PEMULASARAAN JENAJAH
ANGGOTA:
MUHAMAD ABDUL ROHMAN
MUHAMMAD HIZQIL
PENDAHULUAN
Kematian (ajal) adalah hal yang pasti terjadi pada setiap makhluk yang
bernyawa, tidak ada yang mengetahui kapan dan di mana ia akan menemui ajal,
dalam keadaan baik atau buruk. Bila ajal telah tiba maka maka tidak ada yang bisa
memajukan ataupun mengundurkannya.
Tiap manusia sudah ditentukan ajalnya sendiri-sendiri oleh Allah swt, hanya
saja manusia tidak mengetahui kapan ajal itu akan datang, dan dimana tempatnya
ia menghembuskan nafas penghabisan. Ada manusia yang masih sangat muda
meninggal dunia, atau masih bayi atau sudah tua dan ada pula yang sudah sangat
tua baru meninggal, semua itu Allah swt yang menentukan. Walhasil manusia tidak
dapat lari dari kematian.
Mau lari ke mana, maka di sana pula mati akan mengejarnya. Death is common
to all people and varying cultures have their own way of understanding life, death,
and the state after death. (Kematian adalah umum untuk semua orang dan budaya
yang bervariasi.
TUJUAN
1. Agar mayat dapat ditangani dengan sesuai prosed dan agar jenazah dapat
terurusi dengan benar sesuai dengan kepercayaanya masing-masing.
2. Untuk mengetahui proses pengurusan jenazah muslim menurut ajaran
agama Islam.
3. Untuk mengetahui proses pengurusan jenazah muslim.
4. Untuk mengetahui hukum pelaksanaan pemulasaraan jenazah muslim.
ISI
A. Pengertian Jenazah
Kata jenazah, bila ditinjau dari segi bahasa (etimologis), berasal dari bahasa
Arab dan menjadi turunan dari isim masdar (adjective) yang diambi dari fi’il madi
janaza-yajnizu-janazatan wa jinazatan. Bila huruf jim dari kata tersebut dibaca
fathah (janazatan), kata ini berarti orang yang telah meninggal dunia.
Namun bila huruf jim-nya dibaca kasrah, maka kata ini memiliki arti orang
yang mengantuk. Demikian keterangan yang dijelaskan oleh sang penulis kitab
Matali’ al-Anwar (An-Nawawi t.th, 104). Dalam kamus al-Munawwir, kata jenazah
diartikan sebagai “seseorang yang telah meninggal dunia dan diletakkan dalam
usungan” (Munawwir 1997, 215). Kata ini bersinonim dengan al-mayyit (Arab)
atau mayat (Indonesia) (Departemen Agama 1993, 516). Karenanya, Ibn al-Faris
memaknai kematian (al-mawt) sebagai peristiwa berpisahnya nyawa dari badan
atau jasad (an-Nawawi t.th, 105).
Jenazah artinya mayat, maksdunya jasad manusia yang telah ditinggalkan oleh
ruhnya. Jadi, memandikan jenazah yang dimaksud disini adalah perbuatan orang
yang masih hidup terhadap jasad seseorang yang sudah meninggal 15 dunia dengan
cara menyiramkan air ke seluruh tubuh atau jasad tersebut dengan cara tertentu yang
disertai dengan niat kepada Allah SWT.
Hukum memandikan jenazah adalah fardhu kifayah, artinya jika sudah ada satu
orang yang memandikan jenazah, maka tidak ada kewajiban lagi bagi yang lain
untuk melaksanakannya. Tapi, jika belum ada yang melakukannya, maka semua
orang di daerah tersebut berkewajiban melakukannya.
“Mandikanlah ia tiga, lima kali, atau lebih dari itu, jika kalian melihatnya itu
perlu, dengan air atau daun bidara, jadikanlah yang terakhir dengan kapur atau
sesuatu dari kapur, jika kalian selesai memandikan, beritahu aku,”. Ketika kami
sudah selesai, kami pun memberitahu beliau, kemudian beliau memberikan kepada
kami selendang (sorban besar)nya sambil bersabda: ‘Selimutilah ia dengan
selendang itu’.”
Selain itu, ada juga hadis dari Abdullah Ibnu ‘Abbas RA yang diriwayatkan
oleh banyak imam hadits, di antaranya ialah Imam al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi,
al-Nasa`i, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban, dan al-Bazzar. Berikut bunyi hadits
tersebut: “Seorang lelaku berihram (haji) dijatuhkan untanya dan ia meninggal
karena patah tulang lehernya, dan kami bersama Nabi SAW. Kemudian Nabi
bersabda: “Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara, dan kafankanlah ia dengan
dua kain (ihram)’.”
1. Orang muslim,
2. Berakal,
3. Baligh,
4. Jujur,
5. Shalih,
6. Terpercaya,
7. Tahu tata cara memandikan jenazah, dan
8. Mampu menutupi aib jenazah.
Karena hukum memandikan jenazah adalah fardhu kifayah, jadi siapa pun
berhak memandikannya selama memenuhi syarat. Walau demikian, terdapat urutan
mengenai siapa yang paling berhak dalam memandikan jenazah. Penjelasan tentang
urutan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Laki-laki yang masih ada hubungan keluarga, seperti kakak, adik, orang tua,
atau kakek.
2. Istri.
3. Laki-laki lain yang tidak ada hubungan kekerabatan.
4. Perempuan yang masih mahram (haram dinikahi oleh si jenazah semasa
masih hidup).
5. Jika jenazahnya perempuan, maka urutannya:
6. Suami. Seorang suami paling berhak memandikan istrinya, karena suami
diperbolehkan melihat semua anggota tubuh istrinya tanpa terkecuali.
7. Perempuan yang masih ada hubungan keluarga, seperti kakak, adik, orang
tua atau nenek.
8. Perempuan yang tidak ada hubungan keluarga.
9. Laki-laki yang masih mahram (haram menikah dengan si jenazah semasa
masih hidup).
1. Persiapan
1. Tempat atau alas untuk memandikan jenazah. Usahakan agar memilih alas
pemandian agak miring ke arah kakinya, tujuannya agar air dan semua yang
keluar dari jasadnya bisa mengalir ke bawah dengan mudah.
2. Air secukupnya.
3. Sabun.
Untuk Laki-laki:
Untuk Perempuan
2. Tatacara Memandikan Jenazah
Dirangkum dari berbagai sumber, berikut ini adalah tata cara memandikan
jenazah dalam Islam:
1. Jenazah Laki-laki
2. Jenazah Perempuan
1. Niat