Anda di halaman 1dari 55

BAB 1

‫تجهيز الجنازة‬
PENYELENGGARAAN JENAZAH

A. Kewajiban orang yang hidup kepada orang yang meninggal

Dalam Islam, apabila seseorang meninggal maka kewajiban yang harus dilakukan oleh ummat
Islam ada empat:

1.Memandikan,

Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada beberapa wanita yang
hendak memandikan puteri Beliau yang wafat yaitu Zainab radhiyallahu 'anha:

ٍ ُ‫اآلخ َر ِة َكافُوراً َأوْ َشيْئا ً ِم ْن َكاف‬


‫ور‬ ِ ‫ َواجْ َع ْلنَ فِى‬، ‫ك بِ َما ٍء َو ِس ْد ٍر‬
َ ِ‫ك ِإ ْن َرَأ ْيتُ َّن َذل‬ ْ ‫اِ ْغ ِس ْلنَهَا ثَالَثا ً َأوْ َخ ْمسا ً َأوْ َأ ْكثَ َر‬
َ ِ‫من َذل‬

“Mandikanlah tiga kali, lima kali atau lebih jika kalian pandang perlu dengan air dan daun bidara.
Jadikanlah untuk basuhan terakhir menggunakan kapur barus atau sedikit kapur barus.” (HR.
Bukhari, Muslim dll)

2.Mengkafankan,

Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika ada orang yang meninggal
saat sedang ihram:

....ُ‫اِ ْغ ِسلُوْ هُ بِ َما ٍء َو ِس ْد ٍر َو َكفِّنُوْ ه‬


“Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, lalu kafankanlah….” (HR. Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)

3.Menyalatkan,

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

» ‫وت فَيَقُو ُم َعلَى َجنَازَ تِ ِه َأرْ بَعُونَ َر ُجالً الَ يُ ْش ِر ُكونَ بِاهَّلل ِ َش ْيًئا ِإالَّ َشفَّ َعهُ ُم هَّللا ُ فِي ِه‬
ُ ‫« َما ِم ْن َر ُج ٍل ُم ْسلِ ٍم يَ ُم‬

“Tidak ada seorang muslim yang meninggal, lalu jenazahnya dishalatkan oleh empat puluh orang
yang tidak berbuat syirk kepada Allah dengan sesuatu, kecuali Allah akan menerima syafa’at
mereka terhadapnya.” (HR. Muslim dan lain-lain)

4.Menguburkan.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda saat hendak memakamkan para syuhada’ Uhud:

‫اِحْ فِرُوْ ا َواَوْ ِسعُوْ ا َواَ ْع ِمقُوْ ا َواَحْ ِسنُوْ ا‬

1
“Buatlah galian, luaskanlah, dalamkanlah dan buatlah yang bagus.” (Shahih, diriwayatkan oleh
Nasa’i, Abu Dawud dan Tirmidzi).

Hukum melakukan empat hal di atas adalah fardhu kifayah, yakni apabila sudah ada yang
melakukannya, maka yang lain tidak berdosa.

B. Ta’ziyah

Selanjutnya, dianjurkan bagi kerabat maupun tetangganya berta’ziyah (menghibur)


keluarga mayit baik bentuknya moril maupun materil. Yang bentuknya moril misalnya dengan
menghiburnya, mengingatkan kepadanya pahala yang dijanjikan Allah bagi orang yang bersabar
dan kata-kata lain yang dapat mengurangi kesedihannya dan membantunya untuk ridha dan
bersabar.

Sedangkan yang bentuknya materil misalnya dengan membuatkan makanan untuk mereka.

Ta’ziyah kepada keluarga mayit dapat dilakukan sebelum mayit dikuburkan maupun
setelahnya, batasnya sampai tiga hari, kecuali jika orang yang hendak dita’ziyahi sedang tidak ada,
maka tidak mengapa setelah lewat tiga hari. Sunnahnya ta’ziyah dilakukan hanya sebentar, lalu
pulang tanpa perlu duduk-duduk di sana. Jarir bin Abdullah Al Bajalliy berkata:

َ َ‫صنِ ْي َعةَ الطَّ َع ِام بَ ْع َد َد ْفنِ ِه ِمنَ النِّي‬


‫اح ِة‬ ِ ِّ‫لى اَ ْه ِل ْال َمي‬
َ ‫ت َو‬ َ ِ‫ُكنَّا نَ ُع ُّد اِإْل جْ تِ َما َع ا‬
“Kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul dengan keluarga mayit dan membuatkan
makanan setelah mayit dikuburkan termasuk meratap.” (Shahih, HR. Ibnu Majah)

Imam Syafi’i rahimahullah dalam Al Umm berkata, “Saya tidak suka ma’tam, yaitu berkumpul-
kumpul, meskipun mereka tidak sampai menangis, karena hal itu dapat memperbarui rasa sedih.”

C. Sampaikah pahala bacaan Al Qur’an untuk orang mati?

Al Hafizh Ibnu Katsir saat menafsirkan firman Allah Ta’ala “Dan bahwa seorang manusia tidak
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (terj. An Najm: 39), berkata, “Yakni
sebagaimana dosa orang lain tidak dipikulkan kepadanya, maka ia pun tidak mendapatkan pahala
selain dari apa yang diusahakannya untuk dirinya. Dari ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i dan para
pengikutnya menyimpulkan bahwa bacaan Al Qur’an, pahalanya tidak dapat dihadiahkan kepada
orang-orang yang sudah mati, karena hal itu bukan amal mereka dan usaha mereka. Oleh karena
itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menganjurkan kepada umatnya, tidak
mendorong mereka dan tidak pula mengajarkan mereka, baik dengan nash maupun isyarat.
Demikian juga tidak dinukilkan dari salah seorang sahabat. Kalau seandainya hal itu baik, tentu
mereka telah mendahului kita (dalam mengerjakannya).” (Tafsir Ibnu Katsir surat An Najm: 39)

2
D. Petunjuk singkat mengurus jenazah
1. Memandikan
Aturan memandikan jenazah,

a. Yang memandikan si mayit adalah orang yang lebih mengetahui sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam memandikan janazah, lebih baik lagi apabila ia termasuk
kerabat si mayit, namun apabila ada orang yang ditunjuk oleh si mayit sendiri sebelum
wafatnya (yang diwasiatkan untuk memandikan) maka jelas ia lebih berhak daripada yang
lainnya.
b. Jenazah laki-laki dimandikan oleh orang laki-laki, dan jenazah perempuan dimandikan oleh
perempuan, kecuali suami-isteri, bagi suami boleh memandikan isterinya demikian
sebaliknya.
c. Apabila seorang laki-laki meninggal di tengah kaum perempuan (sedangkan di situ tidak ada
seorang lelaki muslim pun, tidak ada juga isterinya) maka jenazahnya cukup
ditayammumkan saja, demikian sebaliknya.
d. Orang yang memandikan seorang mayit tidak boleh menceritakan aib/cacat tubuh si mayit.
Orang yang memandikan jenazah seorang muslim lalu menyembunyikan aibnya maka Allah
Ta’ala akan mengampuni dosanya empat puluh kali.
e. Kaum lelaki atau wanita dibolehkan memandikan jenazah anak laki-laki ataupun perempuan
yang berusia di bawah tujuh tahun. Sebab tidak ada batasan aurat bagi mereka.

Langkah-langkah memandikan mayit

Langkah I
Siapkanlah 3 buah ember:
1. Ember untuk air biasa,
2. Ember untuk air yang dicampur dengan daun bidara atau sabun,
3. Ember untuk air yang dicampur kafur/kapur barus (untuk memandikannya pada basuhan
yang terakhir).

Langkah II
Ditaruh mayit di tempat yang sedikit tinggi (hendaknya bagian kemaluannya ditutup dengan
kain) dan lakukanlah pemandian ini di tempat tertutup, lalu ditekan perutnya dengan pelan
(kalau pun tidak ditekan, juga tidak mengapa). Jika ada kotoran yang keluar, maka dibersihkan.
Hendaknya orang yang memandikan mayit memakai sarung tangan agar tidak menyentuh
langsung bagian auratnya.

3
Langkah III
Gunakanlah air biasa untuk membersihkan farjinya dengan air. Setelah itu, wudhukanlah seperti
wudhu’ untuk shalat, kemudian mandikanlah seluruh badannya dari bagian atas kepala sampai
bawah kaki (dahulukan bagian kanan, kemudian yang kiri) dengan air yang dicampur daun bidara
atau sabun. Selanjutnya mandikanlah dengan air biasa (yang tidak dicampur apa-apa) pada
basuhan/pemandian yang kedua. Pada basuhan atau pemandian yang terakhir dianjurkan
memakai air yang dicampur sedikit kapur barus.

2. Mengkafankan

Setelah dimandikan, maka jenazah dibungkus dengan kain kafan.

Ada beberapa hal yang dianjurkan ketika mengkafankan:

 Berwarna putih

 Kain kafan diwangikan/diasapi

 Untuk laki-laki 3 lapis kain, sedangkan untuk wanita 5 kain; 1) kain sarung 2) baju kurung
3)Kerudung 4 & 5) dua lapis kain kafan

kemudian dilipat kain kafannya dari sebelah kanan baru yang kiri, setelah dilipat kain kafan lalu
ikatlah agar tidak lepas kain kafan itu dengan tali berapa saja jumlahnya (tujuh, enam atau lima),
dan ujung-ujungnya (bagian kepala atau kaki) digulung kemudian diikat.

3. Menyalatkan

Menyalatkan jenazah hukumnya fardhu kifayah, kecuali jika janazah tersebut anak kecil yang
belum baligh (sebagaimana Ibrahim putera Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meninggal
berumur 18 bulan, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyalatkan) dan orang yang mati
syahid. Tetapi tidak wajibnya menyalatkan keduanya (anak kecil yang belum baligh dan orang
yang mati syahid) bukan berarti tidak bolehnya menyalatkan mereka, karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dibawakan kepadanya jenazah anak orang anshar maka

4
Beliau menyalatkan, demikian juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan Hamzah
yang mati syahid di peperangan Uhud.

Catatan :
 Lebih banyak yang menyalatkan, maka lebih utama
 Sebaiknya para jamaah yang menyalatkan membuat tiga shaf di belakang imam.
 Jika jenazahnya banyak boleh digabung dengan sekali shalat jenazah, yaitu dengan
menjadikan jenazah laki-laki di dekat imam dan jenazah wanita di dekat kiblat.
 Shalat jenazah biasanya dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan di masjid tetapi
di tempat lain, namun boleh dilakukan di Masjid, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah melakukannya.
 Jika jenazahnya laki-laki maka imam berdiri di arah kepalanya, dan jika jenazahnya
perempuan maka imam berdiri di arah perutnya.

Cara shalat jenazah

Cara shalat jenazah adalah dengan empat kali takbir

Takbir pertama (sambil mengangkat tangan) membaca surat Al Fatihah atau ditambah dengan
surat lain secara sir (tidak dijaharkan).

Takbir kedua membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Takbir ketiga mendoakan si mayit, seperti dengan doa berikut,

‫ْج‬ َّ ‫ف َع ْنهُ َوَأ ْك ِرْم ُن ُزلَهُ َوَو ِّس ْع ُم ْد َخلَهُ َوا ْغ ِس لْهُ بِال َْم ِاء َو‬
ِ ‫الثل‬ ُ ‫اللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر لَهُ َو ْار َح ْمهُ َو َعافِ ِه َوا ْع‬
‫س َوَأبْ ِدلْهُ َد ًارا َخ ْي ًرا ِم ْن َدا ِرِه‬ َّ ‫ض ِم َن‬
ِ َ‫الدن‬ َ َ‫اَأْلبي‬
ْ ‫ب‬ َ ‫ت الث َّْو‬َ ‫َوالَْب ْرِد َوَن ِّق ِه ِم َن الْ َخطَايَا َك َم ا َن َّق ْي‬
‫اب الْ َق ْب ِر َْأو ِم ْن‬
ِ ‫َأع ْذهُ ِم ْن َع َذ‬ ِ ‫و َْأهاًل َخيرا ِمن َْأهلِ ِه وَزوج ا َخيرا ِمن َزو ِج ِه وَأ ْد ِخلْه الْجنَّةَ و‬
َ َ ُ َ ْ ْ ًْ ً ْ َ ْ ًْ َ
‫اب النَّا ِر‬ ِ ‫َع َذ‬
Artinya:
“Ya Allah, ampuni dia, sayangilah dia, lindungilah dia, maafkanlah dia, muliakanlah
persinggahannya, luaskanlah tempat masuknya, basuhlah dia dengan air, air es dan air embun.
Bersihkan dia dari dosa-dosa sebagaimana Engkau bersihkan kain yang putih dari noda. Berikanlah

5
ganti tempat yang lebih baik, keluarga yang lebih baik, istri yang lebih baik, masukkanlah ke surga
dan lindungilah ia dari neraka.”

Dan takbir keempat membaca doa juga seperti membaca:

ُ‫َأج َرهُ َواَل َت ْفتِنَّا َب ْع َدهُ َوا ْغ ِف ْر لَنَا َولَه‬


ْ ‫اللّ ُه َّم اَل تَ ْح ِرْمنَا‬

“Ya Allah, jangan Engkau cegah untuk kami bagian pahalanya, jangan Engkau uji kami setelahnya,
ampunilah kami dan dia.”(disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Riyadhush Shaalihin)

Atau,
َ ‫سنَةً َوقِنَا َع َذ‬
‫اب النَّا ِر‬ َ ‫اللّهُ َّم َربَّنَا َآتِنَا فِي ال ُّد ْنيَا َح‬
َ ‫سنَةً َوفِي اَآْل ِخ َر ِة َح‬
“Ya Allah Tuhan kami, berikanlah kami di dunia kebaikan dan di akhirat kebaiakan serta
lindungilah kami dari ‘azab neraka.”

Jika mayitnya anak kecil, maka doanya adalah sbb,

‫ب ْالقَب ِْر‬ ْ ُ‫اللّهُ َّم اَ ِع ْذه‬


ِ ‫ِمن َع َذا‬
“Ya Allah, lindungilah dia dari ‘azab kubur.”

Atau,

‫اللّهُ َّم اجْ َع ْلهُ لَنَا فَ َرطًا َو َسلَفًا َواَجْ رًا‬


“Ya Allah, jadikanlah ia pendahulu bagi kami dan terdepannya serta sebagai pahala.”

Setelah selesai mendoakan, kita mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri (boleh juga ke
kanan saja).

E. Keutamaan menyalatkan jenazah dan mengiringinya

Orang yang menyalati jenazah saja akan mendapatkan pahala satu qiirath dan jika ditambah
dengan mengiringinya maka akan mendapatkan dua qirath (satu qirath seperti gunung uhud).

F. Ucapan Ketika Melewati pemakaman

‫سَأ ُل هَّللا َ ا ْل َعافِيَةَ لَنَا َولَ ُك ْم‬


ْ ‫سلِ ِمينَ َوِإنَّا ِإنْ شَا َء هَّللا ُ بِ ُك ْم اَل ِحقُونَ َأ ْنتُ ْم لَنَا فَ َرطٌ َونَ ْحنُ لَ ُك ْم تَبَ ٌع َأ‬
ْ ‫ساَل ُم َعلَ ْي ُك ْم َأ ْه َل ال ِّديَا ِر ِمنَ ا ْل ُمْؤ ِمنِينَ َوا ْل ُم‬
َّ ‫ال‬
“Salam kepada kalian, wahai penghuni kubur dari kalangan kaum mukmin dan muslim.
Sesungguhnya kami Insya Allah akan menyusul. Kalian terdepan sedangkan kami akan mengikuti,

6
saya meminta kepada Allah agar kami dan kalian mendapatkan keselamatan.” (HR. Ahmad,
Muslim, dan lain-lain)

Jika kita melihat suatu jenazah maka kita dianjurkan berdiri,

Bagi yang mengiringinya dilarang langsung duduk sampai jenazah diletakkan (di tanah).

4. Menguburkan

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika menguburkan mayit,

Tidak boleh mengubur mayit di tiga waktu yang terlarang, yaitu:

a. Ketika matahari baru terbit sampai naik setinggi satu tombak,

b. ketika matahari di tengah-tengah langit hingga bergeser ke barat,

c. Dan ketika matahari mau tenggelam sampai tenggelam.

Demikian juga sebaiknya tidak menguburkan mayit di malam hari kecuali jika terpaksa.

Lebih utama dalam membuat kubur adalah lahad, yakni membuat galian di pinggir kubur.
Dan diperdalam kuburan seukuran setengah dari berdirinya seseorang atau lebih dan
dapat menjadikan mayit berbaring (tidak sempit)

Yang menurunkan mayit ke kubur adalah laki-laki, meskipun mayitnya perempuan, dan
wali bagi si mayit lebih berhak menurunkan daripada yang lainnya.

Dianjurkan memasukkan mayit dari arah kaki kuburan (ujung kuburan), menjadikan mayit
di kuburnya bertumpu pada sisi kanan jasadnya (dalam posisi miring) dan
menghadapkannya ke arah kiblat (Seperti inilah yang biasa berlaku dari zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang).

Bagi yang menaruhnya di lahad hendaknya membaca:


ُ ‫سنَّ ِة َأ ْو ِملَّ ِة َر‬
ِ‫س ْو ِل هللا‬ ُ ‫س ِم هللاِ َو َعلَى‬
ْ ‫ب‬
“Dengan nama Allah dan di atas Sunnah atau agama Rasulullah”.

Setelah mayit ditaruh di lahad, dianjurkan ikatannya dilepas dan disentuhkan pipinya ke
tanah.

Dianjurkan diletakkan di atas mayit batu bata besar persegi sebagai atap yang
melindunginya. Namun kalau pun tidak dilakukan juga tidak mengapa.

Bagi yang hadir di sana dianjurkan menaburkan tanah atau pasir ke kuburnya tiga kali
taburan dari arah kepala.

7
Dianjurkan meninggikan kuburan hanya sampai sejengkal, berbentuk lonjong
(musannam), diberi tanda pada kuburan di bagian kepala dengan batu atau kayu agar
diketahui sebagai kuburan

G. Hal-Hal Yang Bermanfaat Bagi Si Mati


Ada beberapa amal yang bermanfaat bagi si mati, di antaranya:

1. Doa orang muslim untuknya (lihat surah Al Hasyr: 10),

2. Penunaian terhadap nadzarnya yang belum sempat dikerjakan baik puasa atau lainnya.

3. Sedekah jariyah/yang mengalir (seperti waqaf).

4. Ilmu yang bermanfaat

5. Doa anak saleh untuk orang tuanya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


ُ‫ح يَ ْدعُو لَه‬ َ ‫اريَ ٍة َأوْ ِع ْل ٍم يُ ْنتَفَ ُع بِ ِه َأوْ َولَ ٍد‬
ٍ ِ‫صال‬ َ ‫ِإ َذا َماتَ اِإل ْن َسانُ ا ْنقَطَ َع َع ْنهُ َع َملُهُ ِإالَّ ِم ْن ثَالَثَ ٍة ِإالَّ ِم ْن‬
ِ ‫ص َدقَ ٍة َج‬
“Apabila anak Adam meninggal, maka terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga; sedekah
jariyah, ilmu yang dimanfaatkan atau anak shalih yang mendoakan (orang tua)nya.” (HR.
Muslim)

6. Peninggalannya yang baik.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ِ ‫صالِحًا ت ََر َكهُ َو ُمصْ َحفًا َو َّرثَهُ َأوْ َمس‬


‫ْجدًا‬ َ ‫ق ْال ُمْؤ ِمنَ ِم ْن َع َملِ ِه َو َح َسنَاتِ ِه بَ ْع َد َموْ تِ ِه ِع ْل ًما نَ َش َرهُ َو َولَدًا‬ُ ‫ِإ َّن ِم َّما يَ ْل َح‬
  ‫ص َّحتِ ِه َو َحيَاتِ ِه ت َْل َحقُهُ ِم ْن بَ ْع ِد َموْ تِ ِه‬
ِ ‫ص َدقَةً َأ ْخ َر َجهَا ِم ْن َمالِ ِه فِي‬ َ ْ‫بَنَاهُ َأوْ بَ ْيتًا اِل ْب ِن ال َّسبِي ِْل بَنَاهُ َأوْ نَ ْهرًا َأجْ َراهُ َأو‬
"Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan yang akan sampai kepada seorang mukmin
setelah wafatnya adalah ilmu yang disebarkannya, anak saleh yang ditinggalkanya, mushaf
Al Qur'an yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk Ibnussabil yang
didirikannya, sungai yang dialirkannya, sedekah yang dikeluarkan dari hartanya di waktu
sehat dan sewaktu hidupnya. Semua itu akan sampai kepadanya setelah meninggalnya."
(HR. Ibnu Majah dan Baihaqi, lihat Shahihul Jaami' no. 2231)

7. Menjaga perbatasan negeri yang dikhawatirkan adanya serangan musuh (Ribath).


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

8. Tanaman yang ditanamnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

َّ ‫ص َدقَةٌ َو َما َأ َك َل‬


ُ‫الس بُ ُع ِم ْن هُ فَهُ َو لَ ه‬ َ ُ‫« َما ِم ْن ُم ْسلِ ٍم يَ ْغ ِرسُ غَرْ سًا ِإالَّ َكانَ َما ُأ ِك َل ِم ْنهُ لَه‬
َ ‫ص َدقَةٌ َو َما س ُِر‬
َ ُ‫ق ِم ْنهُ لَه‬
. » ٌ‫ص َدقَة‬ َ ُ‫ص َدقَةً َوالَ يَرْ زَُؤ هُ َأ َح ٌد ِإالَّ َكانَ لَه‬
َ ُ‫ت الطَّ ْي ُر فَهُ َو لَه‬
ِ َ‫ص َدقَةٌ َو َما َأ َكل‬
َ
“Tidak ada seorang muslim yang menanam suatu tanaman kecuali yang dimakan darinya

8
adalah sedekah baginya, yang dicuri darinya adalah sedekah baginya, yang dimakan
binatang buas darinya adalah sedekah dan yang dimakan burung adalah sedekah, dan
tidak dikurangi oleh seorang pun kecuali menjadi sedekah baginya.” (HR. Muslim)

9. Menggali kubur untuk orang yang mati.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫ َو َم ْن َحفَ َر‬، ‫ق ْال َجنَّ ِة‬ ِ ‫ َو َم ْن َكفَنَ َميِّتًا َك َساهُ هللاُ ِمنَ ال ُّس ْند‬، ً‫َم ْن َغ َّس َل َميِّتًا فَ َكتَ َم َعلَ ْي ِه ُغفِ َر لَهُ َأرْ بَ ِع ْينَ َم َّرة‬
ِ ‫ َوِإ ْستَب َْر‬، ‫ُس‬
َ ‫ت قَ ْبرًا فََأ َجنَّهُ فِ ْي ِه ُأجْ ِر‬
‫ي لَهُ ِمنَ اَأْلجْ ِر َكَأجْ ِر َم ْس َك ٍن َأ ْس َكنَهُ ِإلَى يَوْ ِم ْالقِيَا َم ِة‬ ٍ ِّ‫لِ َمي‬
“Barang siapa yang memandikan mayit, lalu ia menyembunyikan (cacat)nya, maka akan
diampuni dosanya sebanyak empat puluh kali. Barang siapa yang mengkafani mayit, maka
Allah akan memakaikan pakaian dari sutera tipis dan sutera tebal dari surga, dan barang
siapa menggalikan kuburan untuk si mati, lalu ia menguburkannya, maka akan dialirkan
pahala untuknya seperti pahala tempat yang ia buatkan sampai hari Kiamat.” (HR. Hakim,
ia berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat Muslim, dan disepakati oleh Adz Dzahabi)

10. Mencontohkan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


‫ُور ِه ْم َش ْى ٌء َو َم ْن‬ ‫ُأ‬ َ ُ‫َم ْن َس َّن فِى اِإل ْسالَ ِم ُسنَّةً َح َسنَةً فَلَهُ َأجْ ُرهَا َوَأجْ ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا بَ ْع َدهُ ِم ْن َغي ِْر َأ ْن يَ ْنق‬
ِ ‫ص ِم ْن ج‬
ِ ‫ص ِم ْن َأوْ ز‬
‫َار ِه ْم َش ْى ٌء‬ َ ُ‫َس َّن فِى اِإل ْسالَ ِم ُسنَّةً َسيَِّئةً َكانَ َعلَ ْي ِه ِو ْز ُرهَا َو ِو ْز ُر َم ْن َع ِم َل بِهَا ِم ْن بَ ْع ِد ِه ِم ْن َغي ِْر َأ ْن يَ ْنق‬

“Barang siapa mencontohkan dalam Islam contoh yang baik, maka ia akan mendapatkan
pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan setelahnya. Barang siapa yang
mencontohkan sunnah yang buruk (seperti mencontohkan bid’ah), maka ia akan
menanggung dosanya dan dosa orang yang mengamalkan setelahnya tanpa dikurangi
sedikit pun dari dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim: 2351)

9
BAB 2
‫الزكاة‬
ZAKAT

A. Kewajiban Zakat

Zakat adalah salah satu di antara rukun Islam yang lima. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,

ِّ‫ضانَ َو ْال َحج‬ َّ ‫بُنِ َي اِإْل ْساَل ُم َعلَى خَ ْم َس ٍة َعلَى َأ ْن يُ َو َّح َد هَّللا َ َوِإقَ ِام ال‬
ِ ‫صاَل ِة َوِإيتَا ِء ال َّز َكا ِة َو‬
َ ‫صيَ ِام َر َم‬
“Islam dibangun di atas lima dasar; Mentauhidkan Allah (bersyahadat Laailaahaillallah dan
Muhammad Rasulullah), mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan berangkat
Haji.” (HR. Muslim)

Kaum muslimin semuanya ijma’ tentang kewajiban zakat, barang siapa yang mengingkari
kewajiban zakat, padahal ia mengetahui tentang wajibnya maka dia kafir. Dan barang siapa yang
enggan membayar zakat, namun tetap mengakui kewajibannya maka dia telah berdosa besar,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ٍ ‫صفَاِئ ُح ِم ْن ن‬
‫َار‬ َ ُ‫ت لَه‬ ْ ‫صفِّ َح‬ُ ‫ض ٍة الَ يَُؤ دِّيْ ِم ْنهَا َحقَّهَا ِإالَّ ِإ َذا كاَنَ يَوْ ُم ْالقِيَا َم ِة‬َّ ِ‫ب َواَل ف‬ ٍ َ‫ب َذه‬
ِ ‫اح‬ِ ‫ص‬ َ ‫َما ِم ْن‬
ُ‫َت لَهُ فِي يَوْ ٍم َكانَ ِم ْقدَا ُره‬ْ ‫َت ُأ ِع ْيد‬
ْ ‫َار َجهَنَّ َم فَيُ ْك َوى بِهَا َج ْنبُهُ َو َجبِ ْينُهُ َوظَ ْه ُرهُ ُكلَّ َما بَ َرد‬ ‫ُأ‬
ِ ‫فَ حْ ِم َي َعلَ ْيهَا فِ ْي ن‬
‫ضى بَ ْينَ ْال ِعبَا ِد‬
َ ‫َخ ْم ِس ْينَ َأ ْلفَ َسنَ ٍة َحتَّى يُ ْق‬
“Tidak ada pemilik emas maupun perak yang enggan membayar zakatnya kecuali pada hari
kiamat akan dibuatkan untuknya lempengan-lempengan dari api, lalu dipanaskan di neraka
Jahanam kemudian disetrika dahi, lambung dan punggungnya dengannya. Setiap kali menjadi
dingin, maka diulangi lagi dalam sehari yang lamanya 50.000 tahun sampai diputuskan masalah di
kalangan manusia.” (HR. Muslim)

Bagi orang yang enggan itu wajib diambil zakatnya secara paksa oleh pemerintah Islam ditambah
dengan separuh hartanya diambil juga sebagai hukuman buatnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:

‫ت َربِّنَا‬ ْ ‫اخ ُذوْ هَا َو َش‬


ِ ‫ط َر َمالِ ِه ع َْز َمةً ِم ْن َع َز َما‬ ِ ‫َو َم ْن َمنَ َعهَا فَِإنَّا‬
“Dan barang siapa yang enggan berzakat, maka kami akan mengambilnya beserta separuh
hartanyai, sebagai perintah keras di antara perintah-perintah Tuhan kami ii.” (Hasan, HR. Abu
Dawud, Nasa’i dan Ahmad)

Jika sekelompok orang enggan membayar zakat, padahal mereka meyakini wajibnya, dan mereka
memiliki kekuatan, maka diperangi oleh pemerintah hingga mereka mau membayar zakat

10
sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash Shaddiq, ia pernah berkata, “Demi Allah, jika
mereka tetap enggan membayar zakat unta yang mereka bayar dahulu kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, tentu aku akan memerangi mereka.” (HR. Bukhari)

B. Hikmah zakat

Zakat memiliki banyak hikmah, di antaranya adalah membersihkan jiwa dari sifat bakhil dan
tamak, membantu kaum fakir dan agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya
saja.

C. Macam-macam zakat

1. Zakat Maal

Maal berasal dari kata bahasa Arab artinya harta atau kekayaan (al-amwal, jamak dari kata
maal) adalah “segala hal yang diinginkan manusia untuk disimpan dan dimiliki” (Lisan ul-Arab).
Menurut Islam sendiri, harta merupakan sesuatu yang boleh atau dapat dimiliki dan digunakan
(dimanfaatkan) sesuai kebutuhannya.

Oleh karena itu dalam pengertiannya, zakat maal berarti zakat yang dikenakan atas segala
jenis harta, yang secara zat maupun substansi perolehannya tidak bertentangan dengan
ketentuan agama.

Macam- Macam Zakat Maal

Berikut beberapa macam zakat:

1.Emas dan perak

Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya pada jalan Allah,
maka beritahukanlah kepada mereka, siksa yang pedih." (terj. At Taubah: 34)

Tidak menafkahkannya di ayat ini adalah tidak mengeluarkan zakatnya.

Zakat pada emas dan perak berlaku baik yang berbentuk uang logam, masih belum diolah (seperti
barang tambang), sudah menjadi perhiasan dsb. berdasarkan keumuman dalil wajibnya zakat
pada emas dan perak tanpa perincian. Ukuran wajib zakat (nishab) pada emas adalah 20 dinar.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

,‫ك ِع ْشرُونَ ِدينَارًا‬ َ َ‫ْس َعلَ ْيكَ َش ْي ٌء َحتَّى يَ ُكونَ ل‬ َ ‫ َولَي‬,‫ فَفِيهَا َخ ْم َسةُ د ََرا ِه َم‬-‫ َو َحا َل َعلَ ْيهَا اَ ْل َحوْ ُل‬- ‫َت لَكَ ِماَئتَا ِدرْ ه ٍَم‬ْ ‫ِإ َذا َكان‬
‫ُول َعلَ ْي ِه اَ ْل َحوْ ُل‬
َ ‫ال زَ َكاةٌ َحتَّى يَح‬
ٍ ‫ْس فِي َم‬ َ ‫ َولَي‬,‫ك‬ َ ِ‫ب َذل‬ ٍ ‫ فَفِيهَا نِصْ فُ ِدين‬,‫َو َحا َل َعلَ ْيهَا اَ ْل َحوْ ُل‬
ِ ‫ فَ َما زَا َد فَبِ ِح َسا‬,‫َار‬
“Apabila kamu memiliki dua ratus dirham dan telah lewat satu tahun, maka zakatnya lima dirham,
dan tidak wajib bagimu zakat sampai kamu memiliki dua puluh dinar dan berlalu satu tahun

11
terhadapnya, maka (jika demikian) zakatnya setengah dinar. Jika lebih, maka zakatnya menurut
perhitungan itu dan tidak ada zakat pada harta kecuali setelah lewat satu tahun.” (Hasan, HR. Abu
Dawud dan Daruquthni)

1 dinar = 4 ¼ gram. Jadi 20 dinar = 85 gram emas. Untuk nishab perak adalah 200 dirham (595
gram perak), zakat yang dikeluarkan pada emas dan perak adalah 1/40 (2,5 %).

Zakat juga wajib pada uang kertas, karena ia pengganti perak, apabila uang kertas tersebut
telah mencapai nishab perak, maka wajib dikeluarkan zakatnya setelah lewat satu tahun penuh
(haul) dengan menggunakan tahun hijriah iii. Kewajiban zakat pada emas, perak dan mata uang ini
berlaku baik hartanya ada padanya maupun pada tanggungan orang lain (piutang).

2.Yang keluar dari bumi; berupa biji, buah-buahan, dan rikaz,

Allah Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu." (terj. Al Baqarah: 267)

Dikenakan zakat pada biji dan buah-buahan apabila telah mencapai nishab (ukuran wajib zakat),
yaitu 5 wasaq, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

ٍ ‫صدَقةٌ َحتَّى يَ ْبلُ َغ َخ ْم َسةَ َأوْ ُس‬


‫ق‬ َ ‫ْس فِ ْي َحبٍّ َواَل ثَ َم ٍر‬
َ ‫لَي‬
“Tidak kena zakat pada biji dan buah-buahan sampai mencapai lima wasaq.” (HR. Muslim)

1 wasaq = 60 sha’, jadi 5 wasaq = 300 sha’, yakni sesuai sha’ Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
yang timbangannya jika berdasarkan ukuran burr/gandum yang bagus 1 sha’= 2040 gram atau
2,04 kg, sehingga nishab tanaman berdasarkan ukuran tersebut adalah 612 kg, kurang dari
ukuran ini tidak kena zakat.

Yang wajib dikeluarkan adalah 1/10 apabila disirami tanpa beban/biaya (yakni atsariy, tanaman
tersebut menyerap air dengan akarnya, terkena aliran air dari mata air atau sungai, termasuk
yang tumbuh dengan siraman air hujan) dan apabila disirami dengan biaya/beban (seperti
dengan timba atau tenaga binatang) maka yang wajib dikeluarkan adalah 1/20.

Buah yang wajib dizakatkan adalah tamar (kurma) dan zabib (anggur kering/kismis). Adapun
buah-buahan lainnya seperti apel, semangka, mangga dsb. termasuk sayur-sayuran maka tidak
terkena zakat.

Biji-bijian yang harus dizakatkan adalah segala biji yang dapat mengenyangkan (makanan pokok)
dan bisa disimpan seperti gandum, sya’ir (semisal dengan beras), jagung, beras dsb. Zakat pada
buah dan biji-bijian ini tidak memakai haul. Buah dan biji-bijian dikeluarkan zakatnya ketika hari
memetiknya (lihat surat Al An’aam: 141).

12
3. Rikaz (harta karun)

Rikaz adalah harta pendaman orang-orang jahiliyyah yang diambilnya tanpa membutuhkan biaya
dan tanpa susah-payah, orang yang menemukan di area tanahnya atau di rumahnya harta
pendaman tersebut, ia wajib mengeluarkan zakatnya yaitu 1/5 (Lihat Minhajul Muslim hal. 224).

Zakat pada rikaz tidak memakai nishab dan haul.

4. Ma’aadin (Barang Tambang)

Syaikh Abu Bakar Al Jazaa’iriy dalam Minhajul Muslim (hal. 224) berkata, “Jika barang
tambangnya berupa emas atau perak, maka ia zakatkan barang yang ia gali darinya jika mencapai
nishab, baik telah berlalu haul atau belum, ia wajib mengeluarkannya setiap kali menggalinya
ketika telah mencapai nishab. Tetapi, apakah ia mengeluarkan zakatnya 1/40 atau 1/5 seperti
rikaz? Dalam hal ini, para ulama berselisih. Ulama yang berpendapat mengeluarkan zakatnya
seperlima mengqiaskan dengan rikaz, sedangkan ulama yang berpendapat (mengeluarkan
zakatnya) sesuai zakat emas dan perak berpegang dengan keumuman sabda Beliau shallallahu
'alaihi wa sallam, “Wa laisa fiimaa duuna khamsi awaaq shadaqah.” (Artinya: Tidak ada zakat jika
kurang lima uqiyyah). Sabda Beliau, “Lima uqiyah 1” mencakup barang tambang maupun lainnya,
dan dalam hal ini ada keluasan, wal hamdulillah.”

Ia juga berkata, “Adapun jika barang tambangnya berupa besi, tembaga, belerang, atau
selainnya, maka dianjurkan mengeluarkan zakat pada barang tambang yang dikeluarkan darinya
2,5 % dari nilainya, karena tidak ada nash yang tegas tentang wajibnya zakat padanya, dan barang
tersebut tidak termasuk emas atau perak sehingga wajib dizakatkan.”

5. Binatang ternak

Syaratnya adalah: (1) Sampai batas nishabnya, (2) Lewat satu tahun, (3) Binatang yang cari
makan sendiri (saa’imah) di rerumputan mubah pada sebagian besar hari-harinya dalam setahun
bukan dengan biaya dan (4) Binatang tersebut bukan untuk dipekerjakan, tetapi untuk
ternak/nasl dan diambil susunya.

a. Unta

Nishab unta adalah 5 ekor, dan perhitungannya adalah sebagai berikut

Jumlah yang
Jumlah Onta
dikeluarkan.

5 ekor 1 syaath

10 ekor 2 syaath

15 ekor 3 syaath
1
1 Uqiyyah= 40 dirham, sehingga 5 Uqiyyah= 200 dirham atau 595 gram.

13
20 ekor 4 syaath

seekor bintu makhadh


25 ekor atau ibnu labun bila tidak
ada.

36 ekor seekor bintu labun

46 ekor seekor hiqqah

61 ekor seekor jadza’ah

76 ekor 2 ekor bintu labun

91 ekor 2 ekor hiqqah

Syaath artinya kambing, yakni jika domba, yang usianya hampir setahun (seperti 8 atau 9 bulan),
sedangkan jika kambing biasa, yang usianya setahun.

Bintu makhaadh adalah unta betina yang berumur satu tahun dan masuk tahun kedua.

Ibnu Labun adalah unta jantan yang berumur dua tahun dan masuk tahun ketiga.

Bintu labun adalah unta betina yang berumur dua tahun dan masuk tahun ketiga.

Hiqqah adalah unta betina yang berumur tiga tahun dan masuk tahun keempat.

Jadza’ah adalah unta betina yang berumur empat tahun dan masuk tahun kelima.

Selanjutnya dalam setiap 40 ekor zakatnya 1 bintu labun, dan dalam setiap 50 ekor zakatnya 1
hiqqah. Contoh:

121 ekor 3 ekor bintu labun

seekor hiqqah dan 2 ekor


130 ekor
binta labun

2 ekor hiqqah dan 1 ekor


140 ekor
bintu labun

b. Sapi (termasuk juga kerbau)

Nishab sapi adalah 30 ekor, dan perhitungannya adalah sbb:

14
Jumlah Sapi Jumlah yang di keluarkan

30 ekor seekor tabi’ atau tabi’ah

40 ekor seekor Musinah

2 ekor tabi’ atau 2 ekor


60 ekor
tabi’ah

seekor tabi’ dan seekor


70 ekor
musinah

80 ekor 2 ekor Musinnah

Tabi’/tabi’ah adalah sapi yang berusia 1 tahun.

Musinnah adalah sapi yang berusia 2 tahun.

Selanjutnya, dalam setiap 30 ekor zakatnya 1 tabi’ dan dalam setiap 40 ekor zakatnya 1 musinnah.

c. Kambing (baik kambing domba maupun kambing biasa)

Nishab kambing adalah 40 ekor, dan perhitungannya adalah sbb:

Jumlah Jumlah yang


kambing dikeluarkan

40 ekor seekor syaath

121 ekor 2 ekor syaath.

201 ekor 3 ekor syaath.

Lebih dari 300 setiap seratus satu ekor


ekor syath.

Sehingga jika jumlah kambing 400 ekor, maka zakatnya empat kambing, 500 ekor zakatnya lima
kambing dst.

6. Barang yang hendak didagangkan

Barang tersebut bisa berupa rumah, tanah, hewan, makanan, mobil maupun barang-barang yang
lain, ia jumlahkan berapa nilainya. Jika dijumlahkan telah mencapai nishab (baik nishab emas
maupun perak), maka setelah lewat haul wajib dikeluarkan zakatnya yaitu 1/40, hal ini untuk
barang-barang dagangan mudaarah/dipasarkan (yang dijual dengan harga hari itu juga, tanpa
menunggu naiknya harga). Sedangkan untuk barang-barang yang muhtakarah/disimpan (yang
dijual ketika harga naik)iv maka jika telah mencapai nishab, ia wajib mengeluarkan pada hari

15
penjualannya untuk setahun saja meskipun barang tersebut sudah ada padanya bertahun-tahun
karena menunggu naiknya harga. Namun menimbun barang jika mengakibatkan orang-orang
menderita karena dibutuhkannya barang tersebut, hukumnya adalah haram.

Contoh perhitungannya adalah sbb:

Seorang pedagang menjumlahkan barang dagangan dengan jumlah total Rp. 200.000.000,- dan
laba bersih sebesar Rp.50.000.000,- sementara dia mempunyai hutang sebesar 100.000.000,-.
Maka modal dikurangi hutang:

200.000.000 - 100.000.000 = 100.000.000.

Jumlah harta zakat:

100.000.000 + 50.000.000 = 150.000.000

maka zakat yang wajib dikeluarkan setelah berlalu haul adalah 150.000.000 x 1/40 = 3.750.000,-

2. Zakat fithri

Zakat fitrah (zakat al-fitr) adalah zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa baik lelaki dan
perempuan muslim yang dilakukan pada bulan Ramadhan pada Idul Fitri. Sebagaimana hadist Ibnu
Umar ra,

"Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas umat muslim;
baik hamba sahaya maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar. Beliau saw
memerintahkannya dilaksanakan sebelum orang-orang keluar untuk shalat.” (HR Bukhari Muslim)

Zakat Fitri diwajibkan kepada orang Islam baik yang merdeka, maupun yang budak, yang
tua maupun yang muda, besar-kecil, laki-laki maupun perempuan. Adapun janin maka tidak wajib
padanya zakat, namun disukai mengeluarkannya .

Ukuran zakat fitri yang harus dikeluarkan adalah 1 sha’ (1 sha’ = 4 mud, atau kira-kira 2,04
kg atau 2040 gram). Hal ini menggunakan ukuran gandum, namun jika beras ukuran sedang, kira-
kira 2,33 kg atau 2,7 liter (berdasarkan ukuran 2040 g jika dimasukkan ke dalam sebuah takaran).

Tetapi jika lebih dari satu sha’, maka tidak mengapa sebagaimana dijelaskan dalam Fatawa Lajnah
Da’imah no. 9386 ketika ada seorang yang bertanya demikian, ia menjawab:

Catatan:

Yang dikeluarkan dalam zakat fithri adalah makanan pokok sesuai kebiasaan setempat. Tidak ada
riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan zakat fitri
dengan uang.

Waktu wajib zakat fitri adalah saat matahari tenggelam malam Idul Fitri, lebih utama setelah
shalaf Subuh dan sebelum berangkat shalat ’Iedul Fitri, dan boleh dikeluarkan sehari atau dua

16
hari sebelum Idul Fitri2. Zakat fitri lebih diutamakan diberikan kepada kaum fakir dan miskin
daripada 8 asnaf lainnya di surat At Taubah: 60.

Rangkuman Tentang Zakat


Syarat wajib zakat ada 5:
Beragama Islam
Merdeka, bukan budak
Mencapai nishab (ukuran wajib zakat)
Benar-benar miliknya barang atau hewan tersebut.
Berlalu satu tahun
2
Sebagaimana yang dilakukan Ibnu Umar, ia menyerahkan zakat fithrinya sehari atau dua hari sebelum hari raya kepada
Zakat terbagi
‘amilin yang ditunjuk dua;mengumpulkan
imam untuk Zakat Mal dan Zakat Fitri.
zakat.
i
Ada dua pendapat ulama tentang
Yang termasuk maksud
Zakat Mal "separuh
adalah hartanya", yakni bisa maksudnya umum dari semua hartanya atau dari
harta yang ia enggan membayar zakat. Oleh karena itu, jika seseorang memiliki 100 ekor unta dan 100 ekor kambing, lalu ia
enggan membayarYang zakatkeluar darimaka
kambing, bumi,jika mengikuti pendapat pertama kita ambil 50 ekor kambing darinya dan 50 ekor
kambing darinya besertaBijizakat
dan buah-buahan
kambingnya, dan nishabnya
jika mengikuti612pendapat
Kg. kedua, maka kita ambil 50 ekor kambing dan zakat
kambingnya (sebagaimana diterangkan Syaikh Ibnu 'Utsaimin dalam
Dikeluarkan: 1/10 apabila disirami tanpa beban/biaya Asy Syarhul Mumti')
ii
Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa lafaz “ ‫ماله‬ ‫شطر‬ “(separuh
1/20 apabila disirami dengan beban/biaya hartanya) memakai harakat dhammah huruf syinnya
(sehingga menjadi syuthira
Rikaz, maaluh)
tidak adayang artinyaJumlah
nishab. harta orang
yang yang
wajibenggan berzakat1/5.
dikeluarkan itu dibagi menjadi dua bagian, yang
nanti pemungut zakat mengambil zakat dari yang terbaik di salah satu dari dua bagian harta tersebut sebagai hukuman
Binatang jika
buatnya –yang sebelumnya ternak,
si pemilik harta mau mengeluarkan zakat maka diambil yang pertengahan, tetapi karena ia
enggan maka diambil yang terbaiknya-. 5 ekor. Dikeluarkan 1 ekor syath (kambing).
Unta, nishabnya
iii
Sapi,
Sehaul yang dipakai nishabnya
adalah setahun 30 ekor.dengan
penuh Dikeluarkan
memakai 1 tabi'
tahun(sapi berusia
hijriah, 1 tahun)
mulainya dari hari ketika hartanya telah
mencapai nishab (ukuran wajib zakat) sampai setahun penuh, jika di tengah-tengah
Kambing, nishabnya 40 ekor. Dikeluarkan 1 ekor syath (kambing) tahun hartanya kurang dari nishab lalu
mencapai nishab lagi, maka diulang lagi dari hari yang hartanya telah mencapai nishab itu, inilah yang dipegang oleh
Emas dan perak
jumhur ulama, namun menurut Abu Hanifah adalah yang penting harta mencapai nishab pada awal haul dan akhirnya,
Emas, nishabnya
meskipun di tengah-tengahnya kurang dari85nishab.
gram emas. Dikeluarkan 1/40 (2,5 %)
iv
Ihtikar (menyimpanPerak, nishabnya
barang dagangan595 gram perak.
menunggu hargaDikeluarkan 1/40 (2,5 %) orang-orang menderita karena
naik), jika mengakibatkan
dibutuhkannya barang Uang, sama
tersebut seperti
maka nishab
hukumnya perak.
haram, Dikeluarkan
Nabi 1/40wa
shallallahu ‘alaihi (2,5 %) bersabda,
sallam
Barang yang hendak didagangkan.
ِ ِ ِ
Nishabnya mengikuti nishab emas atau perak. Dikeluarkan 1/40 (2,5 %) ‫اَل حَيْتَكُر ااَّل َخاطٌئ‬
“Tidak ada yang berihtikar kecuali orang yang bersalah.” (HR. Muslim)

17
BAB 7
‫األضاحي والذبائح‬
UDH-HIYYAH DAN SEMBELIHAN

A. Udh-hiyyah

Definisi udh-hiyyah

Udh-hiyyah secara bahasa menyembelih hewan pada waktu dhuha.

Secara syara', udh-hiyyah adalah hewan yang disembelih berupa unta, sapi, kambing, atau domba
sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah Ta'ala pada hari raya Ied.

Hukum dan dalil disyariatkannya

Udh-hiyyah hukumnya sunnah mu'akkadah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Maka shalatlah
karena Tuhanmu dan berkurbanlah." (Al kautsar: 2)

Dengan kata lain, hukum dari Udh-hiyyah ini adalah wajib bagi orang yang mampu.

Demikian pula berdasarkan hadits Anas radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
menyembelih dua kambing besar yang berwarna putih ada hitamnya dan bertanduk. Beliau
menyembelih dengan tangannya, membaca basmalah dan bertakbir, serta meletakkan kakinya di
bagian samping badannya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Syarat disyariatkan berkurban

Disunnahkan berkurban bagi orang yang terpenuhi syarat-syarat berikut:

18
D. Tempat Pengalihan Zakat

1. Beragama Islam

2. Baligh dan berakal

3. Mempunyai kemampuan.

Dianggap mampu ketika ia memiliki biaya hewan kurban setelah tercukupi nafkah diri dan
orang yang wajib dinafkahi di saat hari raya dan hari-hari tasyriq.

Hewan yang boleh dikurbankan:

Tidak sah hewan kurban kecuali dari jenis: Unta, Sapi, Domba, termasuk pula kambing

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan
(kurban), agar mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dikaruniakan Allah
kepada mereka, " (Al Hajj: 34)

Syarat yang perlu diperhatikan dalam berkurban:

1. Usia

a. Unta (Disyaratkan jika unta, harus sudah sempurna lima tahun)

b. Sapi (Disyaratkan harus sudah sempurna dua tahun)

c. Kambing (Disyaratkan harus sudah sempurna setahun)

Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, "Janganlah kalian menyembelih selain musinnah, kecuali jika
kalian kesulitan, sehingga kalian boleh menyembelih kambing jadza'ah." (HR. Muslim)

d. Biri-biri

Disyaratkan untuk biri-biri adalah jadza'ah, yaitu yang sudah setahun. Ada yang
mengatakan, sudah berusia enam bulan.

2. Selamat

Disyaratkan untuk unta, sapi, dan kambing harus selamat dari cacat yang keadaannya
membuat kurang dagingnya. Maka tidak sah hewan yang kurus, pincang, buta sebelah, dan sakit
berdasarkan hadits Al Barra' bin 'Azib radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
Beliau bersabda, "Empat hewan yang tidak sah dikurbankan; hewan yang buta sebelah yang jelas

19
ِ ‫ب َوٱ ْل ٰ َغ ِر ِمينَ َوفِى َسبِي ِل ٱهَّلل‬ ُ َ‫ص َد ٰق‬
ِ ‫ت لِ ْلفُقَ َرٓا ِء َوٱ ْل َم ٰ َس ِكي ِن َوٱ ْل ٰ َع ِملِينَ َعلَ ْيهَا َوٱ ْل ُمَؤلَّفَ ِة قُلُوبُهُ ْم َوفِى ٱل ِّرقَا‬ َّ ‫ِإنَّ َما ٱل‬
‫ضةً ِّمنَ ٱهَّلل ِ ۗ َوٱهَّلل ُ َعلِي ٌم َح ِكي ٌم‬ َ ‫يل ۖ فَ ِري‬ ِ ِ‫َوٱب ِْن ٱل َّسب‬
”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus
zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (At Taubah: 60)

Lebih rincinya adalah sbb:

butanya, yang sakit yang jelas sakitnya, yang pincang sebelas yang jelas pincangnya, dan yang
kurus; yang tidak bersumsum." (HR. Malik, Ahmad, Tirmidzi, ia berkata, "Hasan shahih," Abu
Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).

Waktu menyembelih hewan kurban

Waktu penyembelihan dimulai dari setelah shalat Ied bagi orang-orang yang melakukannya, dan
setelah terbit matahari pada hari Iedul Adh-ha seukuran yang cukup dua rakaat dan dua kali khutbah
bagi orang yang tidak melakukan shalat Ied. Hal ini berdasarkan hadits Al Barra' bin 'Azib
radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barang siapa yang
telah melakukan shalat seperti kami dan menyembelih seperti kami, maka ia telah benar kurbannya,
dan barang siapa yang menyembelih sebelum shalat, maka hendaklah ia mengganti dengan hewan yang
lain." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan waktu kurban berlaku sampai terbenam matahari akhir hari tasyriq berdasarkan hadits Jubair
bin Muth'im radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda, "Setiap hari
tasyriq adalah waktu berkurban." (HR. Ahmad, Baihaqi, Ibnu Hibban, dan Daruquthni. Haitsami
berkata, "Para perawi Ahmad dan lainnya adalah tsiqah.")

Yang dilakukan terhadap kurban, dan yang harus dilakukan orang yang berkurban ketika
sudah masuk sepuluh pertama bulan Dzulhijjah.

1. Yang dilakukan terhadap kurban

Disunnahkan bagi orang yang berkurban untuk makan dari hewan kurbannya dan
menghadiahkan kepada kerabat, tetangga, dan kawan-kawannya, serta bersedekah kepada
kaum fakir. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Maka makanlah sebagian daripadanya
dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir." (Terj. QS.
Al Hajj: 28)

Dan dianjurkan hewan itu dibagi tiga; sepertiga untuk keluarganya, sepertiga ia beri
makan tetangganya yang fakir, dan sepertiga lagi ia hadiahkan. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu
Abbas radhiyallahu 'anhuma tentang sifat kurban Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Dan
Beliau memberi makan sepertiganya untuk keluarga, sepertiga lagi ia berikan makan kepada

20
1. Orang fakir: orang yang sangat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk
memenuhi penghidupannya.

2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.

3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
Kecuali jika mereka mendapat gaji dari pemerintah terhadap tugas itu, maka tidak diberikan.

4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam, para pemimpin yang berpengaruh dimana
dengan diberikan zakat diharapkan mereka masuk Islam atau terhindar dari gangguan mereka

kaum fakir tetangganya, dan sepertiga lagi ia sedekahkan kepada peminta-minta."


(Diriwayatkan oleh Al Hafizh Abu Musa dalam Al Wazhaa'if, dan ia menghasankannya, lihat Al
Mughni 8/632)

2. Yang mesti dilakukan orang yang ingin berkurban ketika sudah masuk sepuluh hari pertama
bulan Dzulhijjah.

Jika sudah masuk sepuluh pertama bulan Dzulhijjah, maka diharamkan bagi orang yang
ingin berkurban mengambil rambutnya atau kukunya sampai ia berkurban. Hal ini
berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu 'anha secara marfu', "Apabila sudah masuk
sepuluh pertama bulan Dzulhijjah, sedangkan ia memiliki hewan yang hendak ia kurbankan,
maka janganlah ia cabut rambut dan kukunya." Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Maka
janganlah ia mengambil rambut yang ada di kepala dan badannya sedikit pun." (HR. Muslim)

B. Dzabaa'ih (Sembelihan)

1. Definisi sembelihan

Secara bahasa, dzabaa'ih adalah bentuk jamak dari kata dzabiihah, yang artinya yang disembelih.
Secara syara', dzabihah adalah hewan yang sempurna penyembelihannya dengan cara yang syar'i.

Tadzkiyah adalah menyembelih atau menahr hewan darat yang dimakan dan mampu dilakukan
demikian, yaitu dengan memotong tenggorokan dan kerongkongan, atau menciderai hewan yang
sulit disembelih.

2. Macam-macam Tadzkiyah (penyembelihan)

Oleh karena menyembelih yang dituju adalah hewan yang sempurna penyembelihannya
secara syar'i, maka termasuk hal yang tepat jika menerangkan macam-macam penyembelihan
yang menjadikan hewan itu boleh dimakan.

Proses penyembelihan terbagi menjadi tiga sebagaimana tampak jelas dari penjelasan yang lalu
tentang proses penyembelihan:

Pertama, penyembelihan, yaitu memotong tenggorokan dengan beberapa syarat.

Kedua, nahr, yaitu memotong labbah hewan, yaitu bagian bawah leher. Inilah penyembelihan
yang disunnahkan untuk unta. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Maka shalatlah karena

21
atau mereka mau membantu mencegah serangan musuh, dan orang yang baru masuk Islam yang
imannya masih lemah.

5. Memerdekakan budak: yaitu para mukatab yang hendak memerdekakan dirinya, mereka
dibantu dengan zakat untuk menutupi hutang mereka kepada tuan mereka agar diri mereka
merdeka.

6. Orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan
tidak sanggup membayarnya. Demikian pula orang yang berhutang untuk memelihara persatuan
umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.

Tuhanmu dan berkurbanlah." (Terj. QS. Al Kautsar: 2)

Ketiga, 'aqr, yaitu membunuh hewan yang tidak sanggup disembelih berupa hewan buruan dan
binatang ternak dengan menciderainya pada selain tenggorokan dan labbah di bagian mana saja
dari badannya. Hal ini berdasarkan hadits Rafi' bin Khudaij radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Ada
unta yang melarikan diri, lalu ada seorang yang mengarahkan panah kepadanya, sehingga
membuat hewan tersebut berhenti. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Hewan
apa saja yang melarikan diri dari kalian, maka sikapilah demikian." (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Hukum menyembelih

Hukum menyembelih hewan yang bisa disembelih adalah wajib. Tidak halal hewan-hewan
yang disebutkan dimakan tanpa penyembelihan. Hal ini tidak ada khilaf di antara Ahli Ilmu. Hal
ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Diharamkan atas kamu memakan bangkai." (Al Maa'idah: 3)

Dan hewan yang tidak disembelih dianggap bangkai selain ikan dan belalang, serta semua yang
tidak dapat hidup kecuali di dalam air, maka halal dimakan tanpa proses penyembelihan.

4. Syarat sahnya menyembelih

Syarat-syarat ini terbagi menjadi tiga bagian:

1. Syarat yang terkait dengan penyembelih.

2. Syarat yang terkait dengan hewan yang disembelih.

3. Syarat yang terkait dengan alat sembelihan.

5. Syarat yang terkait dengan penyembelih

1. Keberhakan penyembelih, yaitu penyembelihnya berakal dan mampu membedakan, baik ia


laki-laki maupun perempuan, muslim maupun Ahli Kitab. Allah Ta'ala berfirman, "Kecuali jika
kamu sempat menyembelihnya." (Al Maa'idah: 3)

Ayat ini terkait dengan sembelihan seorang muslim. Allah Ta'ala juga berfirman, "Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula)
bagi mereka. " (Al Maa'idah: 5)

2. Tidak boleh menyembelih selain untuk Allah Azza wa Jalla atau dengan nama selain-Nya.

22
7. Pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu orang-orang yang berjihad secara suka rela di jalan Allah
dan tidak mendapat gaji dari pemerintah, maka mereka diberi zakat untuk memenuhi kebutuhan
mereka.

8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam
perjalanannya agar ia dapat sampai ke negerinya, meskipun di negerinya ia sebagai orang kaya.

Jika seseorang menyembelih untuk berhala, atau untuk seorang muslim atau seorang nabi,
maka tidak halal. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Dan hewan yang disebut nama selain
Allah padanya." (Al Maa'idah: 3)

Jika terpenuhi dua syarat ini pada penyembelih, maka halal sembelihannya, dan tidak
ada bedanya, baik penyembelih itu laki-laki maupun perempuan, orang dewasa atau anak-
anak, demikian juga baik orang merdeka maupun budak.

6. Syarat yang terkait dengan hewan yang disembelih

1. Memotong bagian tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat nadi.

Hulqum (tenggorokan) adalah saluran nafas, marii' (kerongkongan) adalah saluran


makan, sedangkan dua wadaj adalah dua urat yang berhadapan mengelilingi tenggorokan.

Disyaratkan dalam menyembelih harus mengalirkan darah, dan menyembelih itu dengan
memotong beberapa bagian hewan yang telah diisyaratkan. Dan pada bagian tersebut
(tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher) khususnya lebih cepat mengalirkan darah
dan menghilangkan ruhnya, sehingga lebih enak dagingnya dan lebih ringan dan mudah untuk
hewan.

Adapun yang terkena sebab yang menjadikannya mati seperti tercekik, terpukul,
terjatuh dari tempat tinggi, tertanduk, termakan binatang buas, yang sakit, yang jatuh ke dalam
jaring, atau diselamatkan dari kebinasaan, jika ia mendapatinya masih hidup, seperti bergerak
tangannya atau kakinya atau matanya, lalu ia menyembelihnya, maka hewan itu halal. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Kecuali jika kalian sempat menyembelihnya." (Al Maa'idah: 3)
Yakni, maka tidak haram.

2. Menyebut nama Allah 'Azza wa Jalla ketika menyembelih,

"Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan." (Terj. QS.
Al An'aam: 121)

Dan disunnahkan menambahkan takbir setelah basmalah berdasarkan riwayat dari Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam tentang berkurban, bahwa Beliau ketika menyembelih
mengucapkan basmalah dan takbir (HR. Muslim)

23
BAB 3

‫الحج‬
HAJI

Definisi Haji:

Haji secara bahasa artinya menuju. Secara syara', haji adalah beribadah kepada Allah dengan

Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Beliau mengucapkan "Bismillah wallahu akbar."
(HR. Muslim)

7. Syarat yang terkait dengan alat sembelihan

Alat yang digunakan termasuk alat yang dapat melukai dengan ketajamannya, seperti besi,
tembaga, batu, dan sebagainya yang dapat memotong tenggorokan, mengalirkan darah selain gigi
dan kuku.

8. Adab menyembelih

Menyembelih ada adab-adabnya yang perlu dilakukan oleh penyembelih, yaitu:

1. Si penyembelih menajamkan pisaunya.

Hal ini berdasarkan hadits Syaddad bin Aus radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan terhadap segala
sesuatu. Jika kalian membunuh, maka perbaguslah dalam membunuh, dan jika kalian
menyembelih, maka perbaguslah dalam menyembelih, dan hendaknya salah seorang di antara
kamu menajamkan pisaunya dan menyegarkan sembelihannya." (HR. Muslim)

2. Hendaknya ia membaringkan hewannya ke sebelah kirinya, membiarkan kakinya yang kanan


bergerak setelah menyembelih agar ia dapat beristirahat dengan menggerakkannya.

Hal ini berdasarkan hadits Syaddad bin Aus yang telah disebutkan sebelumnya.

3. Menahr unta dalam keadaan berdiri terikat lutut kirinya.

Nahr adalah menusuk dengan benda tajam pada bagian labbah, yaitu wahdah (lekukan) yang
terletak antara dasar leher dan dada. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Maka sebutlah
olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat)."
(Al Hajj: 36) Yakni berdiri di atas tiga kaki.

4. Menyembelih semua hewan selain unta.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih
sapi betina." (Terj. QS. Al Baqarah: 67). Demikian juga berdasarkan hadits Anas radhiyallahu
'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyembelih dua kambing yang Beliau jadikan
kurbannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

24
melaksanakan manasik haji di tempat tertentu pada waktu tertentu sesuai yang diterangkan
dalam Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Hukum haji dan keutamaannya

Haji adalah salah satu rukun Islam dan termasuk kewajibannya yang besar berdasarkan firman
Allah Ta'ala, "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta." (Ali Imran: 97)

9. Hal-hal yang makruh dalam menyembelih

1. Makruh menyembelih dengan alat yang tumpul, yakni tidak memotong (tajam), karena hal itu
sama saja menyiksa hewan.

2. Makruh mematahkan leher hewan atau mengulitinya sebelum ruhnya melayang.

3. Makruh menajamkan pisau sedangkan hewan tersebut melihatnya.

BAB 8
‫األطعمة‬
MAKANAN-MAKANAN

A. Ath'imah (Makanan-Makanan)

25
Demikian pula berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma secara marfu' (dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam), "Agama Islam dibangun di atas lima dasar:…dst."
Disebutkkan salah satunya, yaitu haji.

Umat Islam juga telah sepakat tentang kewajiban haji bagi yang mampu sekali dalam seumur
hidup.

Keutamaan haji

1. Definisi dan dasarnya


Ath'imah adalah bentuk jamak dari kata thaa'am, yaitu yang dimakan manusia dan diambil
gizinya berupa makanan pokok dan lainnya, atau yang ia minum.
Dasar masalah ini: Kaidah syar'iyyah dalam mengetahui makanan halal dan haram berjalan
dari firman Allah Ta'ala, "Katakanlah, "Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan
itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor -
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa,
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al An'aam: 145)
Demikian pula dari firman Allah Ta'ala, "Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk." (Al A'raaf: 157)
Dan firman Allah Ta'ala, "Katakanlah, "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah
yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan)
rezeki yang baik?" (Al A'raaf: 32)

Yang dimaksud dengan yang baik-baik adalah yang dianggap baik dan enak oleh jiwa,
karena makanan yang dikonsumsi manusia, atsar(efek)nya akan berpengaruh pada akhlaknya.
Makanan yang baik, maka efeknya juga baik, sedangkan makanan yang buruk memberikan efek
buruk. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menghalalkan makanan yang baik dan
mengharamkan makanan yang buruk.

Hukum asal makanan adalah halal kecuali yang diharamkan oleh syariat yang bijaksana.
Oleh karena itu, Allah Ta'ala berfirman, "Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada
kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya." (Terj. QS.
Al An'aam: 119)
Penjelasan tersebut mencakup tiga hal:
a. Nash yang menyatakan mubah
b. Nash yang menyatakan haram
c. Nash yang didiamkan syari' (Penetap syariat)

26
Telah datang hadits-hadits yang banyak tentang keutamaan haji, di antaranya:

Hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu secara marfu', "Umrah yang satu ke umrah berikutnya
menjadi menghapus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya selain
surga." (HR. Muslim)

Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, "Barang siapa yang berhaji karena Allah, lalu ia
tidak melakukan rafats (berkata kotor) dan tidak berbuat kefasikan (di dalamnya), maka ia akan
kembali seperti pada hari ketika ibunya melahirkan." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal ini telah diterangkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya, "Sesungguhnya
Allah telah menetapkan kewajiban, maka janganlah kamu sia-siakan, dan menetapkan batasan,
maka janganlah kamu lampaui. Dia mengharamkan sesuatu, maka janganlah kamu langgar, dan
mendiamkan sesuatu karena rahmat-Nya kepada kalian bukan karena lupa, maka janganlah
membahasnya." (HR. Daruquthni dan Baihaqi, dan dihasankan oleh Imam Nawawi)

2. Yang dinyatakan syari' kehalalannya dan kemubahannya


Hukum asal dan kaedah masalah ini adalah, bahwa setiap makanan yang suci yang tidak
ada madharatnya, maka hal itu mubah. Dan makanan yang mubah itu ada dua macam; hewan
dan tumbuhan seperti biji-bijian dan buah-buahan. Sedangkan hewan juga terbagi dua;
hewan darat dan hewan laut.

Pertama, hewan laut, yaitu setiap hewan yang tidak dapat hidup selain di laut, seperti
ikan dengan segala macamnya yang berbeda-beda, demikian juga hewan lainnya dari hewan-
hewan laut kecuali yang di dalamnya terdapat racun, maka diharamkan karena bahayanya.
Demikian pula diharamkan makanan dari hewan laut yang dianggap jijik dan kotor seperti katak,
di samping ada larangan untuk membunuhnya. Termasuk pula buaya karena dipandang kotor, di
samping karena ia memiliki taring untuk memangsa. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah
Ta'ala, "Dan dia mengharamkan kepada mereka segala yang buruk." (Al A'raaf: 157)
Dan diperbolehkan memakan hewan laut, baik diburu oleh seorang muslim maupun
lainnya. Dan sama saja, baik ia memiliki kemiripan di antara hewan darat maupun tidak.
Dan hewan laut tidak perlu disembelih. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
"Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan
yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan." (Al Maa'idah: 96)
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu pernah berkata, "Ingatlah! Sesungguhnya buruan laut adalah
yang diburu, sedangkan makanannya adalah yang dimuntahkan oleh laut."
Dan berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Ada seorang yang
bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami
mengarungi lautan, dan kami membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, maka kami
akan kehausan. Maka bolehkah, kami berwudhu dengan air laut?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, "Air itu suci dan halal bangkainya." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu

27
Dan hadits-hadits lainnya.

Apakah haji wajib lebih dari sekali?

Haji tidaklah wajib dalam seumur selain sekali saja. Selebihnya adalah sunat. Hal ini berdasarkan
hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Wahai manusia! Sesungguhnya Allah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah." Lalu ada
seorang yang bertanya, "Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Kalau
sekiranya aku mengatakan "Ya," maka akan menjadi wajib dan kalian tidak akan sanggup." (HR.
Majah, Malik, dan Hakim, dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani)
Kedua, hewan darat. Yang halal dari hewan darat berdasarkan yang disebutkan dalam
nash bisa disimpulkan sebagai berikut:
a. Hewan ternak. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Dan Dia telah menciptakan binatang
ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan
sebagiannya kamu makan." (Terj. QS. An Nahl: 5)
Demikian juga berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah
aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu."
(Terj. QS. Al Maa'idah: 5)
Yang dimaksud dengan hewan ternak adalah unta, sapi, dan kambing.
b. Kuda. Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma ia berkata: Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam melarang pada hari perang Khaibar memakan daging keledai dan
memberikan keringanan memakan daging kuda." (HR. Bukhari dan Muslim)
c. Dhabb (hewan kecil seperti biawak). Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhuma ia berkata: Pernah dimakan hewan dhabb di atas meja Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam. (HR. Bukhari dan Muslim). Dan berdasarkan sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam, "Makanlah! Karena dia halal. Akan tetapi, itu bukan makanan kebiasaanku." (HR.
Bukhari dan Muslim)
d. Keledai liar, yaitu keledai yang tidak jinak. Hal ini berdasarkan hadits Qatadah radhiyallahu
'anhu, bahwa ia melihat keledai liar, lalu ia melukainya, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, "Masih adakah sisa dari dagingnya?" Ia berkata, "Masih ada pada kami kakinya."
Maka Beliau mengambilnya dan memakannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
e. Kelinci. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Anas radhiyallahu 'anhu, bahwa ia mengambil
sebuah kelinci, lalu disembelih oleh Abu Thalhah. Kemudian ia membawakan bagian pahanya
kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Beliau menerimanya. (HR. Bukhari dan Muslim)
f. Dhabu' (hyna). Hal ini berdasarkan riwayat Jabir radhiyallahu 'anhu ia berkata: Aku bertanya
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang dhabu', Beliau bersabda, "Itu adalah
hewan buruan, dan hendaknya ia mengganti dengan kambing apabila memburunya." (HR. Abu
Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasa'i, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani), yakni ketika
sebagai orang yang ihram. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Telah datang hadits-hadits yang tidak
bermasalah yang menerangkan tentang kehalalan dhabu'."

28
Muslim)

Oleh karena itu, hendaknya seseorang menunaikan ibadah haji apabila telah terpenuhi syarat-
syaratnya, dan ia akan berdosa ketika menundanya tanpa udzur. Hal ini berdasarkan sabda Beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam, "Bersegeralah naik haji, karena salah seorang di antara kamu tidak
mengetahui sesuatu yang akan datang menimpanya." (HR. Ahmad, dan dihasankan oleh Syaikh Al
Albani dalam Al Irwaa' no. 990)

Telah ada riwayat secara marfu' dan mauquf dari beberapa jalan, dimana yang satu dengan yang
lain saling menguatkan, yaitu, "Barang siapa yang mampu berhaji, tetapi tidak berhaji, maka

g. Ayam. Hal ini berdasarkan riwayat Abu Musa radhiyallahu 'anhu ia berkata: Aku melihat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memakan daging ayam. (HR. Bukhari dan Muslim)
Termasuk ke dalam ayam adalah angsa dan itik, karena keduanya termasuk makanan yang
baik, sehingga masuk ke dalam keumuman ayat, "Dan dihalalkan untukmu yang baik-baik." (Al
Maa'idah: 4)
h. Belalang. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu 'anhu ia berkata:
Kami pernah berperang bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tujuh atau enam kali
peperangan. Ketika itu, kami makan belalang bersama Beliau." (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Yang disebutkan nash atas keharamannya


Pada dasarnya tentang makanan yang diharamkan adalah, bahwa setiap makanan yang
bernajis yang dipandang kotor serta mengandung bahaya, maka tidak boleh dikonsumsi. Hal ini
sebagaimana yang diterangkan berikut ini:
a. Makanan yang diharamkan dalam kitab Allah terbatas hanya sepuluh barang yang tersebut
dalam firman Allah Ta'ala, "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang
jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya,
dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala." (Terj. QS. Al Maa'idah: 3)
Adapun bangkai, yaitu yang mati (tanpa disembelih) dan terlepas kehidupannya tanpa
penyembelihan secara syar'I, ia diharamkan karena di dalamnya mengandung bahaya
disebabkan darah yang tertahan dan buruknya gizi, dan dibolehkan bagi orang yang terpaksa
sesuai kebutuhan. Namun dikecualikan dari bangkai itu, yaitu bangkai ikan dan belalang,
keduanya halal.
Sedangkan darah, maksudnya adalah darah yang mengalir. Ia haram berdasarkan firman
Allah Ta'al di ayat lain, "Atau darah yang mengalir." (Terj. QS. Al An'aam: 145)
Adapun darah yang tetap berada di sela-sela daging serta berada dalam urat setelah
disembelih, maka hukumnya mubah. Demikian pula dihalalkan darah yang disebutkan oleh
syara', seperti hati dan limpa.
Adapun daging babi, karena ia adalah kotor dan mengkomsumsi makanan-makanan kotor
dan karena sangat berbahaya.

29
silahkan ia pilih untuk mati sebagai orang Yahudi atau orang Nasrani." (Nailul Awthar 4/337)

Syarat-syarat haji

Disyaratkan untuk wajibnya haji harus terpenuhi lima syarat:

1. Islam,

Oleh karena itu, haji tidak wajib bagi orang kafir dan tidak sah, karena agama Islam adalah syarat

Allah 'Azza wa Jalla telah menggabungkan tiga barang haram ini dalam firman-Nya, "Kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya
semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah." (Al An'aam: 145)
Hewan yang tercekik, yakni yang tercekik lalu mati baik yang disengaja maupun tidak.
Hewan yang terpukul, yaitu hewan yang dipukul dengan tongkat atau sesuatu yang berat, lalu
mati.
Hewan yang jatuh dari tempat tinggi, yaitu hewan yang jatuh dari tempat tinggi kemudian
mati.
Hewan yang ditanduk, yaitu hewan yang ditanduk binatang lain, sehingga membuatnya
terbunuh.
Hewan yang dimakan binatang buas, yaitu yang diserang singa, harimau, serigala, macan,
atau anjing, lalu hewan buas itu memakan sebagiannya, sehingga ia mati karena sebab itu.
Lima binatang terakhir ini jika didapatkan masih hidup, lalu disembelih, maka halal dimakan.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala di ayat yang telah disebutkan, "Kecuali jika kamu
sempat menyembelihnya." (Al Maa'idah: 3)

Dan diharamkan pula makanan-makanan berikut ini:


b. Yang terdapat bahaya, seperti racun, khamr, dan seluruh makanan dan minuman yang
memabukkan dan obat-obat terlarang. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Dan janganlah
kamu jatuhkan dirimu ke lembah kebinasaan." (Al Baqarah: 195) dan berdasarkan firman Allah
Ta'ala, "Dan janganlah kamu membunuh dirimu." (An Nisaa': 29)
c. Bagian yang dipotong dari hewan yang hidup. Hal ini berdasarkan hadits Abu Waqid Al Laitsi
radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Bagian dari
hewan hidup yang dipotong adalah bangkai." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi,
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
d. Hewan buas, yakni yang memangsa (menggigit) dengan taringnya hewan-hewan darat, seperti
singa, serigala, harimau, macan, dan anjing. Hal ini berdasarkan hadits Abu Tsa'labah Al
Khusyanniy radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang
(memakan) hewan buas yang bertaring." (HR. Bukhari dan Muslim) Demikian pula
berdasarkan sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, "Setiap hewan buas yang bertaring,
maka memakannya adalah haram." (HR. Muslim)

30
sahnya ibadah.

2. Berakal

Oleh karena itu, haji tidak wajib bagi orang yang gila, dan tidak sah ketika ia gila, karena berakal
adalah syarat adanya beban, sedangkan orang gila tidak termasuk orang yang terkena beban dan
pena untuk mencatat amal pun diangkat darinya sampai ia sadar. Hal ini sebagaimana dalam
hadits Ali radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Diangkat
pena dari tiga orang; orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga dewasa, dan orang gila
hingga sadar." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwaa'
no. 297)

3. Baligh,

Hal ini berdasarkan hadits sebelumnya, yaitu, "Diangkat pena untuk tiga orang:….dst." Akan tetapi,
jika ia naik haji, maka hajinya sah, dan jika ia belum mumayyiz (mampu membedakan), maka
walinya yang meniatkan untuknya. Tetapi tidak mencukupinya untuk haji Islamnya.

4. Merdeka,

Oleh karena itu, haji tidak wajib bagi budak, karena ia dimiliki dan tidak memiliki sesuatu. Akan
tetapi, jika ia naik haji, maka hajinya sah jika mendapat izin tuannya. Dan para Ahli Ilmu sepakat,
bahwa seorang budak jika naik haji saat keadaannya sebagai budak, lalu ia dimerdekakan, maka ia
wajib melakukan haji Islamnya jika mampu mengadakan perjalanan ke sana.

5. Mampu

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah." (Terj. QS. Ali Imran:
97)

Oleh karena itu, orang yang tidak mempunyai kelebihan harta, yakni tidak memiliki bekal yang
mencukupi dirinya dan orang yang ditanggungnya, atau ia tidak memiliki kendaraan untuk
menyampaikannya ke Makkah dan mengantarkannya pulang. Atau ia tidak mempunyai
kemampuan fisik, misalnya sudah sangat tua atau sakit dan tidak mampu naik kendaraan atau
memikul beban-beban safar, atau jalan menuju ke tempat haji tidak aman seperti terdapat
pembajak, ada wabah penyakit, atau lainnya yang dikhawatirkan oleh seorang yang naik haji
menimpa diri dan hartanya, maka tidak wajib baginya naik haji sampai ia mampu. Allah Ta'ala
berfirman, "Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya." (Al Baqarah: 286)

Termasuk mampu juga bagi wanita yang naik haji adalah adanya mahram yang menemaninya
ketika bersafar haji, karena tidak boleh baginya bersafar untuk naik haji maupun lainnya tanpa
mahram. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Tidak halal bagi
wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk bersafar yang memakan waktu tiga hari

31
atau lebih kecuali bersama ayahnya, anaknya, suaminya, saudaranya, atau mahramnya yang lain."
(HR. Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Ahmad, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, lihat
Shahih An Nasa'i no. 2473)

Jika ternyata ia naik haji tanpa mahram, maka hajinya sah namun ia berdosa.

Hukum Umrah

Umrah wajib bagi yang mampu; sekali seumur hidup. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. " (Al Baqarah: 196)

Rukun umrah ada tiga, yaitu: Ihram, thawaf, dan sa'i.

Miqat haji dan umrah

Miqat secara syara' artinya tempat ibadah atau waktu ibadah. Miqat terbagi kepada miqat zamani
dan miqat makani.

Adapun miqat zamani untuk haji dan umrah adalah:

Untuk umrah, maka boleh dilakukan di setiap waktu dalam setahun.

Sedangkan untuk haji, maka ada bulan-bulan tertentu, dimana amalan haji tidak sah kecuali pada
bulan-bulan itu. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "(Musim) haji adalah beberapa bulan yang
dimaklumi." (Al Baqarah: 197)

Bulan-bulan tersebut adalah Syawwal, Dzulqa'dah, dan Dzulhijjah.

Adapun miqat makani untuk haji dan umrah adalah batas-batas dimana orang yang naik haji atau
melakukan umrah tidak boleh melaluinya kecuali dengan berihram. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam juga telah menjelaskannya sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma
ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan miqat untuk penduduk Madinah
yaitu Dzulhulaifah, untuk penduduk Syam yaitu Juhfah, untuk penduduk Nejd yaitu Qarnulmanazil,
untuk penduduk Yaman yaitu Yalamlam. Semua itu untuk mereka dan untuk orang yang datang
melewatinya yang bukan penduduknya bagi yang ingin naik haji dan umrah. Adapun orang yang
berada di atas itu (di dalam miqat), maka dari arah yang ia inginkan. Oleh karena itu, penduduk
Mekkah berihlal (memulai ihram) dari Mekkah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Barang siapa yang melewati miqat ini tanpa ihram, maka ia wajib kembali jika memungkinkan.
Jika tidak memungkinkan untuk kembali, maka ia harus mengeluarkan fidyah, yaitu dengan
menyembelih kambing di Mekkah dan membagikannya kepada orang-orang miskin di tanah
haram.

32
Adapun orang yang tinggalnya di atas (di dalam) miqat miqat, maka mereka berihram dari tempat
tinggalnya,

Rukun Haji

1. Ihram

Yaitu berniat untuk haji dan bermaksud untuknya. Hal itu, karena haji adalah ibadah khusus yang
tidak sah tanpa adanya niat dengan kesepakatan kaum muslim.

Dasar tentang hal ini adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Sesungguhnya amal itu
tergantung niat." (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Wuquf di Arafah,

Wuquf di Arafah adalah rukun (haji) berdasarkan ijma'. Dalilnya adalah sabda Beliau shallallahu
'alaihi wa sallam, "Haji itu Arafah." (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa'i, Hakim, dan dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani)

Waktu wuquf dimulai dari setelah tergelincir matahari hari Arafah sampai terbit fajar hari Nahar
(10 Dzulhijjah).

3. Thawaf ziarah,

Disebut juga thawaf ifadhah, karena dilakukan setelah bertolak dari Arafah. Thawaf ini disebut
pula thawaf fardhu, karena ia adalah rukun haji berdasarkan ijma'. Hal ini berdasarkan firman
Allah Ta'ala, "Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka
dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan
thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)." (Al Hajj: 29)

4. Bersa'i antara Shafa dan Marwah

Ini adalah rukun, berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, "Allah tidak akan
menyempurnakan haji seseorang maupun umrahnya jika tidak bersa'i antara Shafa dan Marwah."
(HR. Muslim)

Inilah rukun yang empat, dimana ibadah haji tidak akan sempurna kecuali dengannya. Barang
siapa yang meninggalkan salah satu rukun, maka tidak sempurna hajinya sampai ia
melakukannya.

Kewajiban haji

33
1. Ihram dari miqat yang dipandang oleh syara'.

2. Wuquf di Arafah sampai malam bagi orang yang mendatanginya siang hari, karena Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam berwuquf sampai matahari tenggelam, sebagaimana akan
diterangkan nanti dalam sifat haji Beliau shallallalhu 'alaihi wa sallam. Beliau juga bersabda,
"Ambillah dariku manasik hajimu."

3. Mabit di Muzdalifah pada malam nahar (10 Dzulhijjah) sampai tengah malam jika ia
mendatanginya sebelumnya, karena praktek Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam seperti itu.

4. Mabit di Mina pada malam-malam hari tasyriq.

5. Melempar jumrah secara tertib.

6. Mencukur habis rambut atau memendekkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Dalam
keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya." (Terj. QS. Al Fath: 27),
demikian juga berdasarkan praktek Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dan perintahnya untuk
melakukan hal itu.

7. Thawaf wada' bagi yang tidak haidh dan nifas. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas
radhiyallahu 'anhuma, "Orang-orang diperintahkan untuk menjadikan akhir kegiatan mereka
di Baitullah, hanyasaja diberi keringanan untuk wanita yang haid (dari melakukan hal itu)."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Barang siapa yang meninggalkan salah satu dari kewajiban ini dengan sengaja atau lupa, maka
ditutupi dengan dam dan hajinya sah. Hal ini berdasarkan riwayat yang sah dari Ibnu Abbas
radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Barang siapa yang lupa mengerjakan manasik (yang wajibnya)
atau meninggalkannya, maka hendaknya ia menumpahkan darahnya." (Diriwayatkan oleh
Daruqutni, Baihaqi, dan lain-lain)

Adapun amalan selain yang disebutkan, maka hukumnya sunat. Namun di antara amalan sunnah
itu yang terpentingnya adalah:

a. Mandi untuk ihram, memakai wewangian, dan memakai dua kain yang berwarna putih.

b. Memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kumis, dan
mencabut rambut yang perlu dicabut.

c. Thawaf qudum (ketika pertama datang) bagi orang yang berhaji ifrad dan qiran.

d. Melakukan raml (jalan cepat dengan langkah pendek) di tiga putaran pertama dari thawaf
qudum.

e. Idhthiba' dalam thawaf qudum, yaitu dengan menjadikan bagian tengah kainnya di bawah
pundaknya yang kanan, sedangkan dua tepinya di pundak yang kiri.

f. Mabit di Mina pada malam Arafah.

g. Bertalbiyah (mengucapkan "Labbaikallahumma labbaik…dst.) ketika ihram sampai

34
melempar jamrah aqabah.

h. Menjama' antara Maghrib dan Isya di Muzdalifah, dengan jama taqdim.

i. Berwuquf di Muzdalifah di dekat Masy'aril Haram dari terbit fajar sampai terbit matahari
jika mudah. Jika tidak, maka Muzdalifah semuanya tempat wuquf.

Larangan di waktu ihram

1. Memakai pakaian yang dijahit, yakni yang disesuaikan dengan badan atau anggota badan,
seperti celana, baju, dan sebagainya. Kecuali bagi orang yang tidak mendapatkan kain,
maka boleh memakai celana. Larangan ini hanya khusus bagi laki-laki. Adapun bagi wanita,
maka ia boleh memakai pakaian apa saja yang ia mau selain cadar dan sarung tangan
sebagaimana akan diterangkan nanti.

2. Memakai wewangian pada badan atau kainnya. Demikian pula sengaja menciumnya.
Namun boleh baginya, mencium tumbuhan yang memiliki wangi yang sedap, dan ia juga
boleh bercelak dengan yang tidak ada wewangiannya.

3. Menghilangkan rambut dan kuku, baik ia laki-laki maupun perempuan. Tetapi boleh
baginya membasuh kepalanya dengan pelan, dan jika terjadi lepas kukunya, maka boleh
dibuang.

4. Menutupi kepala dengan penutupnya, namun ia boleh berteduh dengan kemah dan lainnya
seperti pohon.

5. Melakukan akad nikah, baik untuk dirinya maupun untuk selainnya.

6. Berjima'. Hal ini dapat membatalkan haji jika sebelum tahallul awwal dan meskipun terjadi
setelah wuquf di Arafah.

7. Membunuh binatang buruan darat dan memburunya. Tetapi, boleh baginya membunuh
binatang fasik yang diperintahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membunuhnya
baik di tanah halal maupun di tanah haram, dan baik bagi yang ihram maupun selainnya,
yaitu: burung gagak, tikus, kalajengking, rajawali, ular, dan anjing galak. Dan tidak boleh
baginya membantu proses pembunuhan binatang buruan darat, baik dengan isyarat
maupun lainnya, dan tidak boleh pula memakan binatang yang diburu karenanya.

8. Tidak boleh bagi orang yang ihram maupun lainnya untuk memotong pohon yang ada di
tanah haram atau tumbuhannya yang basah yang tidak mengganggu. Tetapi boleh
memotong sambungan-sambungan yang mengganggu di jalan. Tetapi dikecualikan dari
pohon-pohon di tanah haram adalah pohon idzkhir dan apa yang ditanam manusia
berdasarkan ijma'.

35
Diat (denda) larangan-larangan dalam ihram

1. Jika mencukur rambut, memotong kuku, memakai baju yang berjahit, memakai wewangian,
menutup kepala, mengeluarkan mani karena memandang dan berpelukan tanpa
mengeluarkan mani, maka fidyahnya di antara tiga pilihan ini:

a. Berpuasa tiga hari

b. Memberi makan enam orang miskin

c. Menyembelih seekor kambing

Hal ini berdasarkan sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ka'ab bin Ujrah
ketika ada kutu yang mengganggu kepalanya, "Cukurlah rambut kepalamu, dan
berpuasalah tiga hari, atau berilah makan enam orang miskin, atau sembelihlah seekor
kambing." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan diqiaskan dengannya perbuatan lainnya di atas, karena ia haram berdasarkan ijma',
namun tidak batal hajinya.

2. Jika membunuh binatang buruan, maka pembunuhnya diberikan pilihan antara


menyembelih binatang ternak yang seimbang, atau menghargai binatang ternak yang
seimbang itu sebagai ganti hewan yang dibunuhnya, lalu ia membeli dengan uang itu
makanan yang sah jika dipakai membayar zakat fitri, kemudian ia berikan untuk seorang
miskin satu mud (kira-kira 6 ½ ons) gandum atau setengah sha' (2 mud) jika dari selain
gandum, seperti kurma dan sya'ir. Atau ia berpuasa untuk ganti memberikan makan,
dimana satu orang miskin dihitung satu hari. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
"Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah
mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut
putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yu yang dibawa sampai ke Ka'bah,
atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau
berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu." (Terj. QS. Al Maa'idah: 95)

3. Jika yang ia lakukan adalah berjima' sebelum tahallul awwal, wajib menyembelih unta,
mengqaadha' hajinya dan bertobat. Tetapi jika dilakukan setelah tahallul awwal, maka
tidak merusak hajinya, dan wajib menyembelih seekor kambing.

4. Adapun jika melakukan akad nikah, maka tidak wajib melakukan fidyah, tetapi akad itu
batal saja.

5. Jika memotong pohon di tanah haram dan tumbuhan yang bukan ditanam oleh manusia,
maka pohon yang kecil diganti secara uruf dengan seekor kambing, sedangkan pohon yang
besar dengan seekor sapi, dan untuk tumbuhan dan dedaunan diganti dengan nilai

36
(harganya) karena dapat dihargai.

Hal ini jika orang yang melakukan larangan ini sengaja. Adapun jika tidak tahu dan lupa,
maka tidak terkena kewajiban apa-apa.

Praktek Haji dan Umrah

Yang dijadikan pedoman oleh Ahli Ilmu tentang praktek haji adalah hadits Jabir yang sudah
masyhur. Kami telah menelusuri riwayat-riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, maka dari keseluruhannya dapat disimpulkan caranya sebagai berikut:

Apabila orang yang hendak haji sampai ke miqat, maka dianjurkan ia mandi, dan memotong
rambut yang perlu dipotong dan memang boleh dipotong, seperti rambut ketiak, rambut
kemaluan, kumis, serta memotong kukunya, dan bagi laki-laki hendaknya melepaskan pakaian
yang berjahit, serta memakai wewangian di badannya sebelum niat masuk ke dalam ibadah haji.

Seorang laki-laki juga memakai kain bawah dan kain atas yang bersih dan berwarna putih.
Sedangkan, wanita berihram dengan pakaian apa saja yang ia kehendaki.

Seorang laki-laki (ketika memakai kain ihram) menutup kedua bahunya dengan kain atasnya, dan
berihlal (berniat haji) sesuai yang ia inginkan. Namun yang lebih utama, ihlalnya adalah ketika ia
berada di atas kendaraannya. Jika seorang yang berihram khawatir terhadap penghalang yang
mungkin menghalangi dari menyempurnakan ibadah hajinya, seperti sakit, ada pembajakan, dan
sebagainya, maka ia boleh membuat syarat, bahwa tempat tahallulnya adalah ketika Engkau ya
Allah menahanku.

Dan dianjurkan ketika ihlal menghadap ke kiblat.

Selanjutnya ia melakukan talbiyah, yaitu:

َ ‫ ِإ َّن ْال َح ْم َد َوالنِّ ْع َمةَ لَكَ َو ْال ُم ْل‬، َ‫ لَبَّ ْيكَ الَ َش ِر ْيكَ لَكَ لَبَّ ْيك‬، َ‫ك اللَّهُ َّم لَبَّ ْيك‬
َ‫ك الَ َش ِر ْيكَ لَك‬ َ ‫لَبَّ ْي‬

"Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Aku
penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kerajaan adalah milik-Mu. Tidak ada
sekutu bagi-Mu."

Dan disunnahkan ia mengeraskan suara talbiyahnya. Jika ia telah sampai ke Mekkah, maka
dianjurkan baginya untuk mandi. Jika ia ingin berthawaf, maka bagi laki-laki melakukan idhthiba',
yaitu dengan membuka bahu kanannya, dan menutup bahu kirinya dengan selendangnya. Dan
disyaratkan ketika thawaf dalam keadaan berwudhu. Demikian juga dianjurkan untuk mengusap
hajar aswad dan menciumnya. Jika tidak memungkinkan, maka ia usap dengan tangannya dan
mencium tangannya. Jika tidak memungkinkan, maka ia berisyarat dengan tangannya, dan tidak

37
menciumnya. Ia lakukan hal itu setiap kali putaran, dimana setiap putaran ia mulai dengan
bertakbir.

Jika ia mendatangi rukun yamani, maka ia mengusapnya, namun tidak menciumnya. Jika tidak
memungkinkan mengusapnya, maka ia tidak berisyarat kepadanya dan tidak pula bertakbir, dan ia
berkata antara dua rukun –yaitu: rukun yamani dan hajar aswad-,

َ ‫اآلخ َر ِة َح َسنَةً َوقِنَا َع َذ‬


ِ َّ‫اب الن‬
‫ار‬ ِ ‫َربَّنَا آتِنَا فِي ال ُّد ْنيَا َح َسنَةً َوفِي‬
"Wahai Tuhan kami! Berikanlah kebaikan kepada kami di dunia dan kebaikan di akhirat. Dan
peliharalah kami dari azab neraka."

Selebihnya ia berdoa dengan yang ia kehendaki. Dan dianjurkan baginya untuk melakukan raml
(jalan cepat dengan langkah pendek) pada tiga putaran pertama. Raml adalah melebihi jalan biasa
namun bukan berlari.

Jika ia telah menyempurnakan tujuh putaran, maka ia tutup kembali bahu dengan kain atasnya,
lalu ia menuju Maqam Ibrahim dan membaca ayat, yang artinya, "Dan jadikanlah sebagian maqam
Ibrahim tempat shalat. " (Terj. QS. Al Baqarah 125), lalu ia shalat dua rakaat di belakang maqam,
dimana pada rakaat pertama ia membaca surat Al Kafirun, dan pada rakaat kedua, ia membaca
surat Al Ikhlas. Jika tidak memungkinkan shalat di belakang maqam karena sesak dan sebagainya,
maka ia shalat di tempat mana saja dari masjidil haram.

Thawaf ini adalah thawaf qudum bagi orang yang haji ifrad dan qiran, dan thawaf umrah bagi
orang yang haji tamattu'.

Kemudian disyariatkan baginya meminum air Zamzam dan menuangkan air ke kepalanya,
kemudian ia kembali ke hajar aswad dan mengusapnya jika mudah. Lalu ia keluar ke Shafa dan
membaca firman Allah 'Azza wa Jallam, yang artinya, "Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk
syiar-syiar Allah." (Terj. QS. Al Baqarah: 158)

Selanjutnya ia menaiki Shafa sehingga melihat ke Baitullah dan menghadap kiblat serta
mengangkat kedua tangannya sambil mengucapkan, "Allahu akbar" 3X dan mengucapkan,

َ َ‫ك َولَهُ ْال َح ْم ُد َوه َُو َعلَى ُكلِّ َش ْي ٍء قَ ِدي ٌر اَل ِإلَهَ ِإاَّل هَّللا ُ َوحْ َدهُ اَ ْن َجزَ َو ْع َدهُ َو ن‬
‫ص َر َع ْب َدهُ َو‬ ُ ‫اَل ِإلَهَ ِإاَّل هَّللا ُ َوحْ َدهُ اَل َش ِريكَ لَهُ لَهُ ْال ُم ْل‬
ُ‫اب َوحْ َده‬ َ ‫هَ َز َم ْاالَحْ َز‬
Artinya: "Allah Mahabesar. Allah Mahabesar. Allah Mahabesar. Tidak ada tuhan yang berhak
disembah selain Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya kerajaan dan milik-Nya pujian. Dan
Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah saja. Dia
telah melaksanakan janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengalahkan pasukan bersekutu sendiri
saja." 3X

Kemudian dia berdoa agak lama di sela-selanya, lalu turun ke Marwah dan berlari kecil antara dua

38
tanda hijau, dan hal itu untuk laki-laki tidak wanita. Kemudian ia berjalan sampai menaiki Marwah
dan melakukan di atasnya seperti yang ia lakukan di atas Shafa. Ini dianggap satu putaran.
Kemudian dari Marwah ke Shafa dianggap satu putaran lagi sehingga sempurna sa'i menjadi tujuh
kali putaran. Ini adalah sa'i haji bagi yang ifrad dan qiran, dan tidak tahallul setelahnya, bahkan
tetap dengan ihramnya, dan itu adalah sa'i umrah bagi yang haji tamattu'.

Orang yang haji tamattu telah tahallul dari umrahnya dengan memendekkan rambutnya kemudian
memakai pakaiannya. Sehingga ketika tiba hari Tarwiyah, yakni 8 Dzulhijjah, maka orang yang haji
tamattu' berihram haji dari tempatnya berada. Demikian pula orang lain yang tinggal di Mekkah
dan sekitarnya.

Dan dianjurkan baginya melakukan yang ia lakukan di dekat miqat, yaitu mandi, memakai minyak
wangi, dan bersih-sersih.

Seluruh jamaah haji juga menuju Mina sambil bertalbiyah dan shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya,
dan Subuh di Mina dengan mengqashar shalat yang jumlahnya empat rakaat tanpa menjama'.

Kemudian pada pagi hari tanggal sembilan (Dzulhijjah), maka orang yang naik haji berangkat
menuju Arafah. Jika mudah baginya untuk singgah di Namirah sampai zawal (tergelincir), maka itu
lebih baik. Jika matahari telah tergelincir (tiba waktu Zhuhur), maka imam atau wakilnya
berkhutbah dengan khutbah yang singkat, lalu melakukan shalat Zhuhur dan Ashar dengan
diqashar dan dijama' di waktu Zhuhur, lalu ia memasuki padang Arafah.

Bagi orang yang haji juga wajib meyakini, bahwa dia telah berada di batas padang Arafah. Ia
hendaknya menghadap kiblat, mengangkat kedua tangannya, berdoa, bertalbiyah, memuji Allah,
dan bersungguh-sungguh tadharru', berdzikr, dan berdoa pada hari yang agung itu.

Dan ucapan yang paling utama diucapkan pada hari itu adalah,

‫ك َولَهُ ْال َح ْم ُد َوه َُو َعلَى ُكلِّ َش ْي ٍء قَ ِدي ٌر‬


ُ ‫اَل ِإلَهَ ِإاَّل هَّللا ُ َوحْ َدهُ اَل َش ِريكَ لَهُ لَهُ ْال ُم ْل‬

Artinya: "Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-
Nya kerajaan dan milik-Nya pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu."

Ketika hari itu, hendaknya ia dalam keadaan tidak berpuasa, karena akan membantunya untuk
menjalankan ibadah, dan hendaknya ia terus wuquf sambil bertadharru' dan merendahkan diri
sampai tenggelam matahari.

Jika matahari sudah tenggelam, maka ia bertolak dari Arafah dengan tenang dan berjalan sambil
bertalbiyah hingga sampai di Muzdalifah, lalu shalat Maghrib dan Isya di sana dengan dijama' dan
diqashar untuk shalat Isyanya.

Dan diberikan keringanan bagi orang yang lemah untuk keluar dari Muzdalifah di malam hari,

39
sedangkan orang yang kuat tetap di Muzdalifah sampai shalat Subuh. Selanjutnya ia menghadap
kiblat, memuji Allah dan bertahlil sampai Subuh semakin terang. Kemudian ia bertolak dari
Muzdalifah sebelum matahari terbit dengan berjalan tenang sambil bertalbiyah, dan ia memungut
tujuh buah batu di jalan, sehingga ketika sampai di jamrah 'Aqabah, maka ia lemparkan tujuh batu
itu sambil bertakbir untuk setiap kali lemparan, lalu ia putuskan talbiyah, kemudian menyembelih
hewan hadyunya. Dan dianjurkan baginya memakan dari hewan hadyunya itu, kemudian
mencukur kepalanya, melakukan thawaf ifadhah dan melakukan sa'i haji jika haji yang ia lakukan
adalah haji tamattu', atau ifrad atau qiran namun belum sempat sa'i ketika selesai thawaf qudum.

Sunnahnya adalah melakukan amalan ini secara tertib, yaitu melempar jamrah, menyembelih, dan
mencukur atau memendekkan. Tetapi apabila, ia dahulukan yang satu dari yang lain, maka tidak
mengapa. Dan jika ia telah melakukan dua perkara di antara tiga perkara itu, yaitu melempar
jamrah 'aqabah dan mencukur atau memendekkan, disertai thawaf ifadhah dan sa'i jika ia punya
kewajiban sa'i, maka ia telah bertahallul dengan tahallul awwal dan halal baginya segala sesuatu
yang haram selain wanita. Tetapi jika ketiga-tiganya ia lakukan semua, maka ia telah tahallul
dengan tahallul tsani, sehingga halal baginya segala sesuatu sampai wanita.

Kemudian ia harus bermabit di Mina pada malam kesebelas dan dua belas, melempar tiga jamrah
pada hari kesebelas dimulai dari jamrah shughra, lalu wustha, kemudian kubra. Demikian pula ia
lakukan pada hari kedua belas.

Waktu melempar dimulai dari sejak zawal (tergelincir matahari) sampai terbit fajar.

Dan apabila ia melempar jamrah shughra, maka disunnahkan baginya maju sedikit dari kanannya,
lalu berdiri menghadap kiblat sambil mengangkat tangannya dan berdoa.

Apabila ia telah melempar jamrah wustha, maka disunnahkan maju ke arah kiri dan menghadap
kiblat, lalu berdiri agak lama sambil berdoa dan mengangkat kedua tangannya, namun ia tidak
berdiri setelah jamrah 'Aqabah.

Jika ia ingin segera pulang, maka ia harus keluar dari Mina pada hari kedua belas sebelum
terbenamnya matahari. Jika matahari telah terbenam sedangkan ia masih di Mina dengan
pilihannya, maka ia wajib bermalam pada hari ketiga belas. Kemudian apabila ia ingin keluar dari
Mekkah, maka wajib baginya berthawaf wada' dan menjadikan akhir kegiatannya di Baitullah
adalah thawaf.

Namun thawaf ini gugur bagi wanita yang haidh dan nifas.

40
41
BAB 4
‫البيوع‬
JUAL BELI

A. Definisi

Jual beli secara bahasa adalah mengambil sesuatu dan memberikan sesuatu.

Secara syara', yaitu tukar-menukar harta dengan harta meskipun masih dalam tanggungan, atau
berupa manfaat yang mubah untuk selamanya bukan riba dan bukan berupa pinjaman.

Hukumnya:

Jua beli hukumnya boleh. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'aala,

)‫َأح َّل اللَّهُ الَْبْي َع‬


َ ‫(و‬َ
"Dan Allah menghalalkan jual beli." (QS. Al Baqarah: 275)

Demikian pula berdasarkan hadits riwayat Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ٍ ‫(إذا تبايع الرجالن فكل‬


)ً‫واحد منهما بالخيار ما لم يتفرقا وكانا جميعا‬
"Apabila dua orang berjual beli, maka masing-masing dari keduanya berhak khiyar selama belum
berpisah dan keduanya berkumpul bersama." (HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama juga sepakat bolehnya jual beli secara garis besar.

B. Rukun jual beli

Rukunnya ada tiga; pelaku akad, sesuatu yang diakadkan, dan shighat.

Pelaku akad ini mencakup penjual dan membeli. Sesuatu yang diakadkan adalah barang yang
dijual-belikan, sedangkan shighat ini maksudnya ijab dan qabul.

Shighat terbagi menjadi 2: Ucapan dan perbuatan.

Shighat ucapan adalah ijab dan qabul. Ijab maksudnya lafaz yang keluar dari penjual, misalnya
mengatakan, "Saya jual." Sedangkan qabul artinya, lafaz yang keluar dari pembeli, misalnya
mengatakan, "Saya beli."

Adapun shighat dalam perbuatan adalah dengan saling memberi, yakni mengambil dan
memberikan, misalnya pembeli menyerahkan uang bayaran kepada penjual, dan penjual
menyerahkan barangnya tanpa ucapan.

42
Mengadakan saksi terhadap jual beli

Mengadakan saksi terhadap jual beli adalah dianjurkan, namun tidak wajib. Hal ini berdasarkan
firman Allah Ta'ala,

)‫(وَأ ْش ِه ُدوا ِإ َذا َتبَ َاي ْعتُ ْم‬


َ
"Dan adakanlah saksi apabila kalian berjual beli." (Terj. QS. Al Baqarah: 282). Allah Ta'ala
memerintahkan untuk mengangkat saksi ketika melakukan jual beli, hanyasaja perintah ini
menunjukkan sunnah.

e. Burung buas, yaitu burung yang memangsa dengan cakarnya, seperti rajawali, elang, dan
burung hantu. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma ia berkata:
Rasulullah shalllallahu 'alaihi wa sallam melarang semua binatang buas yang bertaring dan
semua burung yang bercakar." (HR. Muslim)
f. Dan diharamkan burung yang memakan bangkai, seperti burung nasar, rakham, dan gagak
karena buruknya apa yang ia konsumsi.
g. Diharamkan pula setiap hewan yang dianjurkan untuk dibunuh, seperti ular, kalajengking, tikus,
dan burung rajawali. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ada lima hewan yang semuanya fasik dan (boleh)
dibunuh di tanah haram, yaitu: gagak, elang, kalajengking, tikus, dan anjing galak." (HR.
Bukhari dan Muslim) dan karena keadaannya kotor serta menjijikan.
h. Keledai negeri (jinak). Hal ini berdasarkan riwayat Jabir, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam melarang pada hari perang Khaibar memakan daging keledai negeri (jinak)." (HR.
Bukhari dan Muslim)
i. Makanan yang dipandang kotor, seperti tikus, ular, lalat, kumbang besar, dan lebah. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Dan Dia mengharamkan kepada mereka yang buruk." (Al
A'raaf: 157)
j. Jallallah, yaitu hewan yang sebagian besar konsumsinya adalah sesuatu yang najis. Hal ini
berdasarkan riwayat Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam melarang memakan hewan jallalah." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Dan sama saja dalam hal ini, baik unta, sapi, kambing, maupun ayam, dan sebagainya. Jika
hewan tersebut ditahan dari barang-barang najis dan diberi makan dengan makanan yang suci,
maka halal dimakan. Dan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma pernah menahan tiga hari apabila
hendak memakan hewan jallalah. Ada yang mengatakan, bahwa hewan tersebut ditahan lebih
dari itu.

4. Yang makruh dimakan


Dimakruhkan memakan bawang merah, bawang putih dan yang semisalnya yang memiliki bau
tidak sedap, seperti bawang bakung dan lobak. Terutama sekali ketika mendatangi masjid dan
tempat-tempat dzikr dan ibadah lainnya. Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu 'anhu,
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barang siapa yang memakan pohon yang

43
Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala,

)ُ‫ضا َفْلُيَؤ ِّد الَّ ِذي اْؤ مُتِ َن ََأما َنتَه‬ ِ


ُ ‫(فَِإ ْن َأم َن َب ْع‬
ً ‫م َب ْع‬#ْ ‫ض ُك‬
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya.” (Terj. Al Baqarah: 283)

Ayat ini menunjukkan, bahwa perintah tersebut hanya pengarahan untuk menguatkan dan
maslahat.

Para sahabat radhiyallahu 'anhum juga melakukan jual beli di zaman Beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam di pasar-pasar, namun tidak ada nukilan dari mereka, bahwa Beliau menyuruh mereka
mengangkat saksi, dan tidak ada nukilan perbuatan itu dari mereka.

Akan tetapi jika sesuatu yang diakadkan adalah akad besar yang yang ditangguhkan
pembayarannya dimana butuh adanya penguatan, maka sepatutnya dicatat dan diadakan saksi
terhadapnya agar bisa dirujuk kepada catatan itu ketika terjadi perselisihan di antara kedua belah
pihak (penjual dan pembeli).

C. Khiyar dalam jual beli

Khiyar maksudnya masing-masing dari penjual dan pembeli memiliki hak untuk melanjutkan
akad jual beli atau membatalkannya.

Hukum asalnya akad jual beli adalah ketika telah sah dengan terpenuhi rukun dan syaratnya,
maka tidak ada hak bagi pelaku akad menariknya kembali. Hanyasaja, karena Islam adalah agama
yang memberikan toleransi dan kemudahan yang memperhatikan maslahat serta kondisi setiap
individu, maka seorang muslim apabila membeli barang atau menjualnya karena suatu sebab, lalu
ia menyesal, maka syara' membolehkan baginya khiyar agar ia dapat memikirkan perkaranya,
melihat maslahatnya, sehingga ia melanjutkan jual beli atau tidak sesuai pandangannya.

Macam-macam khiyar

Khiyar ada beberapa macamnya, yang terpentingnya adalah:

bau ini, maka janganlah ia mendekati masjid kami. Karena para malaikat merasa terganggu
sebagaimana manusia terganggu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Maksudnya adalah bawang putih. Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Sampai hilang
baunya."
Tetapi jika ia memasak kedua sayuran ini sehingga hilang baunya, maka tidak mengapa
dimakan. Hal ini berdasarkan perkataan Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu, "Barang siapa
yang memakan keduanya, maka hendaknya ia menghilangkannya dengan dimasak." (HR. Muslim)
Dalam sebuah riwayat dari Jabir radhiyallahu 'anhuma disebutkan, "Aku tidak
memandangnya selain dalam keadaan mentah (yang dilarang)." (Jami'ul Ushul 8/280)

44
Pertama, khiyar majlis, yaitu tempat yang di sana terjadi jual beli, maka bagi masing-masing
pelaku akad berhak khiyar selama tetap berada di majlis akad dan belum berpisah. Hal ini
berdasarkan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

)‫(البيعان باخليار ما مل يتفرقا‬


"Dua orang penjual dan pembeli berhak khiyar selama keduanya belum berpisah." (HR. Bukhari
dan Muslim)

Kedua, khiyar syarat, yaitu dua orang pelaku akad membuat syarat atau salah satunya agar
diberlakukan khiyar sampai waktu tertentu untuk melanjutkan akad atau membatalkannya. Jika
masa yang ditentukan itu sudah habis dari sejak awal akad dan tidak dibatalkan, maka jual beli itu
menjadi sah.

Contoh: Seseorang membeli sebuah mobil dari orang lain, lalu pembeli berkata, "saya berhak
khiyar selama sebulan penuh." Jika ia mundur dari pembeliannya di sela-sela bulan itu, maka ia
berhak melakukannya. Jika tidak, maka harus dibeli mobil itu dengan habisnya bulan itu.

Ketiga, khiyar aib, yaitu yang berlaku bagi pembeli ketika menemukan aib pada barang yang tidak
diberitahukan penjual, atau tidak diketahui penjual, dan harga barang menjadi berkurang dengan
sebab aib ini. Yang dijadikan rujukan dalam hal ini adalah para pedagang yang ahli dan diakui
pengamalannya. Jika mereka memandangnya sebagai aib, maka berlaku khiyar. Jika tidak, maka
tidak berlaku.

Khiyar ini dimiliki pembeli. Jika ia mau, ia boleh melanjutkan jual beli dan mengambil ganti
terhadap cacatnya, yaitu selisih antara barang jika kondisinya baik dan ketika kondisinya cacat.
Jika ia mau, ia juga boleh mengembalikan barang dan meminta agar uang bayaran yang diberikan
kepada pembeli dikembalikan.

Keempat, khiyar tadlis, yaitu penjual melakukan tadlis (tipuan) kepada pembeli untuk menambah
harga. Perbuatan ini adalah haram, berdasarkan sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,

)‫(من َغشَّنا فليس منَّا‬


"Barang siapa yang menipu kami, maka dia bukan termasuk golongan kami." (HR. Muslim)

Contoh: Seseorang mempunyai mobil yang banyak cacat pada bagian dalamnya, lalu ia sengaja
menampilkannya dengan warna yang indah, ia tunjukkan bagian luarnya berkilau sehingga
membuat pembeli tertipu, bahwa barang itu selamat dari cacat.

Dalam kondisi ini, pembeli memiliki hak untuk mengembalikan barang kepada penjual dan
meminta dikembalikan bayaran.

45
D. Syarat-syarat jual beli

Disyaratkan untuk sahnya jual beli beberapa syarat berikut:

Pertama, saling ridha antara penjual dan pembeli. Allah Ta'ala berfirman,

)‫اض ِمْن ُك ْم‬ ِ ‫(يا َأيُّها الَّ ِذين آمنُوا اَل تَْأ ُكلُوا َأموالَ ُكم بينَ ُكم بِالْب‬
ٍ ‫اط ِل ِإاَّل َأ ْن تَ ُكو َن جِت َ َار ًة َع ْن َتَر‬َ ْ َْ ْ َ ْ َ َ َ َ
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu." (Terj. QS. An Nisaa': 29)

Dari Abu Sa'id Al Khudriy radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

)‫(إمنا البيع عن تراض‬


"Sesungguhnya jual beli itu dilakukan dengan saling ridha." (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban,
Baihaqi, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwaa' (5/125)

Oleh karena itu, tidak sah jika salah satunya dipaksa dengan tanpa hak. Namun jika paksaan atas
dasar yang hak, misanya hakim memaksa seseorang untuk menjual sesuatu agar tertutup
hutangnya, maka sah.

Kedua, pelaku akad boleh bertransaksi, yaitu keadaannya baligh, berakal, merdeka.

Ketiga, penjual memiliki barang yang dijual, atau menduduki posisi pemiliknya, seperti
wakil, orang yang diberi wasiat, wali, dan nazhir (pengawas). Oleh karena itu, tidak sah jika
seseorang menjual sesuatu yang tidak ia miliki berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam kepada Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu,

)‫(ال تبع ما ليس عندك‬


"Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa'i,
Tirmidzi, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwaa' 5/132)

Keempat, yang dijual harus termasuk barang yang mubah dimanfaatkan, seperti makanan,
minuman, pakaian, kendaraan, tanah, dan sebagainya. Oleh karena itu, tidak sah jual beli barang
yang haram dimanfaatkan, seperti khamr (arak), babi, bangkai, alat-alat yang melalaikan, dan
alat-alat musik.

Hal ini berdasarkan perkataan jabir radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasululullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda,

)‫ واألصنام‬،‫ واخلنزير‬،‫ وامليتة‬،‫حرم بيع اخلمر‬


َّ ‫(إن اهلل‬
"Sesunguhnya Allah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan patung." (HR. Bukhari dan
Muslim)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

46
)‫حرم مثنه‬
َّ ‫(إن اهلل إذا َحَّرم على قوم أكل شيء‬
"Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu kepada suatu kaum, maka Dia
mengharamkan pula hasilnya." (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Arnauth
dalam Hasyiyah Al Musnad 4/95)

Dan tidak boleh menjual anjing, berdasarkan hadits Abu Mas'ud radhiyallahu 'anhu ia berkata:

) ... ‫ عن مثن الكلب‬- ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬


َ - ‫(هنى رسول اهلل‬
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang harga (hasil penjualan) anjing…dst." (HR.
Bukhari dan Muslim)

Kelima, barang yang diakadkan dapat diserahkan, karena barang yang tidak dapat diserahkan
seperti barang yang tidak ada, tidak sah dijual-belikan, karena masuk ke dalam jual beli gharar
(Jual beli gharar adalah jual beli yang zhahirnya menarik pembeli, tetapi bagian dalamnya majhul
(tidak jelas).). Yang demikian, karena pembeli bisa saja telah menyerahkan bayaran, namun tidak
memperoleh barangnya. Oleh karena itu, tidak boleh menjual ikan dalam air, biji dalam buah,
burung yang terbang di angkasa, susu dalam teteknya, janin dalam perut induknya, dan hewan
yang lari.

Keenam, barang yang diakadkan diketahui oleh keduanya, baik dengan dilihat, disaksikan
ketika akad, atau disifati dengan sifat yang membedakan dengan yang lain. Karena
majhul(ketidaktahuan)nya merupakan gharar, sedangkan gharar dilarang. Oleh karena itu, tidak
sah membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, atau ia lihat tetapi majhul (tersembunyi) baginya,
dimana barangnya tidak ada di majlis akad.

Ketujuh, harga atau bayarannya adalah ma'lum, dengan ditentukan harga barang yang dijual
dan mengetahui nilainya.

E. Jual beli yang dilarang

Syari' (Yang menetapkan syariat) yang bijaksana melarang beberapa jual beli jika mengakibatkan
menyia-nyiakan yang lebih penting, seperti melalaikan dari menjalankan ibadah wajib, atau
menimbulkan madharat bagi orang lain. Di antara jual beli yang dilarang itu adalah:

1. Jual-beli setelah azan pada hari Jum'at.

Tidak sah jual beli yang dilakukan oleh orang-orang yang wajib shalat Jum'at setelah azan
dikumandangkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,

)‫اس َع ْوا ِإىَل ِذ ْك ِر اللَّ ِه َوذَ ُروا الَْبْي َع‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ود‬ ِ ‫ِإ‬ ِ َّ
ْ َ‫ي للصَّاَل ة م ْن َي ْوم اجْلُ ُم َعة ف‬ َ ‫(يَا َأيُّ َها الذ‬
َ ُ‫ين َآمنُوا ذَا ن‬
"Wahai orang-orang beriman! Apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah
kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui." (Terj. QS. Al Jumu'ah: 9)

47
2. Menjual sesuatu untuk membantu kemaksiatan kepada Allah atau menggunakannya untuk
hal-hal yang haram.

Oleh karena itu, tidak sah menjual perasan anggur kepada orang yang akan menjadikannya
sebagai khamr (arak) serta menjual gelas-gelas untuk dipakai meminum khamr, dan menjual
senjata di waktu terjadinya fitnah di antara kaum muslim. Allah Ta'ala berfirman,

)‫الت ْق َوى َواَل َت َع َاونُوا َعلَى اِإْل مْثِ َوالْعُ ْد َو ِان‬


َّ ‫(وَت َع َاونُوا َعلَى الْرِب ِّ َو‬
َ
"Dan tolong-menolonglah dalam kebaikan dan takwa, namun jangan tolong-menolong dalam dosa
dan permusuhan." (Terj. QS. Al Maa'idah: 2)

3. Penjualan yang dilakukan seorang setelah dilakukan oleh saudaranya.

Contohnya adalah mengatakan kepada orang yang membeli sesuatu dengan harga sepuluh ribu
rupiah, "Saya akan menjual untukmu yang sama seperti itu dengan harga yang lebih murah," atau,
"Saya akan menjual kepadamu yang lebih baik daripadanya dengan harga yang sama." Hal ini
berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,

)‫ على بيع بعض‬#‫(وال يبع بعضكم‬


"Dan janganlah sebagian kalian menjual atas penjualan saudaranya." (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Membeli di atas pembelian saudaranya.

Contohnya adalah mengatakan kepada orang yang menjual sesuatu, "Batalkanlah jual belinya,
saya akan membeli darimu dengan harga lebih," padahal penjual dan pembeli telah melakukan
kesepakatan sebelumnya terhadap harganya. Gambaran ini masuk ke dalam larangan yang
disebutkan dalam hadits sebelumnya.

5. Jual beli 'Inah

Gambarannya adalah seseorang menjual barang kepada orang lain dengan harga tertentu sampai
waktu tertentu, lalu penjual membeli lagi darinya dengan harga kontan yang lebih murah. Di akhir
tempo, pembeli membayar harga yang pertama itu. Contoh: seseorang menjual tanah dengan
harga lima puluh ribu riyal yang ia bayar selama setahun, lalu penjual membeli lagi darinya
dengan harga empat puluh ribu riyal secara tunai, dan masih tetap dalam tanggungannya lima
puluh ribu riyal yang akan dibayarkan pembeli di akhir tahun. Disebut 'Inah, karena pembeli
mengambil 'ien (bayaran segera) sebagai ganti barang.

Jual beli ini diharamkan karena menjadi celah kepada perbuatan riba. Dari Ibnu Umar
radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

)‫ َسلَّط اهلل عليكم ذالً ال يرفعه حىت ترجعوا إىل دينكم‬،‫ وتركتم اجلهاد‬،‫ وأخذمت أذناب البقر‬،‫(إذا تبايعتم بالعينة‬
"Jika kalian berjual beli secara 'inah, kalian pegang buntut-buntut sapi, dan meninggalkan jihad,
maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian yang tidak Dia angkat sampai kalian mau

48
kembali kepada agama kalian." (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
dalam Ash Shahiihah no. 11)

6. Menjual barang sebelum diterima

Contohnya: Seseorang membeli barang dari orang lain, lali ia menjualnya padahal ia belum
menerima dan membawanya.

7. Menjual buah sebelum tampak baiknya

Tidak boleh menjual buah sebelum tampak baiknya, karena khawatir akan binasa atau munculnya
cacat sebelum diambil. Dari Anas radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,

)‫ مب يأخذ أحدكم مال أخيه؟‬،‫(أرأيت إن منع اهلل الثمرة‬


َ
"Bagaimana menurutmu, jika Allah menahan buahnya, maka atas dasar apa salah seorang di
antara mengambil harta saudaranya?" (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan untuk tampak baiknya dapat diketahui dengan merahnya buah kurma atau kuningnya.
Sedangkan untuk anggur, maka dengan menghitam dan tampak manisnya. Adapun untuk biji,
maka dengan kering dan kerasnya, dan seperti itulah pada buah-buah yang lain.

8. Najsy

Yaitu, seseorang menambahkan pada harga barang yang dijual, namun ia tidak bermaksud
membelinya, tetapi untuk menipu orang lain dan mendorongnya untuk membeli serta
meninggikan harganya.

Iqalah dalam jual beli

Iqalah adalah mengangkat akad yang terjadi antara dua pelaku akad dan membatalkannya dengan
keridhaan kedua belah pihak. Iqalah terjadi dengan sebab salah satu seorang pelaku akad
menyesal terhadap akad, atau menurut pembeli, dirinya tidak butuh kepada barang tersebut, atau
tidak sanggup membayar uangnya, sehigga masing-masing dari penjual dan pembeli menarik
kembali tanpa ada tambahan dan pengurangan.

Iqalah ini hukumnya masyru' (disyariatkan), dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
mendorngnya dengan sabdanya,

)‫(من أقال مسلماً بيعته أقال اهلل عثرته يوم القيامة‬


"Barang siapa yang memaafkan jual beli seorang muslim, maka Allah akan memaafkan
ketergelincirannya pada hari Kiamat." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan
dishahihkan oleh Al Albani)

BAB 5
‫الربا‬
RIBA
49
A. Definisi Riba dan Hukumnya

Riba secara bahasa artinya tambahan.

Secara syara', riba adalah tambahan pada salah satu alat tukar yang sejenis tanpa adanya ganti
terhadap tambahan ini.

Riba diharamkan dalam kitabullah Ta'ala. Allah Jalla wa 'Alaa berfirman, "Dan Allah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba." (Al Baqarah: 275)

Allah Subhaanahu wa Ta'ala mengancam pelaku riba dengan ancaman yang sangat keras, Dia
berfirman, " Orang-orang yang makan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila." (Terj. QS. Al Baqarah:
275)

Yakni mereka tidak bangkit dari kuburnya ketika dibangkitkan kecuali seperti bangunnya
orang yang kemasukan setan. Yang demikian karena besarnya perut mereka lantaran memakan
riba ketika di dunia.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga menggolongkan perbuatan tersebut sebagai


dosa besar dan melaknat semua orang yang bermu'amalah dengan riba, bagaimana pun
keadaannya. Dari Jabir radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
melaknat pemakan riba, yang memberikan makan kepadanya, penulisnya, dan dua saksinya,
Beliau bersabda, "Mereka semua sama (dosanya)." (HR. Muslim)

B. Macam-Macam Riba

Pertama, riba fadhl,

Yaitu tambahan pada salah satu dari alat tukar yang sejenis. Contoh: Seseorang membeli dari
orang lain 1.000 sha' gandum dengan bayaran 1200 sha' gandum, dan kedua belah pelaku akad
melakukan transaksi di majlis akad.

Tambahan ini, yakni 200 sha' gandum tidak sama dengan gandum sebelumnya (yang hanya 1000
saja), ia hanyalah sebagai tambahan.

Hukumnya:

Syariat Islam melarang riba fadhl dalam enam hal; emas, perak, gandum, sya'ir, kurma, dan garam.
Jika salah satu dari enam barang ini dijual dengan yang sejenis, maka diharamkan ada tambahan

50
dan kelebihan di antara keduanya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa'id Al Khudriy radhiyallahu
'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Emas dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan
garam harus sama dan langsung serah terima. Barang siapa yang menambahkan atau meminta
ditambahkan, maka ia telah berbuat riba, yang mengambil dan yang memberi sama saja." (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dan diqiaskan dengan enam barang ini adalah barang-barang yang sama 'illatnya, sehingga haram
terjadinya kelebihan di sana. 'Illat riba pada barang-barang tersebut adalah ditakar dan
ditimbang, sehingga diharamkan adanya kelebihan pada setiap barang yang ditakar dan
ditimbang.

Kedua, Riba Nasi'ah

Yaitu tambahan pada salah satu dari dua alat tukar sebagai ganti terhadap penundaan bayaran,
atau terlambatnya serah terima pada jual beli barang yang sejenis yang sama 'ilatnya pada riba
fadhl, dimana salah satunya tidak kontan.

Contoh: Seseorang menjual 1000 sha' gandum dengan bayaran 1200 gandum untuk waktu
setahun, sehingga tambahan sebagai ganti perpanjangan waktu, atau menjual satu kilo sya'ir
dengan satu kilo bur (gandum), namun tidak langsung serah terima.

Hukum riba ini adalah haram, karena nash-nash yag datang dalam Al Qur'an dan As
Sunnah yang mengharamkan riba dan memperingatkan mu'amalah dengan riba, termasuk pula
riba jenis ini secara aula (apalagi), dan riba inilah yang dikenal di zaman Jahiliyyah, dan inilah
praktek yang biasa dilakukan oleh bank-bank ribawi di zaman sekarang.

C. Gambaran Masalah Ribawi

Jika barang ribawi dijual dengan yang sejenis, maka disyaratkan dua syarat:

1. Adanya serah terima dalam majlis akad sebelum keduanya berpisah.

2. Adanya kesamaan antara keduanya dalam ukuran syar'i, seperti takarannya sama dan
timbangannya sama.

Adapun apabila dijual barang ribawi dengan barang ribawi yang tidak sejenis, maka bukan
menjadi syaratnya. Tetapi apabila dijual barang ribawi dengan selain barang ribawi, maka boleh
adanya kelebihan dan boleh berpisah sebelum serah terima.

Dan berikut ini sebagian gambaran dan hukum-hukumnya:

1. Seseorang menjual 100 gram emas dengan bayaran 100 gram emas setelah berlalu satu
bulan. Ini adalah haram, dan termasuk riba, karena kedua penjual dan pembeli tidak saling
serah terima dalam majlis.

51
2. Membeli 1 kg sya’ir (salah satu jenis gandum) dengan 1 kg bur (gandum) adalah boleh
karena berbeda jenis, namun disyaratkan langsung serah terima di majlis akad.

3. Menjual 50 kg gandum dengan seekor kambing adalah boleh secara mutlak, baik adanya
serah terima di majlis maupun tidak.

4. Tukar menukar uang dolar, misalnya 100 dolar ditukar dengan 120 dolar. Hal ini tidak
boleh.

5. Meminjamkan 1.000 dolar dengan syarat dikembalikan setelah sebulan atau lebih dengan
1.200 dolar. Hal ini juga tidak boleh.

6. Menukar 100 dirham perak dengan 10 junaih emas yang akan dibayarkan setelah berlalu
setahun. Hal ini tidak boleh, karena harus langsung serah terima.

7. Jual beli saham bank ribawi juga tidak boleh, karena termasuk menjual uang dengan uang
tanpa ada kesamaan dan serah terima.

52
BAB 6
‫القرض والعارية‬
QARDH DAN ARIYAH

A. QARDH

Definisi dan dalil-dalil disyariatkannya

Qardh adalah memberikan (pinjaman) harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan
mengembalikan gantinya.

Hukumnya adalah masyru' (disyariatkan). Hal ini ditunjukkan oleh keumuman ayat-ayat Al
Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menerangkan tentang
keutamaan tolong-menolong, memenuhi hajat atau kebutuhan seorang muslim, menghilangkan
derita yang menimpanya dan menutupi kefakirannya. Ulama kaum muslimin juga sepakat tentang
kebolehannya.

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah meminjam unta muda kepada seseorang, lalu Beliau kedatangan unta sedekah, maka Beliau
menyuruh Abu Rafi' membayarkan unta muda kepada orang itu, lalu Abu Rafi' kembali kepada
Beliau dan berkata, "Aku tidak mendapatkan selain unta yang bagus dan telah mencapai usia enam
tahun, maka Beliau bersabda, "Berikanlah kepadanya, sesungguhnya orang yang terbaik adalah
orang yang paling baik ketika membayar." (HR. Bukhari dan Muslim)

Di antara dalil yang menunjukkan keutamaan memberikan pinjaman adalah hadits Ibnu Mas'ud,
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada seorang muslim pun yang
memberikan pinjaman kepada seorang muslim dua kali, melainkan seperti bersedekah pada
kesempatan yang lain." (HR. Ibnu Majah, hadits hasan, lihat Irwa'ul Ghalil 5/226)

Syarat dan sebagian hukum yang terkait dengannya:

1. Tidak boleh bagi seorang muslim memberikan pinjaman kepada saudaranya dengan syarat
mau memberikan pinjaman kepadanya ketika telah mengembalikan pinjamannya. Hal itu,
karena orang yang memberikan pinjaman membuat syarat memperoleh manfaat, dan
setiap pinjaman yang menarik manfaat adalah riba. Misalnya memberikan manfaat dengan
membolehkan menempati rumahnya secara gratis atau murah, atau mendapatkan yang
lain atau manfaat yang lain. Hal itu, karena sebagian besar jamaah para sahabat Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam berfatwa yang menunjukkan tidak bolehnya hal tersebut, dan
para ahli fiqh juga sepakat tentang terlarangnya hal itu.

53
2. Orang yang meminjamkan boleh melakukan transaksi, baligh, berakal, cerdas, dan sah
tindakan sukarelanya.

3. Tidak boleh bagi orang yang memberikan pinjaman untuk meminta syarat dikembalikan
hartanya lebih, karena hal itu termasuk riba. Oleh karena itu, ia tidak boleh mengambilnya,
bahkan membatasi diri dengan jumlah yang diberikannya kepada orang yang meminjam
pertama kali.

4. Apabila orang yang meminjam mengembalikan dengan pengembalian yang lebih baik
daripada yang ia ambil atau memberikan tambahan tanpa syarat atau keinginan
sebelumnya, maka hal itu boleh, karena itu sikap baik dari peminjam, dan bagusnya
pembayaran, dan telah ditunjukkan oleh hadits Abu Rafi' yang lalu.

5. Orang yang memberikan pinjaman memiliki sesuatu yang dipinjamkan, dan tidak boleh
meminjamkan sesuatu yang bukan miliknya.

6. Termasuk mu'amalah ribawi yang haram adalah yang dilakukan oleh Bank-Bank sekarang
ini, yaitu akad pinjam-meminjam yang dilakukan antara bank dengan orang yang
membutuhkan, dimana bank memberikan untuk mereka sejumlah harta karena melihat
bunga yang ditentukan yang akan ia peroleh melebihi jumlah pinjaman, atau bank sepakat
dengan peminjam terhadap nilai pinjaman, kemudian bank memberikan kepadanya nilai
kurang dari yang disepakati, sedangkan si peminjam harus mengembalikan secara
sempurna. Contoh: peminjam meminjam dari bank uang sejumlah 100.000, kemudian
bank memberinya 80.000, dan bank mensyaratkan agar ia mengembalikannya 100.000. Ini
termasuk riba yang haram juga.

B. ‘Ariyah

Maksud 'Ariyah dan dalil-dalil disyariatkan 'Ariyah:

‘Ariyah maksudnya I'arah, yang artinya membolehkan memanfaatkan sesuatu dengan tetapnya
barang itu tanpa adanya imbalan. Ariyah adalah barang yang diambil untuk dimanfaatkan,
misalnya seseorang meminjam mobil dari orang lain untuk dipakai bersafar, kemudian ia
kembalikan kepadanya.

Dalil-Dalil disyariatkan 'Ariyyah:

Ariyyah hukumnya disyariatkan dan dianjurkan berdasarkan keumuman firman Allah Ta'ala,
"Dan tolong-menolonglah di atas kebaikan dan takwa." (Al Ma'idah: 2)

Allah Ta'ala juga berfirman, "Dan mereka mencegah barang yang berguna." (Al Ma'uun: 7) maksud
barang yang berguna adalah yang dipinjam oleh tetangga, seperti wadah, periuk, dan sebagainya.

54
Allah Subhaanahu wa Ta'ala mencela mereka karena enggan memberikan barang 'ariyah. Hal ini
menunjukkan, bahwa memberikan 'ariyah disukai dan dianjurkan.

Shafwan bin Umayyah radhiyallahu 'anhu meriwayatkan, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah meminjam darinya beberapa baju besi ketika perang Hunain. (HR. Ahmad, Abu Dawud,
dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwa' no. 1513)

Dari Anas radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meminjam kuda
milik Abu Thalhah radhiyallahu 'anhu. (Muttafaq 'alaih)

Syarat-syaratnya:

1. Orang yang memberi pinjaman dan meminjamkan layak bertabarru' (bersedekah) secara
syara', dan barang yang dipinjam itu milik pemberi pinjaman.

2. Barang yang dipinjam boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu, tidak sah meminjamkan untuk
bernyanyi dan sebagainya. Demikian pula tidak sah meminjam wadah dari emas atau
perak, dan semua yang haram dimanfaatkan secara syara'.

3. Barang yang dipinjamkan tetap setelah dimanfaatkan. Jika termasuk barang yang akan
binasa, seperti makanan, maka tidak sah di'iarahkan (dipinjamkan).

Beberapa hukum yang terkait dengan I'arah:

1. Tidak boleh bagi peminjam meminjamkan barang yang ia pinjam, karena itu bukan miliknya.
Demikian pula tidak boleh baginya menyewakannya kecuali jika pemiliknya mengizinkan.

2. 'Ariyah adalah amanah di tangan peminjam, ia harus menjaganya dan mengembalikannya


dalam keadaan selamat sebagaimana ketika ia mengambilnya. Jika ia melampaui batas atau
meremehkan, maka ia harus menanggungnya.

3. Peminjaman adalah akad yang tidak mesti. Si pemberi pinjaman boleh menarik kapan saja
selama tidak memadharratkan peminjam. Jika malah memadharratkan, maka tidak boleh
ditarik.

4. ‘Ariyah berakhir dan dikembalikan karena beberapa perkara:

a. Tuntutan dari pemiliknya, meskipun tidak terwujud tujuan peminjam.

b. Selesainya tujuan dari meminjamkan barang 'ariyyah.

c. Habisnya waktu, jika 'ariyah memakai waktu.

d. Meninggalnya pemberi pinjaman atau peminjam, 'ariyah batal karena hal itu.

5. Peminjam dalam mengambil manfaat seperti penyewa, ia berhak memanfaatkannya sendiri


atau bersama orang yang menduduki posisinya. Yang demikian, karena ia memiliki hak
tasharruf (bertindak) padanya dengan izin pemiliknya

55

Anda mungkin juga menyukai