Anda di halaman 1dari 7

KITAB SABILAL MUHTADIN

Kitab sabilal muhtadin adalah kitab fiqih tasauf yang dikarang oleh Syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjari pada tahun 1997 yang silam.
Kitab ini berisikan ilmu pengetahuan agama masalah fiqih tasauf yang bermazhab Imam
Syafi’i.
Untuk versi aslinya, Kitab sabilal muhtadin ini berbahasa arab melayu. Tapi sudah ditulis
ulang dengan bahasa Indonesia oleh Drs.H.M.Aswadie syukur LC.
Di sini akan dipaparkan sedikit isi pembahasan kitab sabilal muhtadin.
Daftar Isi Kitab sabilal muhtadin

Bab Kitabut Thaharah

 Pasal I Air Mutlak


 Pasal II Air mutlak yang makruh memakainya
 Pasal III Air Musta’mal
 Pasal IV Air yang terkana najis
 Pasal V Ijtihad Dalam Menentukan Air Dan Tanah Yang Dipakai Untuk Bersuci
 Pasal VI Hukum tempayan air

Bab Najis dan Cara Menghilangkannya

 Pasal I Cara menghilangkan najis


 Pasal II Buang air dan istinja
 Pasal III Istinja
 Pasal IV Menggosok gigi

Bab Wudu

 Pasal I Rukun Wudu


 Pasal II Syarat Wudu
 Pasal III Sunat Wudu
 Pasal IV Makruh Wudu
 Pasal V Menyapu sepatu

Bab Sebab-sebab Hadas

 Pasal IHal-hal yang diharamkakn bagi yang berhadas kecil

Bab Mandi Wajib

 Pasal I Segala yang wajib mandi


 Pasal II Rukun mandi
 Pasal III Sunat mandi
 Pasal IV Makruh mandi

Bab Tayamum

 Pasal I Syarat Tayamum


 Pasal II Rukun Tayamum
 Pasal III Sunat Tayamum
 Pasal IV Membatalkan Tayamum

Bab Haid, Istihadah dan Nifas

 Pasal I Haid
 Pasal II Istihadah
 Pasal III Hukum mustahadhah dan macam-macamnya
 Pasal IV Naqa’ dan Fatrah
 Pasal V Nifas

Bab Kitabut Shalat

Bab Waktu Shalat

 Pasal I Ijtihad dalam menentukan waktu


 Pasal II Waktu yang diharamkan bershalat
 Pasal III Orang yang diwajibkan mengerjakan shalat
 Pasal IV Azan dan qamat

Bab Syarat Shalat

Bab Cara Melaksakan Shalat

 Pasal I Sunat shalat


 Pasal II Yang membatalkan shalat
 Pasal III Pembatas bagi yang shalat
 Pasal IV Makruh shalat

ISI KITAB SABILAL MUHTADIN


Bab
Kitabut Thaharah

Kitabut Thaharah.
Ketahuilah yang dimaksudkan dengan kitab manurut bahasa ialah “himpunan” (jam’un). Dan
menurut istilah ialah : ismul jumlati makhshuu shatum minal ilmi musytamilatun ‘ala
abwabiw wapushuulin ghaaliba.
Artinya: “Nama bagi kumpulan dan ilmu pengetahuan yang kebiasaannya terdiri dari
beberapa bab dan pasal”.

Sedang kata thaharah menurut bahasa ialah : annazhoo patuwal khuluushu minal addnasi.
Artinya: “Suci dan bersih dari segala macam noda “.
Baik noda yang hissi yakni yang dapat dicapai oleh indra maupun yang maknawi yakni yang
tidak dapat dicapai oleh indra seperti kekurangan. Dan thaharah menurut syara’, para ulama
berbeda-beda memberikan definisinya.
Ibnu Hajar dalam kitabnya bernama “Tuhfah” dan syekh Ramli dalam kitabnya yang
bernama “Nihayah” menerangkan bahwa thaharah menurut syara’ mempunyai dua arti. Arti
yang pertama:

zawaalul man ‘innaasi I minal hadatsi wannajasi.


Artinya : “Hilangnya penghalang yang disebabkan oleh hadas dan najis”.
Dan arti kedua ialah:

Alp’ilul maudlo’u linfadati dzalika awb’adi  aatsaarihi.


Artinya “Perbuatan yang dilakukan untuk memberi  faedah menghilangkan penghalang
atau sebagian dan akibatnya (pengaruhnya)”.
Karena itu, Imam Nawawi memberikan definisi thaharah sesuai dengan arti yang kedua ini,
katanya:

innaha raf’u hadatsin au I zaa atu najasin aumaa fi m’anaa haa au ‘alaa shuuratihi.
Artinya “Thaharah itu ialah mengangkat hadas atau menghilangkan najis atau yang
semakna dengan keduanya atau yang serupa dengan keduanya”.
Ali Syabramilsi berkata, yang dimaksudkan dengan yang semakna itu dengan mengangkat
hadas seperti tayamun dan yang semakna dengan menghilangkan najis seperti meyamak kulit
bangkai dan perubahan tuak menjadi cuka tanpa melalui usaha manusia.
Dan yang diserupakan dengan mengangkat hadas seperti mandi sunat, memperbaiki wudu,
basuhan yang kedua dan yang ketiga baik dalam wudu maupun dalam mandi. Yang
diserupakan dengan menghilangkan najis yaitu sesudah basuhan pertama dari membasuh
tempat najis selain dari najis mughalazah.
Syeikh Ramli pula dalam kitabnya yang bernama ‘Nihayah’ yakni membahagi thaharah
menjadi dua macam : pertama Thaharah Ainiyah dan kedua Thaharah Hukmiyah.
Thaharah Ainiyah ialah wajib membasuh dengan tidak melampaui tempat yang wajib dibasuh
seperti najis dan Thaharah Hukmiyah yakni wajib membasuh melampaui dari tempat yang
wajib dibasuh seperti wudu.

Kemudian thaharah ini mempunyai empat wasail (alat) dan empat maqashid (perubahan).
Empat alat ini ialah (1) air (2) najis (3) ijtihad dan (4) tempat air (tempayan air).

Dan didalam kitab “Khasiyah Barnawi” diterangkan alat thaharah yang empat ialah (1) air (2)
tanah (3) batu dan (4) najis.

Tempat air dan ijtihad tidak termasuk alat thaharah tetapi hanya alat dari alat thaharah saja.
Maqashid thaharah yang empat ialah (1) wudu (2) mandi (3) tayamum dan (4)
menghilangkan najis.

Ketahuilah bahwa hukum syara’ itu terdiri dan empat macam; ibadah, muamalah (perdata),
munakahat (perkawinan) dan jinayat (pidana). Karena itu sudah menjadi kebiasaan Imam
Syafi’i membagi materi fikih menjadi empat bagian juga.

Bagian, pertama Kitab Ibadah, bagian kedua Kitab Muamalah, bagian ketiga Kitab
Munakahat dan bagian keempat Kitab Jinayat. Pembagian ini disesuaikan dengan empat
kekuatan yang empat setiap manusia. Pertama Quwatun Natiqah yaitu kekuatan tanggap
(indra) dan akal.

Kedua, Quwatun Syahwiyah Bathniyah yaitu keinginan perlu untuk makan dan minum.
Ketiga, Quwatun Syahwiyah Farjiyah yaitu kekuatan keinginan kelamin untuk bersenggama.
Keempat, Quwatun Gadhabiyah yakni kekuatan marah (emosi) yang menyebabkan terjadi
permusuhan dan pembunuhan.

Demikianlah Allah mengutus Nabi dan Rasul kepada umat manusia untuk memperbaiki
kehidupan dunia dan akhiratnya dan kebaikan  ini baru diperoleh apabila keempat kekuatan
yang ada pada manusia itu dapat dikendalikan.
Dengan petunjuk Allah dan karunia-Nya manusia dapat mengendalikan segala kekuatan yang
ada padanya.

Ibadah untuk mengendalikan quwatun natiqah, muamalah untuk mengendalikan quwatun


syahwatiyah bathiniyah, munakahat untuk mengendalikan syahwat farjiyah dan jinayat untuk
mengendalikan quwatul ghadhabiyah.

Karena itu yang dibahas dalam ilmu fiqih yang berhubungan dengan pengendalian quwatun
natiqah dinamakan ibadah, yang berhubungan dengan quwatun syahwatiyah yang dinamakan
muamalah, yang berhubungan dengan pengendalian quwatun farjiah dinamakan munkahat
dan yang berhubungan dengan pengendalian quwatun ghadhabiyah dinamakan jinayat.

Imam syafi’I mendahulukan  pembahasan tenteng ibadah karena mengingat pentingnya


hubungan dengan Allah, kemudian diiringi dengan muamalah karena sangat diperlukan
manusia, kemudian bagian muamalah diiringi lagi bagian munakahat, karena kepentingannya
kurang dari terdahulu.

Bagian munakahat diiringi dengan bagian jinayat karena masalah jinayat sedikit terjadi kalau
dibandingkan dengan yang terdahulu.

Dalam bagian ibadah, kitabus shalat dibicarakan terlebih dahulu, baru Kitab Zakat, Kitab
Saum dan Kitab Haji. Karena disesuaikan dengan urutan yang tercantum dalam hadis yang
sahih dan masyhur yang berbunyi:

Buniya ilslaamu ‘ala khamsi.

Artinya : “Islam itu dibangun atas lima perkara”.

(HR.Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasai dari Ibnu Umar).

Uraian mengenai dua kalimah syahadat ditinggalkan karena akan dibicarakan pada kitab
tersendiri. Dalam uraian mengenai Kitabus Shalat dimulai dengan uraian mengenai thaharah,
karena mengingat hadis yang berbunyi:

Miptaahus shalaati athohuur.

Artinya : “kunci shalat itu adalah thaharah”.

(HR.Hakim dan Ibnu Majah dari Ali Bin Abi Thalib).

Dan lagi thaharah merupakan salah satu syarat sholat dan syarat itu didahulukan dari masyrut
(shalat) dari segi tingkatannya maka seyogyanya didahulukan pula uraiannya dari shalat dan
urutannya.

Dalam uraian mengenai wasilah thaharah yang empat perkara: kami mulai dengan
membicarakan air karena air adalah alat yang pertama dalam bersuci.
Dalam uraian mengenai air karena ayat Al-Qur’an menyatakan air yang bersih dapat
dipergunakan untuk bersuci dengan bahasa lain dinamakan air mutlak dan juga karena
mengambil berkah atau dalai yang akan dikemukakan.

Tidaklah mengapa dalil didahulukan dari madlul kalau dalil itu bersifat umum kedudukannya
lebih didahulukan seperti yang dikemukakan.

Demikianlah disebutkan dalam kitab “Tuhfah” dan “Nihayah”. Justru itu, ayat yang menjadi
dalil didahulukan karena mengambil berkahnya dan sekaligus menjadi dalil uraian yang akan
datang. Allah berfirman:

Wa anzalna minassama I maa anthohura.

Artinya: “Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih”. (S. Furqan 48).

Ketahuilah bahwa air itu terbagi kepada empat macam: (1) air mutlah yang tidak makruh
memakainya (2) air mutlak yang makruh memakainya (3) air musta’mal dan (4) air
mutanajis.

Daftar pustaka

Drs.H.M.Aswadie syukur LC, 2008, Kitab Sabilal Muhtadin, penerbit PT. Bina Ilmu,
Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai