Anda di halaman 1dari 6

TAJHIZUL JANAZAH

Oleh: Adilah Adillatul Millah dan Hariani

A. PENDAHULUAN

Kematian adalah hal yang pasti terjadi pada setiap makhluk yang bernyawa,
tidak ada yang mengetahui kapan dan di mana ia akan menemui ajal, dalam keadaan
baik atau buruk. Bila ajal telah tiba tidak ada yang dapat memajukan ataupun
mengundurkannya. Oleh karena itu, sebaiknya kita menyiapkan diri untuk
menghadapi kematian, agar nantinya kita menemui kematian dalam keadaan khusnul
khotimah. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:

“setiap yang berjiwa akan merasakan kematian, dan sungguh hanya di hari kiamat
disempurnakan pahala kalian. Siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke
dalam surga, maka sungguh ia beruntung. Sedang kehidupan dunia ini tidak lain
hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. 3, Ali Imran: 185)

Dalam pembahasan ini pemakalah akan membahas tentang cara-cara dan adab
mengurus jenazah, yaitu seperti memandikannya, mengkafaninya, menshalatinya, dan
menguburkannya.

B. TATA CARA MENGURUS JENAZAH


1. Memandikan

Orang yang memandikan mayit haruslah sejenis; bila mayit laki-laki maka
orang yang memandikan haruslah laki-laki dan bila mayit perempuan maka orang
yang memandikan haruslah orang perempuan, kecuali mahramnya atau
suami/istrinya. Kalau tidak ada yang hadir kecuali laki-laki untuk memandikan mayat
wanita, atau hanya ada wanita lain untuk memandikan mayat laki-laki, maka harus
tayammum. Laki-laki atau wanita boleh memandikan mayat jika tidak
membangkitkan syahwat, seperti memandikan mayat anak laki-laki atau perempuan,
boleh melihat dan mengusapnya. Laki-laki yang paling utama dalam memandikan
mayat adalah mereka yang paling utama dalam menyalatkannya. Yaitu, bapak mayat,
kakek, anaknya, cucunya, lalu saudaranya). 1

1
Afnan Chafid dan A. Ma’ruf Asrori, Tradisi Islami, (Surabaya: Khalista, 2006), hal 157.
Menurut beberapa kitab fiqih, hukum memandikan jenazah adalah wajib/fardu
kifayah, kecuali:

a. Orang yang mati syahid (dalam pertempuran membela agama)


b. Orang yang sedang berihram
c. Orang yang mati terbakar, di mana seluruh tubuhnya sudah repot, karena luka
parah akibat terbakar. Apabila dimandikan menjadikan tubuhnya hancur, maka
wajib tayammum.

Orang yang mati atau mayat, hendaknya dimandikan (diulangi) secara ganjil,
yaitu tiga kali atau lima kali, atau lebih dari itu. Hendaknya, ketika awal memandikan
diberi daun pohon bidara. Dan di akhir pembasuhannya mayat (bukan orang yang
sedang berihram) diikutsertakan sedikit dari minyak kafur (wangi-wangian) sekiranya
tidak merubah status air. Berdasarkan hadis Nabi Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam yang
artinya:

Mandikan dia tiga kali, atau lima kali, atau lebih dari itu. Jika kalian
menghendaki, gunakanlah beserta air itu pohon bidara, dan terakhir, pakailah
sedikit kapur barus.” (H.R al-Bukhori)

Paling sedikit cara memandikan mayat yaitu seluruh badannya diratakan oleh
air sebanyak satu kali. Yang paling sempurna ialah memandikannya sebanyak tiga
kali, di tempat yang sepi dengan menggunakan baju gamis (kurung) dan di tempat
yang tinggi menggunakan air dingin.2

Batas minimal dalam memandikan jenazah adalah membasahi seluruh


badannya dengan air. Sedangkan yang lebih sempurna adalah dengan membasuh
qubul dan duburnya, membersihkan kotoran dari lubang hidungnya,
memwudukannya, memandikannya sambil digosok dengan air daun sidr (pohon
bidara) dan membasuh badannya dengan air tiga kali.3

Setelah selesai dimandikan, maka mayat diwudukan dengan niat:

‫َنَو ْيُت الُو ُضوَء الَم ْس ُنْو َن ِلَهَذ ا الَم ِّيِت ِهَّلِل َتَع اَلى‬

2
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, “terjemah Fathul Mu’in”, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2016), 1: 484.
3
Nailul Huda, “Terjemah, Kajian, dan Analisis Kitab Safinatun Naja” , (Kediri: Lirboyo Press, 2019), 452
Apabila setelah dimandikan ternyata mayat tersebut mengeluarkan najis,
hukumnya tetap dianggap suci, hanya wajib menghilangkannya. Namun, apabila najis
itu keluar sebelum mayat dikafani tidak wajib menghilangkannya setelah dikafani.

Sebagian Ulama menyatakan sebagai berikut:

a. Apabila najis itu keluar ssesudah mayat dimandikan tetapi belum dikafani,
walaupun dari farjinya, maka wajib menghilangkannya.
b. Apabila najis itu keluar sesudah mayat dikafani, (yang keluar dari) selain
farjinya, maka yang wajib hanyalah menghilangkan najis yang ada di
kafan dan badannya.
c. Apabila najis itu keluar sebelum mayat disalatkan, maka wajib
menghilangkannya. Apabila telah disalatkan, maka sunah
menghilangkannya.
2. Mengafani

Mengafani mayat yaitu menutup auratnya. Bagi mayat laki-laki, ditutup antara
pusar dan lututnya. Aurat itu ditutup dengan kain kafan yang mencukupi. Hal ini
menurut pendapat Imam Nawawi, karena sesungguhnya menutup aurat adalah hak
bagi Allah (seperti orang yang hidup). Ulama lain berpendapat bahwa menutup
seluruh badan mayat, walaupun laki-laki hukumnya wajib.4

Batas minimal dalam mengafani jenazah adalah dengan memakai sehelai kain
atau pakaian yang menutupi seluruh badan. Adapun cara yang lebih sempurna bagi
jenazah laki-laki adalah dengan menutup seluruh badannya memakai tiga helai atau
lapis kain. Sedangkan untuk wanita yaitu dengan baju, khimar (penutup kepala),
sarung, dan dua helai kain.5

Sebelum kain kafan ditututpkan, anggota badan yang berlubang juga anggota-
anggota sujud ditutup dengan kapas yang ditaburi serbuk kayu cendana. Anggota-
anggota badan yang berlubang adalah mata, telinga, hidung, mulut, qubul, dan dubur.
Sedangkan anggota-anggota sujud, yaitu dahi, hidung, dua lutut, telapak tangan
bagian dalam, dan jari-jari kaki bagian dalam. Dan ditambah antara dua paha dan

4
Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fannani, Terjemahan Fathul Mu’in, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2016), Jilid 1, hal 488.
5
Nailul Huda, Terjemah Safinatun Najah, (Kediri: Santri Salaf Press, 2019), hal 458.
pantat, yang dua paha ini diikat dengan kain. Kemudian kafan ditutup, lalu diikat.
Lalu, ikatan ini dilepas ketika mayat sudah diletakkan dalam liang lahat. 6

Dalam kitab kasyifatus-Saja, terdapat keterangan bahwa kain kafan yang


digunakan untuk mengafani jenazah terkait beberapa hak:

a. Hak Allah subḥanallahu wa Ta’ālā (kafan yang dapat menutup aurat)


Pengafanan unutk memenuhi hak Allah ini memiliki konsekuensi yang
berbeda disesuaikan dengan jenis kelamin jenazah, karena disamakan
dengan auratnya orang yang hidup. Dan hak ini tidak dapat dihapuskan
oleh siapa pun.
b. Hak Jenazah (kafan yang dapat menutup seluruh tubuh jenazah)
Terkait hak mayat ini mengecualikan bagian kepalanya orang yang
muhrim (orang yang sedang ihram). Hak ini bisa digugurkan bila jenazah
telah berwasiat untuk menggugurkannya.
c. Hak jenazah yang berhubungan dengan ghuramā` (orang yang
pernah menghutangi jenazah semasa hidupnya dan belum lunas)
Terkait hak ketiga ini, yang dimaksud adalah kain lapis kedua dan ketiga.
Pengguguran hak ini dapat digugurkan oleh pihak ghuroma`, manakala
harta jenazah yang tidak melunasi utangnya dan ghuroma` tersebut tetap
menuntutnya.
3. Menyalati mayat
Rukun salat jenazah ada tujuh, yaitu
a. Niat;
‫َهِذِه الَم ِّيَتِة َاْر َبَع َتْك ِبْيَر اٍت َفْر َض ِكَفاَيٍة ِهَّلِل َتَع اَلى‬/‫ُاَص ِّلى َع َلى َهَذ ا الَم ِّيِت‬
b. Berdiri bagi yang mampu;
c. Empat kali takbir;
d. Membaca fatihah;
e. Membaca salawat atas Nabi Muhammad;
Paling sedikit membaca salawat adalah:

‫َالَّلُه َّم َص ِّل َعَلى َس ِّيِد َنا حممد‬


f. Berdoa secara khusus untuk mayat;

6
Afnan Chafid dan A. Ma’ruf Asrori, Tradisi Islami, (Surabaya: Khalista, 2006), hal 188.
Paling sedikit membaca doa adalah
‫ِفِه‬ ‫ِف‬
‫َالَّلُه َّم اْغ ْر َلُه َو اْر ْمَحُه َو َعا َو اْعُف َعْنُه‬
7

Dan yang paling sempurna adalah:

‫َالَّلُه َّم اْغِف ْر َلُه َو اْر ْمَحُه َو َعِاِفِه َو اْعُف َعْنُه َو َاْك ِر ْم ُنُز َلُه َو َو ِّس ْع َم ْد َخ َلُه َو اْغ ِس ْلُه ِباِملاْء َو الَّثْلِج‬

‫الَب ِد َنِّق ِه ِم اَخلَطاَيا َك ا ُيَنَّقى الَّث ُب اَالْبَيُض ِم الَّد َنِس َاْبِد ْلُه َد ا ا َخ ْي ا ِم ْن َد اِرِه‬
‫ًر ًر‬ ‫َو‬ ‫َن‬ ‫ْو‬ ‫َم‬ ‫َو َر َو َن‬
‫ا ا ِم ِج ِه َاْد ِخ ْل ا َّنَة َاِعْذ ِم ن َذ اِب الَق ِرْب ِفَتِنِه‬ ‫ِم ِلِه‬
‫َو‬ ‫َو َاْه اًل َخ ًريا ْن َاْه َو َز ْو ًج َخ ْيًر ْن َز ْو َو ُه َجل َو ُه َع‬
‫ِم ْن َعَذ اِب الَّناِر‬.8

Untuk mayat bayi atau anak-anak, sesudah takbir ketiga doanya diganti
sebagai berikut:

‫اللهم اجعله لوالديه فرطا وسلفا وذخرا وعظة واعتبارا وشفيعا وثقل به موازينهما وافرغ‬

‫الصرب على قلوهبما والحترمنا اجره وال تفتنا وايهما بعده واغفر لنا وهلما وللمسلمني‬.

Dan membaca doa setelah takbir keempat, yaitu

‫اللهم الحترمنا اجره وال تفتنا بعده واغفر لنا وله‬


g. Membaca salam.

‫السالم عليكم ورمحة اهلل وبركاته‬

Posisi mayat ketika disalati, yaitu jenazah membujur dengan kepala di utara
(baik laki-laki maupun perempuan). Sebagai imam, posisi ketika menyalati mayat
laki-laki ialah menghadap ke kepala, sedangkan jika mayat tersebut perempuan, maka
menghadap ke perut.

4. Menguburkan Mayat

7
Abu Hazim Mubarok, Terjemeh Fathul Qorib, (Kediri: Mukjizat, 2017), Jilid 1, hal 221.

8
Afnan Chafid dan A. Ma’ruf Asrori, Tradisi Islami, (Surabaya: Khalista, 2006), hal 194.
Menguburkan mayat dalam lubang yang dapat mencegah timbulnya bau busuk
dan aman dari pembongkaran binatang buas setelah tanah galian ditimbunkan
hukumnya fardu kifayah. Kuburan yang paling sempurna adalah yang luas, dalamnya
empat siku setengah dengan siku tangan yang sedang, lebarnya sekira leluasa untuk
orang yang menguburkan masuk ke dalamnya, sebagimana sabda Nabi Ṣalla Allāh
‘Alayhi wa Sallam yang artinya:

Galilah oleh kamu sekalian, luangkanlah, dan dalamkanlah kuburan itu!.

C. KESIMPULAN
Mengurus jenazah adalah suatu kewajiban bagi umat islam. Hukumnya adalah
fardlu kifayah. Tata cara mengurus jenazah ialah sebagai berikut; 1) memendikan; 2)
mengafani; 3) menyalati; 4) menguburkan.

DAFTAR PUSTAKA

Chafid, Afnan dan A. Ma’ruf Asrori. “Tradisi Islami”. Surabaya: Khalista, 2006.
Fannani (al), Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari. “Terjemah Fathul Mu’in”. Bandung:
Sinar Baru Algensindo. 2016.
Huda, Nailul. “Terjemah, Kajian, dan Analisis Kitab Safinatun Naja” . Kediri: Lirboyo
Press. 2019.
Mubarok , Abu Hazim. “Terjemeh Fathul Qorib”. Kediri: Mukjizat. 2017.

Anda mungkin juga menyukai