Fiqh Ibadah
Disusun Oleh:
FAKULTAS TARBIYAH
2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberi nikmat, rahmat serta
hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Sholat Jum’at Dan Sholat Id dengan tepat waktu. Makalah ini merupakan salah
satu tugas mata kuliah di progam studi Pendidikan Guru Agama Islam Fakultas
Tarbiyah Universitas Ma’arif Lampung pada semester Dua. Kami ucapkan
terimakasih kepada Bapak Drs, Suyoto, M..Ag selaku dosen pembimbing Mata
kuliah Fiqh Ibadahdan kepada segenap pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Akhirnya kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih ada
banyak kekurangan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamualaikum. Wr.Wb.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
A. LatarBelakang ....................................................................................... 1
B. RumusanMasalah .................................................................................. 2
A. Syarat dan Rukun Sholat Jum’at dan Khutbah Jumat dan Fadhilahnya.... 3
B. Sholat sunnah Qobliyah Dan Bakdiyah Jumat ........................................ 9
C. Adzan Dua Kali dan Satu Kali ............................................................... 11
D. Sholat Id Di Lapangan Atau Dimasjid ................................................... 14
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 17
A. Kesimpulan ............................................................................................ 18
B. Saran ...................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 19
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Allah telah menganugerahkan bermacam-macam keistimewaan dan
keutamaan kepada umat ini. Diantara keistimewaan itu adalah hari Jum'at,
setelah kaum Yahudi dan Nasrani dipalingkan darinya. Al-Hafidz Ibnu Katsir
berkata: "Hari ini dinamakan Jum'at, karena artinya merupakan turunan dari
kata al-jam'u yang berarti perkumpulan, karena umat Islam berkumpul pada
hari itu setiap pekan di balai-balai pertemuan yang luas. Allah SWT
memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin berkumpul untuk
melaksanakan ibadah kepada-Nya. Allah berfirman
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual belif 1475) yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
(al-Jumuah: 9)
Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan
di hari Jum'at, Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan
muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya. Di dalam sebuah hadis,
Rasulullah SAW., bersabda, "Sebaik-baik hari di kala matahari terbit ialah
hari jum'at. Pada hari inilah Nahi Adam AS diciptakan. Pada hari ini apabila,
la dimasukan kedalam surga. Dan tidaklah hari kiamat akan terjadi kecuali
pada hari jum'at".
Sabda Rasulallah SAW: "sesungguhnya hari Jum'at penghulu semua
hari dan paling agung disisi Allah, ia lebih agung di sisi Allah dari hari Raya
Idul Adha dan Idul Fitri. Dalam hari Jum'at trdapat lima keutamaan pada
hari itu Allah menciptakan Adam, padahari itu Allah menurunkan adam ke
bumi, pada hari itu allah mewafatkan adam, pada hari itu ada satu saat yang
tidaklah seorang hamba meminta kepada Allah sesuatu melainkan dia pasti
memberikannya selama tidak meminta suatu yang haram, dan pada hari itu
akan terjadi kiamat. Tidaklah malaikat yang dekat (kepada Allah), langit,
1
bumi, angin, gunung, dan lautan, melainkan mereka semua merindukan hari
Jum'at." (HR. Ibnu Majah).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja Syarat dan Rukun Sholat Jum’at dan Khutbah Jumat dan
Fadhilahnya?
2. Bagaimanaa Sholat sunnah Qobliyah Dan Bakdiyah Jumat?
3. Bagaiaman penjelasan Adzan Dua Kali dan Satu Kali?
4. Bagaiamana Penjelasan Sholat Id Di Lapangan Atau Dimasjid?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Syarat dan Rukun Sholat Jum’at dan Khutbah Jumat dan Fadhilahnya
1. Syarat Dan Rukun
Sholat Jum’at memeliki dua rukun yaitu sholat dan khutbah, seangkan
Shalat Jumat mempunyai dua kategori syarat, yaitu syarat wajib, syarat
sah dan syarat in’iqâd, sebegaimana penjelasan berikut.
Pertama, syarat wajib. Yaitu sifat-sifat yang melekat pada diri
seseorang yang mana wajib dan tidaknya shalat Jumat tergantung pada
ada dan tidaknya sifat tersebut. Syarat wajib Jumat ada tujuh, yaitu:
a. Beragama Islam.
b. Baligh, mencapai usia 15 tahun, atau telah mengalami ihtilâm (mimpi
basah).
c. Berakal sehat.
d. Merdeka, syarat ini hanya berlaku di masa ada perbudakan dahulu.
e. Laki-laki.
f. Sehat.
g. Bermukim.
Terkait syarat terakhir, sebenarnya dalam bab shalat Jumat kita
dikenal dua istilah, muqîm (orang yang bermukim) dan mustauthin (orang
yang berdomisili). Makna kata domisili di sini berbeda dengan makna
yang sering dopahami biasanya
Kedua, syarat sah. Sah dan tidaknya shalat Jumat tergantung apakah
syarat-syarat sahnya terpenuhi atau tidak. Untuk hal ini, sama persis
dengan syarat sah shalat Dhuhur dan shalat lainnya, hanya ada enam
syarat tambahan yang membuatnya berbeda. Berikut rinciannya:
a. Waktu pelaksanaannya yang terhitung sejak masuk waktu Dhuhur
hingga tiba waktu Ashar. Karena itu, bila shalat Jumat yang dilakukan
belum usai hingga tiba waktu Ashar, maka shalatnya harus
disempurnakan menjadi shalat Dhuhur tanpa mengubah niat.
3
b. Tempat pelaksaanannya adalah sekitar pemukiman. Baik pemukiman
itu terdiri dari bangunan kayu atau tumpukan batu-bata saja. Jelasnya,
shalat jumat tidak boleh dilaksanakan di selain sekitar pemukiman,
seperti di padang sahara. Sebab, sejak masa Nabi saw sampai masa
Khulafâ’ Râsyidûn shalat Jumat tidak dilakukan di luar pemukiman.
c. Jumlah jamaahnya harus mencapai 40 orang sebagai batas minimal,
dengan kriteria berjenis laki-laki, mukalaf, merdeka, dan bermukim di
daerah tersebut. Bilangan 40 adalah yang disepakati oleh mayoritas
ulama.
d. Dilakukan secara berjamaah. Karenanya, bila 40 orang shalat sendiri-
sendiri dalam satu masjid, misalnya, maka tidak sah. Berbeda dengan
seorang masbuk yang menyempurnakan rakaat keduanya sendirian,
shalat Jumatnya tetap sah. Sebab, ia terhitung berjamaah.
e. Tidak boleh terdapat dua jamaah shalat Jumat dalam satu daerah,
kecuali tidak ada tempat yang cukup menampung seluruh jamaah,
meskipun bukan masjid atau meskipun tanah lapang. Jika masih bisa
berkumpul dalam satu tempat, dan ternyata tetap dilaksanakan dalam
dua, tiga, bahkan empat kelompok, maka yang sah adalah kelompok
yang pertama kali melakukan takbîratul ihram.
f. Dilakukan setelah pelaksanaan dua khutbah Jumat yang memenuhi
syarat dan rukunnya.
2. Khutbah Jum’at
Salah satu syarat sah pelaksanaan shalat Jumat adalah didahului
dua khutbah. Ritual khutbah dilakukan sebelum shalat Jumat dikerjakan.
Khutbah Jumat dilakukan dua kali, di antara khutbah pertama dan kedua
dipisah dengan duduk.
Khutbah Jumat memiliki lima rukun yang harus dipenuhi. Kelima
rukun tersebut disyaratkan menggunakan bahasa Arab dan harus
dilakukan dengan tertib (berurutan) serta berkesinambungan (muwâlah).
Berikut ini lima rukun khutbah Jumat beserta penjelasannya
a. memuji kepada Allah di kedua khutbah
4
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
ويشترط كونه بلفظ هللا ولفظ حمد وما اشتق منه كالحمد هلل أو أحمد هللا أو هللا أحمد أو هلل
الحمد أو أنا حامد هلل فخرج الحمد للرحمن والشكر هلل ونحوهما فال يكفي
1
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim Hamisy Hasyiyah al-Turmusi, Jedah,
Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, hal. 246
2
Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4,
hal. 248)
5
Pendapat al-mu’tamad tersebut senada dengan pendapatnya Syaikhul
Islam Zakariyya al-Anshari, Syekh al-Khathib, Syekh al-Ramli dan
lain sebagainya. Sedangkan pendapat lemah yang mencukupkan
penyebutan dlamir adalah pendapat sekelompok ulama Yaman, di
antaranya Syekh Ahmad bin Muhammad al-Nasyiri dan Syekh Husain
bin Abdurrahman al-Ahdal3
c. Ketiga, berwasiat dengan ketakwaan di kedua khutbah
Rukun khutbah ketiga ini tidak memiliki ketentuan redaksi yang
paten. Prinsipnya adalah setiap pesan kebaikan yang mengajak
ketaatan atau menjauhi kemaksiatan. Seperti “Athi’ullaha, taatlah
kalian kepada Allah”, “ittaqullaha, bertakwalah kalian kepada Allah”,
“inzajiru ‘anil makshiat, jauhilah makshiat”. Tidak cukup sebatas
mengingatkan dari tipu daya dunia, tanpa ada pesan mengajak
ketaatan atau menjauhi kemakshiatan. Syekh Ibrahim al-Bajuri
mengatakan:
ثم الوصية بالتقوى وال يتعين لفظها على الصحيح (قوله ثم الوصية بالتقوى) ظاهره أنه ال
بد من الجمع بين الحث على الطاعة والزجر عن المعصية ألن التقوى امتثال األوامر
وال يكفي...الى ان قال... واجتناب النواهي وليس كذلك بل يكفي أحدهما على كالم ابن حجر
مجرد التحذير من الدنيا وغرورها اتفاقا
“Kemudian berwasiat ketakwaan. Tidak ada ketentuan khusus dalam
redaksinya menurut pendapat yang shahih. Ucapan Syekh Ibnu Qasim
ini kelihatannya mengharuskan berkumpul antara seruan taat dan
himbauan menghindari makshiat, sebab takwa adalah mematuhi
perintah dan menjauhi larangan, namun sebenarnya tidak demikian
kesimpulannya. Akan tetapi cukup menyampaikan salah satu dari
keduanya sesuai pendapatnya Syekh Ibnu Hajar. Tidak cukup sebatas
menghindarkan dari dunia dan segala tipu dayanya menurut
kesepakatan ulama”. 4
3
Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011 M, juz
IV, hal. 249
4
Syekh Ibrahim al-bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim, Kediri, Ponpes Fathul
Ulum, tanpa tahun, juz.1, hal.218-219
6
d. Keempat, membaca ayat suci al-Quran di salah satu dua khutbah.
Membaca ayat suci al-Quran dalam khutbah standarnya adalah
ayat al-Qur'an yang dapat memberikan pemahaman makna yang
dimaksud secara sempurna. Baik berkaitan dengan janji-janji,
ancaman, mauizhah, cerita dan lain sebagainya. Seperti contoh:
َ َْيا أ َ ُّي َها الَّذِينَ آ َمنُواْ اتَّقُوا
َّ هللا َوكُونُواْ َم َع ال
َصا ِدقِين
5
Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anatut Thalibin, juz.2, hal.66, cetakan al-Haramain-
Surabaya, tanpa tahun
7
mengarah kepada urusan duniawi, seperti “allâhumma a’thinâ mâlan
katsîran, ya Allah semoga engkau memberi kami harta yang banyak”.
Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:
( و) خامسها (دعاء) أخروي للمؤمنين وإن لم يتعرض للمؤمنات خالفا لألذرعي (ولو) بقوله
(رح مكم هللا) وكذا بنحو اللهم أجرنا من النار إن قصد تخصيص الحاضرين (في) خطبة
(ثانة) التباع السلف والخلف
6
Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy I’anatut Thalibin, Surabaya, al-
Haramain, tanpa tahun, juz.2, hal.66).
8
mengenal akan terjadi perkenalan, saling mencintai, dan merasa
bersaudara,
d. Keempat, shalat Jumat hanya dua rakaat. Salah satu bentuk kasih
sayang Allah adalah shalat Jumat hanya terdiri dari dua rakaat.
Sebab, orang yang sehat, tidak bepergian, bepergian, yang tidak
memiliki kepentingan, dan yang memiliki kepentingan mendesak,
semuanya ikut berkumpul untuk mengerjakannya, karena
melaksanakan shalat dua rakaat merupakan waktu yang sebentar.
َع َلى أَدَائِ َها ِلتَكُ ْونَ مِنَ ْال ُمقَ َّربِيْن ْ ص َالةِ ْال ُج ْمعَ ِة فَ َحاف
َ ِظ َ ِي ْالحِ ْك َمةُ فِي
َ هَ ِذ ِه ه
7
. Syekh al-Jurjawi, Hikmatu at-Tasyri’ wa Falsafatih, [Maktabah at-Taufiq, Darul Fikr:
1997], juz I, halaman 90).
9
Syafi'iyyah (menurut pendapat yang dalilnya lebih tegas) dan pendapat
Hanabilah dalam riwayat yang tidak masyhur.
Kedua, shalat qabliyyah Jum’at tidak disunnahkan menurut pendapat
Imam Malik, sebagian Hanabilah dalam riwayat yang masyhur Adapun dalil
yang menyatakan dianjurkannya shalat sunnah qabliyah Jum'at: Hadist
Rasulullah SAW
ِ ض ٍة إِالَّ َوبَيْنَ يَدَ ْي َها َر ْكعَت
َان َ صالَةٍ َمفْ ُر ْو
َ الزبَي ِْر " َما م ِْن
ُّ ع ْب ِدهللاِ ب ِْن ِ َّان م ِْن َح ِد ْي
َ ث ٍ ص َّح َحهُ ا ْب ُن حِ ب
َ َما
"Semua shalat fardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnat qabliyah dua rakaat".
(HR.Ibnu Hibban yang telah dianggap shahih dari hadist Abdullah bin
Zubair). Hadist ini secara umum menerangkan adanya shalat sunnah qabliyah
tanpa terkecuali shalat Jum'at. Hadist Rasulullah SAW
ُ ُسلَّ َم يَ ْخط
ُب فَقَالَ لَه َ علَ ْي ِه َو َ ُصلَّى هللا َ ِي َو َرسُ ْو ُل هللا َ َع ْنهُ قَا َل َجا َء سُلَيْكٌ الغ
ُّ ِطفَان َ ُي هللا َ ض ِ ع ْن أَبِي ه َُري َْرة َ َرَ َو
َ َ قَا َل ف.َصلَّيْتَ َر ْك َعتَي ِْن قَ ْب َل أ َ ْن ت َِج ْي َء؟ قاَلَ ال
سنن ابن.ص ِل َر ْك َعت َ ْي ِن َوت َ َج َّو ْز فِ ْي ِه َما َ َ سلَّ َم أ َ ُ صلَّى هللا
َ علَ ْي ِه َو َ ي ُّ النَّ ِب
ماجه
10
Adapun dalil yang menerangkan tidak dianjurkannya shalat sunnat
qabliyah Jum'at adalah sebagai berikut.: Hadist dari Saib Bin Yazid: "Pada
awalnya, adzan Jum'at dilakukan pada saat imam berada di atas mimbar
yaitu pada masa Nabi SAW, Abu bakar dan Umar, tetapi setelah zaman
Ustman dan manusia semakin banyak maka Sahabat Utsman menambah
adzan menjadi tiga kali (memasukkan iqamat), menurut riwayat Imam
Bukhari menambah adzan menjadi dua kali (tanpa memasukkan iqamat).
(H.R. riwayat Jama'ah kecuali Imam Muslim).
Dari dua pendapat dan dalilnya di atas jelas bahwa pendapat kedua
adalah interpretasi dari tidak shalatnya Nabi SAW sebelum naik ke mimbar
untuk membaca khuthbah. Sedangkan pendapat pertama berlandaskan dalil
yang sudah sharih (argumen tegas dan jelas). Maka pendapat pertama yang
mensunnahkan shalat qabliyyah jum’ah tentu lebih kuat dan lebih unggul
(rajih). Permasalahan ini semua adalah khilafiyah furu'iyyah (perbedaan
dalam cabang hukum agama) maka tidak boleh menyudutkan di antara dua
pendapat di atas. Dalam kaidah fiqih mengatakan “la yunkaru al-mukhtalaf
fih wa innama yunkaru al- mujma' alaih” (Seseorang boleh mengikuti salah
satu pendapat yang diperselisihkan ulama dan tidak boleh mencegahnya
untuk melakukan hal itu, kecuali permasalahan yang telah disepakati)
11
kali lagi sebelum khatib naik ke atas mimbar, sehingga adzan Jumat menjadi
dua kali.
Ijtihad ini beliau lakukan karena melihat manusia sudah mulai banyak
dan tempat tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk
memberi tahu bahwa shalat Jumat hendak dilaksanakan. Dalam kitab Shahih
al-Bukhari dijelaskan:
اإل َما ُم يَ ْو َم
ِ ِس ُ ِب بنَ يَ ِز ْي ٍد يَقُ ْو ُل إِ َّن األَذَانَ يَ ْو َم ال ُج ْمعَ ِة َكانَ أ َ َّولُهُ حِ يْنَ يَ ْجل َ سائَ سمِ عْتُ ال َ ,ب قَا َل ٍ ِسائَ ع ْن َ
َع ْن ُه َما فَلَ َّما َكانَ ُي هللاَ ض ِ سلَّ َم َوأَبِ ْي بَ ْك ٍر َوعُ َم َر َرَ علَ ْي ِه َوَ ُصلَّى هللا َ ِع ْه ِد َرسُ ْو ِل هللا َ علَى ال ِم ْن َب ِر فِ ْي
َ ال ُج ْمعَ ِة
ِالز ْو َراءَّ علَى َ ث فَأَذَانَ بِ ِه
ِ ان الثَّا ِل ِ َع ْنهُ َو َكث َ ُر ْوا أ َ َم َر عُثْ َما ُن يَ ْو َم ال ُج ْمعَ ِة بِاألَذَ ُي هللاَ ضِ ف ِْي خِ الَفَ ِة عُثْ َمانَ َر
َ فَثَبَتَ األ َ ْم ُر
َعلَى ذَالِك
Dari Sa'ib ia berkata, "Saya mendengar dari Sa'ib bin Yazid, beliau berkata,
“Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah
SAW, Abu Bakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas
mimbar. Namun ketika masa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin sudah
banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan
tersebut dikumandangkan di atas Zaura' (nama pasar). Maka tetaplah hal
tersebut (sampai sekarang)". ( Shahih al-Bukhari: 865)
Yang dimaksud dengan adzan yang ketiga adalah adzan yang
dilakukan sebelum khatib naik ke mimbar. Sementara adzan pertama adalah
adzan setelah khathib naik ke mimbar dan adzan kedua adalah iqamah. Dari
sinilah, Syaikh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fath al-Mu'in,
mengatakan bahwa sunnah mengumandangkan adzan dua kali. Pertama
sebelum khatib naik ke mimbar dan yang kedua dilakukan setelah khatib naik
di atas mimbar :
ََان ل ِْل ُج ْم َع ِة أ َ َحدُهُ َما َب ْعد
ِ َوأَذَان,ُص َر َفاأل َ ْولَى َب ْعدَه
َ َ خر َب ْعدَهُ فَإِن ا َقت
ِ ْح َواحِ ٍد قَ ْب َل الفَجْ ِر َوآ ٍ صب ِ س ُّن أَذَان
ُ َان ِل َ َُوي
ْ ب ال ِم ْن َب َر َواألَخ َُر ا َّلذ
ُِي قَ ْبلَه ِ صعُ ْو ِد الخَطِ ْيُ
"Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat Shubuh, yakni sebelum fajar dan
setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama
12
dilakukan setelah fajar. Dan sunnah dua adzan untuk shalat Jumat. Salah
satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang lain sebelumnya". 8
Meskipun adzan tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman
Rasulullah SAW, ternyata ijtihad Sayyidina Utsman RA. tersebut tidak
diingkari (dibantah) oleh para sahabat Nabi SAW yang lain. Itulah yang
disebut dengan “ijma sukuti”, yakni satu kesepakatan para sahabat Nabi SAW
terhadap hukum suatu kasus dengan cara tidak mengingkarinya. Diam berarti
setuju pada keputusan hukumnya. Dalam kitab al-Mawahib al-Ladunniyyah
disebutkan :
علَ ْي ِه
َ ُع ْنهُ َكانَ ِإ ْج َماعا سُكُ ْوتِيا ِألََ نَّ ُه ْم الَ يُ ْنك ُِر ْونَه
َ ُي هللا ِ ث ُ َّم ِإ َّن فِ ْع َل عُثْ َمانَ َر
َ ض
"Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman ra. itu merupakan
ijma' sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat yang lain tidak
menentang kebijakan tersebut” 9
Apakah itu tidak mengubah sunah Rasul? Tentu Adzan dua kali tidak
mengubah sunnah Rasulullah SAW karena kita mengikuti Utsman bin Affan
ra. itu juga berarti ikut Rasulullah SAW. Beliau telah bersabda:
َّ ِفَعَلَ ْيكُ ْم بِسُ َّنَت ِْي َوسُنَّ ِة ال ُخلَفَآء
ْ الرا ِش ِديْنَ م ِْن بَ ْع ِد
ي
"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-
Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal)
Apalagi adzan kedua yang dilakukan sejak zaman Utsman bin Affan
RA itu, sama sekali tidak ditentang oleh sahabat atau sebagian dari para
sahabat di kala itu. Jadi menurut istilah ushul fiqh, adzan Jumat dua kali sudah
menjadi “ijma’ sukuti”. Sehingga perbuatan itu memiliki landasan yang kuat
dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma' para sahabat. Perbedaan ini
adalah perbedaan dalam masalah furu’iyyah yang mungkin akan terus menjadi
perbedaan hukum di kalangan umat, tetapi yang terpenting bahwa adzan Jumat
satu kali atau dua kali demi melaksanakan syari’at Islam untuk mendapat ridla
Allah SWT.
8
(Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy I’anatut Thalibin, Surabaya, al-
Haramain, tanpa tahun, juz.2, hal.15
9
al-Mawahib al Laduniyah, juz II,: 249
13
D. Sholat Id Di Lapangan Atau Dimasjid
Hukum shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah sunnah muakkadah
(sangat dianjurkan tetapi tidak wajib). Meskipun ibadah sunnah muakkadah,
Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkannya setiap tahun dua kali.
Imam As-Syaukani berkata: "Ketahuilah bahwasanya Nabi SAW
terus-menerus mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah
meninggalkannya satu pun dari beberapa Id. Nabi memerintahkan umatnya
untuk keluar padanya, hingga menyuruh wanita, gadis-gadis pingitan dan
wanita yang haid.” lalu “Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar
menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta panggilan kaum muslimin.
Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak mempunyai jilbab agar
saudaranya meminjamkan jilbabnya.”
Shalat Id tidak disyaratkan harus dilaksanakan di Masjid. Bahkan
menurut pendapat Imam Malik shalat Id juga baik dilaksanakan di lapangan
terbuka. Karena Nabi Muhammad SAW juga melakukan shalat Id di lapangan
kecuali karena ada hujan atau penghalang lainnya.
Adapun perbedaan di antara tanah lapang dengan masjid bahwa tanah
lapang berada di tempat terbuka, sedangkan masjid berada di dalam sebuah
tempat (bangunan) yang tertutup.
ْ ج يَ ْو َم ْالف
ِط ِر َو ُ َكانَ َرسُ ْو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم يَ ْخ ُر: َس ِع ْي ِد ْال ُخد ِْري رضي هللا عنه قَال َ ع ْن أَبِي
َ
ع َلى
َ س ٌ اس ُجلُ ْو
ُ َّ َو الن،اس ِ َّف فَيَقُ ْو ُم ُمقَابِ َل الن
ُ ص ِر َّ ش ْي ٍئ يَ ْبدَأ ُ بِ ِه ال
َ ث ُ َّم يَ ْن،صالَة َ ض َحى ِإلَى ْال ُم
َ فَأ َ َّو ُل.صلَّى ْ َ اْأل
َ أ َ ْو َيأ ْ ُم ُر ِب،ُط َعه
شي ٍْئ أ َ َم َر ِب ِه ث ُ َّم َ فَإ ِ ْن َكانَ ي ُِر ْيد ُ أ َ ْن َي ْق.ص ْي ِه ْم َو َيأ ْ ُم ُرهُ ْم
َ َط َع َب ْعثا ق ِ فَ َي ِعظُ ُه ْم َو ي ُْو،صفُ ْوفِ ِه ْم
ُ
ف ُ ص ِر َ َي ْن
“Dari Abi Sa'id Al-Khudri RA, ia berkata: "Rasulullah SAW biasa keluar
menuju mushalla (tanah lapang/lapangan) pada hari Idul Fitri dan Adha. Hal
pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling
menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf
mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin
mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin
14
memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian
berpaling" (HR. Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, Nasa`i 1/234; )
Mengerjakan shalat Id di mushalla (tanah lapang) adalah sunnah,
kerana dahulu Nabi SAW keluar ke tanah lapang dan meninggalkan
masjidnya, yaitu Masjid Nabawi yang lebih utama dari masjid lainnya. Waktu
itu masjid Nabi belum mengalami perluasan seperti sekarang ini. Namun
demikian, menunaikan shalat Id di masjid lebih utama. Imam As-Syafi'i
bahkan menyatakan sekiranya masjid tersebut mampu menampung seluruh
penduduk di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah
lapang (untuk mengerjakan shalat Id) karena shalat Id di masjid lebih utama.
Akan tetapi jika tidak dapat menampung seluruh penduduk, maka tidak
dianjurkan melakukan shalat Id di dalam masjid.
َ صلَ ذَالِكَ فَال َمس ِْجد ُ أ َ ْف
ض ُل َ فَإِذَا َح.... َصلُّ ْوا فِ ْي ِه َوالَ يَ ْخ ُر ُج ْون
َ أَنَّهُ إِذَا كاَنَ َمس ِْجد ُ البَلَ ِد َواسِعا
10
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 5, h. 283
15
menyelenggarakan shalat Id lebih utama di masjid jika masjid (termasuk
serambi dan halamannya) mampu menampung jema’ah.
Sekali lagi, fokus utama dalam hukum shalat Id ini adalah dapat
berkumpulnya masyarakat untuk menyatakan kemenangan, kebahagiaan dan
kebersamaan. Di antara hikmah berkumpulnya kaum muslimin di satu tempat
adalah untuk menampakkan kemenangan kaum muslimin; untuk menguatkan
keimanan dan memantapkan keyakinan; untuk menyatakan fenomena
kegembiraan pada Hari Raya; untuk menyatakan salah satu bentuk rasa syukur
kepada Allah SWT.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Metode pembelajaran fiqih tentang sholat jum'at adalah suatu cara
yang digunakan oleh seorang guru dalam menyampaikan materi tentang sholat
jum'at kepada murid atau peserta didik dengan menggunakan berbagai cara
yang mudah dipahami oleh peserta didik sehingga tujuan dari sebuah
pembelajaran dapat tercapai secara efektif dan efesien.
Shalat Jum'at adalah ibadah shalat yang dikerjakan di hari jum'at dua
rakaat secara berjamaah dan dilaksanakan setelah khutbah. Shalah Jum'at
memiliki hukum wajib 'ain bagi setiap muslim laki-laki / pria dewasa
beragama islam, merdeka sudah mukallaf, schat badan serta muqaim (bukan
dalam keadaan mussafir) dan menetap di dalam negeri atau tempat tertentu
dan shalat jum'at juga memiliki syarat-syarat wajib dan syarat syah nya yang
harus dilaksanakan, supaya shalat jumat nya menjadi sempurna.
B. Saran
Kami menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak kesalahan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami meminta kritik yang
membangun dari para pembaca
17
DAFTAR PUSTAKA
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, 2011. al-Minhaj al-Qawim Hamisy Hasyiyah al-
Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj
Syekh Ibrahim al-bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim, Kediri, Ponpes
Fathul Ulum,
18