Anda di halaman 1dari 17

HADIS-HADIS TENTANG SYARAT-SYARAT SHOLAT

ANALISIS KANDUNGAN HUKUM DAN PENALARANNYA

MATA KULIAH : HADIS AHKAM I


DOSEN PENGAMPU : Drs. H. SYAWALUDDIN, M.A

OLEH :

PUTRI ANANDA ( 2102010046 )

PROGRAM STUDI S1- HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DAAR AL ULUM ASAHAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kita panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyusun
makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini Penulis
membahas mengenai hadis-hadis tentang syarat-syarat shalat analisis kandungan
hukum dan penalarannya.
Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari
berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama
mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini.Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberikan
saran serta kritik yang dapat membangun.Kritik konstruktif dari pembaca sangat
di harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Kisaran, 25 Oktober 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 3
A. Pengertian Shalat.................................................................................. 3
B. Hadis Syarat-Syarat Shalat dan Kandungannya................................... 5
C. Rukun Shalat dan Penalarannya...........................................................11
BAB III PENUTUP..........................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menghadirkan hati saat shalat menurut Al-Ghazali adalah bahwa hati itu
kosong dari yang lain, dari apa yang dilaksanakan dan yang dibicarakannya.
Implikasinya, ketika kita melakukan shalat baik dari segi gerakan dzahirnya entah
itu sujud, rukuk dan gerakan lainnya, kita juga harus menghadirkan pikiran dan
hati (batin) kita pada shalat tersebut. Dalam hal ini berarti kita harus memalingkan
pikiran kita pada hal yang bukan pada tujuan tersebut.
Sebagaimana yang di jelaskan dalam Al-Qur‟an, Allah Swt. berfirman, “Tidak
akan sampai daging dan darahnya itu kepada Tuhan, hanya yang sampai kepada
Tuhan ialah taqwa (kepatuhan menjalankan kewajiban) dari kamu”.(QS. Al-
Hajj :37). Rukuk dan sujud dimaksudkan untuk mengagungkan Allah. Ketika
tidak ada rasa dan sikap pengagungan maka yang tersisa hanyalah gerakan tubuh
lahiriah indrawi; gerakan yang ringan dan tanpa kesulitan. Padahal, nilai
keutamaan shalat terletak pada kehadiran hati di hadapan Allah. Dalam salah satu
hikmahnya Ibnu Athaillah berkata, “Shalat adalah pembersih hati dari berbagai
dosa dan pembuka pintu ke gaiban dari berbagai dosa dan pembuka pintu ke
gaiban”.
Dari paparan tersebut, sekilas dapat dipahami bahwa tidak hanya bersifat
lahiriah saja atau gerakan tubuh saja dalam shalat, akan tetapi terdapat juga
dimensi batiniah yang harus diperhatikan dalam pelaksaan shalat untuk
mendapatkan keutuhan manfaat shalat sehingga menghasilkan efek nyata pada
prilaku setiap muslim. Seperti kata Imam Malik, yang berdasarkan hadist
Rasulullah Saw : “Barang siapa yang berfiqh (syariat) saja tanpa bermakrifat,
niscaya akan berprilaku fasik (tidak bermoral), dan barang siapa yang bermakrifat
saja tanpa bersyariat, niscaya akan menjadi golongan zindiq (penyelewengan
agama). Dan barang siapa yang melakukan kedua-duanya, niscaya ia menjadi
golongan Islam yang hakiki (khaffah)”.
Ketahuilah sesungguhnya ada riwayat, bahwa yang pertama kali dilihat dari
amal seorang hamba besok hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya
ditemukan sempurna, maka diterimalah shalat itu dan seluruh amalnya yang lain.

1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah
1. Apa Pengertian Shalat?
2. Bagaimana Hadis Syarat-Syarat Shalat dan Kandungannya?
3. Bagaimana Rukun Shalat dan Penalarannya?
C. Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari makalah ini adalah
1. Mengetahui Pengertian Shalat.
2. Mengetahui Hadis Syarat-Syarat Shalat dan Kandungannya.
3. Mengetahui Rukun Shalat dan Penalarannya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Shalat
Shalat berasal dari bahasa Arab yaitu As-sholah menurut KBBI berarti do’a.
Secara istilah para ahli fiqh mengartikan sholat menjadi dua yaitu lahiri dan
hakiki, sholat secara lahir berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai
dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Adapun sholat secara hakiki ialah
berhadapan hati (jiwa) kepada Allah yang mendatangkan takut keapada-Nya serta
menumbuhkan didalam jiwa rasa kebesaran-Nya atau mendhohirkan hajat dan
keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dalam perkataan dan perkerjaan
atau kedua-duanya.
Shalat merupakan salah satu ibadah wajib bagi umat muslim dan sholat
merupakan sarana komunikasi antara seorang hamba dengan TuhanNya sebagai
suatu bentuk ibadah yang di dalamnya terdapat sebuah amalan yang tersusun dari
beberapa ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbiratul ikhram dan
diakhiri dengan salam, dan dilakukan sesuai dengan syarat maupun rukun sholat
yang telah ditentukan. Shalat terdiri dari sholat fardhu (wajib) dan sholat sunnah.
Sholat fardhu (wajib) sendiri terdiri atas 5 waktu antara lain subuh, dzuhur, ashar,
maghrib dan isya’. Sholat dapat membentuk kecerdasan spiritual bagi siapa saja
yang melakukannya. 1
Selain itu shalat adalah bentuk pengabdian manusia kepada Allah SWT yang
wajib dilaksanakan agar didalam setiap kegiatannya selalu diberikan keberkahan,
kebaikan, kemudahan, dan jalan keluar dari kesulitan yang menimpa. Adapun
manfaat dari melaksanakan sholat menurut Imam Ja’far Al-Shadiq antara lain
yaitu mengajarkan bagaimana agar kita selalu mengawali suatu perbuatan dengan
niat yang baik, dan ini bisa tercermin dari sebelum memulai sholat kita harus
selalu mengawalinya dengan niat.
Dan manfaat sholat yang lainnya yaitu dapat memperkuat iman, membangun
akhlak yang baik dan moralitas yang tinggi, mengajarkan tentang kesabaran, serta

1
Imam Basori Assuyuti, Bimbingan Shalat Lengkap, Jakarta: Mitra Umat 1998, h. 30.

3
dapat mencegah dari segala perbuatan yang keji dan mungkar sesuai dengan
Firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an surah Al-Ankabut ayat 45:
‫ا‬HH‫ ُر ۗ َوهّٰللا ُ يَ ْعلَ ُم َم‬Hَ‫ب َواَقِ ِم الص َّٰلو ۗةَ اِ َّن الص َّٰلوةَ تَ ْن ٰهى َع ِن ْالفَحْ َش ۤا ِء َو ْال ُم ْن َك ِر َۗولَ ِذ ْك ُر هّٰللا ِ اَ ْكب‬
ِ ‫اُ ْت ُل َمٓا اُوْ ِح َي اِلَ ْيكَ ِمنَ ْال ِك ٰت‬
َ‫تَصْ نَعُوْ ن‬

Artinya: “Bacalah Kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu


(Muhammad) dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari
(perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih
besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”

Anak-anak perlu diajarkan untuk mempraktekkan sholat fardhu (wajib) 5 waktu


sejak dini. Hal ini termasuk dalam salah satu ajaran kebaikan sebagai landasan
agama dan pendidikan karakter bagi anak-anak.2

Tujuan dari mengajarkan sholat fardhu (wajib) 5 waktu sejak dini yaitu agar
anak menjadi simpatik dan terbiasa melakukan sholat sejak usia dini, sehingga
mudah baginya kelak dalam melaksanakan sholat di usia dewasa. Sedangkan
rukun salat itu ada empat belas macam yaitu niat, berdiri, takbiratul ihram,
membaca surah Al - Fatihah , rukuk, sujud, bangkit dari rukuk, i’tidal, bangkit
dari sujud, duduk diantara dua sujud, tuma’ninah, tasyahud awal, tasyahud akhir,
salam.3

Dalam sholat terdapat rukun tuma’ninah yang disebut dengan rukun fi’li yaitu
wajib dilakukan dalam setiap gerakannya tetapi kebanyakan anakanak sekarang
masih mengabaikan gerakan tuma’ninah, tidak hanya anakanak tetapi orang
dewasa pun mungkin masih ada yang belum mampu mengamalkannya dalam
setiap gerakan. Maka hal ini perlu diajarkan kepada anak-anak maupun orang
dewasa dalam praktek sholat dengan bertuma’ninah yang benar dan sesuai agar
terbiasa dan tidak terburu-buru dalam setiap perpidahan gerakan sholat. Karena
kekhusu’an seseorang dalam beribadah kepada Allah SWT tergantung niat dan
ketaqwaannya.

2
Departemen Agama Republik Indonesia, Alqur’an dan Terjemah, Jakarta: DEPAG, 2007, h. 343
3
Moh Ali Al Sobuny, Petunjuk Nabi Muhammad SAW Yang Sahih Tentang Salat Tarawih,
Semarang: Pustaka Al Alawiyah, 1983, h. 29.

4
Menurut seorang tokoh bernama Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqih Sunnah, ia
menerangkan bahwa shalat dalam Agama Islam menempati kedudukan yang tak
dapat ditandingi oleh ibadah manapun juga. Karena shalat merupakan tiang agama
bagi umat Islam. Ia merupakan tiang agama dimana ia tak dapat tegak kecuali
dengan itu.4

Hal Ini ditegaskan dalam Hadis Rasulullah saw :

‫الصال ة عام ادل ين من امقها فقد اقا م ادل ين و من هد هما فقد هد م ادل ين‬

“Shalat sebagai tiang agama, artinya seseorang yang mendirikan shalat


telah menjadi pondasi agama, sebaliknya seseorang yang meninggalkan shalat
berarti meruntuhkan dasar bangunan agama. Hal ini sekaligus memberikan
pengertian pada umat Islam bahwa yang menegakkan dan meruntuhkan agama
itu bukan umat yang lain akan tetapi tergantung pada umat Islam itu sendiri.” 5
Takhrij Haditsnya : As-syaikh berkata : “aku tidak mendapati matan hadits
yang seperti ini. Hadits ini masyhur dikalangan manusia dengan bentuk seperti
ini, biasanya sering disampaikan oleh para pemberi nasehat. Aku hanya
menemukan awal lafadz hadits ini, yaitu “Shalat adalah tiang agama”. Lafadz
seperti ini dikeluarkan oleh Imam Baihaqi dalam “Syu’abul Iman” dengan sanad
lemah dari Ikrimah dari Umar secara Marfu’. Selain sebagai tiang agama, masalah
shalat merupakan ibadah yang pertama kali di hisab kelak dihari kiamat. Oleh
sebab itu jangan pernah sekalipun kita menyepelekan perilah masalah shalat ini.
Shalat juga merupakan Ibadah yang waktunya dibatasi, ada awal dan akhirnya.

B. Hadis Syarat-Syarat Shalat dan Kandungannya

Agar shalat menjadi sah, disyaratkan hal-hal berikut:


a. Mengetahui Masuknya Waktu
Berdasarkan firman Allah:
‫َت َعلَى ْال ُمْؤ ِمنِينَ ِكتَابًا َّموْ قُوتًا‬
ْ ‫صاَل ةَ َكان‬
َّ ‫ِإ َّن ال‬

“… Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya


atas orang-orang yang beriman.” [An-Nissa’: 103].
4
Sayyid Sābiq, Fiqh Sunnah, (Kairo: al Fatḥu li al I’lām al ‘Arābī, ), hlm. 63.
5
Sentot Hariyanto, Psikologi Salat, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 156.

5
Tidak sah shalat yang dikerjakan sebelum masuknya waktu ataupun setelah
keluarnya waktu kecuali ada halangan.

b. Suci dari Hadats Besar dan Kecil

Berdasarkan firman Allah:

‫ ُك ْم َوَأرْ ُجلَ ُك ْم ِإلَى‬H‫وس‬ ِ ِ‫صاَل ِة فَا ْغ ِسلُوا ُوجُوهَ ُك ْم َوَأ ْي ِديَ ُك ْم ِإلَى ْال َم َراف‬
ِ ‫حُوا بِ ُر ُء‬H‫ق َوا ْم َس‬ َّ ‫َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ َذا قُ ْمتُ ْم ِإلَى ال‬
‫ْال َك ْعبَ ْي ِن ۚ َوِإن ُكنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهَّرُوا‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,


maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu
junub maka mandilah…” [Al-Maa-idah: 6].

Dan hadits Ibnu ‘Umar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ُ‫الَ يَ ْقبَ ُل هللا‬


َ ‫صالَةً بِ َغي ِْر‬
‫طهُو‬

“Allah tidak menerima shalat (yang dikerjakan) tanpa bersuci.”

c. Kesucian Baju, Badan, dan Tempat yang Digunakan Untuk Shalat

Dalil bagi disyaratkannya kesucian baju adalah firman Allah:

ْ‫ك فَطَهِّر‬
َ َ‫َوثِيَاب‬

“Dan Pakaianmu bersihkanlah.” [Al-Muddatstsir: 4].

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ِ ْ‫ فَ ْليَ ْم َسحْ هُ بِاَْألر‬،‫ َولِيَ ْنظُرْ فِ ْي ِه َما فَِإ ْن َرَأى خَ بَثًا‬،‫ فَ ْليُقَلِّبْ نَ ْعلَ ْي ِه‬،َ‫ِإ َذا َجا َء َأ َح ُد ُك ُم ْال َم ْس ِجد‬
َ ُ‫ض ثُ َّم لِي‬
‫ص ِّل فِ ْي ِه َما‬

“Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah


ia membalik sandal dan melihatnya. Jika ia melihat najis, maka hendaklah ia
menggosokkannya dengan tanah. Kemudian hendaklah ia shalat dengannya.“

Adapun dalil bagi disyaratkannya kesucian badan adalah sabda Nabi


Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali. Dia menanyai beliau tentang madzi dan
berkata:

6
َ ‫ضْأ َوا ْغ ِسلْ َذ َك َر‬
‫ك‬ َّ ‫ت ََو‬

“Wudhu’ dan basuhlah kemaluanmu.”

Beliau berkata pada wanita yang istihadhah:

‫صلِّ ْي‬ ِ ‫اِ ْغ ِسلِ ْي َع ْن‬


َ ‫ك ال َّد َم َو‬

“Basuhlah darah itu darimu dan shalatlah.”

Adapun dalil bagi sucinya tempat adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada para Sahabatnya di saat seorang Badui kencing di dalam
masjid:

‫َأ ِر ْيقُوْ ا عَلى بَوْ لِ ِه َسجْ الً ِم ْن َما ٍء‬

“Siramlah air kencingnya dengan air satu ember.”

Berdasarkan hadits Abu Sa’id: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah


shalat lalu melepaskan kedua sandalnya. Maka orang-orang pun turut melepas
sandal-sandal mereka. Ketika selesai, beliau membalikkan badan dan berkata,
‘Kenapa kalian melepas sandal kalian?’ Mereka menjawab, ‘Kami melihat Anda
melepasnya, maka kami pun melepasnya.’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya Jibril
datang kepadaku dan mengatakan bahwa pada kedua sandalku terdapat najis.
Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah
membalik sandalnya dan melihatnya. Jika dia melihat najis, hendaklah ia
gosokkan ke tanah. Kemudian hendaklah ia shalat dengannya.”6

d. Menutup Aurat

Berdasarkan firman Allah:

‫يَا بَنِي آ َد َم ُخ ُذوا ِزينَتَ ُك ْم ِعن َد ُك ِّل َم ْس ِج ٍد‬

6
Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/42, dan 428 no. 331)], Shahiih Muslim
(I/261 no. 333), Sunan at-Tirmidzi (I/82 no. 125), Sunan Ibni Majah (I/203 no. 621), Sunan an-
Nasa-i (I/184).

7
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid...” [Al-A’raaf: 31].

Yaitu, tutupilah aurat kalian. Karena mereka dulu thawaf di Baitullah


dengan telanjang.

Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ٍ ‫ض ِإالَّ بِ ِح َم‬
‫ار‬ َ ‫الَ يَ ْقبَ ُل هللا‬.
ٍ ‫صالَةَ َحاِئ‬

“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haidh (baligh) kecuali
dengan mengenakan penutup kepala (jilbab).” 7

Aurat laki-laki antara pusar dan lutut. Sebagaimana dalam hadits ‘Amr bin
Syu’aib Radhiyallahu anhum, dari ayahnya, dari kakeknya, secara marfu’

ٌ‫َما بَ ْينَ ال ُّس َّر ِة َوالرُّ ْكبَ ِة عَوْ َرة‬

“Antara pusar dan lutut adalah aurat.” 8

Dari Jarhad al-Aslami, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat


ketika aku mengenakan kain yang tersingkap hingga pahaku terlihat. Beliau
bersabda:

ٌ‫ َغطِّ فَ ِخ َذكَ فَِإ َّن ْالفَ ِخ َذ عَوْ َرة‬.

“Tutuplah pahamu. Karena sesungguhnya paha adalah aurat.”9

Sedangkan bagi wanita, maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah
dan kedua telapak tangannya dalam shalat.

7
Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 534)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/345 no.
627), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no. 375) dan Sunan Ibni Majah (I/215 no. 655)

8
Hasan: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 271)], diriwayatkan oleh ad-Daraquthni, Ahmad, dan Abu Dawud.

9
Shahih lighairihi: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 269)], Sunan at-Tirmidzi (IV/197 no. 2948), Sunan Abi
Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XI/52 no. 3995), lihat perkataan Ibnul Qayyim t tentang masalah ini
dalam Tahdziibus Sunan (XVII/6)

8
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ٌ‫ْال َمرْ َأةُ عَوْ َرة‬

“Wanita adalah aurat.”

Juga sabda beliau:

ٍ ‫ض ِإالَّ بِ ِح َم‬
‫ار‬ َ ‫الَ يَ ْقبَ ُل هللا‬.
ٍ ‫صالَةَ َحاِئ‬

“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah pernah haidh (baligh)
kecuali dengan mengenakan kain penutup.”

e. Menghadap ke Kiblat

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

ْ ‫ْث َما ُكنتُ ْم فَ َولُّوا ُوجُوهَ ُك ْم َش‬


ُ‫ط َره‬ ُ ‫ْج ِد ْال َح َر ِام ۚ َو َحي‬ ْ ‫ك َش‬
ِ ‫ط َر ْال َمس‬ َ َ‫فَ َو ِّل َوجْ ه‬

“… maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu


(sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya…” [Al-Baqarah:
150].

Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang buruk
dalam shalatnya:

َ‫صالَ ِة فََأ ْسبِ ِع ْال ُوضُوْ َء ثُ َّم ا ْستَ ْقبِ ِل ْالقِ ْبلَة‬
َّ ‫ِإ َذا قُ ْمتَ ِإلَى ال‬.

“Jika engkau hendak shalat, maka berwudhu’lah dengan sempurna.


Kemudian menghadaplah ke Kiblat...”

Boleh (shalat) dengan tidak menghadap ke Kiblat ketika dalam keadaan


takut yang sangat dan ketika shalat sunnat di atas kendaraan sewaktu dalam
perjalanan.

Allah berfirman:

‫فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم فَ ِر َجااًل َأوْ رُ ْكبَانًا‬

“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan
atau berkendaraan...” [Al-Baqarah: 239].

9
Dari ‘Amir bin Rabi’ah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami pernah
bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan di suatu
malam yang gelap dan kami tidak mengetahui arah Kiblat. Lalu tiap-tiap orang
dari kami shalat menurut arahnya masing-masing. Ketika tiba waktu pagi, kami
ceritakan hal itu pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu turunlah ayat:

ِ ‫فََأ ْينَ َما تُ َولُّوا فَثَ َّم َوجْ هُ هَّللا‬

“… maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah…” [Al-Baqarah:


115].”10

f. Niat

Hendaklah orang yang ingin shalat meniatkan dan menentukan shalat yang
hendak ia kerjakan dengan hatinya, misalnya seperti (meniatkan) shalat Zhuhur,
‘Ashar, atau shalat sunnahnya. Tidak disyari’atkan mengucapkannya karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkannya. Jika Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau mengucapan, “Allaahu
Akbar,” dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya. Sebelumnya beliau tidak
melafazhkan niat sama sekali, dan tidak pula mengucapkan, “Aku shalat untuk
Allah, shalat ini, menghadap Kiblat, empat raka’at, sebagai imam atau makmum.”
Tidak juga mengucapkan, “Tunai atau qadha’…”

Ini semua adalah bid’ah. Tidak seorang pun meriwayatkannya dengan sanad
shahih atau dha’if, musnad atau pun mursal. Tidak satu lafazh pun. Tidak dari
salah seorang Sahabat beliau, dan tidak pula dianggap baik oleh Tabi’in, ataupun
Imam yang empat.

C. Rukun Shalat dan Penalarannya

Rukun memiliki arti sebagai pilar. Rukun salat adalah pilar-pilar yang
membentuk salat secara utuh. Karena itu setiap rukun harus dipenuhi.

10
Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 835)], Sunan at-Tirmidzi (I/216 no. 343), Sunan Ibni
Majah (I/326 no. 1020), dengan lafazh serupa, begitu pula pada al-Baihaqi (II/11).

10
13 rukun salat sesuai tuntunan Rasulullah SAW

1. Berdiri

Saat menjalankan salat, rukun pertama yang harus kita penuhi yaitu berdiri.
Di rukun ini ada pengecualian untuk orang-orang yang sudah tidak mampu
berdiri, mereka dapat salat dengan duduk atau berbaring.

2. Niat

Niat dapat dibaca dengan lisan yang mencakup nama salat yang dikerjakan,
jumlah rakaat, dan pelaksanaannya karena Allah SWT. Yang wajib ialah niat di
dalam hati. Baca juga: Bacaan Niat Salat Jumat Latin-Arab-Arti, untuk Imam dan
Berjamaah Niat dalam hati dan lisan dianjurkan agar lebih kuat. Niat dapat dapat
menggunakan bahasa Arab atau Indonesia.

3. Takbiratul ihram

Takbiratul ihram adalah bacaan takbir Allahu Akbar saat mengawali salat.

4. Membaca surat Al-Fatihah

Surat Al-Fatihah wajib dibaca pada setiap rakaat.

5. Rukuk dan tumakninah

Rukuk adalah gerakan membungkukkan badan dengan kedua tangan


memegang lutut yang dilakukan dengan tidak tergesa-gesa. Badan dan kepala
yang membungkuk dengan posisi datar sehingga membentuk sudut 90 derajat.
Posisi ini harus diam sejenak.

6. Iktidal dan tumakninah Badan ditegakkan untuk beriktidal dengan


tumakninah atau diam sejenak.

7. Sujud dengan tumakninah

Selanjutnya sujud dengan tumakninah. Sujud dilakukan dua kali yang


dihubungkan dengan duduk di antara dua sujud.

11
8. Duduk di antara dua sujud

Setelah sujud pertama di setiap rakaat, duduk di antara dua sujud dengan
tumakninah. Setelah itu lakukan sujud yang kedua dengan tumakninah.

9. Duduk tasyahud akhir

Di rakaat terakhir salat, setiap orang harus melakukan duduk tasyahud akhir
sebelum salam.

10. Membaca tasyahud akhir

Wajib membaca bacaan tasyahud akhir, saat gerakan rakaat terakhir salat.

11. Membaca salawat

Nabi wajib membaca salawat yang dikirimkan kepada Nabi Muhammad dan
Nabi Ibrahim serta keluarganya.

12. Salam Baca salam dengan menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri.

13. Tertib Rukun

Terakhir ini berarti melakukan salat atau semua rukun salat dengan beraturan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

12
1. Shalat merupakan salah satu ibadah wajib bagi umat muslim dan sholat
merupakan sarana komunikasi antara seorang hamba dengan TuhanNya
sebagai suatu bentuk ibadah yang di dalamnya terdapat sebuah amalan yang
tersusun dari beberapa ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbiratul
ikhram dan diakhiri dengan salam, dan dilakukan sesuai dengan syarat
maupun rukun sholat yang telah ditentukan.

2. Hendaklah orang yang ingin shalat meniatkan dan menentukan shalat yang
hendak ia kerjakan dengan hatinya, misalnya seperti (meniatkan) shalat
Zhuhur, ‘Ashar, atau shalat sunnahnya. Tidak disyari’atkan
mengucapkannya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
mengucapkannya.

B. Saran
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi para pembacanya.
Penulis mengetahui bahwa banyak kekurangan yang ada di makalah ini, untuk itu
penulis berharap kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Imam Basori Assuyuti. 1998. Bimbingan Shalat Lengkap. Jakarta: Mitra Umat.

13
Departemen Agama Republik Indonesia. 2007. Alqur’an dan Terjemah. Jakarta:
DEPAG.
Sayyid Sābiq. Fiqh Sunnah. Kairo: al Fatḥu li al I’lām al ‘Arābī.
Sentot Hariyanto. 2003. Psikologi Salat. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/42, dan 428 no. 331)],
Shahiih Muslim (I/261 no. 333), Sunan at-Tirmidzi (I/82 no. 125), Sunan
Ibni Majah (I/203 no. 621), Sunan an-Nasa-i (I/184).
Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 534)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (II/345 no. 627), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no. 375) dan Sunan Ibni
Majah (I/215 no. 655)
Hasan: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 271)], diriwayatkan oleh ad-Daraquthni, Ahmad,
dan Abu Dawud.
Shahih lighairihi: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 269)], Sunan at-Tirmidzi (IV/197 no.
2948), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XI/52 no. 3995), lihat
perkataan Ibnul Qayyim t tentang masalah ini dalam Tahdziibus Sunan
(XVII/6)
Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 835)], Sunan at-Tirmidzi (I/216 no. 343),
Sunan Ibni Majah (I/326 no. 1020), dengan lafazh serupa, begitu pula pada al-
Baihaqi (II/11).

14

Anda mungkin juga menyukai