SHALAT
DI
S
U
S
U
N
OLEH :
AMIRUL YAKIN
1705190010
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas
berkat dan limpahan rahmat-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan makalah ini yang berjudul "Shalat ".
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan
oleh dosen matakuliah yang bersangkutan, yaitu mata kuliah “Fiqih”. Kami
menyadari sepenuhnya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak
terdapat kesalahan baik dari segi penulisan maupun pembahasan, oleh karena itu
kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi
perbaikan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Penyusun,
i
DAFTAR ISI
Halaman:
Kata Pengantar ................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 2
Bab II Pembahasan
2.1 Pengertian Shalat ............................................................................... 2
2.2 Macam-Macam Shalat
2.2.1 Shalat Jum’at ............................................................................ 3
2.2.2 Shalat dua Hari Raya ................................................................ 6
2.2.3 Shalat Istisqa dan Gerhana ....................................................... 8
2.2.4 Pengurusan Jenazah ................................................................. 12
Bab III Penutup
3.1 Kesimulan .......................................................................................... 19
3.2 Saran-Saran ........................................................................................ 19
Daftar Pustaka ................................................................................................... 20
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
2.2. Macam-Macam Sholat
2.2.1 Shalat Jum’at
A. Pengertian Sholat Jumat
Sholat Jumat adalah sholat 2 rokaat yang dilakukan di hari Jumat secara
berjamaah setelah khutbah Jumat setelah masuk waktu Dhuhur. Untuk dapat
melakukan sholat Jum’at berjamaah, jumlah yang hadir harus minimal 40 orang
dan dilakukan di masjid yang dapat menampung banyak jamaah.
Jadi, hukum shalat Jum’at bagi laki-laki adalah fardhu ‘ain, yakni wajib
dilakukan bagi setiap laki-laki. Sedangkan bagi wanita tidak diwajibkan, namun
tetap harus melaksanakan sholat Dhuhur.
3
tahun ) maka orang tua atau walinya diminta untuk memerintahkan anak
tersebut menghadiri sholat Jumat.
2. Laki-laki. Tidak ada kewajiban melakukan sholat Jumat bagi perempuan.
Maka hukum sholat Jumat bagi wanita adalah mubah.
3. Orang yang merdeka, bukan budak sahaya. Pada poin ini, terdapat
perbedaan pendapat antar ulama, karena berdasarkan hadist, hamba sahaya
atau budak tidak wajib melakukan sholat Jumat. Dasar pemikirannya
adalah karena tuannya sangat memerlukan tenaganya sehingga sang
hamba sahaya tidak dapat leluasa melakukan sholat Jumat.
Namun sebagian ulama menyatakan, bila majikannya mengizinkan dirinya
untuk melakukan sholat Jumat maka sang hamba sahaya wajib menghadiri
sholat Jumat tersebut karena tidak ada lagi uzur yang menghalangi.
Pendapat ini dikuatkan oleh as-Syaikh Muhammad bin Shalih
as-‘Utsaimin (Asy-SyarhulMumti’ 5/9).
4. Orang yang menetap dan bukan musafir ( orang yang sedang bepergian ).
Dasar pemikirannya adalah ketika Rasulullah SAW dahulu melakukan
safar atau bepergian, beliau tidak melakukan sholat Jumat dalam safarnya.
Pun ketika Nabi SAW menunaikan haji wada’ di Padang Arafah ( wukuf )
pada hari Jumat beliau menjama’ sholat dhuhur dan ashar dan tidak
melakukan shalat Jumat.
5. Orang yang tidak memiliki halangan atau uzur yang dapat mencegahnya
menghadiri shalat Jumat. Apabila orang tersebut memiliki halangan, maka
dia hanya wajib melakukan sholat dhuhur saja. Diantara orang yang
memiliki uzur dan diperbolehkan meninggalkan shalat Jumat adalah
seseorang yang memiliki tanggung jawab keamanan dan kemaslahatan
umat, diantaranya adalah petugas keamanan, dokter dan sebagainya.
6. Orang sakit yang membuatnya tidak mampu menghadiri shalat Jumat dan
akan menemui kesulitan untuk melaksanakan bukan sekedar perkiraan,
seperti terkena diare misalnya, maka diperbolehkan tidak melakukan shalat
Jumat.
4
Maka bagi yang diwajibkan sholat Jumat sebagaimana di atas namun tidak
mengerjakan dengan uzur syar’i, hukum meninggalkan sholat Jumat adalah
haram.
"Barang siapa yang meninggalkan shalat jum’at 3 (tiga) kali tanpa
sebab maka Allah akan mengunci mata hatinya." (H.R. Malik)
Pada hari Jum’at juga diyakini sebagai waktu yang mustajab untuk berdoa
dan dosa-dosa diampuni hingga hari Jum’at berikutnya bila kita bertaubat dan
memperbanyak membaca istighfar. Sehingga hikmah sholat Jumat sangat besar
sekali.
5
2.2.2 Shalat Dua Hari Raya
A. Hukumnya
Shalat dua hari raya wajib bagi laki-laki dan perempuan. Karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melaksanakannya serta memerintahkan
orang-orang mendatanginya.
Dari Ummu ‘Athiyah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Kami
diperintahkan untuk mengeluarkan para gadis dan wanita yang sedang dalam
pingitan (untuk menghadiri shalat ‘Id).”
Dari Hafshah binti Sirin, dia berkata, “Dahulu, ketika hari raya, kami
pernah melarang gadis-gadis kami keluar. Kemudian datanglah seorang wanita
yang singgah di istana Bani Khalaf.(*) Aku pun lantas mendatanginya. Dia
bercerita bahwa suami saudarinya pernah ikut perang bersama Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebanyak dua belas kali peperangan. Saudarinya juga pernah
menyertainya berperang sebanyak enam kali peperangan. Dia berkata,”Kami
mengurusi orang-orang yang sakit dan mengobati orang-orang yang terluka.” Dia
berkata lagi,”Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah salah
seorang di antara kami tidak keluar jika tidak memiliki jilbab?” Beliau bersabda,
“Hendaklah saudarinya memakaikan jilbab kepadanya. Kemudian hendaklah
mereka menyaksikan kebaikan dan do’a orang-orang yang beriman.”
B. Waktunya
Dari Yazid bin Khumair ar-Rahabi, dia berkata, “’Abdullah bin Busr,
Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluar bersama orang-orang
pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha. Kemudian dia mengingkari
keterlambatan imam. Dia berkata, ‘Dahulu kami selesai pada saat seperti ini, yaitu
ketika tasbih.’”
6
Apakah terdapat adzan dan iqamat?
Dari Ibnu ‘Abbas dan Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhum, mereka
berkata, “Tidak pernah terdapat adzan pada waktu (shalat) hari raya ‘Idul Fithri
dan ‘Idul Adh-ha.”
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, “Tidak ada adzan, iqamat, seruan tertentu atau apa
saja untuk shalat ‘Idul Fithri, baik ketika imam keluar, ataupun setelah selesai.
Pada hari tersebut tidak ada adzan dan iqamat.”
7
Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman Radhiyallahu anhum. Masing-masing melaksanakan
shalat sebelum khutbah.”
8
3. Kedua tangan diangkat pada setiap takbir, sambil memuji Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wasallam antara setiap takbir.
4. Setelah shalat imam disunnahkan menyampaikan khutbah di hadapan
jamaah yang hadir, memperbanyak istighfar dan membaca Al-Qur’an serta
doa-doa yang disebutkan dalam riwayat dari Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wasallam. Doa dibaca sambil memperlihatkan pengharapan yang
penuh dan ketundukan serta kebutuhan kepada Allah dengan mengangkat
tangan setinggi mungkin.
5. Dianjurkan bagi imam untuk menghadap ke kiblat lalu membalik
selendangnya, dengan meletakkan yang semula di sebelah kanan ke
sebelah kiri dan sebaliknya sembari tetap melantunkan doa kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
f) Hukum-Hukum Shalat Istisqa’
1. Hendaknya didahului dengan memberikan peringatan dan nasihat kepada
kaum muslimin, terutama hal-hal yang dapat melembutkan hati. Seperti
pentingnya bertaubat dan meninggalkan kemaksiatan, meninggalkan
semua kezhaliman dengan mengembalikan hak-hak kepada pemiliknya,
karena kemaksiatan akan menjadi penghalang turunnya hujan. Sebaliknya
istighfar dan taubat serta ketakwaan akan membuka peluang diterimanya
doa yang akan mendatangkan rahmat dan keberkahan, demikian pula
dianjurkan untuk memotivasi mereka untuk memperbanyak sedekah.
2. Dianjurkan untuk menentukan satu hari untuk melaksanakan shalat istisqa’
sehingga masyarkat penuh persiapan
3. Disunnahkan memperlihatkan ketundukan, kekhusyuan, kerendahan hati
dan kehinaan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mendatangi
tempat shalat istisqa’. Karena itu, tidak dibenarkan berhias dan bersolek
dalam shalat istisqa’. Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu pernah
menggambarkan bagaimana Rasulullah keluar mengerjakan shalat istisqa’,
ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam ketika
keluar, beliau tampak kusut [Al-mutabadzdzil artinya berpenampilan kusut
9
dan tidak bersolek] dan terlihat begitu khusyu, tunduk dan rendah hati
hingga ia sampai di tempat shalat .” [HR. Abu Dawud]
4. Dalam khutbah istisqa’ diajurkan memperbanyak istighfar dan doa sambil
mengangkat tangan.
10
melihat gerhana keduanya, maka dirikanlah shalat dan berdoalah hingga
selesai gerhana yang terjadi pada kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 1040)
3. Tata Cara Dan Ketentuan Pelaksanaan Shalat Gerhana
Waktu pelaksanaan shalat gerhana adalah ketika gerhana mulai terlihat sampai
bulan atau matahari kembali terlihat normal. Bagi daerah yang tidak dapat
melihat gerhana tidak ada keharusan untuk melaksanakan shalat gerhana,
karena hanya diharuskan bagi siapa saja yang dapat melihat peristiwa
tersebut.
Tata cara pelaksanaan shalat gerhana adalah :
a. Tidak ada adzan dan iqomah sebelum shalat gerhana, yang ada hanya
seruan untuk shalat berjama'ah. Sesuai dengan hadits : Dari Abdullah bin
Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma dia berkata:
َلَّم ا َك َس َفْت الَّش ْم ُس َع َلى َع ْه ِد َر ُس وِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم ُن وِدَي ِإَّن الَّص اَل َة َج اِمَع ٌة
“Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, maka diserukan: “Ashshalaatul jaami’ah (shalat secara
berjamaah).” (HR. Al-Bukhari no. 1045)
b. Disunnahkan dikerjakan dengan berjamaah di masjid
c. Shalat sunnah gerhana dikerjakan dalam 2 rakaat yang sama seperti shalat
2 rakaat lainnya, yang berbeda adalah bacaan surah, ruku’, dan sujudnya
sangat lama, dan setiap rakaat terdiri dari 2 kali ruku’, sehingga 2 rakaat
terdiri dari 4 kali ruku’ dan 4 kali sujud. Berdasarkan Hadits : Dari Aisyah
radhiallahu anha dia berkata: “Pernah terjadi gerhana matahari pada
zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam lalu mendirikan shalat bersama orang banyak. Beliau
berdiri dalam shalatnya dengan memanjangkan lama berdirinya,
kemudian ruku’ dengan memanjangkan ruku’nya, kemudian berdiri
dengan memanjangkan lama berdirinya, namun tidak selama yang
pertama. Kemudian beliau ruku’ dan memanjangkan lama ruku’nya,
namun tidak selama rukuknya yang pertama. Kemudian beliau sujud
dengan memanjangkan lama sujudnya, beliau kemudian mengerjakan
rakaat kedua seperti apa yang beliau kerjakan pada rakaat yang pertama.
11
Saat beliau selesai melaksanakan shalat, matahari telah nampak kembali.
Kemudian beliau menyampaikan khutbah kepada orang banyak..."(HR.
Al-Bukhari no. 1044 dan Muslim no. 1499)
d. Disunnahkan ada khutbah setelah shalat gerhana (berdasarkan hadits di
atas)
e. Disunnahkan bagi imam untuk menjahrkan (mengeraskan) bacaan pada
shalat gerhana sebagaimana pada shalat id. Ini merupakan pendapat Malik,
Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf dari Al-Hanafiah dan selainnya. Aisyah
radhiallahu anha berkata, “Nabi shallallahu alaihi wasallam menjahrkan
bacaan dalam shalat khusuf.” (HR. Al-Bukhari no. 1065 dan Muslim no.
901)
Apakah Peristiwa Gerhana Berhubungan Dengan Peristiwa Kematian Atau
Kelahiran Seseorang?
Tidak sedikit dari masyarakat sekitar kita yang mengaitkan peristiwa gerhana
bulan maupun matahari dengan peristiwa kematian maupun kelahiran
seseorang, dan pendapat ini juga pernah ada ketika masa Rasulullah dan sudah
dijelaskan oleh beliau dalam Hadits :
Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu berkata: Pada zaman
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah terjadi gerhana
matahari. yaitu pada hari wafatnya Ibrahim (putra Rasulullah shallahu
‘alaihi wasallam dari Mariyah Al-Qibthiyah). Lalu orang-orang
berkomentar: Telah terjadi gerhana matahari karena wafatnya Ibrahim.
Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-
tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena mati
atau hidup seseorang. Jika kalian melihat keduanya (terjadi gerhana),
maka segera berdoalah kepada Allah dan sholatlah sampai kembali
seperti semula.” (HR. Muttafaq ‘alaih). Menurut riwayat Bukhari
disebutkan: “Sampai terang kembali.”
12
pemiliknya. Jika dia tidak dapat menjalankan kewajiban-kewajiban itu, maka dia
wajib memberikan wasiat.
A. Hukum Mayat
1. Di saat sakratul maut.
Di saat seorang sedang sakratul maut diwajibkan dipalingkan ke arah kiblat,
dengan cara terlentang di atas punggungnya yang jika dia duduk maka
posisinya menghadap kiblat. Memalingkan mayat ke arah kiblat hukumnya
fardhu kifayah.
2. Memandikan mayat.
Memandikan mayat hukumnya fardhu kifayah (mayat anak-anak atau dewasa)
kecuali :
a. Bayi keguguran yang belum berusia empat bulan. Bayi ini tidak wajib
dimandikan tetapi cukup dibalut dengan kain lalu dikuburkan. Adapun jika
sudah berusia empat bulan maka mayat bayi dimandikan, dikafani, dan
dikuburkan.
b. Seorang syahid yang dibunuh demi membela Islam, tidak wajib
dimandikan dan tidak wajib dikafani. Dia cukup dikuburkan dengan
bajunya. Gugurnya kewajiban mandi dan kafan bila seorang syahid mati di
tengah berkecamuknya perang.
13
C. Cara Memandikan Mayat
1. Menghilangkan benda-benda najis dari badan mayat.
2. Dimandikan tiga kali : pertama, dimadikan dengan air yang dicampuri
daun bidara (sidr), kemudian dimandikan dengan air yang dicampuri kapur
barus dan terakhir dimandikan dengan air murni.
Adapun cara memandikannya dengan tiga macam air tersebut sama
dengan cara mandi junub, yaitu terlebih dahulu membasuh kepala dan lehernya,
kemudian membasuh badan sebelah kanan (yakni badan bagian kanan dari pusar
ke samping kanan dan dari leher sampai ke kaki) dan membasuh badan sebelah
kiri.
14
ganti air yang dicampur dengan daun bidara, dan kemudian ditayammumi
dua kali sebagai ganti air campuran kapur barus dan air murni.
4. Jika tidak terdapat air yang cukup kecuali untuk dua kali mandi saja, maka
ada beberapa gambaran:
Pertama, jika yang ada adalah daun bidara saja, maka dimandikan dengan
air daun bidara kemudian dengan air murni sebagai ganti air campuran
kapur barus kemudian ditayammumi sebagai ganti air murni.
Kedua, Jika yang ada adalah kapur barus saja, maka dimandikan dengan
air murni sebagai ganti air campuran daun bidara, kemudian dimandikan
dengan air kapur barus kemudian ditayammumi sebagai ganti mandi
dengan air murni.
Ketiga, Jika daun bidara dan kapur barus ada, maka dimandikan dengan
air yang dicampur daun bidara dan air yang dicampur kapur barus
kemudian ditayammumi sebagai ganti mandi dengan air murni.
E. Mengkafani Mayat
1. Cara Mengkafani Mayat : Mengkafani mayat hukumnya fardhu kifayah
dan kafan harus terdiri dari tiga helai kain ; mi'zar ( kain yang menutupi
antara pusar dan lutut), qomish ( kain yang menutupi antara dua bahu
sampai betis ) dan izar (kain yang menutupi seluruh badan ).
2. Syarat-syarat kain kafan : a. Kain yang mubah ( tidak boleh menggunakan
kain milik orang lain kecuali kalau diizinkan), b. Kain yang suci ( tidak
boleh menggunakan kain yang terkena najis atau terbuat dari barang najis,
seperti kulit bangkai ), c. Kain kafan tidak terbuat dari sutra, walaupun
mayat itu wanita atau anak kecil, d. Kain kafan tidak terbuat kulit binatang
yang tidak boleh dimakan dagingnya.
F. Tahnith Mayat
Men-tahnith mayat hukumnya fardhu kifayah, baik mayat itu anak kecil
atau besar. Tahnith mayat dilakukan setelah memandikan. Tahnith adalah
15
mengusapkan kapur barus di tujuh anggota sujud ( dahi, perut kedua telapak
tangan, kedua lutut dan kedua ibu jari telapak kaki ).
G. Menshalati Mayat
Menshalati mayat muslim hukumnya fardhu kifayah dan tidak boleh
menshalati mayat kafir.
a. Cara Shalat Mayat adalah setelah niat bertakbir lima kali; setelah takbir
pertama mengucapkan dua kalimat syahadat; Setelah takbir kedua
membaca shalawat; Setelah takbir ketiga mendoakan kaum muslimin dan
muslimat, dan mukminin dan mukminat; Setelah takbir keempat
mendoakan mayat; dan kemudian takbir kelima sebagai penutup shalat.
b. Dalam pelaksanaan shalat mayat tidak ada azan, iqamat, ruku', sujud,
tasyahhud dan salam.
16
I. Menguburkan Mayat
Menguburkan mayat muslim hukumnya fardhu kifayah. Caranya adalah
meletakan badannya di dalam lubang kubur sambil menghadap kiblat dengan
berbaring di atas samping kanan dan kemudian menutupinya dengan tanah
sehingga aman dari binatang buas dan baunya tidak tercium oleh manusia.
a. Shalat Jenazah
Shalat jenaza hukumnya wajib kifayah bagi setiap muslim. Apabila telah ada
seorang muslim yang melakukan shalat jenazah untuknya, maka gugurlah
kewajiban itu menshalatinya bagi yang lain. Shalat jenazah harus dilakukan
dengan niat qurbatan ilallah (mendekatkan diri pada Allah).
b. Tata Cara Shalat Jenazah
Shalat jenazah terdiri dari lima takbir. Pelaksanaannya, setelah takbir pertama
bacalah dua kalimat syahadat. Setelah takbir kedua, bacalah shalawat kepada
Rasulullah Saww. Setelah takbir ketiga bacalah doa untuk kaum muslimin.
Setelah takbir keempat, bacalah doa khusus untuk jenazah, kemudian bacalah
takbir kelima sebagai penutup shalat jenazah.
17
6. Jika seseorang mati di dalam sumur dan tidak bisa dikeluarkan, juga tidak
bisa dipalingkan ke kiblat, maka dibiarkan di dalam sumur saja, lalu sumur
itu ditutup sehingga menjadi kuburannya.
7. Menguburkan mayat tidak boleh di tanah milik orang lain.
8. Mayat kafir tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum Muslimin.
Demikian pula tidak boleh menguburkan mayat Muslim di pekuburan
kaum kafir.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Shalat merupakan kewajiban setiap muslim,karena hal ini di syariatkan
oleh Allah SWT. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai prakteknya, hal ini
tidak menjadi masalah karena di dalam al-qur'an sendiri tidak ada ayat yang
menjelaskan secara terperinci mengenai praktek shalat. Tugas dari seorang
muslim hanyalah melaksnakan shalat dari mulai baligh sampai napas terakhir,
semua perbedaan mengenai praktek shalat semua pendapat bisa dikatan benar
karena masing-masing memilki dasar dan pendafaatnya masing-masing dan
tentunnya berdasarkan ijtihad yang panjang.
Setiap perintah Allah yang di berikan kepada kaum muslimin tentunya memiliki
paidah untuk kaum muslimin sendiri, seperti halnya umat islam di perintahkan
untuk melaksanakan shalat, salah satu paidahnya yakni supaya umat islam selalu
mengingat tuhannya dan bisa meminta karunianya dan manfaat yang lainnya
yakni bisa mendapkan ampunan dari Allah SWT.
Demikian paparan yang dapat kami persembahkan menganai “sholat”
dengan waktu yang cukup singkat ini, semoga bermanfaat bagi kita semua baik di
dunia maupun akherat kelak, kami memohon maaf apbila dalam pemaparan yang
kami sampaikan ini terdapat banyak kesalahan dalam makalah ini, kami juga
mengharapkan kritik dan sarann yang sifatnya membangun untuk makalah-
makalah kami selanjutnya.
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca terutama pada dosen mata kuiah ini, agar dapat
pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Atas kritik dan saranya,
penulis ucapkan terima kasih.
19
DAFTAR PUSTAKA
Hamid ,Abdul. Beni HMd Saebani, Fiqh Ibadah, (Bandung: Pustaka Setia, 2009)
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Penerjemah: Nor Hasanuddin, (Jakarta: Pena Pundi
Aksara, 2006)
20