Anda di halaman 1dari 5

Asal Usul Tahlil

TAHLIL

Tahlil secara lughat berarti bacaan ( Lailaha illallah) seperti halnya Tasbih berarti
bacaan ( Subhanallah), Tahmid bacaan ( Alhamdulillah) dan lain sebagainya.

Bahasa Arab kebanyakan selain mempunyai arti secara lughowi (bahasa) juga mempunyai
arti secara istilahi atau urfi. Tasbih misalnya pengertian secara urfi ialah mengagumi dan
mensucikan Allah sang Maha pencipta dari segala kekurangan dan kelemahan, yang
direfleksikan dengan bersyukur, rasa takjub dan lain sebagainya yang diiringi dengan
mengucapkan Subhanallah.

1. Sejarah asal mula adanya tahlilan

Sejarah terkait penyusunan tahlil ada beberapa pendapat, ada yang berpendapat bahwa yang
pertama menyusun tahlil adalah Sayyid Jafar Al- Barzanji. Sedangkan pendapat yang lain
mengatakan bahwa yang menyusun tahlil pertama kali adalah Sayyid Abdullah bin Alwi Al
Haddad.

Dari dua pendapat tersebut, pendapat yang paling kuat tentang siapa penyusun pertama tahlil
adalah Imam Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad. Hal itu didasarkan pada argumentasi
bahwa Imam Al- Haddad yang wafat pada tahun 1132 H lebih dahulu daripada Sayyid Jafar
Al Barzanji yang wafat pada tahun 1177 H.

Pendapat tersebut diperkuat oleh tulisan Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah bin
Alwi Al-Haddad dalam syarah Ratib Al Haddad, bahwa kebiasaan imam Abdullah Al
Haddad sesudah membaca Ratib adalah bacaan tahlil. Para hadirin yang hadir dalam majlis
Imam Al Haddad ikut membaca tahlil secara bersama-sama tidak ada yang saling mendahului
sampai dengan 500 kali.

Kata tahlil sebenarnya tercetak dari ungkapan ringkas Laa ilaha illa Alloh yang dijadikan
percakapan oleh orang-orang arab.
Jika kita melihat historis yang telah ada, sebenarnya Tahlil sudah ada pada saat zaman nabi
Muhammad SAW, terbukti dengan adanya ungkapan tersebut, hanya saja tidak tersusun rapi
sebagaimana saat ini, yang telah dianggap oleh kebanyakan manusia buta sebagai bidah
dlolalah, terutama oleh golongan tertentu. Tahlil yang biasa kita lakukan dengan tujuan untuk
mendoakan orang yang sudah meninggal dunia, sebenarnya bermula dari perjuangan sunan-
sunan Walisongo, yang mana pada saat itu adat istiadat orang jawa, ketika ditinggal mati oleh
sanak keluarganya dilakukan ritual selam tujuh hari berturut-turut dan hari ke empat puluh
setelah kematian, mereka (orang jawa ) mempercayai bahwa ritual ini dapat menebus dosa-
dosa mayyit atau paling tidak bisa menambah kebaikan-kebaikannya, namun jika dilihat dari
kacamata agama islam, sebenarnya dalam ritual tersebut malah menimbulkan mafsadah
(kerusakan) yang luar biasa, karena di isi dengan judi-judian dan minum-minuman keras,
yang mana hal ini jelas dilarang oleh agama, diluar kesadaran mereka.
Dari latar belakang semacam inilah, maka sunan-sunan WaliSongo tergugah untuk merubah
adat istiadat mereka dengan ritual yang islami, hanya saja oleh beliau-beliau disadari bahwa
adat semacam ini tidak mungkin dirubah secara total, karena kalau sampai dirubah secara
total maka sudah bisa dipastikan bahwa orang jawa tidak mau mengikuti ajaran Walisongo,
bahkan mungkin mereka akan melakukan tindak anarkis yang bisa membahayakn
kelangsungan dakwah para Wali di tanah jawa ini, sebab selain mereka sudah sangat percaya
dengan adat semacam ini, mayoritas orang jawa pada saat itu adalah abangan (manusia keras
kepala dan anti agama). Maka muncullah satu pemikiran hebat dari sunan walisongo untuk
memanfaatkan tujuh hari atau lainnya, dari apa saja yang telah mereka adatkan, dengan diisi
tahlil bersama, sebagaimana yang telah kita rasakan saat ini kemanfaatannya, jadi jangan
sekali-kali mempunyai anggapan bahwa tahlil hanya akal-akalan orang(salah satu organisasi
Islam di indonesia) tanpa adanya tendensi (pegangan) hukum yang jelas.
2. Dalil-dalil yang memperbolehkan tahlil
1. Dalil-dalil Al-Quran
Tentang sampainya hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia Terdapat banyak
sekali ayat Al-Quran yang menyatakannya, baik ketika mereka masih hidup ataupun setelah
meninggal dunia. Di antaranya adalah :
a. QS. Muhammad : 19
Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan
perempuan.
Ayat tersebut menerangkan bahwa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan
mendapatkan manfaat dari istighfar orang mukmin lainnya. Dalam tafsir Al-Khazin
dijelaskan:
makna ayat adalah mohonlah ampunan bagi dosa-dosa keluargamu dan orang-orang
mukmin laki-laki dan perempuan, artinya selain keluargamu. Ini adalah penghormatan dari
Allah Azza wa Jalla kepada umat Muhammad, di mana Dia memerintahkan Nabi-Nya untuk
memohonkan ampunan bagi dosa-dosa mereka, sedangkan Nabi SAW adalah orang yang
dapat memberikan Syafaat dan doanya diterima (Tafsir Al-Khazin Juz VI hal 180).
b. QS Al-Nuh : 28
Ya Tuhanku ! ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman,
serta semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan
bagi orang-orang yang dhalim itu selain kebinasaan
Dalam ayat tersebut dijelaskan, bahwa Nabi Nuh AS mendoakan orang-orang mukmin laki-
laki dan perempuan agar dosanya diampuni oleh Allah SWT.
c. QS Ibrahim : 40-41
Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan sholat, ya
tuhanku kami, perkenankanlah doaku (40) Ya Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua ibu
bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (41)
Dalam menafsirkan ayat di atas Syekh Alaudin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-
Baghdadi mengatakan :
Ini merupakan doa memohon ampunan kepada Allah SWT untuk orang-orang mukmin.
Sementara Allah SWT tidak akan menolak doa kekasih-Nya Ibrahim AS. Dalam ayat
tersebut terkandung satu kabar gembira yang besar bagi orang-orang mukmin dengan adanya
ampunan dari Allah SWT berkat doa nabi Ibrahim AS. (Tafsir Al-Khazin Juz IV hal 50).
d. QS Al-Hasyr : 10
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar) mereka berdoa, Ya
Tuhan kami, berilah ampunan kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih
dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi
Maha Penyayang
Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang mati bisa mendapatkan manfaat dari istighfar yang
dibaca oleh orang yang masih hidup.
e. QS Al-Thur : 21
Dan orang-orang yang beriman serta anak cucu mereka mengikuti merka dalam keimanan,
kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun
dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat apa yang dikerjakannya
Mengenai ayat ini Syekh Alaudin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi memberikan
penjelasan :
Artinya kami menyamakan anak-anak mereka yang kecil dan yang dewasa dengan
keimanan orang tua mereka yang dewasa dengan keimanan mereka sendiri, sementara yang
kecil dengan keimanan orang tuanya. Keislaman seorang anak yang masih kecil diikutkan
pada salah satu dari kedua orang tuanya. (kami menyamakan kepada mereka keturunan
mereka) artinya menyamakan orang-orang mukmin di surga sesuai dengan derajat orang tua
mereka, meskipun amal-amal mereka tidak sampai pada derajat amal orang tua mereka. Hal
itu sebagai penghormatan kepada orang tua mereka agar mereka senang. Keterangan ini
diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA (Tafsir Al-Khazin Juz VI hal 250).
Penjelasan yang sama dapat dilihat dalam Tafsir Jami Al-Bayan karya Ibnu Jarir Al-Thabari
Juz 28 Hal 15.
Beberapa ayat dan penafsiran tersebut menjadi bukti nyata bahwa orang yang beriman tidak
hanya memperoleh pahala dari perbuatannya sendiri. Mereka juga dapat merasakan manfaat
amaliyah orang lain.
2. Dalil-dalil Al-Hadits
Kalau Al-Quran sudah menjelaskan bahwa orang mukmin dapat memperoleh manfaat dari
amal orang lain , maka di dalam hadits Nabi SAW juga ada dan cukup banyak. Di antaranya
adalah :
a. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA.
Dari Ibnu Abbas RA, ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW, Wahai
Rosulullah, ibu saya meninggal dunia. Apakah ia akan mendapatkan kemanfaatan jika saya
bersedekah untuknya ?, Nabi SAW menjawab, Ya. Laki-laki tersebut berkata, Saya
mempunyai kebun, saya mohon kepadamu wahai Rosulullah untuk menjadi saksi saya
bersedekah atas nama ibu saya (shahih al-Bukhari, 2563).
Hadits di atas menerangkan bahwa sedekah yang dikeluarkan oleh seseorang, pahalanya bisa
sampai kepada orang yang telah meninggal dunia. Termasuk dalam kategori sedekah adalah
bacaan tasbih, takbir, tahmid dan tahlil, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab
Riyadlus Sholihin.
b. Hadits Riwayat Maqil bin Yasar RA.
Diriwayatkan dari Maqil bin Yasar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, Surat Yasin
adalah intisari Al-Quran. Tidaklah seseorang membacanya dengan mengharap rahmat Allah
SWT kecuali Allah SWT akan mengampuni dosadosanya. Maka bacalah surat Yasin atas
orang-orang yang telah meninggal di antara kamu sekalian (Musnad Ahmad bin Hambal,
19415)
Hadits di atas secara tegas menganjurkan membaca Al-Quran untuk orang yang yang telah
meninggal dunia, karena yang dimaksud mautakum dalam hadits tersebut adalah orang-orang
yang telah diambil ruhnya. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Haula Khasaish Al-Quran.
Syekh Muhibbuddin Al-Thabari mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata mautakum
dalam hadits tersebut adalah orang yang ruhnya telah terpisah dari jasadnya. Adapun
pendapat yang mengartikan kata mautakumdengan orang yang akan meninggal dunia
adalah pendapat yang tidak berdasar.(Haula Khasaish Al-Quran, 44)
c. Hadits riwayat sayyidina Ali RA yang diriwayatkan oleh Abu Muhammad Al-
Samarqandi,Al-RafiI dan Al-Daraquthni
Dari Ali RA Rasulullah SAW bersabda. Barang siapa berjalan melewati pemakaman, lalu
membaca surat Al-Ikhlas sebelas kali dan menghadiahkan pahalanya kepada ahli kubur, maka
ia akan diberi pahala sejumlah ahli kubur. (diriwayatkan oleh Abu Muhammad Al-
Samarqandi Al-Quran 45)
d. Al-Khallal dari al-Syabi berkata :
Jika ada sahabat di kalangan Anshar meninggal dunia, mereka berkumpul di depan
kuburnya sambil membaca Al-Quran. (al-Ruh, 11)
Berdasarkan beberapa hadits serta amaliyah para sahabat di atas jelaslah bahwa Nabi
Muhammad SAW menganjurkan membaca Al-Quran di atas kubur, lalu para sahabat
mengerjakan anjuran Nabi SAW tersebut. Jadi tidak diragukan lagi bahwa bacaan Al-Quran
atau amal ibadah lainnya dapat bermanfaat kepada mayit. Sebab bila tidak ada manfaatnya,
Nabi SAW tidak akan menganjurkan para sahabatnya melakukan sesuatu yang sia-sia, tidak
ada guna dan manfaatnya.
3. Pendapat para ulama
Mayoritas ulama menyatakan bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari usaha (amal
orang yang masih hidup).
Kata Imam Al-Qurthubi :
Imam Ahmad bin Hambal RA berkata : Apabila kamu berziarah ke pemakaman, maka
bacalah surat Al-Fatihah, Al-Muawwidzatain, dan surat Al-Ikhlas. Kemudian hadiahkan
pahalanya kepada ahli kubur. Maka sesungguhnya pahala tersebut sampai kepada
mereka.(Mukhtashar Tadzkirat Al-Qurthubi, 25)
Dalam kitab Nihayah al-Zain disebutkan :
Ibnu Hajar dengan mengutip Syarh Al-Mukhtar berkata: Madzhab Ahlussunnah
berpendapat bahwa seseorang dapat menghadiahkan pahala amal dan doanya kepada arang
yang telah meninggal dunia. Dan pahalanya akan sampai kepadanya (Nihayah Al-Zain, 193)
Ibnu Taimiyyah mengemukakan beberapa alasan mengenai sampainya hadiah pahala kepada
orang yang telah meninggal dunia. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab Tahqiq
Al-Amal, 53-56 :
Ibnu Taimiyyah berkata, Barang siapa berkeyakinan bahwa manusia tidak dapat
memperoleh manfaat kecuali dari amalnya sendiri, maka ia telah menentang ijma. Hal itu
batal karena beberapa hujjah sebagai berikut :
Manusia dapat memperoleh manfaat doa orang lain, dan ini berarti memperoleh manfaat dari
amal orang lain.
Berdasarkan hadis dan ijma ulama, haji fardlu yang menjadi tanggungan mayit dapat gugur
dengan haji yang dilakukan walinya. Keterangan ini menunjukkan bermanfaatnya amal orang
lain.
Tetangga yang baik dapat memberi manfaat ketika masih hidup atau setelah ia meninggal
dunia seperti dijelaskan dalam atsar.
Dalam kitab Nailul Author, Al-Syaukani mengutip syarah kitab Al-kanz :
Dalam syarah kitab Al-Kanz disebutkan bahwa seorang boleh menghadiahkan pahala
perbuatan baik yang ia kerjakan kepada orang lain, baik berupa sholat, puasa, haji, shodaqoh,
bacaan Al-Quran atau semua bentuk perbuatan baik lainnya, dan pahala perbuatan tersebut
sampai kepada mayit dan memberi manfaat kepada mayit tersebut menurut ulama
Ahlussunnah. (Nail Al-Author, Juz IV hal 142)
Setelah menjelaskan bahwa seluruh ulama telah sepakat tentang sampainya pahala bacaan
Al-Quran atau dzikir lainnya kepada mayit, Sayyid Alawi Al-Maliki, salah seorang guru
besar di masjid Al-Haram pada zamannya berkata:
Kalau ada orang menyangka bahwa hal tersebut (menghadiahkan pahala kepada orang mati)
hukumnya haram, maka tanyakanlah kepadanya, pada bagian manakah di dalam Al-Quran
atau Hadits yang mengharamkan hal tersebut ? kemudian bacalah ayat yang artinya Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ini
halal dan ini haram, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah SWT.
Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah SWT tiadalah
beruntung.(QS Al-Nahl, 116). Katakan juga kepadanya, Kalau memang anda merasa
sebagai seorang mujtahid, maka ijtihad anda tidak lebih benar dari ijtihad para Imam yang
disebut di atas, yang berpendapat boleh menghadiahkan pahala kepada orang lain
berdasarkan dalil yang kuat dari hadits SAW. Namun jika anda masih dalam tingkatan
muqallid, maka selesailah diskusi ini dengan anda (Faidlu Al-Khabir, 178)
Kemudian yang dimaksud dengan pendapat yang masyhur dari Imam Syafii RA tentang
tidak sampainya bacaan Al-Quran kepada orang mati. Seperti yang dikatakan Muhammad
Ahmad Abdissalam :
Menurut pendapat yang Masyhur dari madzhab SyafiI, serta segolongan dari Ashab Al-
SyafiI (pengikut madzhab Syafii), bahwa pahala membaca Al-Quran tidak sampai kepada
mayit (Hukmu Al-Qiraah li Al-Amwat, 18-19)
Di kalangan Syafiiyyah dalam menyimpulkan pendapat Imam SyafiI ada beberapa istilah.
Seperti Al-Shahih, Al-Azhhar, Al-Masyhur, Al-Rajih dan lain sebagainya, yang definisi
istilah-istilah tersebut bisa dilihat pada kitab-kitab fiqih Syafiiyyah. Sedangkan maksud
pendapat Al-Masyhur dalam persoalan ini adalah apabila Al-Quran tidak dibaca di hadapan
mayit dan tidak diniatkan sebagai hadiah kepada orang yang meninggal dunia tersebut. Salah
seorang tokoh Syafiiyyah, Syekh Zakaria Al-Anshari Al-SyafiI menerangkan :
Sesungguhnya pendapat yang masyhur (dalam madzhab Imam Syafii) mengenai
pembacaan Al-Quran, adalah apabila tidak dibaca di hadapan mayit, serta pahalanya tidak
diniatkan sebagai hadiah, atau berniat tetapi tidak didoakan (Hukm Al-Syariah Al-
Islamiyah fi Matam Al-Arbain, 43)
Hal tersebut karena Imam Syafii RA sendiri berpendapat sunnah membaca Al-Quran di
dekat mayit. Imam Syafii RA berkata :
Disunnahkan membaca sebagian ayat Al-Quran di dekat mayit, dan lebih baik lagi jika
mereka (pelayat) membaca Al-Quran sampai khatam. (Dalil Al-Falihin Juz VI hal 103)
Dan banyak riwayat yang menyatakan bahwa Imam Syafii RA berziarah ke makam Laits bin
Saad dan membaca Al-Quran di makam tersebut.
Sudah popular diketahui oleh orang banyak bahwa Imam Syafii pernah berziarah ke makam
Laits bin Saad. Beliau memujinya dan membaca Al-Quran sekali hatam di dekat
makamnya. Lalu beliau berkata, Saya berharap semoga hal ini terus berlanjut dan senantiasa
dilakukan (Al-Dakhirah Al-Tsaminah, 64)
Berdasarkan keterangan di atas menjadi jelas bahwa Imam Syafii RA juga berkenan
menghadiahkan pahala kepada mayit. Hanya saja harus dibaca di hadapan mayit, atau di
doakan pada bagian akhirnya kalau mayit tidak ada di tempat membaca Al-Quran tersebut.
Dengan kehendak Allah SWT pahala bacaan tersebut akan sampai kepada mayit. (Al-Tajrid
Li NafI Al-Abid Juz III hal 276)
Mengenai keharusan berdoa setelah membaca Al-Quran atau dzikir (tahlil), bagi Imam
Syafii RA itu merupakan satu syarat yang mutlak dilakukan. Sebagaiman diriwayatkan oleh
Rabi bahwa Imam Syafii RA berkata :
Tentang doa maka sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan hamba-hambanya
untuk berdoa kepada-Nya, bahkan juga memerintahkan kepada Rasul-Nya. Apabila Allah
SWT memperkenankan umat islam berdoa untuk saudaranya yang masih hidup, maka tentu
diperbolehkan juga berdoa untuk saudaranya yang telah meninggal dunia. Dan barokah doa
tersebut insya Allah akan sampai. Sebagimana Allah SWT Maha Kuasa memberi pahala bagi
orang yang hidup, Allah SWT juga Maha Kuasa untuk memberikan manfaatnya kepada
mayit.
(Diriwayatkan dari Al-Baihaqi dalam kitab Manaqib Al-Syafii Juz I hal 430)
sumber : http://kayanmanggala.blogspot.com/2013/03/sejarah-tahlilan.html

Anda mungkin juga menyukai