, menyatakan:
“Penduduk Madinah berkumpul mengadakan musyawarah menetapkan hari
Arubah sebagai hari besar sebelum mengajukannya kepada Rasulullah. Dalam
pertemuan itu, kalangan Anshar berkata: Sungguh, orang-orang Yahudi
mempunyai hari besar untuk berkumpul setiap tujuh hari, orang-orang Nasrani
juga mempunyai satu hari besar untuk mengadakan perkumpulan, apakah tidak
sebaiknya kita juga menjadikan satu hari dimana pada hari itu kita bisa
berkumpul untuk berzikir kepada Allah, shalat dan bersyukur kepada Allah.
Maka pada saat itu mereka sepakat menjadikan hari Arubah sebagai hari besar
untuk berkumpul. Dan mereka kemudian menuju rumah As’ad bin Zurarah untuk
berkumpul disana dan mengadakan shalat 2 rakaat pada hari itu. As’ad bin
Zurarah (Abu Umamah) pada hari itu memotong kambing untuk makan bersama
setelah shalat. Inilah sebenarnya shalat Jum’at pertama dalam Islam yang tidak
dihadiri oleh Rasulullah.8 Sesudah itu Allah menurunkan wahyu:

‫ٰٓي َاُّي َه ا اَّلِذ ْي َن ٰا َم ُنْٓو ا ِاَذ ا ُنْو ِدَي ِللَّص ٰل وِة ِم ْن َّيْو ِم اْلُجُمَعِة َفاْس َع ْو ا ِاٰل ى ِذ ْك ِر ِهّٰللا‬
‫َو َذ ُروا اْلَب ْي َۗع ٰذ ِلُك ْم َخ ْيٌر َّلُك ْم ِاْن ُكْنُتْم َت ْع َلُمْو َن‬
Artinya:
7
Husain bin ‘Ali bin Abdurrahman Asy-Syaqrawi, Jangan Sepelekan Shalat Jum’at, (Solo:
Pustaka Iltizam. 2009), hal. 59.
8
Saifuddin Aman, Jum’at Hari Bertabur Kebajikan, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2011), hal.19-20

4
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat
pada hari Jum‘at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al-
Jumu’ah: 6)
Di dalam tafsir Al- Misbah, ayat diatas menyatakan: Hai orang-orang yang
beriman, apabila diseru yakni dikumandangkan adzan oleh siapapun untuk shalat
pada Zuhur hari Jum’at, maka bersegeralah kuatkah tekat dan langkah, jangan
bermalas-malasan apalagi mengabaikannya, untuk menuju dzikrullah menghadiri
shalat dan khotbah Jum’at, dan tinggalkanlah jual beli yakni segala macam
interaksi dalam bentuk dan kepentingan apapun bahkan semua yang dapat
mengurangi perhatian terhadap upacara shalat Jum’at. Demikian itulah yakni
menghadiri acara Jum’at, yang baik bagimu jika kamu mengetahui kebaikannya
pastilah kamu mengindahkan perintah ini.9
Merujuk ayat di atas, para ulama menyimpulkan bahwa kandungan hukum
berikut:
1. Jum’at wajib ‘ain bagi yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan.
Orang yang meniggalkannya tanpa udzur adalah dosa besar.
2. Bila sudah dikumandangkan adzan Jum’at, wajib segera untuk mendengar
khotbah dan menunaikan shalat Jum’at.
3. Sesudah adzan Jum’at berkumandang haram hukumnya bagi yang wajib
Jum’at melakukan kegiatan yang bersifat duniawi seperti jual beli atau
pekerjaan lainnya.10
Maksud dari ayat di atas adalah Allah Azza wa Jalla memerintahkan para
hamba-Nya kaum Mukminin untuk menghadiri shalat Jum’at, dan bersegera kamu
kepada mengingat Allah (shalat Jum’at) mendatanginya ketika panggilan adzan
dikamandangkan. Bersegera disini yaitu memperhatikannya dengan baik dan tidak
sibuk sendiri dengan yang lain sehingga melalaikannya, bukan maksud berjalan
cepat (berlari) untuk mendatanginya karena hal itu dilarang oleh Nabi Muhammad
saat seseorang mendatangi shalat.

9
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah : Pesan. Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati,
2002), hal. 230
10
3 Ahmad Ibn Hambal, Hadits, (Bairut Muassasah al- Risalah 199) , hal. 299.

5
Rasulullah mengetahui hal tersebut dari Allah, sementara beliau sendiri
sedang di Mekkah. Artinya, beliau tidak mungkin shalat Jum’at, karena masih di
Makkah dimana kondisinya belum memungkinkan. Kemudian pada saat hijrah,
sebelum tiba di Madinah, beliau singgah di daerah Quba’ dan tinggal dirumah
Bani Amr bin Auf mulai hari senin hingga kamis. Ditempat ini Rasulullah
mendirikan masjid yang kita kenal sampai sekarang yaitu masjid Quba’.11
Sejak di Quba, Nabi dan sahabat Abi Bakar, memulai membangun masjid
yang pertama kali didunia Islam, terkenal dengan sebutan Masjid Quba, diatas
tanah milik Kaltsum bin Hadam. Peletakan batu petama dilakukan oleh Nabi
disususl oleh Abu Bakar dan Utsman, dan yang pertama kali menemboknya
adalah Sahabat ‘Ammar bin Yasir r.a. dan pembangunan selanjutnya diselesaikan
secara bersama-sama oleh para sahabat Muhajirin dan Anshar.
Nabi dan para sahabat tinggal di Quba + 10 hari (dalam riwayat lain 14
hari), dan dalam tempo itu diselesaikanlah pembangunan masjid Quba. Setelah
Nabi tinggal di Quba + 10 hri (14 hari), keluarga Nabi dan keluarga Abu Bakar
baru tiba satu atau dua hari bersama sahabat Ali.12 Pada hari Jum’at pagi, Nabi
meneruskan perjalanan menuju Yatsrib (Madinah) diiringi oleh para sahabat
Muhajirin dan Anshar dengan menggunakan kendaraan unta, namun ada juga
sahabat yang berjalan kaki. Ketika sampai di Wadi (lembah) Ranuna’, kampung
Bani ‘Amr bin ‘Auf (Bani Salim ibn ‘Auf), lalu beliau turun dari kendaraan untuk
mengerjakan shalat Jum’at secara berjamaah di lembah itu. Dan inilah shalat
Jum’at yang pertama kali di dirikan oleh Rasulullah . Sesudah selesai shalat
Jum’at, lalu beliau berkhotbah.13
C. Hukum Shalat Jum’at
Allah telah menetapkan hari Jum’at sebagai hari yang agung bagi umat
Islam dan bahkan bagi seluruh jagat raya, sebab itu hari Jum’at dalam syariat
Islam disebut dengan Sayyidul Ayyam. Dengan predikat kebesaran tersebut,
umat Islam diwajibkan memproklamasikannya atau menyiarkannya sebagai salah

11
Saifuddin Aman, Jum’at Hari Bertabur Kebajikan.., hal. 20-21.
12
Abdul Manan bin H. Muhammad Sobari, Jangan Tinggalkan Shalat Jum’at-fiqih shalatt Jum’at,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2008), hal.59.
13
Ibid. hal.62

6
satu media dakwah atau keagungan Islam. Kaum muslimin diwajibkan
menunaikan shalat Jum’at, jika tidak maka konsekuensinya sangat besar.14
Shalat Jum’at memiliki hukum wajib ‘ain bagi setiap muslim laki-laki/pria
dewasa beragama Islam, merdeka sudah mukallaf, sehat badan serta muqaim
(bukan dalam keadaan mussafir) dan menetap di dalam negeri atau tempat
tertentu.15 Wajib ‘ain adalah suatu kewajiban untuk melaksanakan suatu perintah
Allah yang bersifat wajib mutlak dan berlaku pada setiap orang manusia atau
individu di muka bumi ini.
Hukum shalat jum’atadalah wajib ’ain atau Fardhu ‘Ain, artinya kewajiban
individu mukallaf (muslim, baligh, berakal) kecuali 6 golongan:
1. Hamba sahaya (budak belian)
2. Perempuan
3. Anak kecil (yang belum baligh)
4. Orang sakit yang tidak dapat menghadiri Jumat
5. Musafir, yakni orang yang sedang dalam perjalanan jauh
6. Orang yang udzur jum’at, seperi ada bencana alam atau bahaya.
Pengecualian bagi golongan yang tidak di kenai kewajiban melaksanakan
shalat Jum’at berdasarkan sabda Rasulullah yang disampaikan oleh Thariq bin
Syihab sebagai berikut:

Artunya :“ Shalat Jum’at itu wajib bagi atas setiap muslim, dilaksanakan
secara berjama’ah kecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan,
anak kecil, dan orang sakit. (HR Abu Daud)."
Bagi anak-anak yang melaksanakan shalat Jum’at maka pahalanya akan
diberikan Allah kepada kedua orang tuanya. Jadi mendidik anak untuk
melaksanakan shalat Jum’at sangat besar faedahnya bagi pembentukan
kepribadian anak, antara lain: anak telah dilatih sejak kecil untuk melaksanakan
kewajibannya terhadap Allah, melatih anak untuk hidup bermasyarakat dan
melatih anak untuk hidup disiplin serta penuh rasa tanggung jawab baik terhadap
14
M.S. Tajul Khalwaty, Menyibak Kemuliaan Hari Jum’at..., hal. 11.
15
Djamaludin Ar Rauf, Shalat Jum’at Yang Sia-Sia dan Tanpa Pahala...,hal. 6.

7
Allah maupun terhadap masyarakatnya. Dengan melaksankan shalat Jum’at
dengan baik anak dilatih untuk selalu peka terhadap lingkungan sosialnya. 16
Bagi musafir, dan ada yang udzur, karena perbuatan Rasulullah SAW,
apabila mengadakan perjalanan jauh, dan sampai hari jum’at beliau dan para
sahabatnya tidak menunaikan shalat jum’at, melainkan hanya shalat Zuhur,
demikian pula ketika kejadian badai hari jum’at dikota madinah, Beliau
menganjurkan para sahabatnya shalat masing-masimg di rumah mereka.
Adapun tindakan meninggalkan ibadah shalat Jumat bagi mereka yang
terkena kewajiban Jumat tanpa uzur syar’i sebagai kemaksiatan besar. Berikut ini
dua hadits Rasulullah SAW.

‫من ترك ثالث جمعات من غير عذر كتب من المنافقين‬


Artinya, “Siapa saja yang meninggalkan tiga kali ibadah shalat Jumat
tanpa uzur, niscaya ia ditulis sebagai orang kafir nifaq/munafiq,” (HR At-
Thabarani) Adapun berikut ini, kami kutip hadits Rasulullah SAW riwayat At-
Turmudzi, At-Thabarani, Ad-Daruquthni.

‫من ترك الجمعة ثالث مرات تهاونا بها طبع هللا على قلبه‬
Artinya, “Siapa meninggalkan tiga kali shalat Jumat karena meremehkan,
niscaya Allah menutup hatinya,” (HR At-Turmudzi, At-Thabarani, Ad-
Daruquthni). Hadits yang terakhir ini kemudian dijelaskan oleh Imam Ar-Ramli
melalui Kitab Nihayatul Muhtaj.

‫َقْو ُلُه (َم ْن َتَر َك َثاَل َث ُج ْم ٍع َتَهاُو ًنا) َأْي ِبَأْن اَل َيُك وَن ِلُع ْذ ٍر َو اَل َيْم َنُع ِم ْن َذ ِلَك‬
‫ َو َظاِهُر إْطاَل ِقِه َأَّنُه اَل َفْر َق ِفي َذ ِلَك َبْيَن‬،‫اْع ِتَر اُفُه ِبُو ُجوِبَها َو َأَّن َتْر َك َها َم ْع ِص َيٌة‬
‫ َطَبَع ُهَّللا َع َلى‬: ‫ َو َلَع َّلُه َغ ْيُر ُمَر اٍد َو ِإَّنَم ا اْلُمَر اُد اْلُم َتَو اِلَيُة (َقْو ُلُه‬،‫اْلُم َتَو اِلَيِة َو َغْيِر َها‬
‫َقْلِبِه) َأْي َأْلَقى َع َلى َقْلِبِه َشْيًئا َك اْلَخ اَتِم َيْم َنُع ِم ْن َقُبوِل اْلَم َو اِع ِظ َو اْلَح ِّق‬
Artinya, “(Siapa meninggalkan tiga kali shalat Jumat karena meremehkan)
dalam arti tidak ada uzur. Pengakuan atas kewajiban Jumat tidak menghalanginya
dari konsekuensi tindakannya. Tindakan meninggalkan Jumat adalah maksiat.
Secara zahir kemutalakannya bahwa tidak ada perbedaan antara meninggalkan
berturut-turut atau tidak. Tetapi bisa jadi bukan itu yang dimaksud. Yang

16
M.S. Tajul Khalwaty, Menyibak Kemuliaan Hari Jum’at..., hal. 16.

8
dimaksud adalah ‘berturut-turut’ (niscaya Allah menutup hatinya) Allah
menyegel hatinya dengan sesuatu seperti cincin yang dapat menghalanginya dari
nasihat dan kebenaran.” (Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, juz VI, halaman 450).
Adapun uzur yang dapat menggugurkan kewajiban mengikuti shalat Jumat
dan kesunnahan menghadiri shalat jamaah adalah sebagai berikut:
1. Hujan yang dapat membasahi pakaiannya.
2. Salju.
3. Dingin baik siang maupun malam.
4. Sakit (berat) yang membuatnya sulit untuk mengikuti shalat Jumat dan
shalat jamaah. Sakit ringan seperti flu, pusing, atau sedikit demam tidak
termasuk uzur.
5. Kekhawatiran atas gangguan keselamatan jiwanya, kehormatan dirinya,
atau harta bendanya.
D. Kedudukan Sholat Jum’at terhadap Shalat Dzuhur
Jumhur ulama berpendapat bahwa shalat Jumat adalah pengganti shalat
zuhur. Jumat adalah zuhur yang dipendekkan menjadi dua rakaat dan khutbahnya
menggantikan dua rakaat lagi. Selain Jumhur, beberapa ulama seperti Ibnu
Abbas, Daud, al-Qasyani, Hasan Ibnu Shalih, berpendapat bahwa shalat Jumatlah
yang menjadi asal Jumat itu sendiri. Shalat Jumat adalah zuhur pada hari Jumat.
Hadis-hadis yang ada menunjukkan bahwa dalil pertama kewajiban
mendirikan Jumat bukanlah QS. al-Jumat yang turun pada tahun 6 H, karena
perintah Jumat sudah ada sejak sebelum hijrah. Al-Qurthuby, yang mengutip
pendapat riwayat Ibnu Syihab al-Zuhri melalui Musa bin `Uqbah, menyatakan
bahwa yang pertama mengumpulkan orang-orang muslim di Madinah untuk
mendirikan Jumat adalah Mus`ab bin Umair. Dalam Tafsir Durr al-Mantsur
dikemukakan bahwa jumlah jamaah Jumat di rumah Mus`ab bin Umair adalah 12
orang. Dalam Tafsir Durr al-Mantsur juga dikemukakan bahwa Mus`ab bin
Umair memang mendapat perintah Nabi untuk mendirikan Jumat di Madinah. Di
dalam buku tersebut dikemukakan bahwa Nabi mengizinkan shalat Jumat
sebelum hijrah, tetapi Muslimin belum sanggup berkumpul selama di Mekah.
Shalat Jumat diperintahkan melalui surat Nabi kepada Mus`ab `ab bin Umair di
Madinah untuk mengumpulkan wanita dan anak-anak, bertaqarrub kepada Allah
dengan dua rakaat. Teks hadis yang menjadi rujukan adalah riwayat Daruquthny:

9
Nabi saw memerintahkan shalat Jumat sebelum hijrah, tetapi tidak mampu
melaksanakannya di Mekah. Rasul lalu menulis surat kepada Mas`ab bin `Umair:
“Amma ba`du, lihatlah apa yang dilakukan oleh orang Yahudi di dalam Zabur
tentang hari-hari tertentu. Kumpulkanlah wanita-wanita dan anak-anak dari
golonganmu. Jika sudah tergelincir matahari (zawal) pada hari Jumat,
bertaqarrublah kepada Allah dengan shalat dua rakaat.” Ibnu Abbas berkata: Dia
(Mas`ab) adalah orang pertama yang melaksanakan Jumat. Ketika Nabi sampai
ke Madinah, beliau juga melaksanakan Jumat ba`da zawal, yaitu waktu zuhur.
Pendapat di atas berbeda dengan pernyataan al-Qurthuby; dalam kitab al-
Jami` li Ahkam al-Qur’an ia mengutip Abu Salamah menyatakan bahwa jumat
pertama dalam Islam dilakukan sebelum turun surat al-Jumat sebelum Nabi
sampai (dalam hijrahnya) ke Madinah, yaitu di rumah As`ad bin Zararah atau
Abu Umamah. Informasi ini didasarkan pada hadis dari Abdurrahman bin Ka`ab
bin Malik. Dalam Tafsir Durr al-Mantsur dikemukakan, shalat dilakukan di
rumah As`ad bin Zararah. Mereka shalat dua rakaat dan berzikir. Mereka
memotong seekor kambing. Jumlah jamaah waktu itu adalah 40 orang.
Bentuk hadis (fi`liyah) dan perbedaan jumlah jamaah ini menyebabkan
perbedaan pendapat seputar syarat sah shalat Jumat. Hanafiyyah menyatakan
minimal 3 orang, Malikiyah berpendapat cukup 12 orang, dan Syafi`iyah
menetapkan minimal 40 orang. Begitu banyaknya pendapat seputar ini, sehingga
Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary menyebutkan ada 15 pendapat; yang terbanyak
adalah 80 jamaah.
Kedua riwayat yang berbeda di atas juga menunjukkan bahwa
pensyariatan Jumat sudah ada sejak sebelum hijrah. Nabi sendiri mendirikan
Jumat pertama sekali dalam perjalanan hijrahnya ke Madinah, ketika singgah di
perkampungan Bani Salim dekat Quba. Jumat didirikan di tengah wadi. Menurut
Ibnu Abbas, Jumat selanjutnya dilakukan di desa Juwatsiy di wilayah al-Bahrain
(Sabiq, 1973: 305).
Dengan kata lain, shalat Jumat sudah dilakukan enam tahun sebelum
turunnya surat al-Jumat ayat 9 dst. Pensyariatannya lebih dulu dibanding shalat
zuhur empat rakaat. Shalat zuhur empat rakaat baru disyariatkan ketika Nabi
sudah berada di Madinah . Ini didasarkan kepada riwayat Bukhari, Muslim, Abu

10
Daud, Ahmad, Nasai, Malik, dan ad-Darimy dari Aisyah. Dalam Bukhari, teks
hadis tersebut adalah:

Artinya: Aisyah berkata bahwa shalat dua rakaat diwajibkan (ketika di


Mekah). Ketika Nabi sudah hijrah ke Madinah, diwajibkanlah shalat itu empat
rakaat, kecuali shalat safar.
Hadis ini dikuatkan oleh riwayat Ibnu Hibban dan al-Baihaqy dari Aisyah:

Artinya: Aisyah menyatakan bahwa shalat safar dan hadhar (mukim)


awalnya diwajibkan dua rakaat. Ketika Nabi sudah berada di Madinah, shalat
hadhar ditambah dua-dua rakaat, kecuali shalat subuh tetap tetap dua rakaat
karena panjang bacaannya dan shalat maghrib karena merupakan witir siang.
Data ini menunjukkan bahwa shalat Jumat adalah ibadah yang mandiri,
bukan pengganti zuhur. Muhammad Syakir, ketika mengomentari Ibnu Hazmen,
menyatakan bahwa pendapat yang benar adalah yang menetapkan bahwa shalat
Jumat adalah dua rakaat, baik untuk jamaah maupun sendirian (Ibn Hazm, t.t.: ).
Ini dikuatkan oleh hadis-hadis yang menyatakan bahwa shalat Jumat adalah asli
dua rakaat, sama dengan shalat `id dan dhuha. Ibnu Majah dan Nasai
meriwayatkan hadis dari Umar: Shalat safar itu dua rakaat, begitu juga shalat
Jumat, shalat `idul fitri, dan `idul adha; sempurna bukan ringkasan, didasarkan
kepada perintah Nabi Muhammad saw.
Hadis-hadis di atas berbeda dengan pernyataan Said ibnu Zubair yang
menyatakan bahwa dua khutbah Jumat itu adalah pengganti dua rakaat shalat
zuhur. Adapun dalil pendapat bahwa asal Jumat adalah zuhur dianggap ulama
memiliki kelemahan. Hadis riwayat Ibnu Mas`ud yang menyatakan barangsiapa
memperoleh khutbah maka Jumatnya dua rakaat dan barangsiapa tiada
memperoleh khutbah, maka hendaklah ia mengerjakan empat rakaat, dinilai
bertentangan dengan riwayat-riwayat Ibnu Mas`ud sendiri dan riwayat-riwayat
lain yang bernilai hasan. Demikian juga hadis Abu Hurairah: … Jika dia tidak

11
memperoleh rakaat, maka hendaklah dia mengerjakan empat rakaat dinilai dhaif
karena di dalam rawinya terdapat nama Yasin Ibn Muadz yang dinilai dhaif.
Konsekuensi dari perbedaan pandangan tentang ini adalah kedudukan bagi
orang yang masbuk Jumat; apakah ia menyempurnakan shalat dua rakaat Jumat
atau 4 rakaat zuhur karena kembali ke “asal” Jumat sebagaimana pendapat
Jumhur. Lebih jauh, masalah ini merembet ke keharusan shalat zuhur setelah
shalat Jumat yang diperkirakan ada kemungkinan tidak sah, misalnya karena tidak
cukup jumlah jamaah atau karena kedudukan masjid sendiri dalam sejarah Jumat.
Jadi, pendapat bahwa posisi Jumat pengganti shalat zuhur membuat masalah
seputar Jumat ini semakin rumit.
Namun demikian, Jumhur ulama sepakat bahwa waktu shalat Jumat adalah
ketika tergelincir matahari, seperti waktu zuhur. Ini didasarkan kepada banyak
hadis. Masalah yang muncul di sini adalah kemungkinan shalat Jumat dilakukan
sepanjang waktu yang diizinkan untuk shalat zuhur yaitu sampai bayang-bayang
suatu benda dua kali panjang bendanya atau menjelang waktu asar.
E. Waktu Pelaksanaan Shalat Jumat
Wujud dari kewajiban mendirikan shalat jum‘at sama dengan mendirikan
shalat fardu lainnya, yakni menunaikan kewajiban pada waktunya. Pendapat
mayoritas Ulama bahwa waktu shalat jum‘at berkaitan dengan waktu shalat
zuhur, dan tenggang waktunya pun sama. Maka waktu sholat Jum’at adalah sama
dengan waktu sholat Zhuhur, yaitu dari tergelincirnya matahari hingga ukuran
bayangan sesuatu sama dengannya. Tapi terdapat juga beberapa riwayat bahwa
waktu pelaksanaan shalat jum‘at yang pernah dilakukan oleh khalifah Abu Bakar,
Umar, dan Usman terdapat perbedaan antara mereka, diantaranya,
Dari Abdullah ibn Saidan al-Sulami berkata: “Saya menyaksikan jum`ah
bersama Abu Bakar maka waktu shalat dan khutbahnya sebelum
pertengahan siang, Saya menyaksikannya bersama Umar maka waktu
shalat dan khutbahnya dapat saya nyatakan pertengahan siang, kemudian
saya juga saksi pada masa Usman maka shalat dan khutbahnya dapat
saya nyatakan sudah tergelincir siang, sungguh saya tidak mendapatkan

12
seorang pun yang mencela tersebut dan tidak ada yang
mengingkarinya”.17
Realita pelaksanaan shalat jum‘at yang terjadi pada tiga masa
kepemimpinan umat terdapat perbedaan yang menyatakan bahwa pelaksaan
khutbah dan shalat jum‘at antara satu dengan lain terindikasi berbeda. Penyebab
yang kuat dalam analisa penulis adalah waktu sebelum tengah siang dan saat
pertengahan siang apakah sudah masuk waktu zuhur atau belum, sedangkan apa
yang terjadi pada masa Usman yakni setelah tergelincir adalah kesepakatan
pendapat sudah masuk shalat zuhur.
Jika kenyataan demikian yang terjadi antara tiga masa, dimana tidak ada
satupun para Sahabat yang mengingkari atau mengkritik kebijakan khalifah, maka
ini menunjukkan bahwa waktu shalat dan khutbah jum‘at dinamis, sebab terdapat
riwayat yang menyatakan bahwa ada sahabat yang melaksanakan shalat jum‘at
waktu dhuha,
Telah meriwayatkan pada kami Gundar dari Syu‘bah dari ‘Amru ibn
Murrah dari Abdullah ibn Salimah berkata: “Abdulllah (anak Umar ibn
Khattab) shalat jum‘at bersama kami waktu dhuha”, dan ia berkata:
“Saya takut kalian kepanasan”.18
Telah meriwayatkan pada kami Abu Mu‘awiyah dari al-A‘masy dari
‘Amru ibn Murrah dari Sa‘id ibn Suwaid berkata: “Telah shalat jum‘at
bersama kami Mu‘awiyah pada waktu dhuha”.19
Sedangkan dalil mengenai ketentuan waktu sholat Jum’at sama dengan
shalat zuhur adalah,
Dari Ja‘far ibn Muhammad dari bapaknya dari Jabir ibn Abdullah
berkata: “Kami shalat jum‘at bersama Rasulullah SAW, kemudian kami
pulang, maka kami mengistirahatkan unta-unta kami”. Hasan berkata,
“Aku bertanya kepada Ja’far: “Waktunya kapan itu?” Ja’far menjawab:
“Saat matahari tergelincir”.20
17
Jalaluddin al-Suyuthi, Jami‘ al-Ahadits, (Maktabah al-Syamilah), jilid. 25, hal. 76, Hadits no.
27657, dapat dilihat dalam Abdur Razzak, hadits no. 5210, jilid.3 hal 175, Dar al-Quthni hadits
no.1, jilid. 2, hal. 17, dan juga Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutnya dalam Fathul Bari jilid. 2, hal
387.
18
Abu Bakar Abdullah ibn Muhammad ibn Abu Syaibah al-Kufy, Mushannif Ibnu Abi Syaibah,
(Saudi: Dar al-Salafiyah, tt), Hadits no. 5176, jilid. 2, hal. 107
19
Ibid., hadits no. 5177.
20
Shaheh muslim, hadits no.1420, (Maktabah alSyamilah), juz.4, hal.340

13
Dari Usman ibn Abdurrahman al-Taimi saya mendengar Anas ibn Malik
berkata: “Rasulullah SAW melaksanakan shalat jum`at apabila matahari
telah tergelincir”.21
Dari Usman ibn Abdurrahman al-Taimi dari Anas ibn Malik bahwasanya
Nabi SAW melaksanakan shalat jum‘at saat matahari tergelincir.
Dalam hal waktu shalat jum‘at adalah waktu shalat zuhur yaitu setelah
matahari tergelincir sampai waktu ashar menjadi kemufakatan jumhur Ulama.
Waktu shalat jum’at yang paling utama adalah: setelah tergelincirnya matahari
hingga akhir waktu shalat zuhur. Sebagian Ulama berpendapat bahwa shalat
jum‘at boleh dilakukan sebelum zawal (matahari tergelincir), yaitu Ahmad ibn
Hanbal dengan melandaskan argumentasinya pada riwayat yang menjelaskan
perbedaan masa Abu Bakar, Umar dan Usman.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari menjelaskan bahwa hadits
tentang shalat jum‘at sebelum zawal, bahwa jika matahari tergelincir maka akan
ada bayangan, tapi tidak adanya bayangan tidak dimaknai secara mutlak dengan
melihat kadar bayangan yang berbeda pada musin panas dan dingin. Sehingga
waktu shalat jum‘at adalah waktu shalat zuhur.
Menurut Ibnu Rusyd, sebab terjadinya perbedaan adalah pemahaman
atsar yang menjelaskan shalat jum‘at dapat disegerakan sebagaimana yang
diriwayatkan al-Bukhari “Bahwa sahabat pulang dari selesai shalat jum‘at dan
tembok-tembok belum ada bayangan”. Sehingga ada yang memahami bahwa
shalat jum‘at boleh didirikan sebelum zawal, dan ada juga yang memahami
bahwa hadits itu menunjukkan bersegera pergi kemesjid. Namun hadits yang
mu‘tamad bahwa shalat jum‘at setelah zawal, maka tidak boleh terjadi ta‘arud
dalam hal ini. Menggabungkan keduanya adalah sangat utama, bahwa kedudukan
shalat jum‘at sama dengan shalat zuhur, sehingga waktu pelaksanaannnya sama,
lalu hadits yang diriwayatkan alBukhari dipahami bermakna tabkir (bersegera
berangkat).
Karena waktu shalat jum‘at sama dengan waktu shalat zuhur, sehingga
rentang waktunya cukup lama sekitar 3 jam, dimana shalat zuhur dapat didirikan
pada awal waktu atau pertengahan waktu, atau akhir waktu, begitu juga

21
Sunan Abu Daud, hadits no. 916, (Maktabah alSyamilah), jilid.3, hal.289

14
sebenarnya shalat jumat. Tapi yang afdhal adalah awal waktu sesuai dengan
kesepakatan jumhur ulama.
Seandainya sekelompok umat Islam yang berkewajiban melaksanakan
shalat Jum’at tidak dapat melaksanakannya dalam waktu bersamaan karena
tugas-tugas penting yang tidak dapat ditinggalkan, maka boleh bergantian
melaksanakan shalat jum‘at dengan melakukan dua putaran atau tiga, tapi tetap
dengan imam dan khatib yang berbeda serta belum mendirikan shalat jum‘at
sebelumnya. Dengan syarat, waktu pelaksanaan putaran demi putaran shalat Jum’
at tersebut masih dalam batas waktu Zhuhur. Semua pelaksanaan shalat Jum’at
tersebut dinilai sah sehingga tidak perlu dilakukan pengulangan shalat zuhur
Ulama Lajnah Daimah Wa al-Ifta memfatwakan tidak boleh menegakkan
sholat Jum’at dua kali dalam satu masjid, yang kedua setelah selesai yang
pertama, tetapi apabila ada uzur syar‘i dibolehkan. Fatwa ini diungkapkan setelah
ada pertanyaan dari kaum Muslimin di Perancis, sebagai berikut: “Jumlah masjid
yang mengadakan sholat Jum’at di kota Paris dan kota-kota lain sedikit
ditambah lagi masjid menjadi sempit karena banyaknya jama’ah. Sebagai jalan
keluar dari permasalahan ini dimana kebanyakan jama’ah sholat tidak dapat
mengerjakan kewajiban Jum’at di Prancis, maka salah seorang mengusulkan
supaya sholat Jum’at dikerjakan dalam satu masjid dua sesi, setiap kali dengan
imam dan khatib berbeda. Maka apa hukum syar’i masalah itu?”
Jawaban dari Lajnah Daimah Wa al-Ifta‘ adalah : Menegakkan dua kali
Jum’at dalam satu masjid tidak dibolehkan secara syari, dan kami tidak
mengetahui ada dasarnya dalam agama Allah, karena aslinya Jum’at ditegakkan
satu kali di satu negeri, dan tidak boleh dikerjakan beberapa sholat Jum’at kecuali
karena uzur syar’i, seperti jauhnya jarak bagi sebagian yang diwajibkan Jum’at,
atau masjid pertama sesak tidak muat untuk seluruh jama’ah sholat, atau uzur
semacamnya yang membolehkan ditegakkan Jum’at kedua, ketika itu Jum’at lain
boleh dikerjakan dimana tujuan Jum’at dapat terealisasi.
Mendirikan shalat jum‘at dalam satu masjid bergiliran atau dengan
beberapa putaran pada dasar hukumnya tidak dibolehkan, walaupun waktu shalat
jum‘at sama dengan waktu shalat zuhur, tapi kesatuan jamaah dalam

15
pelaksanaannya menjadi sebuah acuan ketetapan untuk pelaksanaan shalat jum‘at
sekali saja.
Kontek persoalan yang dibolehkannya mendirikan shalat jum‘at bergiliran
atau dilakukan dengan beberapa putaran dengan imam dan khatib yang berbeda
pada dasarnya darurat yang disebabkan adanya uzur yang dibolehkan syariat,
sebagaimana uzur tersebut diatas. Shalat jum‘at dapat didirikan dengan beberapa
putaran pada satu masjid dimana khatib dan imamnya berbeda, pada kontek
realitasnya untuk kemaslahatan disaat adanya uzur syar‘i. Diantara landasan yang
digunakan adalah:
Prinsip dasar dari ajaran Islam tidak mempersulit umat manusia,
sebagaimana terdapat dalam firman Allah, “...Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” “...dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...”
Bahwa Islam adalah agama yang Hanifiyah Samhah (penuh teleransi) dan
mudah dapat direalisasikan dalam kehidupan umat, sebagaimana terdapat dari
hadits Nabawi diantaranya,
Dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas berkata: Seseorang berkata pada
Rasulullah SAW: “Apa agama yang paling dicintai oleh Allah?”,
Rasulullah bersabda: “alHanifiyah al-Samhah”.
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW berkata: “Sesungguhnya itu
mudah dan janganlah salah seorang memperketat agama”
Dari Nafi‘ dari Ibnu Umar berkata: Saya bertanya: “Wahai Rasulullah
SAW, berwudhu dari bejana baru yang bekas tuak yang paling kau sukai
atau dari yang suci?”, Maka Beliau bersabda: “Tidak, tapi dari yang suci,
sesungguhnya agama Allah itu al-Hanifiyah al-Samhah”.
Dari Anas ibn Malik RA dari Nabi SAW bersabda: “Permudahlah dan
jangan dipersulit, berilah kabar gembira dan janganlah menjauhkan”.
Dari Abu Qatadah dari al-A‘rabi yang mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik agama kalian adalah yang paling
mudah darinya, sesungguhnya sebaikbaik agama kalian adalah yang
paling mudah darinya”.

16
Paradigma pelaksanaan shalat jum‘at pada masa Rasulullah SAW,
langsung dipimpin dan dikomandoi beliau sehingga pendirian shalat jum‘at
sangat tergantung sama beliau dan pada masa itu kerasulan menjadi standar dari
perintah. Pada masa sahabat (khulafar rasyidin) sudah ada kontruksi ulang pada
masa Usman ibn Affan dengan azan dua kali, tapi dalam banyak hal tetap
mengacu pada masa Rasulullah SAW.
Lain halnya pada masa Aimmatul Mazhab pelaksanaan shalat jum‘at
disusun ulang oleh mereka dengan meletakkan syarat dan rukunnya. Sebab
pelaksanaan shalat jum‘at sudah menyebar seantero pelosok dimana umat Islam
ada, sehingga tidak terfokus lagi pelaksanaannya di Madinah. Persyaratan dan
rukun yang diletak oleh aimmatul mazhab belum sampai pada tahap pelaksanaan
shalat jum‘at bergiliran, sehingga kontek yang penulis angkat disini adalah
maslahah umat dengan perkembangan dan posisi umat antara satu negara dengan
negara lain berbeda, begitu juga antara daerah yang membuka peluang bahwa
kewajiban shalat jum‘at waktu pelasanaannya cukup panjang sehingga
dibolehkannya bergiliran dengan syarat imam dan khatib berbeda dalam setiap
shif.
F. Jumlah Jamaah Shalat Jum’at
Terdapat beberapa pendapat dalam menetapkan jumlah orang yang dapat
disebut jamaah untuk dapat sah menunaikan shalat jum‘at, sebagai berikut:
1. Jumlah jamaah yang dapat melaksanakan shalat jum‘at adalah minimal
dua orang
2. Abu Yusuf berpendapat jumlah itu minimal tiga orang
3. Abu Hanifah berkata: shalat jum‘at sudah dapat ditunaikan dengan empat
orang
4. Rabi‘ah berpendapat bahwa shalat jum‘at dapat dilaksanakan dengan 12
orang laki-laki, sebagaimana diriwayatkan oleh Mush‘ab ibn ‘Umair
bahwa Nabi SAW mengutusnya ke Madinah dan dia berhenti di rumah
Sa‘ad ibn Mu‘az, maka ia kumpulkan mereka sedangkan jumlahnya 12
laki-laki, lalu ia sembelih seekor kambing
5. Imam Syafi‘i dan Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa bentuk jamaah
yang sah shalat jum‘at mencakup jumlah yang banyak dan minimalnya 40

17
orang, dasar yang dipakai mereka dalam ketetapan ini adalah hadits yang
diriwayatkan Dar alQuthni dari Jabir ibn Abdullah RA berkata:
Disaat Rasulullah SAW berkhutbah pada kami pada shalat jum‘at,
datanglah kumpulan unta yang membawa makanan sampai
berhenti dekat baqi‘, sehingga berpalinglah sejumlah orang
padanya dan pergi kepadanya, lalu meninggalkan Nabi SAW
sedang khutbah, dan kami tidak lebih dari 40 orang laki-laki dan
saya bersama mereka. Selanjutnya ia berkata: Allah turunkan atas
Nabi SAW ayat kesembilan surat alJumu‘ah.
Dari Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik Ra. – Dan ia yang biasa
menuntun ayahnya sesudah ayahnya buta – dari ayahnya yaitu
Ka’ab Ra., Bahwa apabila mendengar adzan pada hari jum’at maka
ia (Ka’ab) memintakan rahmat kepada Allah untuk As’ad bin
Zurarah, ia (abdurahman) berkata: Aku berkata kepada ayah:
“kenapa engkau apabila mendengar adzan maka engkau
memintakan rahmat untuk As’ad bin Zurarah?. Jawab Ka’ab :
“Karena ialah orang yang pertama shalat jum’at bersama kami di
Hazmin nabiit, salah satu kampug dari bani Bayadlah di Naqi’
yang disebut Naiqiul khadlimat”. Aku (Abdurrahman) bertanya :
“Berapa Jumlahmu pada waktu itu?”, Ia (Ka’ab) menjawab : “40
orang”
6. Imam Malik berpendapat bahwa tidak disyaratkan jumlah tertentu tapi
bentuk jamaah yang bertempat tinggal pada suatu tempat dan terjadi
transaksi jual beli antara mereka sebagai syaratnya. Tidak ada batas
tertentu jumlah hitungan jamaah, yang terpenting shalat jum‘at itu
dilaksanakan pada sebuah masjid jami‘ yang beratap. Tetapi bentuk dari
masjid tersebut dikembalikan pada urf (kebiasaan).
G. Keutamaan dan Arti Penting Hari Jum’at
Sangatlah penting bagi kaum Muslim untuk melaksanakan shalat Jum’at
dengan sangat sungguh-sungguh. Pelaksanaan shalat Jum’at yang sempurna
mendatangkan banyak sekali kebaikan dan ampunan dari Allah. Selain itu,
kemalasan melaksanakan shalat Jum’at menyebabkan hati seseorang ditutup oleh
Allah.

18
Hari Jum’at adalah hari kesempurnaan. Allah telah menyempurnakan
seluruh ciptaan-Nya pada hari Jum’at. Seluruh kebaikan diciptakan oleh Allah
pada hari Jum’at. Sedangkan hari sabtu adalah hari kosong, dimana seluruh
ciptaan Allah terselesaikan pada hari Jum’at. Bukankah Allah telah menyatakan
bahwa bumi dan langit dicipta dalam waktu 6 hari, yakni terhitung mulai dari
Ahad hingga Jum’at. Hari Jum’at merupakan hari pilihan diantara hari-hari yang
lain dalam seminggu, seperti bulan ramadhan yang merupakan bulan pilihan
diantara bulan- bulan lain dalam setahun. Ia juga bagaikan Lailatul Qadar
diantara malam-malam yang lain dan bagaikan kota Mekkah diantara kota-kota
lain di Bumi ini. Hari Jum’at bagaikan Nabi Muhammad diantara para mahluk
ciptaanNya.
Hari Jum’at merupakan hari yang berbeda dari hari-hari yang lainnya.
Pada hari ini, terdapat banyak peristiwa besar yang terjadi didalamnya salah
satunya adalah bahwa kiamat kelak jatuh pada hari Jum’at. Selain itu, hari Jum’at
merupakan hari yang agung karena hari Jum’at adalah tuanya hari sehingga
disebut sebagai ‘'Sayyidul Ayyam”. Oleh karena itu, disarankan agar
memperbanyak berdoa kepada Allah mengingat hari tersebut adalah hari dimana
setiap doa dikabulkan oleh Allah.
Hadits-hadits tentang kelebihan hari Jum’at ini menunjukkan bahwa
syiarnya sesungguhnya lebih menonjol daripada ibadah shalatnya sendiri.
Tampaknya karena begitu pentingnya Jum’at sebagai syiar, Jum’at pada masa
Rasul dan sahabat dikaitkan dengan kekuasaan. Tidak ada shalat Jum’at
berjamaah sekiranya tidak ada perintah penguasa. Riwayat yang dikutip oleh
alQurthuby menyatakan bahwa shalat Jum’at kedua dilaksanakan setelah masjid
Nabi di Madinah adalah di desa Juwatsiy di wilayah al-Bahrain. Bahrain sendiri
baru ditaklukkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab (634-644M). Dengan
kata lain, Jum’at kedua baru dilaksanakan paling cepat 12 tahun setelah Jum’at di
Madinah.
Allah telah membuat karya besar-Nya di hari Jum’at. Allah membuat
yang baik-baik di hari Jum’at. Maka selayaknya kita juga menauladani Allah.
Kita ciptakan karya terbaik di hari Jum’at dan kita lakukan kebaikan di hari

19
Jum’at. Dan tidak kalah pentingnya adalah menjadikan hari Jum’at sebagai waktu
untuk mendapatkan harapan dan cita-cita. Bukankah telah terbukti bahwa:
1. Nabi Adam dinikahkan dengan Hawa pada hari Jum’at. Dan kita tahu usia
pernikahannya kekal sepanjang masa. Maka ikutilah menikah di hari
Jum’at
2. Nabi Adam diterima taubatnya pada hari Jum’at akibat pelanggaran di
surga, maka bertaubatlah di hari Jum’at dari seluruh dosa yang kita
lakukan di hari Jum’at. Insha Allah kita aka mendapatkan kemudahan
hidup
3. Nabi Ibrahim diselamatkan dari api Namrud pada hari Jum’at, maka
selamatkan diri kita dari neraka dengan ibadah di hari Jum’at.
4. Nabi Ayyub disembuhkan dari penyakitnya dan dibebaskan dari bencana
pada hari Jum’at, maka berobatlah dan berdoalah kepada Allah untuk
kesembuhan di hari Jum’at, berdoalah minta dihindarkan dari bencana di
hari Jum’at
5. Pengorbanan Nabi Ibrahim atas putranya diganti dengan penyembelihan
yang besar oleh Allah pada hari Jum’at, maka berkorbanlah atau
bersedekahlah di hari Jum'at, nanti Allah akan menggantinya dengan yang
lebih besar.
H. Kewajiban Mengerjakan Shalat Jum’at
Para ulama sependapat bahwa hukum shalat jum’at adalah fardhu ‘Ain
dan jumlah rakaatnya dua. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT.

‫َيا َاٌّيَها اّلِذ ْيَن اَم ُنْو اِاَذ ا ُنْو ِدَي ِللَّص اَل ِة ِم ْن َيْو ِم الُج ُمَع ُة َفاْس َع ْو اِالَى ِذ ْك ِر ِهللا‬
‫َو َذ ُرْو الَبْيِع َذ اِلُك ْم َخ ْيُر َّلُك ْم اْن ُكْنُتْم َتْع َلُم ْو ن‬
Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. (QS. Al-Jumu’ah: 9)
Dari ayat di atas, para ulama menyimpulkan bahwa :
1. Shalat Jum’at Wajib‘Aini bagi yang memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan. Orang yang meniggalkannya tanpa udzur adalah dosa besar.

20
2. Bila sudah dikumandangkan adzan jum’at, wajib segera untuk mendengar
khutbah dan menunaikan shalat jum’at.
3. Sesudah adzan jum’at berkumandang haram hukumnya bagi yang wajib
jum’at melakukan kegiatan yang bersifat duniawi seperti jual beli atau
pekerjaan lainnya.

Kewajiban shalat jum’at ditetapkan oleh Al-Qur’an dan dikuatkan oleh


hadis Nabi SAW, salah satunya dengan ancaman bagi orang yang meninggalkan
jum’at tanpa udzur.
1. Nabi SAW, bercita-cita menyuruh orang mencari kayu bakar dan
yang lainnya mengumandangkan adzan, lalu Beliau akan
membakar rumah orang yang tidak pergi jum’at.
2. Nabi SAW, bersabda dari mimbarnya, “Hendaklah kaum-kaum itu
berhenti meninggalkan jum’at atau Allah kunci hati-hati mereka
dan mereka dijadikan orang-orang yang lalai.”
3. Barang siapa meninggalkan tiga jum’at karena menyepelekannya
maka Allah akan menutup hatinya.
I. Syarat Menunaikan Shalat Jum’at
Syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus shalat Jum’at, antara lain:
Syarat-syarat umum:
1. Orang yang sah (benar) melaksanakan shalat Jum’at adalah orang Islam.
Tidak sah (benar) shalat Jum’at atas orang kafir atau murtad.
2. Orang yang sah (benar) melaksanakan shalat Jum’at adalah orang yang
sudah tamziz (berakal). Tidak sah shalat Jum’at orang yang belum tamziz
(belum berakal)
3. Orang yang sah (benar) melaksanakan shalat Jum’at adalah orang yang
mengerti tentang kaifiyah atau tata cara yang fardhu dalam shalat Jum’at.
Tidak sah shalat Jum’at atas orang yang tidak mengerti tentang kaifiyah
shalat Jum’at.
4. Orang yang sah (benar) melaksanakan shalat Jum’at adalah orang yang
tidak menekadkan sebagai perintah sunnah. Tidak sah shalat Jum’at atas
orang yang menekadakan perintah farzu itu ditekadkan perintah sunah.

21
5. Orang yang sah (benar) melaksanakan shalat Jum’at adalah orang yang
mengerti dengan kenyataan (yakin), atau sangkaan (dhan) masuknya
waktu shalat Jum'at melalui petunjuk yang benar. Tidak sah shalat Jum’at
atas orang yang tidak mengerti masuknya waktu shalat.
6. Orang yang melaksanakan shalat Jum’at adalah orang yang menutupi aurat
didalam shalat. Tidak sah shalat Jum’at atas orang yang dengan sangaja
membuka auratnya didalam shalat.
7. Orang yang melaksnakan shalat Jum’at adalah apabila di dalam salatnya
menghadap kiblat, atau ke Ka’bah Baitullah di Mekkah, bagi orang yang
shalat dihadapan Ka’bah di Mekkah. Tidak sah shalat Jum’at atas orang
yang tidak menghadap kiblat ke Ka’bah.
8. Sorang Muslim pada saat melaksanakan shalat Jum’at harus dalam
keadaan suci dari segala hadas besar. Tidak sah shalat Jum’atnya bagi
orang Muslim yang mengandung hadas kecil dan besar.
9. Sorang Muslim pada saat melaksanakan shalat Jum’at harus suci pakaian,
tubuh dan tempatnya dari segala najis. Tidak sah shalat Jum’at jika
pakaian, tubuh dan tempatnya mengandung segala najis.
Adapun syarat-syarat khususnya, yaitu:
1. Kegiatan shalat Jum’at hendaklah dilaksanakan bersama (jamaah)
pada waktu Zuhur. Tidaklah benar shalat Jum’at dilaksanakan tidak
sesuai dengan ketentuannya.
2. Kegiatan shalat Jum’at hendaklah dilaksanakan dalam perumahan
(alDaar), perkampungan (al-Qaryah), perkotaan kecamatan (al-
Mishri). Tidak benar shalat Jum’at dilaksankan di padang pasir, “ara-
ara”atau guru
3. Hendaklah shalat Jum’at dilaksanakan dengan berjamaah pada rakaat
pertama. Tidak sah shalat Jum’at dilaksanakan sendiri-sendiri.
4. Jamaah shalat Jum’at hendaklah dilaksanakan minimal 40 orang.
Dengan syarat Islam, berakal, usia baligh, kaum lelaki, merdeka, dan
muqim mustauthin. Muqim Mustauhin adalah penduduk yang menetap
tinggal disuatu tempat, yang tidak berpindah-pindah ketempat lain,
kecuali mencari nafkah. Tidak benar shalat Jum’at jumlahnya kurang

22
dari 40 orang atau ditambahkan jumlahnya dengan anak-anak, orang
yang hilang akalnya dan wanita.
5. Tidak sah mendahulukan shalat Jum’at sebelum khotbah dua selesai
dibicarakan khatib.
6. Tempat shalat Jum’at harus tentu
Dibawah ini ada beberapa syarat wajib shalat jum’at yaitu sebagai berikut :
1. Islam, bagi orang kafir tidak wajib berjum’at.
2. Laki-laki, tidak diwajibkan bagi kaum perempuan. Wanita tidak wajib
melaksanakan shalat Jum’at, namun jika dia sanggup
melaksanakannya maka itu lebih baik baginya. Alangkah baiknya jika
setiap masjid atau setiap tempat yeng menyelanggarakan shalat Jum’at
menyediakan pula fasilitas untuk kaum wanita, sebab dizaman
Rasulullah pun kaum wanita ikut melaksanakan shalat Jum’at bersama
beliau.
3. Berakal sehat; tidak wajib bagi orang gila untuk melaksakan shalat
Jum’at, demikian juga bagi orang yang karena sesuatu hal yang hilang
akalnya maka tidak diwajibkan baginya untuk melaksanakan shalat
Jum’at. Bagi orang gila yang gugur kewajiban shalat Jum’atnya maka
gugur pula kewajibannya untuk melaksanakan shalat Zuhur. Sedang
bagi orang yang hilang ingatannya jika telah sembuh maka dia tetap
berkewajiban melaksanakan shalat Zuhur yang telah ditinggalkannya
dan selanjutnya dia pun kembali dikenali kewajiban melaksankan
shalat Jum’at.
4. Sehat, tidak wajib bagi orang sakit atau berhalangan berjum’at. orang
sakit akan merepotkan jika ikut melaksanaka shalat Jum’at terutama
jika sedang salat mengganggu ketenangan orang lain yang sedang
melaksanakan shalat Jum’at. Demikian juga bagi orang yang sedang
merawat orang sakit yang tidak dapat ditinggalkan, maka baginya
gugur pula kewajiban shalat Jum’atnya namun tetap
5. Merdeka; tidak wajib bagi seorang hamba sahaya untuk melaksankan
shalat Jum’at.

23
6. Muqim (diam atau tinggal dalam negeri) bukan orang musyafir. tidak
wajib bagi orang yang sedang berpergian (musyafir) untuk
melaksanakan shalat Jum’at. Namun jika dia melaksanakan juga shalat
Jum’at, maka gugur pulalah kewajibannya untuk melaksanakan shalat
Zuhur
7. Berkewajiban untuk melaksanakan shalat Zuhur sebagai pengganti
shalat Jum’at.
8. Baligh, maka shalat Jum’at itu tidak wajib agi anak kecil yang belum
mencapai usia baligh
Adapun beberapa Adab dan Sunat Jum’at sebagai berikut, yaitu:
1. Disunnahkan pergi shalat Jum’at dengan berjalan kaki
2. Disunnahkan untuk mengenakan pakaian yang paling bagus dan
memakai wewangian
3. Jika seseorang masuk (masjid) dan imam sedang berkhotbah, janganlah
ia duduk sebelum melakuksn shalat tahiyyatul masjid dua rakaat
4. Tidak boleh melangkahi pundak orang lain
5. Hendaknya memperbanyak do’a pada hari dan malam Jum’at
6. Memperbanyak membaca shalawat atas Nabi pada hari dan malam
Jum’at
7. Dimakruhkan menjalinkan jari-jari tangan pada saat berjalan ke masjid
dan di dalam masjid
8. Jika seseorang mengantuk di tengah-tengah khotbah, maka hendaknya ia
berpindah tempat duduk ketempat yang lain.
9. Mandi untuk shalat Jum’at
10. Berpakaian yang putih
11. Memotong kuku, rambut dan kumis
12. Pada hari Jum’at, terdapat saat jika seorang muslim melaksanakan shalat
lalu berdoa kepada Allah pada saat tersebut, maka Allah akan
mengabulkannya
13. Shalat tahiyatul masjid sebelum duduk
14. Shalat sunnah ba’diyah Jum’at
15. Datang lebih awal dari khatib.

24
16. Seseorang yang masuk masjid dan imam sedang berkhotbah janganlah ia
duduk sebelum shalat dua rakaat ringan
17. Barangsiapa masuk masjid dan imam sedang berkhotbah, janganlah
mengucapkan salam, tapi hendaknya ia menuju shaf dengan tenang,
kemudian shalat dua rakaat. setelah itu, duduk untuk mendengarkan
khotbah dan tidak perlu berjabat tangan dengan orang yang berada di
samping
18. Wajib diam dan tidak boleh berbicara saat imam berkhotbah
19. Jika seseorang masuk (masjid) dan imam sedang berkhotbah, janganlah
ia duduk sebelum melakukan shalat tahiyyatul masjid dua rakaat
20. Disunnahkan membaca surat Al-Kahfi pada hari dan malam Jum’at, agar
Allah mengampuni dosa yang ada diantara dua Jum’at
21. Barangsiapa yang berpergian untuk berwisata atau urusan yang lainnya,
dan di sekitar mereka tidak ada masjid yang di gunakan untuk shalat
Jum’at, maka mereka tidak wajib shalat Jum’at. Mereka boleh salat
Zuhur berapapun jumlah mereka. Sebab, kewajiban shalat Jum’at itu
disyarakatkan ketika tidak sedang dalam berpergian
22. Barangsiapa datang terlambat dan mendapatkan satu rakaat shalat Jum’at
bersama imam, hendaknya ia menyempurnakannya
23. Disunnahkan bagi khatib untuk menjadikan khotbahanya mudah
dipahami dan menyampaikan khotbahnya kepada jamaah sesuai dengan
kemampuan akal mereka.
Tentang shalat Jum’at, menurut para ulama, pelaksanaan shalat Jum’at
bisa menjadi sah jika memenuhi syarat-syarat berikut ini:
1. Adanya khotbah, Khotbah Jum’at mesti dengan dua kali khotbah karena
kebiasaan Rasulullah demikian adanya. Ini adalah pendapat mayoritas
ulama, yaitu ulama mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali. Ulama mazhab
Syafi’i menambahkan bahwa khotbah Jum’at bisa sah jika memenuhi
lima syarat:
a. Ucapan pusji syukur kepada Allah
b. Shalawat kepadan Rasulullah
c. Wasiat takwa

25
d. Membaca satu surat dari ayat Al-Qur’an pada salah satu dari dua
khotbah
e. Do’a kepada kaum muslimin di khotbah kedua
2. Harus dilakukan dengan berjamaah. Rasulullah selalu menunaikan shalat
ini secara berjamaah, bahkan hal ini menjadi kesepakatan para ulama.
Ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali memberikan syarat 40 orang bisa
disebut jamaah Jum’at. Akan tetapi, persyataan ini perlu dukungan dalil.
Kenyatannya, tidak ada dalil yang mendukung syarat ini. Sehingga
syarat disebut jamaah Jum’at adalah seperti halnya jamaah shalat
lainnya, yaitu satu orang jamaah satu orang imam. Yang menyaratkan
shalat Jum’at bisa dengan hanya seorang makmum dan seorang imam
adalah ulama mazhab Hanafi
3. Mendapatkan izin khalayak ramai yang menyebabkan shalat Jum’at
masyhur atau tersiar. Sehingga jika ada orang yang shalat di benteng
atau istananya, ia menutup pintu-pintunya dan melaksanakan shalat
bersama anak buahnya, maka shalat Jum’atnya tidak sah.
4. Jamaah shalat Jum’at tidak lebih dari satu negeri (kampung). Karena
hikmah disyariatkan shalat Jum’at adalah agar kaum muslimin
berkumpul dan saling berjumpa. Hal ini sulit tercapai jika ada beberapa
jamaah shalat Jum’at di suatu negeri. Imam Asy-Syafi’i, Imam Amhad
dan pendapat masyhur di kalangan mazhab Imam Malik, menyatakan
bahwa terlarang berbilangnya jumlah shalat Jum’at disuatu negeri
(kampung) besar atau kecil kecuali jika ada alasan tertentu. Namun para
ulama berbeda pendapat tentang batasan negeri tersebut. Ada ulama
yang menyatakan batasannya adalah jika suatu negeri terpisah oleh
sungai, atau negeri tersebut merupakan negeri yang besar sehingga sulit
membuat satu jamaah Jum’at.
Syarat sahnya shalat Jum’at menurut ulama Syafi’iyah ada enam, yakni:
1. Keseluruhan shalat Jum’at beserta khotbahnya itu dilakukan pada waktu
Zuhur dengan yakin.
2. Shalat Jum’at itu dilakukan pada sebuah bangunan orang-orang yang
menetap disitu.

26
3. Shalat Jum’at itu dilaksanakan secara berjamaah.
4. Jumlah jamaah shalat Jum’at itu minimal empat puluh orang yang telah
memenuhi syarat-syarat tertentu.
a. Para lelaki yang merdeka dan mukallaf
b. Menempati rumah (menetap disuatu tempat)
c. Jumlah empat puluh itu melaksanakan shalat Jum’at bersama imam
dengan shalat yang sah dan tidak wajib diqadha, sampai selesai
rakaat pertama.
d. Para makmum takbiratul ihram mengikuti tahbiratul imam
e. Niat menjadi imam shalat Jum’at, walaupun imamnya anak kecil,
seorang hamba, atau musafir
f. Niat makmum bagi mereka yang menjai makmum
g. Sempurnya jumlah empat puluh dari awal khotbah sampai selesai
shalat Jum’at
5. Shalat Jum’at itu mendahului shalat Jum’at yang lainnya ditempatnya
6. Didahului dua khotbah dengan rukun ran syarat-syaratnya.

J. Tempat Penyelenggaraan Shalat Jum’at


Ditulis leh pengarang buku ar-Raudhah Naddiyyah bahwa shalat jum’at
itu sah dilakukan, baik dikota maupun di desa, didalam masjid, didalam
bangunan, maupun dilapangan yang terdapat disekelilingnya, sebagaimana juga
sah dilakukan ditempat-tempat lainnya. Umar r.a. pernah mengirim surat kepada
penduduk Bahrain yang isinya, “Lakukanlah shalat jum’at dimana saja kalian
berada.”(HR. Ibnu Abu Syaibah dan menurut Ahmad sanadnya baik)
Hadis ini menunjukkan bolehnya mengerjakan shalat di perkotaan
maupun di pedesaan atau ditempat manapun yang sekiranya sah dan bisa
dilaksanakannya shalat.
Ada beberapa uzur-uzur jum’at jama’ah setengahnya :
1. Hujan yang membasahi pakaian.
2. Lumpur jalanan.
3. Bersengatan panas.
4. Bersengatan dingin.

27
5. Sakit yang memuderati jum’at.
6. Tidak ada pakaian yang layak untuk mendirikan shalat jum’at.
7. Menunggu orang sakit.
8. Bersengatan mengantuk.
9. Bersengatan lapar dan dahaga.
10. Orang buta yang tidak ada orang yang membawanya ketempat
dilaksanakannya shalat jum’at.
K. Adzan dan Khutbah Shalat Jumat
a. Adzan
Di tengah umat Islam kita melihat ada perbedaan dalam jumlah adzan
Jumat. Sebagian masjid mengumandangkan adzan Jumat dua kali, dan sebagian
lagi mengumandangkan adzan Jumat hanya sekali. Perbedaan pendapat itu
berangkat dari cara memahami nash hadits shahih berikut ini dengan cara yang
berbeda.
Dari As-Saib bin Yazid ra berkata, "Dahulu panggilan adzan hari Jumat
awalnya pada saat imam duduk di atas mimbar, di masa Rasulullah SAW,
Abu Bakar dan Umar radhiyallahuanhuma. Ketika masuk masa Utsman
dan manusia bertambah banyak, ditambahkan adzan yang ketiga di atas
Zaura'.Tidak ada di zaman Nabi SAW muazzdin selain satu orang. (HR.
Bukhari)
Zaura' adalah sebuah tempat yang terletak di pasar kota Madinah saat itu.
Al-Qurthubi mengatakan bahwa Utsman ra memerinahkan untuk
dikumandangkan adzan di suatu rumah yang disebut Zaura'.
1. Adzan Satu Kali
Ada beberapa argumen yang dikemukana oleh merka yang berpendapat
bahwa adzan Jumat cukup satu kali.
a) Sunnah Rasulullah SAW
Mereka yang berpendapat bahwa adzan Jumat cukup satu kali saja
berargumen bahwa kita harus mengikuti Rasulullah SAW dan bukan mengikuti
shahabatnya. Sebab yang wajib untuk diikuti adalah Rasulullah SAW, dimana
beliau SAW adalah Nabi yang makshum dan dijaga oleh Allah SWT. Sedangkan
selain Rasulullah SAW adalah manusia biasa, yang tidak luput dari salah dan alpa.

28
Maka dari hadits shahih di atas, pendapat ini memandang bahwa yang benar
adalah adzan satu kali saja, sebagaimana yang dilakukan di masa Rasulullah
SAW.
b) Tujuan Adzan Tambahan
Argumentasi yang kedua dari kalangan ini adalah tujuan
dikumandangkannya adzan dua kali di masa khalifah Utsman adalah untuk
memanggil orang-orang yang masih sibuk di tempat kerja. Dan adzan itu sendiri
tidak dilakukan di dalam masjid, melainkan di pasar atau di zaura', yaitu tempat
yang tinggi. Maka untuk saat ini kita sudah tidak lagi membutuhkan adanya dua
kali adzan. Sebab tujuannya sama sekali tidak ada relevan. Apalagi jarak antara
kedua adzan itu hanya sebentar sekali, dan keduanya dikumandangkan di dalam
masjid.
2. Adzan Dua Kali
Pendapat yang mengatakan bahwa yang lebih utama dikerjakan adalah adzan
dua kali melandaskannya dengan beberapa argumentasi :
a) Perintah Nabi Untuk Mengikuti Shahabat
Adzan dua kali yang dilakukan di masa Utsman ibnu Affan
radhiyallahuanhu bukan sesuatu yang salah, keliru atau bid'ah, sebab
Rasulullah SAW sendiri yang memerintahkan kita untuk mengikuti jejak
para shahabat Nabi SAW. Hal itu sesuai dengan sabda beliau SAW : Siapa
di antara kalian yang hidup sesudah masaku, akan menyaksikan ikhtilaf
yang banyak. Maka kalian harus berpegang kepada sunnahku dan sunnah
para khalifah yang mendapat petunjuk dan yang lurus. (HR. Ibnu Hibban
dan Al-Hakim).
Hadits ini jelas sekali menerangkan bahwa mengikuti para khalifah
rasyidah itu juga termasuk perintah Rasulullah SAW. Dan Utsman bin Al-
Affan radhiyallahuanhu disepakati oleh seluruh umat Islam.
b) Ijma' Para Shahabat
Selain itu, seluruh shahabat yang masih hidup di zaman Amirul
Mukminin Utsman bin Al-Affan ridhwanullahi'alaihim juga menamini
adzan dua kali pada hari Jumat. Tidak ada satu pun dari mereka yang
menentang adzan dua kali. Padahal di masa Ustman, para shahabat yang

29
ulama dan agung masih hidup dan ikut melakukan shalat Jumat dengan
dua adzan. Ini berarti shalat Jumat dengan dua adzan bukan semata-mata
dikerjakan oleh Ustman saja, melainkan dilakukan oleh hampir semua
shahabat Nabi SAW yang tinggal di Madinah saat itu.
c) Praktek Seluruh Dunia Islam
Dan di seluruh dunia Islam, baik di pusat pemerintahan atau pun di
wilayah-wilayah yang jauh, adzan shalat Jumat selalu dikumandangkan
dua kali. Sebab semua masjid di dunia ini mengacu kepada apa yang
dipraktekkan di masjid An-Nabawi Madinah. Al-Hafidz Ibnu Hajar
sebagaimana dikutip oleh AsySyaukani di dala kitab Nailul Authar
mengatakan bahwa praktek adzan 2 kali ini dilakukan bukan hanya oleh
Khalifah Utsman rasaat itu, melainkan oleh semua umat Islam di mana
pun. Bukan hanya di Madinah, melainkan di seluruh penjuru dunia Islam,
semua masjid melakukan 2 kali adzan shalat Jumat.
b. Khutbah
Khutbah jum’at adalah perkataan yang mengandung mau’izah dan
tuntunan ibadah yang diucapkan oleh khotib dengan syarat yang telah ditentukan
syara’ dan menjadi rukun. Untuk memberikan pengertian kepada hadirin menurut
rukun dari shalat jum’at. khutbah jum’at terbagi menjdi dua, yang antara
keduanya diadakan waktu istirahat yang pendek, dan khutbah ini dilakukan
sebelum shalat jum’at.
a) Hukum Khutbah Jum’at
Umumnya para ulama sepakat bahwa khutbah Jumat termasuk
syarat sah dari shalat Jumat, dimana shalat Jumat menjadi tidak sah
apabila tidak didahului dengan dua khutbah. Dasarnya adalah bahwa
Rasulullah SAW tidak pernah berkhutbah Jumat kecuali khutbah beliau
terdiri dari dua khutbah yang diselingi dengan duduk di antara keduanya.
Dan jumhur ulama sepakat menyebutkan bahwa kedudukan kedua khutbah
ini menjadi pengganti dari dua rakaat shalat Dzhuhur. Sedangkan bagi
mazhab Al-Hanfiyah, yang disyaratkan hanya satu khutbah saja. Khutbah
yang kedua bagi mereka hukumnya sunnah.
b) Syarat Khutbah Jumat

30
Agar menjadi sah hukumnya, maka khutbah Jumat itu harus
memenuhi beberapa syarat, antara lain :
1. Pada Waktu Shalat Jumat
Jumhur ulama dari Mazhab Al-Hanafiyah, AlMalikiyah dan
Asy-Syafi'iyah, kecuali mazhab AlHanabilah, telah bersepakat
bahwa khutbah Jumat disyaratkan untuk disampaikan di dalam
waktu Jumat, atau waktu Dzhuhur di hari Jumat. Dan waktu shalat
Dzhuhur dimulai tepat ketika matahari sedikit melewati atas kepala
(zawal) hingga matahari condong ke arah Barat, dimana panjang
bayangan suatu benda menjadi sama dengan panjang benda itu.
Namun Mazhab Al-Hanabilah berpendapat bahwa khutbah Jumat
sudah boleh disampaikan meski belum masuk waktu Dzhuhur
2. Sebelum Shalat
Syarat yang kedua untuk khutbah Jumat adalah harus
dikerjakan sebelum shalat Jumat dilaksanakan. Apabila yang
dilakukan terlebih dahulu adalah shalat baru kemudian khutbah,
maka sehabis khutbah harus dikerjakan lagi shalat Jumat.
Alasannya karena syarat khutbah Jumat itu harus diteruskan
sesudahnya dengan shalat. Dan adanya syarat ini membedakan
khutbah Jumat dengan khutbah-khutbah masyru'ah lainnya yang
tidak disyaratkan harus diikuti dengan shalat.
3. Dihadiri Jamaah
Syarat ketiga dari khutbah Jumat adalah harus dihadiri dan
didengarkan oleh sejumlah orang yang cukup.
4. Mengeraskan Suara
Para ulama sepakat bahwa khutbah itu harus bisa didengar
oleh sejumlah orang. Dan caranya adalah dengan mengeraskan
suara khatib. Namun di masa sekarang ini dengan adanya pengeras
suara, dijamin suara khatib akan terdengar sampai mana pun yang
dikehendaki. Sehingga pada dasarnya seorang khatib tidak harus
berteriak-teriak, apabila tujuannya hanya sekedar suaranya bisa
terdengar jauh

31
5. Muwalat
Istilah muwalat artinya adalah tersambung. Maksudnya
bahwa khutbah pertama harus tersambung dengan khutbah yang
kedua, walau pun dipisahkan dengan duduk di antara dua khutbah.
Demikian juga antara khutbah kedua dengan shalat, harus
dilakukan secara tersambung, tidak boleh dipisahkan dengan
pekerjaan lain yang memutuskan.
Khutbah pertama dikatakan terpisah dengan khutbah kedua,
atau khutbah kedua dibilang terpisah dengan shalat misalnya
apabila selesai khutbah yang pertama atau kedua, khatib pulang ke
rumahnya, atau menyantap makan siangnya, atau mengerjakan
shalat dua rakaat
6. Berbahasa Arab
Jumhur ulama dari Mazhab Al-Malikiyah, Asysyafi'iyah
dan Al-Hanablah umumnya sepakat mensyaratkan khutbah
disampaikan dalam bahasa Arab, setidaknya dalam rukun-
rukunnya. Sedangkan selain yang rukun dibolehkan untuk
disampaikan dalam bahasa selain Arab, demi untuk bisa dipahami
oleh para pendengarnya.
Mazhab Al-Malikiyah sampai mengatakan bila di suatu
tempat tidak ada satu pun orang yang mampu menyampaikan
khutbah dalam bahasa Arab, walaupun dengan membaca rukun-
rukunnya saja, maka gugurlah kewajiban khutbah dan shalat Jumat.
Dan disyaratkan pula khatib memahami apa yang dibacanya dalam
bahasa Arab itu, bukan sekedar bisa membunyikan saja.22
Mazhab Asy-Syafi'iyah juga senada dengan mazhab Al-
Malikiyah dalam hal keharusan khutbah Jumat disampaikan dalam
bahasa Arab. Fatwa dalam mazhab ini menyebutkan apabila tidak
ada khatib yang mampu menyampaikan khutbah dalam bahasa
Arab, meski hanya rukun-rukunnya saja, maka wajiblah hukumnya
bagi khatib tersebut untuk belajar bahasa Arab. Sehingga belajar

22
7 Hasyiyatu Ad-Dasuqi, jilid 1 hal. 378

32
bahasa Arab itu dalam mazhab ini hukumnya menjadi fardhu
kifayah. Dan apabila tidak seorang pun yang melakukan belajar
bahasa Arab, maka semua jamaah ikut berdosa. Dan untuk itu
gugurlah kewajiban shalat Jumat dan semua melakukan shalat
Dzhuhur saja.
Dasar dan latar belakang jumhur ulama mengharuskan
khutbah Jumat disampaikan dalam bahasa Arab, meski hanya
rukunnya saja adalah ittiba' kepada yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW, para shahabat dan generasi penerusnya hingga 14 abad
kemudian. Padahal boleh jadi khutbah itu disampaikan di luar
negeri Arab, dimana mayoritas penduduknya tidak mengerti bahasa
Arab. Kebanyakan ulama memandang bahwa khutbah Jumat ini
lebih merupakan ibadah ritual (ta'abbud), ketimbang bagaimana
orang memahami isi pesan di dalamnya. Alasannya karena khutbah
Jumat tidak lain merupakan pengganti dari dua rakaat shalat
Dzhuhur. Dan shalat itu wajib berbahasa Arab, sehingga khutbah
pun wajib disampaikan dalam bahasa Arab, meski tidak satu pun
dari hadirin memahami isi khutbah itu.
Mazhab Al-Hanafiyah adalah satu-satunya mazhab yang
membolehkan khutbah Jumat disampaikan walau tidak berbahasa
Arab. Dan perlu diketahui juga bahwa bukan hanya khutbah Jumat
yang boleh disampaikan dengan bahasa selain Arab, shalat pun
juga dibolehkan oleh mazhab ini dengan menggunakan bahasa
selain Arab. Namun kedua ulama besar di dalam mazhab
AlHanafiyah, yaitu Muhammad dan Abu Yusuf, justru tidak
sepakat dengan pendapat Al-Imam Abu Hanifah sendiri. Keduanya
malah cenderung sepakat dengan pendapat jumhur ulama, yaitu
bahwa khutbah Jumat tidak sah apabila tidak menggunakan bahasa
Arab, meski hanya pada bagian rukunnya saja.
c) Rukun Khutbah
1. Memuji Allah pada tiap-tiap permulaan dua khutbah, sekurang-
kurangnya membaca hamdalah.

33
2. Mengucapkan shalawat atas Rasulullah SAW dalam kedua khutbah
itu, sekurang-kurangnya, ‫ َو الَّص َالُة َع َلى الَّرُسْو ِل‬, artinya “Dan shalawat
atas Rasulullah SAW”.
3. Membaca syahadatain (dua kalimat syahadat).
4. Berwasiat taqwa, yakni menganjurkan agar taqwa kepada Allah
pada tiap-tiap khutbah, sekurang-kurangnya ‫ اّتقوهللا‬yang artinya
“bertakwalah kalian semua kepada Allah.”
5. Membaca ayat Al-Qur’an walaupun satu ayat di salah satu kedua
khutbah itu dan lebih utama di dalam khutbah yang pertama.
6. Memohonkan ampunan bagi kaum muslimin dan muslimat,
mukminin dan mukminat.
d) Dibawah ini ada beberapa sunnah-sunnah khutbah :
1. Khutbah diucapkan di atas mimbar
Disunnahkan oleh para ulama agar khatib berdiri di atas mimbar
ketika menyampaikan khutbahnya. Hal itu sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW pada setiap kali beliau menyampaikan
khutbahnya, yaitu beliau naik ke atas mimbar. Dan diutamakan posisi
mimbar itu di sebelah kanan dari imam ketika menghadap ke kiblat.
Karena seperti itulah keadaan mimbar Nabi SAW. Bila tidak ada
mimbar, maka disunnahkan agar khatib naik ke atas suatu benda yang
tinggi, agar bisa melihat dan terlihat oleh semua hadirin.
2. Menghadapkan Wajah Kepada Hadirin
Disunnahkan bagi khatib untuk menghadapkan wajah kepada
hadirin yang ikut shalat Jumat dan tidak menundukkan wajahnya
3. Khatib hendaknya mengucapkan salam setelah berdiri di atas mimbar.
Disunnahkan bagi khatib untuk mengawali khutbahnya dengan
salam, yang dilakukan setelah berada di atas mimbar, sebelum duduk
mendengarkan adzan.
4. Khatib hendaknya duduk sewaktu adzan di kumandangkan oleh bilal.
Disunnahkan bagi khatib untuk duduk terlebih dahulu di atas
mimbar sebelum memulai khutbahnya. Hal itu sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika memulai khutbahnya.

34
5. Adzan di Depan Khatib
Pada saat khatib duduk di awal sebelum memulai khutbahnya,
maka saat itulah disunnahkan untuk dikumandangkan adzan Jumat di
hadapan khatib.
6. Khatib hendaknya memegang tongkat dengan tangan kirinya.
7. Khatib hendaknya menyampaikan khutbahnya dengan suara yang baik
Disunnahkan bagi khatib untuk mengeraskan suaranya, agar
terdengar jelas di telinga para hadirin. Rasulullah SAW melakukannya.
Tentu saja kalau dibilang beliau mengeraskan suaranya, berarti
sepanjang khutbah harus terus menerus keras. Namun hikmah yang
bisa diambil dari hadits di atas agar suasan khutbah itu hidup, ada
intonasi dan emosinya ikut bermain. Khutbah tidak harus kaku, datar,
lurustanpa intonasi, yang hanya akan membuat hadirin terkantuk-
kantuk dibuat. Dan hal ini akan semakin diperparah apabila khatib
hanya membaca teks buatan orang lain, yang sama sekali belum
pernah dibacanya.
8. Khatib hendaknya tidak memperpanjang khutbahnya.
Ada beberapa hikmah di balik perintah untuk menyingkat khutbah.
Di antara hikmahnya adalah:
1) Agar orang-orang yang punya hajat bisa dengan segera
melaksanakannya, tidak terhambat kewajiban
mendengarkan khutbah berlama-lama.
2) Agar tidak membosankan, karena nasehat yang terlalu
panjang dan bertele-tele akan membosankan, sehingga
malah kurang mengena kepada jamaah.
3) Agar hadirin tidak sempat mengantuk atau pun tertidur
ketika mendengarkan khutbah, karena khutbahnya terlalu
panjang. Khutbah yang pendek akan menjamin batalnya
tidur, karena belum sempat tidur khutbah sudah berakhir.
Namun ukuran dan batasan seberapa panjang suatu shalat dan
seberapa pendek suatu khutbah, memang tidak ada patokrannya,
kecuali hanya sebagas 'urf atau kebiasaan yang berlaku di suatu

35
lingkungan. Bisa jadi 20 menit khutbah sudah dianggap terlalu panjang
di suatu tempat, tetapi malah dianggap terlalu pendek di tempat yang
lain. Dan terkadang boleh jadi ukurannya bukan berapa menit,
melainkan seberapa pintar sang khatib membuat hadirin terlarut
dengan isi khutbahnya, sehingga durasi khutbah yang melebihi 30
menit pun masih dianggap terlalu singkat. Sedangkan ukuran panjang
pendeknya shalat Jumat bisa diukur lewat ayat-ayat yang dibaca oleh
Rasulullah SAW ketika mengimami shalat Jumat. Dan diantara yang
sering dibaca beliau adalah surat Al-A'la dan Alghasyiyah.
9. Berpegangan Pada Tongkat atau Busur Panah
yang dianggap sunnah ketika berkhutbah adalah berpegangan pada
tongkat atau busur panah. Dan riwayat yang lain disebutkan beliau
memegang tombak atau pedang.
A. Hikmah Shalat Jum’at
Adapun terdapat beberapa hikmah mengerjakan shalat jum’at yaitu :
1. Simbol persatuan sesama umat Islam dengan berkumpul bersama,
beribadah bersama dengan barisan shaf yang rapat dan rapi.
2. Untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar sesama
manusia. Semua sama antara yang miskin, kaya, tua, muda, pintar,
bodoh, dan lain sebagainya.
3. Menurut hadis, do’a yang kita panjatkan kepada Allah SWT. akan di
kabulkan.
4. Sebagai syiar Islam.

36
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas dapat kami simpulkan bahwa Shalat Jum'at
adalah ibadah shalat yang dikerjakan di hari jum'at dua rakaat secara berjamaah
dan dilaksanakan setelah khutbah. Shalah Jum'at memiliki hukum wajib 'ain bagi
setiap muslim laki-laki atau pria dewasa beragama islam, merdeka sudah
mukallaf, sehat badan serta muqaim (bukan dalam keadaan mussafir) dan menetap
di dalam negeri atau tempat tertentu dan shalat jum’at juga memiliki syarat-syarat
wajib dan syarat syah nya yang harus dilaksanakan, supaya shalat jumat nya
menjadi sempurna.
Shalat Jum'at adalah ibadah shalat yang dikerjakan di hari jum'at dua rakaat secara
berjamaah dan dilaksanakan setelah khutbah. Shalah Jum'at memiliki hukum
wajib 'ain bagi setiap muslim laki-laki atau pria dewasa beragama islam, merdeka
sudah mukallaf, sehat badan serta muqaim (bukan dalam keadaan mussafir) dan
menetap di dalam negeri atau tempat tertentu.

Saran
Dalam pengumpulan materi pembahasan diatas tentunya kami banyak
mengalami kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu hendaknya pembaca
memberikan tanggapan dan tambahan terhadap makalah kami. Sebelum dan
sesudahnya kami haturkan terimakasih.

37
DAFTAR PUSTAKA

Abbas Arfan, Fiqih Ibadah Peraktis, malang: Uin-Maliki Press.


Abdul Manan bin H. Muhammad Sobari, Jangan Tinggalkan Shalat Jum’at-fiqih
shalatt Jum’at, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2008), hal.59
Abu Bakr Ibn al-Mundzir, al-Ijma’ (ad-Doha: Dar ats-Tsaqafah, 1987). hal 38
Ahmad Ibn Hambal, Hadits, (Bairut Muassasah al- Risalah 199) , hal. 299
Djamaludin Ar-Raut, Shalat Jum’at Yang Sia-Sia Tanpa Pahala..., hal. 119.
Hasyiyatu Ad-Dasuqi, jilid 1 hal. 378
Husain bin ‘Ali bin Abdurrahman Asy-Syaqrawi, Jangan Sepelekan Shalat
Jum’at, (Solo: Pustaka Iltizam. 2009), hal. 59
Imam Musbikin, Manusia di Balik Kewajiban Shalat Jum’at, (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2008), hal. 80.
Jamal ad-Din M. Zarabozo, Jum’at Sujud Pilihan Insan Takwa, (Jakarta: Cendekia
2002), hal. 12
Muhammad Azzam Abdul Aziz dan Sayyed Hawwas Abdul Wahhab, Fiqih
Ibadah, Jakarta: Amzah, 2009.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah : Pesan. Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hal. 230
M.S. Tajul Khalwaty, Menyibak Kemuliaan Hari Jum’at, (Jakarta: Rineka Cipta,
1995), hal. 3
Saifuddin Aman, Jum’at Hari Bertabur Kebajikan, (Jakarta: Al-Mawardi Prima,
2011), hal.19-20
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena.
Umay M. Dja’far Shiddieq, Syari’ah Ibadah, (Jakarta: Pusat: al-Ghuraba, 2006),
hal. 75.

38

Anda mungkin juga menyukai