Anda di halaman 1dari 23

Makalah FIQIH

SHALAT
DI
S
U
S
U
N
OLEH :
AMIRUL YAKIN
1705190010

FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERISTAS MUHAMMADIYAH ACEH
BANDA ACEH
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas
berkat dan limpahan rahmat-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan makalah ini yang berjudul "Shalat ".
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan
oleh dosen matakuliah yang bersangkutan, yaitu mata kuliah “Fiqih”. Kami
menyadari sepenuhnya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak
terdapat kesalahan baik dari segi penulisan maupun pembahasan, oleh karena itu
kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi
perbaikan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Banda Aceh, 26 Februari 2018

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

Halaman:
Kata Pengantar ................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 2
Bab II Pembahasan
2.1 Pengertian Shalat ............................................................................... 2
2.2 Macam-Macam Shalat
2.2.1 Shalat Jum’at ............................................................................ 3
2.2.2 Shalat dua Hari Raya ................................................................ 6
2.2.3 Shalat Istisqa dan Gerhana ....................................................... 8
2.2.4 Pengurusan Jenazah ................................................................. 12
Bab III Penutup
3.1 Kesimulan .......................................................................................... 19
3.2 Saran-Saran ........................................................................................ 19
Daftar Pustaka ................................................................................................... 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sering kali kita sebagai orang islam tidak mengetahui kewajiban kita
sebagai mahluk yang paling sempurna yaitu sholat, atau terkadang tau tentang
kewajiban tapi tidak mengerti terhadap apa yang dilakukaan. Selain itu juga bagi
kaum fanatis yang tidak menghargai tentang arti khilafiyah, dan menganggap
yang berbeda itu yang salah. Oleh karena itu mari kita kaji bersama tentang arti
shalat, dan cara mengerjakannya serta beberapa unsur didalamnya.
Dalam pembahasan kali ini juga di paparkan sholat dan macamnya. Shalat
merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan
harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan. Shalat merupakan
rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah
satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia
mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia
meruntuhkan agama (Islam).
Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali,
berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan
tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat
wajib ada juga shalat – shalat sunah. Untuk membatasi bahasan penulisan dalam
permasalahan ini, maka penulis hanya membahas tentang shalat wajib kaitannya
dengan kehidupan sehari – hari.

1.2. Rumusan Masalah


a. Pengertian Shalat
b. Macam-macam Shalat ( Wajib & Sunnah )
c. Kedudukan Shalat dalam Islam
d. Landasan hukum sholat ( Wajib & Sunnah )
e. Persamaan dan perbedaan pendapat 4 mazhab mengenai sholat

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Sholat


Sholat berasal dari bahasa Arab As-Sholah, sholat menurut Bahasa
(Etimologi) berarti Do'a dan secara terminology / istilah, para ahli fiqih
mengartikan secara lahir dan hakiki. Secara lahiriah shalat berarti beberapa
ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan yang telah ditentukan
(Sidi Gazalba,88).
Adapun scara hakikinya ialah” berhadapan hati (jiwa) kepada Allah,
secara yang mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan didalam jiwa
rasa kebesarannya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya”atau” mendahirkan hajat
dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan
pekerjaan atau dengan kedua-duanya. (Hasbi AsySyidiqi, 59).
Dalam pengertian lain shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara
hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk, ibadah yang di dalamnya merupakan
amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan
takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan
rukun yang telah ditentukan syara’. (Imam Bashari Assayuthi, 30).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa shalat adalah
merupakan ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang
diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang
telah ditentukan syara”. Juga shalat merupakan penyerahan diri (lahir dan bathin)
kepada Allah dalam rangka ibadah dan memohon rido-Nya. Sholat dalam agama
islam menempati kedudukan yang tidak dapat ditandingi oleh ibadat manapun
juga, ia merupakan tiang agama dimana ia tak dapat tegak kecuali dengan itu.

2
2.2. Macam-Macam Sholat
2.2.1 Shalat Jum’at
A. Pengertian Sholat Jumat
Sholat Jumat adalah sholat 2 rokaat yang dilakukan di hari Jumat secara
berjamaah setelah khutbah Jumat setelah masuk waktu Dhuhur. Untuk dapat
melakukan sholat Jum’at berjamaah, jumlah yang hadir harus minimal 40 orang
dan dilakukan di masjid yang dapat menampung banyak jamaah.

B. Hukum Sholat Jumat


Hukum sholat jumat bagi laki-laki adalah wajib. Hal ini berdasarkan dalil
sholat Jumat yang diambil dari Al Qur’an, As-Sunnah dan ijma atau kesepakatan
para ulama. Dalilnya adalah surat Al Jumu’ah ayat 9 yang berbunyi,
Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan untuk menunaikan
sholat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli."

Sedangkan hadist Nabi yang memerintahkan untuk melaksanakan sholat


Jumat adalah dari hadist Thariq bin Syihab yang bunyinya,
Jumatan adalah hak yang wajib atas setiap muslim dengan berjamaah,
selain atas empat (golongan), yakni budak sahaya, wanita, anak kecil
atau orang yang sakit." (HR. Abu Dawud)

Jadi, hukum shalat Jum’at bagi laki-laki adalah fardhu ‘ain, yakni wajib
dilakukan bagi setiap laki-laki. Sedangkan bagi wanita tidak diwajibkan, namun
tetap harus melaksanakan sholat Dhuhur.

C. Yang Diwajibkan Sholat Jumat


Hal-hal yang perlu diketahui tentang siapakah yang diwajibkan untuk
melakukan sholat Jumat, berikut penjelasannya.
1. Muslim yang sudah baligh dan berakal. Meski anak laki-laki yang belum
baligh belum mendapatkan kewajiban untuk melaksanakan sholat Jumat
namun hendaknya anak laki-laki yang sudah mumayyiz (berumur sekitar 7

3
tahun ) maka orang tua atau walinya diminta untuk memerintahkan anak
tersebut menghadiri sholat Jumat.
2. Laki-laki. Tidak ada kewajiban melakukan sholat Jumat bagi perempuan.
Maka hukum sholat Jumat bagi wanita adalah mubah.
3. Orang yang merdeka, bukan budak sahaya. Pada poin ini, terdapat
perbedaan pendapat antar ulama, karena berdasarkan hadist, hamba sahaya
atau budak tidak wajib melakukan sholat Jumat. Dasar pemikirannya
adalah karena tuannya sangat memerlukan tenaganya sehingga sang
hamba sahaya tidak dapat leluasa melakukan sholat Jumat.
Namun sebagian ulama menyatakan, bila majikannya mengizinkan dirinya
untuk melakukan sholat Jumat maka sang hamba sahaya wajib menghadiri
sholat Jumat tersebut karena tidak ada lagi uzur yang menghalangi.
Pendapat ini dikuatkan oleh as-Syaikh Muhammad bin Shalih
as-‘Utsaimin (Asy-SyarhulMumti’ 5/9).
4. Orang yang menetap dan bukan musafir ( orang yang sedang bepergian ).
Dasar pemikirannya adalah ketika Rasulullah SAW dahulu melakukan
safar atau bepergian, beliau tidak melakukan sholat Jumat dalam safarnya.
Pun ketika Nabi SAW menunaikan haji wada’ di Padang Arafah ( wukuf )
pada hari Jumat beliau menjama’ sholat dhuhur dan ashar dan tidak
melakukan shalat Jumat.
5. Orang yang tidak memiliki halangan atau uzur yang dapat mencegahnya
menghadiri shalat Jumat. Apabila orang tersebut memiliki halangan, maka
dia hanya wajib melakukan sholat dhuhur saja. Diantara orang yang
memiliki uzur dan diperbolehkan meninggalkan shalat Jumat adalah
seseorang yang memiliki tanggung jawab keamanan dan kemaslahatan
umat, diantaranya adalah petugas keamanan, dokter dan sebagainya.
6. Orang sakit yang membuatnya tidak mampu menghadiri shalat Jumat dan
akan menemui kesulitan untuk melaksanakan bukan sekedar perkiraan,
seperti terkena diare misalnya, maka diperbolehkan tidak melakukan shalat
Jumat.

4
Maka bagi yang diwajibkan sholat Jumat sebagaimana di atas namun tidak
mengerjakan dengan uzur syar’i, hukum meninggalkan sholat Jumat adalah
haram.
"Barang siapa yang meninggalkan shalat jum’at 3 (tiga) kali tanpa
sebab maka Allah akan mengunci mata hatinya." (H.R. Malik)

Hadist lain pun menyebutkan


"Barang siapa yang tidak mengerjakan Shalat Jum’at tiga kali
karena meremehkannya maka Allah akan mengunci mata hatinya."
(H.R. At Tirmidzi)

D. Keutamaan Sholat Jumat dan Sejarah Sholat Jumat


Keutamaan hari Jumat dalam Islam adalah hari Jumat merupakan
penghulunya hari (sayyidul ayyam). Hari Jum’at pun oleh umat beragama Islam
dianggap sebagai hari istimewa, hal ini karena Nabi Adam As diciptakan pada
hari Jum’at serta dimasukkannya beliau ke dalam surga.
Selain itu, pada hari Jum’at juga hari saat nabi Adam dikeluarkan dari
surga menuju bumi, serta terjadinya kiamat yang juga akan terjadi di hari Jum’at
sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadist.
Dari Aus bin ‘Aus, Rasulullah bersabda,
Sesungguhnya diantara hari kalian yang paling utama adalah hari
Jumat. Pada hari itu Adam diciptakan dan pada hari itu pula Adam
diwafatkan, di hari itu tiupan sangkakala pertama dilaksanakan, di hari
itu pula tiupan kedua dilakukan”. (HR. Abu Daud, An Nasai, Ibnu
Majah dan Ahmad).

Pada hari Jum’at juga diyakini sebagai waktu yang mustajab untuk berdoa
dan dosa-dosa diampuni hingga hari Jum’at berikutnya bila kita bertaubat dan
memperbanyak membaca istighfar. Sehingga hikmah sholat Jumat sangat besar
sekali.

5
2.2.2 Shalat Dua Hari Raya
A. Hukumnya
Shalat dua hari raya wajib bagi laki-laki dan perempuan. Karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melaksanakannya serta memerintahkan
orang-orang mendatanginya.
Dari Ummu ‘Athiyah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Kami
diperintahkan untuk mengeluarkan para gadis dan wanita yang sedang dalam
pingitan (untuk menghadiri shalat ‘Id).”
Dari Hafshah binti Sirin, dia berkata, “Dahulu, ketika hari raya, kami
pernah melarang gadis-gadis kami keluar. Kemudian datanglah seorang wanita
yang singgah di istana Bani Khalaf.(*) Aku pun lantas mendatanginya. Dia
bercerita bahwa suami saudarinya pernah ikut perang bersama Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebanyak dua belas kali peperangan. Saudarinya juga pernah
menyertainya berperang sebanyak enam kali peperangan. Dia berkata,”Kami
mengurusi orang-orang yang sakit dan mengobati orang-orang yang terluka.” Dia
berkata lagi,”Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah salah
seorang di antara kami tidak keluar jika tidak memiliki jilbab?” Beliau bersabda,
“Hendaklah saudarinya memakaikan jilbab kepadanya. Kemudian hendaklah
mereka menyaksikan kebaikan dan do’a orang-orang yang beriman.”

B. Waktunya
Dari Yazid bin Khumair ar-Rahabi, dia berkata, “’Abdullah bin Busr,
Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluar bersama orang-orang
pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha. Kemudian dia mengingkari
keterlambatan imam. Dia berkata, ‘Dahulu kami selesai pada saat seperti ini, yaitu
ketika tasbih.’”

C. Keluar ke Tanah Lapang


Dari beberapa hadits terdahulu, diketahui bahwa tempat shalat ‘Id adalah
tanah lapang, bukan masjid. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar ke
sana dan orang-orang setelah beliau pun melakukan hal yang sama.

6
Apakah terdapat adzan dan iqamat?
Dari Ibnu ‘Abbas dan Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhum, mereka
berkata, “Tidak pernah terdapat adzan pada waktu (shalat) hari raya ‘Idul Fithri
dan ‘Idul Adh-ha.”
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, “Tidak ada adzan, iqamat, seruan tertentu atau apa
saja untuk shalat ‘Idul Fithri, baik ketika imam keluar, ataupun setelah selesai.
Pada hari tersebut tidak ada adzan dan iqamat.”

D. Tata Cara Shalat ‘Id


Shalat ‘Id terdiri dari dua raka’at. Pada kedua raka’at tersebut terdapat dua
belas takbir. Tujuh pada raka’at pertama setelah takbiratul ihram sebelum
memulai bacaan, dan lima pada raka’at kedua sebelum memulai bacaan.
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya: “Ketika
melaksanakan dua shalat ‘Id, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir
tujuh kali pada raka’at pertama, dan lima kali pada raka’at terakhir.”
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma: “Pada waktu shalat ‘Idul Fitri dan
‘Idul Adh-ha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir tujuh dan lima
kali, selain dua takbir ruku’.”

E. Surat Yang Dibaca


Dari an-Nu’man bin Basyir: “Pada waktu shalat dua hari raya dan shalat
Jum’at, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca sabbihisma rabbikal
a’laa dan hal ataaka hadiitsul ghaasyiyah.”
Dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah, dia berkata, “‘Umar keluar pada hari raya.
Lantas dia mengirim surat ke Abu Waqid al-Laitsi yang isinya, “Pada waktu hari
raya seperti ini, (surat) apa yang dibaca Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Dia
menjawab, “(Surat) Qaaf dan Waqtarabat.”

F. Khutbah Setelah ‘Id


Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Aku pernah
menghadiri shalat ‘Id bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu

7
Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman Radhiyallahu anhum. Masing-masing melaksanakan
shalat sebelum khutbah.”

2.2.3 Shalat Istisqa dan Gernaha


A. Shalat Istisqa
a) Definisi Istisqa’
Istisqa’ artinya Meminta hujan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akibat
kekeringan dan musim kemarau yang berkepanjangan.
b) Dalil Perintah Shalat Istisqa’
Shalat istisqa’ hukumnya sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Berdasarkan
contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam yang disebutkan dalam
hadits Abdullah bin Zaid Radhiyallahu Anhu, Rasulullah pernah keluar ke
lapangan untuk shalat meminta hujan, beliau menghadap ke kiblat dan
membalikkan selendangnya kemudian shalat dua rakaat.” [Muttafaqun ‘Alaih]
c) Waktu Shalat Istisqa’
Disunnahkan melaksanakan shalat istisqa’ ketika terjadi kekeringan atau
musim kemarau yang berkepanjangan yang mengakibatkan sumur dan sungai
menjadi kering atau sebagainya. Dan disunnahkan dikerjakan pada saat
matahari mulai beranjak naik setinggi satu anak panah, yaitu sepertiga jam
setelah terbitnya matahari seperti waktu Shalat Id.
d) Tempat Melaksanakan Shalat Istisqa’
Disunnahkan melaksanakan shalat istisqa’ di lapangan terbuka dan bukan di
masjid seperti yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam,
kecuali dalam kondisi terpaksa.
e) Tata Cara Shalat Istisqa’
1. Shalat istisqa’ terdiri dari dua rakaat, tanpa adzan dan iqamah.
Disunnahkan mengeraskan bacaan
2. Pada rakaat pertama bertakbir tujuh kali setelah takbiratul ihram.
Sedangkan pada rakaat kedua jumlah takbirnya lima kali selain takbir
ketika bangun dari sujud.

8
3. Kedua tangan diangkat pada setiap takbir, sambil memuji Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wasallam antara setiap takbir.
4. Setelah shalat imam disunnahkan menyampaikan khutbah di hadapan
jamaah yang hadir, memperbanyak istighfar dan membaca Al-Qur’an serta
doa-doa yang disebutkan dalam riwayat dari Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wasallam. Doa dibaca sambil memperlihatkan pengharapan yang
penuh dan ketundukan serta kebutuhan kepada Allah dengan mengangkat
tangan setinggi mungkin.
5. Dianjurkan bagi imam untuk menghadap ke kiblat lalu membalik
selendangnya, dengan meletakkan yang semula di sebelah kanan ke
sebelah kiri dan sebaliknya sembari tetap melantunkan doa kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
f) Hukum-Hukum Shalat Istisqa’
1. Hendaknya didahului dengan memberikan peringatan dan nasihat kepada
kaum muslimin, terutama hal-hal yang dapat melembutkan hati. Seperti
pentingnya bertaubat dan meninggalkan kemaksiatan, meninggalkan
semua kezhaliman dengan mengembalikan hak-hak kepada pemiliknya,
karena kemaksiatan akan menjadi penghalang turunnya hujan. Sebaliknya
istighfar dan taubat serta ketakwaan akan membuka peluang diterimanya
doa yang akan mendatangkan rahmat dan keberkahan, demikian pula
dianjurkan untuk memotivasi mereka untuk memperbanyak sedekah.
2. Dianjurkan untuk menentukan satu hari untuk melaksanakan shalat istisqa’
sehingga masyarkat penuh persiapan
3. Disunnahkan memperlihatkan ketundukan, kekhusyuan, kerendahan hati
dan kehinaan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mendatangi
tempat shalat istisqa’. Karena itu, tidak dibenarkan berhias dan bersolek
dalam shalat istisqa’. Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu pernah
menggambarkan bagaimana Rasulullah keluar mengerjakan shalat istisqa’,
ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam ketika
keluar, beliau tampak kusut [Al-mutabadzdzil artinya berpenampilan kusut

9
dan tidak bersolek] dan terlihat begitu khusyu, tunduk dan rendah hati
hingga ia sampai di tempat shalat .” [HR. Abu Dawud]
4. Dalam khutbah istisqa’ diajurkan memperbanyak istighfar dan doa sambil
mengangkat tangan.

B. Shalat Gernaha Matahari


1. Hukum Dan Keutamaan Shalat Gerhana
Shalat Gerhana atau Shalat Kusuf adalah shalat yang dikerjakan ketika terjadi
gerhana matahari maupun gerhana bulan, baik itu gerhana sebagian maupun
gerhana total. Mengenai hukum shalat gerhana, terjadi perbedaan pendapat
diantara para ulama, sebagian ulama menyatakan hukum shalat gerhana adalah
Sunnah Mu'akkaddah (sangat-sangat ditekankan) dengan alasan mereka
membatasi shalat wajib adalah shalat yang lima waktu, namun sebagian ulama
yang lain menyatakan hukum shalat gerhana adalah wajib. Dasar perbedaan
pendapat ini karena Rasulullah SAW sendiri mengerjakan dan memerintahkan
untuk mengerjakan shalat kusuf.
2. Hadits Tentang Keutamaan Mengerjakan Shalat Gerhana
Dari Abu Bakrah radhiallahu anhu dia berkata:
‫ُك َّنا ِع ْنَد َرُس وِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َفاْنَك َس َفْت الَّش ْم ُس َفَق اَم الَّنِبُّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه‬
‫َو َس َّلَم َيُج ُّر ِرَداَءُه َح َّتى َد َخ َل اْلَم ْس ِج َد َفَد َخ ْلَنا َفَص َّلى ِبَنا َر ْك َعَتْيِن َح َّتى اْنَج َلْت الَّش ْم ُس َفَق اَل‬
‫َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِإَّن الَّش ْم َس َو اْلَقَم َر اَل َيْنَك ِس َفاِن ِلَم ْو ِت َأَح ٍد َف ِإَذ ا َر َأْيُتُم وُهَم ا َفَص ُّلوا‬
‫َو اْدُعوا َح َّتى ُيْك َشَف َم ا ِبُك ْم‬
“Kami pernah duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
lalu terjadi gerhana matahari. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
berdiri dan berjalan cepat sambil menyeret selendangnya hingga masuk ke
dalam masjid, maka kamipun ikut masuk ke dalam masjid. Beliau lalu
mengimami kami shalat dua rakaat hingga matahari kembali nampak
bersinar. Setelah itu beliau bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan
tidak mengalami gerhana disebabkan karena matinya seseorang. Jika kalian

10
melihat gerhana keduanya, maka dirikanlah shalat dan berdoalah hingga
selesai gerhana yang terjadi pada kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 1040)
3. Tata Cara Dan Ketentuan Pelaksanaan Shalat Gerhana
Waktu pelaksanaan shalat gerhana adalah ketika gerhana mulai terlihat sampai
bulan atau matahari kembali terlihat normal. Bagi daerah yang tidak dapat
melihat gerhana tidak ada keharusan untuk melaksanakan shalat gerhana,
karena hanya diharuskan bagi siapa saja yang dapat melihat peristiwa
tersebut.
Tata cara pelaksanaan shalat gerhana adalah :
a. Tidak ada adzan dan iqomah sebelum shalat gerhana, yang ada hanya
seruan untuk shalat berjama'ah. Sesuai dengan hadits : Dari Abdullah bin
Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma dia berkata:
‫َلَّم ا َك َس َفْت الَّش ْم ُس َع َلى َع ْه ِد َر ُس وِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم ُن وِدَي ِإَّن الَّص اَل َة َج اِمَع ٌة‬
“Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, maka diserukan: “Ashshalaatul jaami’ah (shalat secara
berjamaah).” (HR. Al-Bukhari no. 1045)
b. Disunnahkan dikerjakan dengan berjamaah di masjid
c. Shalat sunnah gerhana dikerjakan dalam 2 rakaat yang sama seperti shalat
2 rakaat lainnya, yang berbeda adalah bacaan surah, ruku’, dan sujudnya
sangat lama, dan setiap rakaat terdiri dari 2 kali ruku’, sehingga 2 rakaat
terdiri dari 4 kali ruku’ dan 4 kali sujud. Berdasarkan Hadits : Dari Aisyah
radhiallahu anha dia berkata: “Pernah terjadi gerhana matahari pada
zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam lalu mendirikan shalat bersama orang banyak. Beliau
berdiri dalam shalatnya dengan memanjangkan lama berdirinya,
kemudian ruku’ dengan memanjangkan ruku’nya, kemudian berdiri
dengan memanjangkan lama berdirinya, namun tidak selama yang
pertama. Kemudian beliau ruku’ dan memanjangkan lama ruku’nya,
namun tidak selama rukuknya yang pertama. Kemudian beliau sujud
dengan memanjangkan lama sujudnya, beliau kemudian mengerjakan
rakaat kedua seperti apa yang beliau kerjakan pada rakaat yang pertama.

11
Saat beliau selesai melaksanakan shalat, matahari telah nampak kembali.
Kemudian beliau menyampaikan khutbah kepada orang banyak..."(HR.
Al-Bukhari no. 1044 dan Muslim no. 1499)
d. Disunnahkan ada khutbah setelah shalat gerhana (berdasarkan hadits di
atas)
e. Disunnahkan bagi imam untuk menjahrkan (mengeraskan) bacaan pada
shalat gerhana sebagaimana pada shalat id. Ini merupakan pendapat Malik,
Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf dari Al-Hanafiah dan selainnya. Aisyah
radhiallahu anha berkata, “Nabi shallallahu alaihi wasallam menjahrkan
bacaan dalam shalat khusuf.” (HR. Al-Bukhari no. 1065 dan Muslim no.
901)
Apakah Peristiwa Gerhana Berhubungan Dengan Peristiwa Kematian Atau
Kelahiran Seseorang?
Tidak sedikit dari masyarakat sekitar kita yang mengaitkan peristiwa gerhana
bulan maupun matahari dengan peristiwa kematian maupun kelahiran
seseorang, dan pendapat ini juga pernah ada ketika masa Rasulullah dan sudah
dijelaskan oleh beliau dalam Hadits :
Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu berkata: Pada zaman
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah terjadi gerhana
matahari. yaitu pada hari wafatnya Ibrahim (putra Rasulullah shallahu
‘alaihi wasallam dari Mariyah Al-Qibthiyah). Lalu orang-orang
berkomentar: Telah terjadi gerhana matahari karena wafatnya Ibrahim.
Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-
tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena mati
atau hidup seseorang. Jika kalian melihat keduanya (terjadi gerhana),
maka segera berdoalah kepada Allah dan sholatlah sampai kembali
seperti semula.” (HR. Muttafaq ‘alaih). Menurut riwayat Bukhari
disebutkan: “Sampai terang kembali.”

2.2.4 Pengurusan Jenazah


Seorang yang telah tampak padanya tanda-tanda mati (sekarat) diwajibkan
menunaikan hak-hak Allah seperti shalat, puasa, dan lain-lain serta hak-hak
manusia seperti melunaskan utang dan mengembalikan amanat kepada para

12
pemiliknya. Jika dia tidak dapat menjalankan kewajiban-kewajiban itu, maka dia
wajib memberikan wasiat.
A. Hukum Mayat
1. Di saat sakratul maut.
Di saat seorang sedang sakratul maut diwajibkan dipalingkan ke arah kiblat,
dengan cara terlentang di atas punggungnya yang jika dia duduk maka
posisinya menghadap kiblat. Memalingkan mayat ke arah kiblat hukumnya
fardhu kifayah.
2. Memandikan mayat.
Memandikan mayat hukumnya fardhu kifayah (mayat anak-anak atau dewasa)
kecuali :
a. Bayi keguguran yang belum berusia empat bulan. Bayi ini tidak wajib
dimandikan tetapi cukup dibalut dengan kain lalu dikuburkan. Adapun jika
sudah berusia empat bulan maka mayat bayi dimandikan, dikafani, dan
dikuburkan.
b. Seorang syahid yang dibunuh demi membela Islam, tidak wajib
dimandikan dan tidak wajib dikafani. Dia cukup dikuburkan dengan
bajunya. Gugurnya kewajiban mandi dan kafan bila seorang syahid mati di
tengah berkecamuknya perang.

B. Syarat-syarat Orang yang Memandikan


1. Baligh
2. Berakal
3. Beriman
4. Sesama jenis kelamin antara yang memandikan dengan yang dimandikan
kecuali :
a. Anak kecil yang usianya belum lebih dari tiga tahun.
b. Suami – isteri. Masing-masing boleh memandikan yang lain.
c. Mahram. Jika tidak ada orang yang sejenis kelamin dengan mayat,
maka saudara mahramnya boleh memandikannya.

13
C. Cara Memandikan Mayat
1. Menghilangkan benda-benda najis dari badan mayat.
2. Dimandikan tiga kali : pertama, dimadikan dengan air yang dicampuri
daun bidara (sidr), kemudian dimandikan dengan air yang dicampuri kapur
barus dan terakhir dimandikan dengan air murni.
Adapun cara memandikannya dengan tiga macam air tersebut sama
dengan cara mandi junub, yaitu terlebih dahulu membasuh kepala dan lehernya,
kemudian membasuh badan sebelah kanan (yakni badan bagian kanan dari pusar
ke samping kanan dan dari leher sampai ke kaki) dan membasuh badan sebelah
kiri.

D. Beberapa Masalah Yang Berkaitan Dengan Memandikan Mayat


1. Jika kesulitan (berhalangan) mendapatkan daun bidara atau kapur barus
atau keduanya, maka ada beberapa gambaran. Pertama, [bila] yang tidak
ada adalah daun bidara, maka dimandikan dengan air murni sebagai ganti
air yang dicampuri daun bidara, kemudian dimandikan dengan air yang
dicampuri kapur barus dan dimandikan dengan air murni. Kedua, [bila]
yang tidak ada adalah kapur barus, maka dimandikan dengan air yang
dicampuri daun bidara, kemudian dengan air murni sebagai ganti air yang
dicampuri dengan kapur barus dan dimandikan dengan air murni. Ketiga,
[bila] yang tidak ada adalah keduanya ( daun bidara dan kapur barus),
maka dimandikan tiga kali dengan air murni semuanya.
2. Jika tidak ada air untuk memandikan mayat, maka ditayammumi sebanyak
tiga kali sebagai ganti ketiga mandi tersebut. Mayat yang terluka atau
terbakar boleh ditayammumi jika memandikannya akan menyebabkan
kulitnya terkelupas.
3. Jika tidak terdapat air yang cukup kecuali untuk satu kali mandi saja, maka
jika yang ada adalah daun bidara, maka dimandikan dengan air yang
dicampuri daun bidara, kemudian ditayammumi dua kali sebagai ganti
mandi dengan air campuran kapur barus dan mandi dengan air murni. Dan
jika daun bidara tidak ada, maka dimandikan dengan air murni sebagai

14
ganti air yang dicampur dengan daun bidara, dan kemudian ditayammumi
dua kali sebagai ganti air campuran kapur barus dan air murni.
4. Jika tidak terdapat air yang cukup kecuali untuk dua kali mandi saja, maka
ada beberapa gambaran:
Pertama, jika yang ada adalah daun bidara saja, maka dimandikan dengan
air daun bidara kemudian dengan air murni sebagai ganti air campuran
kapur barus kemudian ditayammumi sebagai ganti air murni.
Kedua, Jika yang ada adalah kapur barus saja, maka dimandikan dengan
air murni sebagai ganti air campuran daun bidara, kemudian dimandikan
dengan air kapur barus kemudian ditayammumi sebagai ganti mandi
dengan air murni.
Ketiga, Jika daun bidara dan kapur barus ada, maka dimandikan dengan
air yang dicampur daun bidara dan air yang dicampur kapur barus
kemudian ditayammumi sebagai ganti mandi dengan air murni.

E. Mengkafani Mayat
1. Cara Mengkafani Mayat : Mengkafani mayat hukumnya fardhu kifayah
dan kafan harus terdiri dari tiga helai kain ; mi'zar ( kain yang menutupi
antara pusar dan lutut), qomish ( kain yang menutupi antara dua bahu
sampai betis ) dan izar (kain yang menutupi seluruh badan ).
2. Syarat-syarat kain kafan : a. Kain yang mubah ( tidak boleh menggunakan
kain milik orang lain kecuali kalau diizinkan), b. Kain yang suci ( tidak
boleh menggunakan kain yang terkena najis atau terbuat dari barang najis,
seperti kulit bangkai ), c. Kain kafan tidak terbuat dari sutra, walaupun
mayat itu wanita atau anak kecil, d. Kain kafan tidak terbuat kulit binatang
yang tidak boleh dimakan dagingnya.

F. Tahnith Mayat
Men-tahnith mayat hukumnya fardhu kifayah, baik mayat itu anak kecil
atau besar. Tahnith mayat dilakukan setelah memandikan. Tahnith adalah

15
mengusapkan kapur barus di tujuh anggota sujud ( dahi, perut kedua telapak
tangan, kedua lutut dan kedua ibu jari telapak kaki ).

G. Menshalati Mayat
Menshalati mayat muslim hukumnya fardhu kifayah dan tidak boleh
menshalati mayat kafir.
a. Cara Shalat Mayat adalah setelah niat bertakbir lima kali; setelah takbir
pertama mengucapkan dua kalimat syahadat; Setelah takbir kedua
membaca shalawat; Setelah takbir ketiga mendoakan kaum muslimin dan
muslimat, dan mukminin dan mukminat; Setelah takbir keempat
mendoakan mayat; dan kemudian takbir kelima sebagai penutup shalat.
b. Dalam pelaksanaan shalat mayat tidak ada azan, iqamat, ruku', sujud,
tasyahhud dan salam.

H. Syarat-syarat Shalat Mayat.


1. Niat.
2. Menentukan mayat yang akan dishalati, misalnya shalat mayat ini.
3. Menghadap kiblat.
4. Shalat sambil berdiri
5. Meletakan mayat didepan orang yang shalat dengan posisi terlentang di
atas punggungnya dan kepala mayat terletak di sebelah kanan orang yang
shalat.
6. Antara orang yang shalat dengan mayat tidak ada penghalang.
7. Jarak antara orang yang shalat dengan mayat tidak terlalu jauh.
8. Salah satu diantara keduanya tidak lebih tinggi posisinya atau lebih
rendah.
9. Shalat dilakukan setelah memandikan, mengkafani dan men-tahnith.
Dalam pelaksanaan shalat mayat tidak disyaratkan suci dari hadas
(berwudhu).

16
I. Menguburkan Mayat
Menguburkan mayat muslim hukumnya fardhu kifayah. Caranya adalah
meletakan badannya di dalam lubang kubur sambil menghadap kiblat dengan
berbaring di atas samping kanan dan kemudian menutupinya dengan tanah
sehingga aman dari binatang buas dan baunya tidak tercium oleh manusia.
a. Shalat Jenazah
Shalat jenaza hukumnya wajib kifayah bagi setiap muslim. Apabila telah ada
seorang muslim yang melakukan shalat jenazah untuknya, maka gugurlah
kewajiban itu menshalatinya bagi yang lain. Shalat jenazah harus dilakukan
dengan niat qurbatan ilallah (mendekatkan diri pada Allah).
b. Tata Cara Shalat Jenazah
Shalat jenazah terdiri dari lima takbir. Pelaksanaannya, setelah takbir pertama
bacalah dua kalimat syahadat. Setelah takbir kedua, bacalah shalawat kepada
Rasulullah Saww. Setelah takbir ketiga bacalah doa untuk kaum muslimin.
Setelah takbir keempat, bacalah doa khusus untuk jenazah, kemudian bacalah
takbir kelima sebagai penutup shalat jenazah.

J. Hukum-hukum Menguburkan Mayat


1. Hukum menguburkan mayat Muslim adalah wajib kifayah.
Yang dimaksud menguburkan ialah menyembunyikan mayat di dalam
lubang tanah. Oleh karena itu, menyembunyikannya di dalam tumpukan
tanah tidak sah. Lubang kubur itu hendaknya dapat menjaga jasad mayat
dari binatang buas dan baunya tidak menyebar ke luar.
2. Mayat yang mati di lautan, jika tidak bisa diantar ke daratan, maka setelah
dimandikan, dikafani dan dishalati, diletakkan di atas papan yang dibebani
barang yang berat kemudian dibuang ke laut.
3. Posisi mayat ketika dikuburkan menghadap kiblat, yakni
membaringkannya ke sebelah kanan.
4. Biaya penguburan diambil dari uang warisan sebelum dibagikan.
5. Anggota tubuh mayat yang terpisah hendaknya dikuburkan bersama dalam
satu lubang.

17
6. Jika seseorang mati di dalam sumur dan tidak bisa dikeluarkan, juga tidak
bisa dipalingkan ke kiblat, maka dibiarkan di dalam sumur saja, lalu sumur
itu ditutup sehingga menjadi kuburannya.
7. Menguburkan mayat tidak boleh di tanah milik orang lain.
8. Mayat kafir tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum Muslimin.
Demikian pula tidak boleh menguburkan mayat Muslim di pekuburan
kaum kafir.

K. Hal-hal yang Disunahkan dalam Penguburan.


1. Kedalaman kuburan sesuai dengan tinggi badan si mayat.
2. Membuat lubang lahad di tanah yang keras (yaitu membuat lubang
seukuran mayat di dinding kuburan yang mengarah ke kiblat) atau syaq di
tanah yang lentur (membuat lubang seukuran mayat di dalam lubang
kuburan).
3. Sebelum dikuburkan di dalam kuburan, mayat laki-laki hendaknya
diletakkan pada arah kakinya, sedangkan mayat perempuan pada arah
kiblat.
4. Hendaknya mayat dikuburkan tidak sekaligus.
5. Ikatan-ikatan kain kafan dilepas setelah diletakkan di dalam kuburan.
6. Bagian mukanya dibuka dan pipinya menempel ke tanah dan
punggungnya disanggah dengan bantal dari tanah agar tidak terlentang
badannya.
7. Orang yang turun ke bawah kuburan hendaknya bersuci, kepalanya
terbuka dan kancingnya terbuka.
8. Selain keluarga yang muhrim hendaknya melemparkan dengan punggung
telapak tangannya.
9. Mentalqininya dengan akidah-akidah yang hak setelah diletakkan di dalam
kuburan dan sebelum diuruk.
10. Meninggikan kuburan setinggi empat jari rapat atau renggang.
11. Mencipratkan air di atas kuburannya dari kepala sampai kaki.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Shalat merupakan kewajiban setiap muslim,karena hal ini di syariatkan
oleh Allah SWT. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai prakteknya, hal ini
tidak menjadi masalah karena di dalam al-qur'an sendiri tidak ada ayat yang
menjelaskan secara terperinci mengenai praktek shalat. Tugas dari seorang
muslim hanyalah melaksnakan shalat dari mulai baligh sampai napas terakhir,
semua perbedaan mengenai praktek shalat semua pendapat bisa dikatan benar
karena masing-masing memilki dasar dan pendafaatnya masing-masing dan
tentunnya berdasarkan ijtihad yang panjang.
Setiap perintah Allah yang di berikan kepada kaum muslimin tentunya memiliki
paidah untuk kaum muslimin sendiri, seperti halnya umat islam di perintahkan
untuk melaksanakan shalat, salah satu paidahnya yakni supaya umat islam selalu
mengingat tuhannya dan bisa meminta karunianya dan manfaat yang lainnya
yakni bisa mendapkan ampunan dari Allah SWT.
Demikian paparan yang dapat kami persembahkan menganai “sholat”
dengan waktu yang cukup singkat ini, semoga bermanfaat bagi kita semua baik di
dunia maupun akherat kelak, kami memohon maaf apbila dalam pemaparan yang
kami sampaikan ini terdapat banyak kesalahan dalam makalah ini, kami juga
mengharapkan kritik dan sarann yang sifatnya membangun untuk makalah-
makalah kami selanjutnya.

3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca terutama pada dosen mata kuiah ini, agar dapat
pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Atas kritik dan saranya,
penulis ucapkan terima kasih.

19
DAFTAR PUSTAKA

Hamid ,Abdul. Beni HMd Saebani, Fiqh Ibadah, (Bandung: Pustaka Setia, 2009)

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Penerjemah: Nor Hasanuddin, (Jakarta: Pena Pundi
Aksara, 2006)

Rasyid Sulaiman, Fiqh Islam, (PT. Sirnar Baru Algensido 1954)

Dradjat ,Zakiah Prof.Dr. Ilmu Fiqh,Yogyakarta:PT Dana Bhakti Wakaf,1995

Abdul aziz,bin Zainudin,, Fathul mu’in bi sarkhil qurotal ain,Indonesia ; Daroyail


Kitabah

20

Anda mungkin juga menyukai