Anda di halaman 1dari 18

Maulid Nabi Muhammad SAW Ala KH. M.

Hasyim Asy’ari (Bagian-1)


-

Cover kitab al Tanbihat al Wajibat


li man Yashna’ al Maulid bi al Munkarat

Oleh: Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari

Mukaddimah

Segala puji bagi Allah Dzat yang mencerai beraikan kegelapan jahiliyah dengan cahaya syari’at
yang dibawa oleh penghulu para manusia dan jin (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam-pent), Maha Suci Dzat yang sungguh agung urusan-Nya “Setiap waktu Dia dalam
kesibukan”[2]. Aku memuji-Nya dengan pujian yang terus menerus dari lubuk hati yang paling
dalam dan dari lisan yang tulus. Dan aku juga bersyukur kepada-Nya dengan syukur yang tiada
hentinya dengan segenap hati dan anggota badan.

Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah yang Maha
Tunggal, yang tiada sekutu bagi-Nya, yang disucikan dari berjasad dan memiliki arah serta
waktu dan tempat[3]. Dan aku bersaksi bahwa penghulu kami Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan-Nya, Nabi yang membawa kasih sayang, yang akan
memberi syafaat[4] kepada umatnya, akhlak Beliau adalah Al Qur’an, semoga Allah memberi
shalawat[5] dan salam-Nya kepada Beliau, keluarganya, sahabatnya, dan kepada seluruh Nabi
dan Rasul serta semua hamba-hamba Allah yang shalih, malaikat-malaikat yang dekat (dengan
Allah), dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga hari pembalasan di setiap
tempat dan waktu, selama silih bergantinya siang dan malam.

Amma ba’du

Majalah Tebuireng

Seorang hamba yang lemah yang rusak, penuh dengan cacat dan melampaui batas serta lemah
badannya, Muhammad Hasyim bin Muhammad Asy’ari Al Jumbani, semoga Allah
mempergaulinya dengan kelembutan-Nya yang tersembunyi lagi dekat, mengatakan :

Pada malam Senin tanggal 25 Rabi’ul Awwal tahun 1355 Hijriyah, aku melihat banyak orang
dari para pelajar yang mencari ilmu pada sebagian pondok pesantren melakukan perkumpulan
yang bernama “Maulid”, dan didatangkan untuk acara itu alat-alat permainan, kemudian
membaca Al Qur’an dan hadts-hadis yang warid[6] tentang permulaan penciptaan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan apa saja yang terjadi saat kelahiran Beliau yang berupa
tanda-tanda dan seterusnya, termasuk membaca siroh (sejarah) Beliau yang diberkahi. Namun
kemudian mereka melakukan perbuatan mungkar, yaitu saling memukul dan saling dorong-
dorongan yang diberi nama “pencak” dan “tinju.”

Kemudian dipukullah rebana setiap kali acara itu dilakukan, dengan disaksikan para wanita
ajnabiyah[7] dari jarak yang sangat dekat. Sehingga para wanita itu bisa menonton mereka
(yang bermain pencak dan tinjau), diiringi musik serta sandiwara dan permainan-permainan
yang menyerupai perjudian dan berkumpulnya pria serta wanita campur bawur untuk
menonton, dan tarian-tarian yang membuat mereka tenggelam didalamnya dengan tertawa dan
berteriak-teriak di dalam masjid dan sekitarnya. Maka kemudian akupun melarang mereka dan
mengingkari mereka dari perbuatan-perbuatan mungkar itu, lalu merekapun bubar dan pergi.

Dan setelah perkara ini terjadi sebagaimana aku gambarkan, aku khawatir perbuatan yang hina
semacam ini menyebar ke berbagai tempat, dan orang-orang awam yang ikut-ikutan melakukan
hal itu menambah-nambahi dengan kemaksiatan-kemaksiatan. Dan bisa jadi perbuatan ini akan
membawa mereka keluar dari agama Islam. Maka aku menulis peringatan ini sebagai nasihat
untuk agama dan sebagai bimbingan bagi kaum muslimin. Dan aku memohon kepada
Allahsubhanahu wata’ala agar menjadikan ini ikhlas hanya mengharapkan wajah-Nya yang
mulia, sesungguhnya Dia adalah Dzat yang memiliki karunia yang besar.[8]

Nasehat Pertama

Berdasarkan pendapat ulama’ di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa acara Maulid Nabi yang
disunnahkan oleh para imam adalah berkumpulnya masyarakat yang disertai dengan
pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an, riwayat hadis-hadis yang menceritakan permulaan
kenabian Muhammad SAW, tanda-tanda kenabian yang terjadi pada saat beliau dalam
kandungan serta kelahirannya dan sejarah perjalanan beliau yang penuh berkah. Kemudian
mereka disuguhi makanan dan pulang secara bersama-sama. Andaikata mereka ingin
menambah acara dengan menabuh terbang disertai dengan kesantunan etika, maka hal itu
diperbolehkan.

Syaikh Syihab ad Din Abu Muhammad Abdurrahaman bin Ismail yang masyhur dengan
panggilan Abi Syamah ra, berkata dalam kitabnya “Al Baa’its Fi Inkari al Bida’I Wa al
Hawadits”: “Hal positif dari bid’ah pada zaman kita sekarang ini adalah aktifitas yang biasa
dilakukan penduduk Kota Irbil, seperti bersedekah, berbuat baik, menampakkan perhiasan
dalam berbusana dan kebahagiaan. Namun hal tersebut tetap disertai dengan berbuat baik
kepada fakir miskin yang sebagai bentuk manivestasi rasa cinta dan mengagungkan Nabi SAW
serta rasa syukur kepada Allah SWT atas apa yang telah dianugerahkan, dengan diutusnya Nabi
Muhammad SAW sebagai rahmat untuk seluruh alam semesta dan rahmat atas seluruh para
utusan. Semoga Allah senantiasa memperbaiki hari yang bertepatan dengan kelahiran Nabi
Muhammad SAW dalam setiap tahunnya”.

Syaikh Umar bin Muhammad al-Mulla (gelar ulama’ di Timur Tenggah) adalah orang yang
pertama kali melakukan tradisi tersebut. Beliau berasal dari Kota Moshul dan merupakan salah
satu orang shalih yang terkenal dari daerah tersebut. Kemudian tradisi itu merambah dan diikuti
oleh penduduk Irbil dan lainnya (semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka
semua).

Syaikh Yusuf bin Ismail an Nabhany ra. mengatakan dalam kitabnya “Al Anwar al
Muhammdiyyah”, “Nabi Muhammad SAW telah dilahirkan di kota Makkah, di sebuah rumah
milik Muhammad bin Yusuf dan disusui oleh Tsuwaibah al Aslamiyyah, yakni hamba sahaya
yang dimerdekakan Abu Lahab ketika ia memberikan kabar gembira tentang kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Setelah Abu Lahab meninggal, Tsuwaibah bermimpi bertemu Abu Lahab,
dikatakanlah kepadanya: Bagaimana keadaanmu?”. Abu Lahab menjawab: “Aku disiksa dalam
api neraka, hanya saja siksaanku diringankan pada setiap malam senin dan aku bisa menghisap
air di antara dua jariku ini (sambil memberi isyarat dengan dua ujung jarinya). Hal itu
disebabkan karena aku telah memerdekakan Tsuwaibah ketika ia memberitakan kabar gembira
kepadaku akan kelahiran Nabi Muhammad SAW dan penyusuannya kepada beliau”.

Ibnu al Jazary mengatakan, “Seandainya Abu Lahab yang kafir ini saja, di mana Al-Qur’an
pun turut mencercanya, mendapat balasan yang bagus karena kebahagiaannya pada malam
kelahiran Nabi SAW, maka bagaimana dengan orang Islam yang meyakini tentang ke-Esaan
Allah dari umat Nabi Muhammad SAW. Mereka senantiasa berbahagia atas kelahiran beliau
dan mencurahkan segala kemampuan untuk menggapai sesuatu di dalam mencintai beliau
SAW? Demi hidupku, balasan seorang muslim tersebut hanyalah dari Allah Yang Maha Mulia,
yakni memasukkannya ke dalam surga Na’im berkat karunia Allah yang begitu merata. Para
muslimin senantiasa berbeda-beda dalam memperingati bulan kelahiran beliau SAW. Mereka
mengadakan berbagai macam walimah (pesta), bersedekah, menampakkan kegembiraan,
meningkatkan dalam berbuat kebajikan, membaca sejarah kelahiran beliau yang mulia, dan
dari itu semua nampaklah segala karunia yang merata, berkah dari kelahiran beliau”.

Al ‘Allamah Ahmad bin Hajar (semoga Allah melimpahkan kasih-Nya) berkata pada bab Al
Syahaadah kitab Tuhfat al Muhtaj, diperbolehkan memukul dan mendengarkan terbang dalam
rangka resepsi pernikahan, karena beliau SAW memerintahkankan beberapa perempuan untuk
memukul terbang ketika pernikahan antara Sayyidina Ali dengan Sayyidah Fathimah. Akan
tetapi beliau berkata kepada wanita yang mengatakan, “Di antara kami ada Nabi (yang
tentunya) mengetahui apa yang terjadi hari esok”. “Janganlah berkata seperti itu, katakanlah
apa yang harus kau ucapkan, yakni pujian kepada para syuhada’ yang terbunuh dalam perang
Badar” (HR. Bukhari).

Dan benarlah riwayat: “Pemisah antara haram dan halal adalah memukul terbang (subhat)”.
Dan berita: “Rayakanlah pernikahan ini dan laksanakanlah di masjid-masjid dan pukullah
terbang pada acara tersebut”. Sanad hadis ini Hasan. Adapun Imam Tirmidzi yang mengatakan
hadis ini dlo’if telah ditolak oleh para ahli hadis lainnya. Oleh karena itu Imam al Baghawy
dan kawan-kawannya mengambil kedua hadis tersebut dan menarik kesimpulan bahwa ada
kesunahan menabuh terbang itu pada acara walimat al-‘ursy dan sejenisnya, termasuk juga
khitanan. Karena sahabat Umar ra. menetapkan khitan seperti halnya nikah. Selain dua acara
tersebut, beliau mengingkarinya. (HR Ibnu Abi Syaibah).

Menurut qaul ashah, memukul terbang diperbolehkan pada selain resepsi pernikahan dan
khitan yakni, setiap acara pesta (diadakan karena mensyukuri hal-hal yang membahagiakan).
Berdasarkan riwayat Tirmidzy dan Ibnu Hibban bahwa, ketika beliau SAW pulang ke Madinah
dari peperangan, ada seorang budak wanita hitam berkata, “Sungguh aku telah bernadzar; jika
Allah mengembalikanmu dalam keadaan selamat, maka aku akan memukul terbang di
hadapanmu”. Kemudian beliau berkata kepadanya, “Jikalau engkau telah bernadzar demikian,
maka penuhilah nadzarmu”. Imam Bulqiny menjadikan hadis ini sebagai dasar pembahasan
bahwa memukul terbang untuk menyambut kedatangan ulama atau pejabat itu diperbolehkan
tanpa ada khilaf pendapat. Bahkan ini juga merupakan bukti kesunnahan memukul terbang
dalam rangka meluapkan kegembiraan karena kedatangan seorang ulama’ yang memberi
kemanfaatan bagi kaum muslimin.

Andaikata hukum memukul terbang adalah mubah, maka nadzar wanita tersebut tidak berlaku,
dan tentunya Nabi Muhammad tidak memerintahnya melaksanakan nadzar tersebut. (Namun
keterangan qaul ashah tersebut perlu ada penambahan tentang nadzar yang harus dihadirkan
disini), juga diperbolehkan atau disunnahkan bagi orang yang mengatakan
kesunnahannya (walaupun di dalamnya terdapat kecer atau ecek-ecek) berdasarkan
kemutlakan riwayat.

Adapun anggapan bahwa terbang bukanlah termasuk kecer membutuhkan pada suatu
penetapan yaitu adakalanya semisal klinthing yang dipasang di dalamnya, seperti terbang orang
Arab atau kecer lebar dari kuningan yang dipasang dalam lubang lingkarannya, seperti terbang
orang selain Arab (termasuk Jawa). Kitab al Hawy al Shaghir dan lainnya menetapkan
kebolehan kecer ini.

Sementara itu al Adzra’y menentangnya. Beliau berpendapat bahwa terbang merupakan


kegirangan yang paling dahsyat dari suatu permainan, yang disepakati keharamannya. Beliau
menjelaskan panjang lebar dan mencuplik dalil-dalil dari seluruh ulama akan keharamannya,
dan tidaklah ada perbedaan antara siapa yang memukul terbang; apakah laki-laki atau
perempuan. Al Halimy secara khusus mengungkapkan kehalalan perempuan menabuhnya.
Sementara itu, Imam Al Subky menolaknya.

Nasehat Kedua

Memperingati Naulid Nabi berdasarkan sifat yang telah disebutkan dalam redaksi awal
(muqoddimah) hukumnya adalah haram. Tidak ada pertentangan pendapat antara dua Imam
(baik Imam Al-Adzra’y dan Imam Al-Subky) akan keharamannya, tidak ada saling
menjatuhkan antara dua tokoh agama dalam dua pendapat, serta orang yang mempunyai
muru’ah dan keimanan tidaklah menganggap baik peringatan tersebut.

Adapun orang yang suka dengan tradisi tersebut adalah orang yang dibutakan mata hatinya,
dia sangat suka dalam hal makan dan minum dan pula tidak takut terhadap caci makian orang
ketika melakukan kemaksiatan serta tidak peduli bahwasanya hal tersebut merupakan dosa
besar. Begitu juga, dia merasa leluasa terhadap perayaan tersebut, mendatanginya dan
mengeluarkan harta karenanya. Hal seperti itu adalah haram yang amat sangat. karena di
dalamnya terkandung kebusukan-kebusukan yang Insya Allah akan saya sebutkan nanti pada
nasihat ini. Imam al Baidlawy ra mengatakan dalam tafsirnya, ketika menafsiri ayat:

‫عد ًْوا ِبغَي ِْر ِع ْلم‬ ُ ‫سب ُّْوا الَّ ِذيْنَ يَ ْد‬
ُ َ‫ع ْونَ ِم ْن د ُْو ِن هللاِ فَي‬
َ َ‫سبُّوا هللا‬ ُ َ ‫َوالَ ت‬
“Dan jangan engkau memaki kepada orang-orang yang sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, kerena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampau batas tanpa
pengetahuan”.(QS. Al An’am: 108)

Dikisahkan, suatu ketika kaum muslimin melontarkan ejekan terhadap berhala-berhala (Tuhan)
orang kafir. Mereka dicegah melakukannya, supaya ejekan itu tidak menjadi sebab orang-orang
kafir balik melontarkan ejekan terhadap Allah SWT. Ucapan Imam al Baidlawy tersebut
merupakan dasar bahwa ketika suatu ketaatan menyebabkan kemaksiatan yang lebih besar,
maka wajib meninggalkannya. Karena segala sesuatu yang mendatangkan kejelekan adalah
jelek juga.

Apabila engkau mengetahui hal seperti itu, maka ketahuilah bahwasanya perayaan Maulid
Nabi yang bisa menimbulkan suatu kemaksiatan, semisal hal-hal mungkar, maka wajib
meninggalkannya dan haram pula melaksanakannya. “Aku telah dikabari oleh orang terpercaya
bahwasanya pada suatu desa yang bernama Sewulan, Madiun ada peringatan Maulid yang
dirayakan dengan kegiatan-kegiatan mungkar. Di sana, laki-laki dan perempuan berbaur
menjadi satu serta pada salah satu permainan, para pemuda diharuskan memakai pakaian
perempuan. Oleh karena itu timbullah fitnah antara penonton laki-laki dan perempuan yang
berujung pada kerusakan-kerusakan yang tak terduga sebelumnya, sehingga mengakibatkan
perceraian antara suami dan istri. Hal ini terkait dengan kebobrokan perayaan maulid yang
disertai dengan melakukan kemungkaran”.

Nasehat Ketiga

Syaikh Tajuddin Umar bin Ali al Lakhamy al-Sakandary yang terkenal dengan sebutan al
Fakihany, beliau adalah pemimpin golongan Madzhab Maliky ra menjelaskan akan keharaman
perayaan Maulid Nabi dengan ciri-ciri tersebut tadi. Dalam kitabnya yang bernama al Maurid,
beliau berkomentar tentang maulid, setidaknya ada dua komentar terpisah.

Pertama, perayaan maulid yang dilakukan oleh seseorang dari hartanya sendiri untuk keluarga
dan sahabatnya di mana tidak ada makanan dan tidak juga melakukan suatu dosa. Inilah yang
aku maksud dengan bid’ah makruhah, kenapa? Karena tak seorangpun yang melakukan hal
tersebut, walaupun itu dari para ahli taat terdahulu yang notabene adalah para ahli fikih Islam
dan ulamanya para makhluk yang menjadi penerang zaman serta perhiasan beberapa tempat.

Kedua, maulid yang di dalamnya terdapat tindakan-tindakan kriminal dan amatnya rasa
terpaksa, sehingga salah satu di antara mereka memberikan sesuatu yang mana dirinya sendiri
eman dan hatinya pun mengeluh akibat dari sakitnya aniaya. Para ulama mengatakan bahwa
memungut harta dengan bertameng kekuasaan sama seperti mengambilnya dengan pedang.
Apalagi jika kekayaan tersebut hasil dari alat-alat yang batil seperti terbang dan seruling,
kumpulnya antara laki-laki dengan laki-laki (gemblaan/meril pasangan dari warok) dan
timbulnya fitnah bagi perempuan dikarenakan bercampur-baur tanpa ada jarak, tarian dengan
nyanyian, goyang yang merangsang, tenggelam dalam permainan dan lupa akan adanya hari
kiamat. Begitu juga perempuan ketika berkumpul sesama jenisnya, mereka mengeraskan suara
dengan nyanyian, melagukan syair-syair dan bacaan yang keluar dari syariat dan adat
kebiasaan. Masalah seperti inilah yang antara dua Imam tidak ada perbedaan pendapat tentang
keharamannya.

Qaul keharaman ini diikuti oleh Syaikh Jalaluddin al Suyuthi, setelah beliau mencuplik
komentar al Syaikh Tajuddin tersebut, yakni qaul yang kedua, beliau berkata: pendapat itu
adalah benar adanya, akan tetapi keharaman pada qaul kedua ini dikarenakan perkara yang
haram yang terkandung di dalamnya, bukan dari sisi perkumpulan untuk menampakkan syiar
maulid.

Nasehat Keempat

Salah seorang yang menjelaskan keharaman perayaan maulid Nabi yang disertai dengan
kegiatan hal-hal yang mungkar adalah Syaikh Abu Abdillah bin al Hajj al Maliki. Beliau
mengatakan dalam kitabnya Al Madkhal pada fashal “Maulid dan Bid’ah-Bid’ah Yang
Dibicarakan Masyarakat Serta Akidah Mereka” bahwa apa yang mereka bicarakan adalah
termasuk ibadah yang tergolong besar pahalanya dan menampakkan syiar agama sebagaimana
yang mereka lakukan pada bulan Rabi’ al Awwal yakni maulid Nabi.

Hal ini tenyata mengandung bid’ah dan keharaman, karena di dalamnya terdapat penyanyi yang
disertai alat-alat untuk bergoyang seperti terbang, seruling dan lain sebagainya, termasuk juga
segala sesuatu yang dijadikan alat untuk mendengarkan. Mereka melaksanakan maulid Nabi
dengan kebiasaan-kebiasaan yang tercela serta hal-hal berbau bid’ah yang menjurus pada
keharaman, padahal mereka menggunakan banyak waktu yang telah dikaruniakan Allah.
Mudah-mudahan mereka tidak mendendangkan lagu-lagu kecuali dengan beretika baik serta
memulai acara maulid dengan membaca Al Qur’an, melihat kepada siapa yang paling banyak
pengetahuannya untuk menuju jalan yang bisa memperindah jiwa, serta melihatnya dari sisi
ibadah, bukan dari perkara-perkara mungkar yang diharamkan. Karena sesungguhnya kami
adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami akan kembali. Islam bermula dalam keadaan asing
dan ia akan kembali asing pula.

Bersambung ke Bagian 2………


[1] HR. Muslim, hadits ini asli ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari pada awal muqoddimah kitab
ini

[2] QS. Ar Rahman : 29

[3] Ini adalah aqidah Asy’ariyah, Fakhruddin Ar Rozi menyebutkan hal ini dalam kitabnya
Tahsiisut Taqdiis

[4] Tentunya setelah mendapatkan izin dari Allah dan umat Beliau yang berhak mendapatkan
syafa’at adalah orang yang memenuhi kriteria: ahlit tauhid dan diridhoi oleh Allah (orang yang
memberi syafaat diizinkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk memberi syafaat kepadanya)

[5] Shalawat Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pujian-Nya di hadapan
para malaikat di langit

[6] Warid : datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

[7] Ajnabiyah : wanita yang bukan mahram dan bukan istri, yang tidak boleh memandangnya
dan berinteraksi dengan mereka kecuali ada kebutuhan yang dibenarkan syariat

[8] Tanbihat Al Wajibat liman Yashna’ul Maulid bil Munkarat, KH. Hasyim Asy’ari
rahimahullah, hal. 7-10, terbitan Maktabah At Turots Al Islamiy, Pondok Pesantren Tebu Ireng,
Jombang.

Nasehat Kelima

Salah satu Ulama yang mengharamkan perayaan maulid disertai dengan kegiatan munkarat
adalah Syaikh Islam Hafidz al Ashr Abu al Fadhl Ahmad Ibnu Hajar al Asqalany rahimahullah.
Ketika ditanya tentang perayaan maulid, beliau menjawab: “Hukum asal dari perayaan maulid
adalah bid’ah, (budaya ini) tidak pernah diwariskan secara turun-temurun dari ulama salaf salih
dalam kurun waktu tiga abad. Akan tetapi bid’ah maulid tersebut mengandung hal-hal positif
dan negatif. Barang siapa yang melaksanakannya dengan disertai kegiatan positif dalam dan
menjauhi hal-hal negatif, maka perayaan tersebut adalah bid’ah hasanah. Jika tidak, maka
termasuk bid’ah dlalalah.

Menurutku, penjelaskan dalil dasar bid’ah adalah apa yang tertera dalam kitab shahih Bukhari
dan Muslim bahwasanya ketika Nabi SAW datang ke Madinah, beliau bertemu dengan
sekompolan Yahudi yang sedang berpuasa pada bulan Asyura’. Lalu beliau bertanya kepada
mereka. Kemudian mereka menjawab: “Hari ini adalah hari di mana Allah menenggelamkan
Fir’aun dan menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa pada hari ini karena rasa syukur
kepada Allah SWT”.

Dari kasus tersebut dapat diambillah faidah (kesimpulan) yaitu, boleh mengungkapkan rasa
syukur kepada Allah atas apa yang diberikan pada hari-hari tertentu semisal pemberian nikmat
atau penolakan atas mara bahaya, dan hal tersebut senantiasa dikerjakan pada hari yang
bertepatan dengan peristiwa tersebut dalam setiap tahunnya. Ungkapan rasa syukur kepada
Allah itu bisa dilakukan dengan berbagai macam ibadah misalnya sujud, puasa, sedekah dan
baca Al Qur’an. Pada hari tersebut, nikmat manalagi yang lebih agung daripada nikmat
memperingati kelahiran Nabi yang penuh rahmat?

Oleh sebab itu, seyogyanya seseorang (muslim) mau memperhatikan hari maulid tersebut,
sehingga sesuai dengan kisah Nabi Musa AS pada hari ‘Asyura. Barang siapa tidak
memperhatikan alasan itu, maka ia tidak peduli dengan Maulid Nabi SAW pada hari apa saja
di Bulan Maulid. Bahkan ada segolongan orang yang berpandangan luas yang merayakan
maulid Nabi pada sembarang hari di tahun itu, asalkan masih dalam tahun itu. Inilah
argumentasi yang berkaitan dengan dasar mengadakan maulid Nabi.

Aktifitas-aktifitas yang dilakukan pada hari maulid sebaiknya berupa wujud rasa syukur kepada
Allah seperti yang telah disebutkan tadi seperti membaca Al Quran, memberikan makanan
(kenduri: Jawa), sedekah, melantunkan pujian-pujian kenabian dan kezuhudan yang dapat
menggerakkan hati untuk mengerjakan kebajikan dan amal akhirat. Sedangkan sesuatu yang
mengiringinya semisal mendengarkan, permainan-permainan dsb, maka bisa dikatakan sebagai
hal yang mubah, karena dilihat dari segi tertentu dapat mendatangkan kebahagiaan pada hari
itu. Tidaklah mengapa menyamakan iring-iringan tersebut dengan bentuk kesyukuran, yang
tidak diperbolehkan adalah menyamakannya dengan hal-hal yang haram dan makruh, begitu
juga hal-hal yang kurang afdlal.

Nasehat Keenam

Qadli ‘Iyadl menjelaskan akan kewajiban menghormati dan mengagungkan Nabi SAW ketika
menyelenggarakan maulid, membaca hadis, sunnah dan ketika mendengar nama beliau SAW.
Beliau mengatakan dalam kitabnya asy Syifaa Fi Huquq al Mushthafa, “Ketahuilah bahwa
menghormati dan mengagungkan Nabi SAW setelah wafatnya adalah wajib, sebagaimana saat
beliau masih hidup. Pengagungan dan pemuliaan itu ketika menyebut beliau, membaca hadits,
sunnah dan mendengar namanya”.

Ibrahim Al Tujiby mengatakan, “Bagi setiap mukmin bila menyebut beliau atau disebutkan
tentang beliau, wajib hukumnya untuk bersikap rendah hati, khusyu’, mengagungkan, diam
dari gerakannya (tenang) menjaga kewibawaan dan keagungan beliau sebagaimana dia
memperpelakukan terhadap pribadi Nabi (seperti) tatkala dia barada di sisi Nabi, yakni ia hadir
dalam majlis Nabi, maka ia harus memperhatikan dan mencontoh beliau, seakan-akan beliau
itu berada di sisinya, dan harus pula berperilaku sopan sebagaimana yang telah diajarkan oleh
Allah kepada kita, yakni dengan cara mengagungkan, memuliakan, merendahkan suara dan
sebagainya”. Pendapat ini sangat jelas dalam hal pengharaman merayakan maulid Nabi yang
disertai aktifitas-aktifitas mungkar.

Nasehat Ketujuh

Syaikh ibn al Hajj al Fasy menjelaskan dalam kitab hasyiahnya Mayyaarah, “Menggunakan
sesuatu yang digunakan untuk mengagungkan bukan pada tempat yang layak, hukumnya
adalah haram”. Beliau juga berkata, “Salah satu kebiasaan yang paling tidak sopan adalah
kebiasaan yang dilakukan oleh para pemain kecapi dan semisalnya, yakni membuat nada irama
atau yang semacamnya dengan tujuan memuji kepada Allah SWT, pujian kenabian, pembacaan
shalawat atas Al Mushthafa SAW atau mengakhirinya dengan do’a-do’a. Andaikata mereka
menginginkan kehalalan dari alat-alat musik yang telah diharamkan tersebut, maka mereka
sangatlah dekat dengan kekufuran. Aku mohon perlindungan hanya kepada Allah.
Jika mereka menginginkan penghapusan dosa, maka itu merupakan suatu kebodohan yang
amat sangat, bahkan sangatlah dekat dengan kehinaan. Oleh karena itu secara otomatis dosa
akan bertambah, dikarenakan menggunakan sesuatu untuk pengagungan bukan pada tempatnya
(dzalim).

Bisa diambil kesimpulan dari ketetapan hukum haram dan bertambahnya dosa dalam hal
tersebut yaitu, ketetapan hukum pada pemakaian sesuatu yang digunakan untuk menghina dan
menyakiti, seperti memukul alat-alat permainan dan hal-hal mungkar lainnya yang bertujuan
untuk mengagungkan, seperti perayaan Maulid Nabi SAW. Dari sini dapat diketahui bahwa
melakukan hal-hal mungkar dalam acara maulid Nabi SAW itu akan mengurangi pahala,
menghina serta meyakiti beliau SAW. Karena pengagungan kepada beliau haruslah dengan
adab dan sopan santun yang sesuai dengan adab Nabi SAW.

Imam Al Tirmidzy meriwayatkan dari Anas ra. bahwasanya Rasulullah SAW mengunjungi
para sahabatnya dari golongan Muhajirin dan Anshar ketika mereka sedang duduk-duduk. Di
antara mereka ada Abu Bakar dan Umar, akan tetapi tak seorangpun dari mereka yang berani
mengangkat pandangan kepada beliau kecuali Abu Bakar dan Umar RA. Keduanya
memandang beliau dan beliau memandang keduanya, ketika keduanya melemparkan senyum
kepada beliau, beliaupun melemparkan senyum kepada keduanya. Usamah bin Syarik
meriwayatkan; “Aku mendatangi Nabi SAW, sementara sahabatnya berada di sekelilingnya,
seakan-akan di atas kepala mereka ada seekor burung (karena ketenangan yang amat sangat).

Nasehat Kedelapan

Al Qadli ‘Iyadl rahimahullah menjelaskan akan kebolehan menghukum orang yang


melecehkan dan menyakiti beliau SAW. Dia mengatakan dalam kitabnya Al Syifa:
“Berdasarkan hak dan kewajiban bagi Nabi SAW serta hal-hal tertentu yang berupa berbuat
baik, mengagungkan dan memuliakan beliau SAW, Allah mengharamkan menyakiti beliau
dalam kitabNya Al-Qur’an. Umat-umat telah bersepakat akan kebolehan menghukum orang
yang melecehkan beliau dari berbagai macam hinaan. Kemudian Al Qadli ‘Iyadl menerangkan
tentang hadis Abi Barzah al Aslamy. Dia berkata, “Suatu hari aku duduk di samping Abu
Bakar as Shiddiq ra. Kemudian beliau marah terhadap seorang muslimin, lalu muslimin
tersebut membantah Abu Bakar Al Shiddiq. Serentak aku berkata, “Wahai Pengganti
Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya”. Abu Bakar lantas menjawab, “Duduklah, dia
tidak boleh dibunuh (dihukum) kecuali bila dia melecehkan Rasulullah SAW”. [1]

Al Qadli Abu Muhammad ibnu Manshur berpendapat: “Fatwa ini sudah menjadi ijma’ para
ulama’ dan tak ada seorangpun yang menentangnya. Para Imam menjadikan hadis ini sebagai
dalil untuk menghukum siapa saja yang membuat Nabi Muhammad SAW marah, baik itu
karena menyakiti maupun melontarkan kata-kata kotor kepada beliau”.

Kemudian Al Qadli ‘Iyyadl rahimahullah mengatakan, “Dalil yang memperbolehkan


membunuh seseorang tersebut diambil dari sudut pandang akal dan i’tibar (qiyas), yaitu barang
siapa yang melontarkan kata-kata kotor atau menghina beliau, maka sungguh telah tampak
jelas bahwa hatinya sakit dan merupakan bukti niatnya yang buruk serta tanda-tanda
kekufurannya”.

Maka renungkanlah! semoga Allah memberikan taufiq kepada apa yang telah disebutkan pada
tiga peringatan ini, mulai dari kewajiban menghormati, mengagungkan serta memuliakan Nabi
SAW ketika memperingati maulid, membaca hadits, sunnah dan mendengar nama beliau, serta
keharaman menggunakan sesuatu yang bertujuan untuk mengagungkan beliau akan tetapi
bukan pada tempatnya, sehingga acara maulid itu berubah menjadi ajang penghinaan dan
pelecehan, yang mana para ulama’ telah bersepakat tentang kebolehan membunuhnya
dikarenakan menyakiti beliau SAW.

Cukup jelaslah bagimu sekalian, walaupun dalam hati kecilmu mempunyai kejelekan
perbuatan yang menghinakan ini, tambahnya kekejian dan betapa besar akibat yang
ditimbulkan berupa siksaan. Jikalau engkau mempunyai pandangan seperti itu, maka kembali
dan bertaubatlah kepada Allah SWT dari perbuatan keji tersebut, karena hal itu bisa
menghancurkan kehidupan dunia dan akhiratmu.

Nasehat Kesembilan

Imam Tajuddin as Subky rahimahullah ta’ala menyebutkan dalam kitabnya, at Tausyih bahwa
Imam Syafi’i RA telah berkata dalam beberapa kitabnya, “Rasulullah pernah memotong tangan
seorang perempuan terhormat, lantas peristiwa tersebut menjadi perbincangan. Kemudian
Rasulullah SAW angkat bicara: “Andaikata si Fulanah mencuri (seraya menunjuk kepada
wanita terhormat), maka sungguh aku akan memotong tangannya”. Imam Tajuddin
berkomentar: Perhatikanlah ucapan imam Syafi’i RA tentang “Fulanah”. Nabi SAW tidak
menyebutnya dengan Fatimah, karena hal itu merupakan bentuk adab kesopanan kepadanya
RA. Walaupun beliau SAW adalah ayahnya RA sendiri, sementara menyebutnya dengan
panggilan Fatimah adalah baik (di sisi Nabi SAW). Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa, di
sisi Nabi SAW derajat semua mahluk dalam hukum syara’ adalah sama.

Begitulah ketetapan Imam Al Syafi’i dan as Subky. Menurut as Subky kata “adab kesopanan
(tata krama)”, menunjukkan kebalikannya (menyebut dengan nama Fatimah) adalah tidak
sopan. Dan kata, “sementara menyebutnya dengan panggilan Fatimah adalah baik (di sisi Nabi
SAW)”, menunjukkan bahwa penyebutan dari selain Rasulullah adalah buruk. Itulah dasar
serta contoh yang baik atas kewajiban berperilaku sopan santun dengan Rasulullah SAW dan
keluarga beliau yang suci, serta menunjukkkan bahwa mengadakan maulid yang disertai
perbuatan-perbuatan munkar adalah buruk (keji) bahkan amatlah buruk.

Nasehat Kesepuluh

Pada pembahasan ke-dua telah dijelaskan bahwa kebusuk-kebusukan (kerusakan) yang


dikerjakan saat maulid dan disertai perbuatan-perbuatan yang mungkar akan dijelaskan lebih
rinci pada bagian akhir nasihat ini. Sekaranglah waktu untuk membahasnya. “Dengan Allahlah
aku memohon pertolongan”. Diantara kerusakan-kerusakan yang telah disebutkan; berupa alat-
alat permainan, strek, permainan yang menyerupai judi dan perbuatan mungkar lainnya adalah
pemborosan, yakni menggunakan harta bukan pada tempatnya yang bertujuan untuk tindakan-
tindakan haram seperti menggunakannya untuk berzina, minum khamr atau untuk mengadakan
maulidan yang tergambarkan pada pembahasan yang telah lalu. Adapun dasar keharaman
menggunakannya adalah:

‫إن المبذرين كانوا إخوان الشياطين وكان الشيطان لربه كفورا‬


“Sesungguhnya orang-orang yang melakukan pemborosan itu adalah saudara-saudara setan.
Dan setan itu sangatlah ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al Isra’: 27).
Membelanjakan harta untuk maulidan seperti itu diharamkan, karena sama dengan menolong
perbuatan-perbuatan maksiat. Barang siapa menolong suatu kemaksiatan, maka tidak lain dia
juga terlibat di dalamnya. Begitupula haram melihat dan menghadiri acara tersebut karena ada
kaidah, “Setiap sesuatu yang haram, haram juga melihat dan menghadirinya”. Di antara
kerusakan-kerusakan yang timbul adalah nampaknya suatu kemaksiatan. Nabi SAW bersabda,
“Seluruh umatku diselamatkan dari lisan (ucapan, gunjingan, cacian dan sebagainya) manusia
dan dari tangan-tangan (perlakuan) mereka, kecuali bagi orang-orang yang menampakkan
kemaksiatan, karena mereka tidak akan diselamatkan”.

Ibnu Baththal berkata, hadis tersebut menjelaskan tentang cacian terhadap orang yang
melakukan kemaksiatan secara terang-terangan. Karena menampakkan kemaksiatan berarti
meremehkan hak Allah dan Rasulnya, serta meremehkan orang-orang shalih. Padahal di dalam
maksiat itu terselip semacam penentangan terhadap mereka.

Diantara kerusakan-kerusakan yang lain adalah perayaan maulid Nabi SAW itu bersifat
layaknya orang munafik, maksudnya adalah menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan
batinnya. Jadi perilaku lahirnya merayakan maulid sebagai wujud dari rasa cinta dan
memuliakan Rasulullah SAW, namun dalam batinnya ia hanya melakukan hiburan dan
kemasiatan saja.

Di antara kerusakannya lagi adalah ketika para pelajar mengadakan maulid sedangkan orang
alim membiarkannya begitu saja, itulah yang menjadi sebab terjadinya prasangka bagi orang
awam, bahwa kegiatan itu boleh dan baik menurut syari’at. Perayaan maulid seperti itu dapat
menjadi suatu sebab untuk menelantarkan syariat, menanggalkannya serta menganjurkan dan
membantu dalam hal kebatilan. Itu semua adalah larangan syara’ dan haram bagi orang alim
membiarkannya, karena bisa menyebabkan orang awam meyakini perkara yang tidak sesuai
dengan syara’.

Di antara kerusakan lagi adalah adanya perilaku yang buruk, berbagai macam penghinaan yang
menyakitkan Rasulullah. Karena ucapan sama halnya dengan perbuatan (perilaku). Allah telah
berfirman:

‫إن الذين يؤذون هللا و رسوله لعنهم هللا في الدنيا و األخرة و أعد لهم عذابا مهينا‬
“Sesungguhnya orang orang yang menyakiti Allah dan Rasulnya, maka Allah akan
melaknatnya di dunia dan di akhirat dan Allah juga menyediakan baginya siksa yang
menghinakan”. (QS. Al Ahzab: 57).

‫والذين يؤذون رسول هللا لهم عذاب أليم‬


“Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka siksa yang pedih”. (QS. Al
Taubah: 61).

‫وما كان لكم أن تؤذوا رسول هللا‬


“Dan tidak boleh kamu sekalian menyakiti (hati) Rasulullah” (QS. Al Ahzab: 53).

Yakni dengan segala macam hal yang menyakitkan baik saat beliau masih hidup maupun
setelah wafat.
‫وال أن تنكحوا أزواجه من بعده أبدا إن ذلكم كان عند هللا عظيما‬
“Dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya setelah beliau wafat selama lamanya.
Sesungguhnya perbuatan itu Amat besar di sisi Allah,” (QS. Al Ahzab: 53).

Yakni perbuatan yang menyakiti itu adalah dosa yang besar. Imam al Bukhari meriwayatkan
hadis dari Anas dan Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda. “Allah berfirman, ‘Barang
siapa menghina kekasihKu, maka sungguh dia telah mengadakan perang denganKu secara
terang terangan’”. Dalam hadis riwayat al Bukhari yang lain Nabi bersabda, “Allah berfirman:
Barang siapa memusuhi kekasihKu, maka sesungguhnya aku telah mngizinkan untuk
memeranginya”.

Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin seluruh wali bahkan seluruh Nabi dan Rasul
termasuk dalam keumuman wali yang dilarang dihina dan dimusuhi. At Tabrani meriwayatkan
dari Abi Umumah, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tiga orang yang tidak dianggap
remeh kecuali oleh orang-orang munafik, yaitu orang yang sudah lama memeluk agama Islam,
orang berilmu dan pemimpin yang adil”.

Menurut imam Turmudzi hadis ini berpredikat Hasan. Dalam kitab Fatawi Al Badi’I, salah
satu karya ulama’ madzhab Hanafi disebutkan: “Barang siapa meremehkan orang alim, maka
tertalaklah istrinya dan seolah-olah perbuatan itu menjadikan dia murtad”. Disebutkan juga
dalam Syarah kitab asy Syifa karya Mulla al Qori, “Apabila ada orang yang mengatakan pada
rambut Nabi SAW “syu’air (rambut kecil, hina)”, maka ia telah kafir”.

Dan dari Abu Hafsh al Kabir, “Barang siapa menghina Nabi SAW dengan sehelai rambut dari
rambutnya yang mulia, maka ia telah kafir”. Renungkanlah ancaman yang telah disebutkan
oleh Rasulullah SAW dalam dua hadis shahih di atas, tiada ancaman yang lebih berat dari
padanya. Karena “perang Allah kepada hambanya” tidak disebutkan melainkan dalam riba dan
memusuhi para wali. Barang siapa dimusuhi oleh Allah, maka ia tidak akan beruntung
selamanya. Bahkan (mudah-mudahan Allah senantiasa berkenan melindungi kita) dia akan
mati dalam keadaan kafir. Bukankah “perang Allah terhadap hambaNya” hanyalah kiasan dari
bentuk penjauhan Allah kepadanya dari tempat-tempat rahmat-Nya dan penempatan Allah
terhadapnya pada tingkatan bawah kesengsaraan?. Mudah mudahan Allah melindungi kita dari
hal tersebut dengan curahan anugerah dan kemurahan-Nya.

Dengan memperhatikan ayat, hadis serta pernyataanku di akhir kerusakan di atas, dapat diambil
beberapa faidah, bahwasanya perayaan maulid yang disertai kemungkaran-kemungkaran
adalah perilaku yang buruk dan suatu macam penghinaan yang menyakiti Rasulullah SAW.
Orang-orang yang mengadakannya akan jatuh dalam lembah dosa besar yang dekat dengan
kekufuran, dan dikhawatirkan akan su’ul al khatimah. Tidak ada yang bisa menyelamatkan
mereka dari dosa itu kecuali taubat dan ampunan dari Allah SWT. Bila dengan kegiatan
tersebut mereka sengaja mengejek dan meremehkan Rasulullah SAW, maka tiada keraguan
akan kekufuran mereka.

‫فليحذر الذين يخالفون عن أمره أن تصيبهم فتنة أو يصيبهم عذاب أليم‬


“Maka orang yang menyalahi perintahnya akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang
pedih”.
Dari pada itu, maka wajib bagi para penguasa kaum muslimin dan orang yang mempunyai
kemampuan, mudah-mudahan dengan perantara mereka, Allah menegakkan tiang agama dan
membatalkan (membantah) pemikiran para penentangNya, untuk mengingkari dan menindak
mereka dengan tindakan yang tegas sesuai dengan amal perbuatan mereka, supaya mereka
tercegah dari melakukan perbuatan-perbuatan buruk lagi hina ini, yang hamper-hampir
mengeluarkan manusia dari bingkai keimanan.

[1] Dalam hal ini yang berhak menghukum adalam pemerintah atau Qadhi (hakim) dan tidak
sembarang orang. Hal itu sebagaimana yang diterangkan dalam kitab-kitab fikih untuk
diperhatikan dengan saksama agar masyarakat tidak memahami kitab beliau dengan
pemahaman pendek sehingga mudah menghukum orang tanpa melalui pengadilan yang
berlaku di negeri ini.

Penutup

Kami memohon kepada Allah semoga Dia selalu berkenan memberi kebaikan atas segala
aktifitas yang dilakukan oleh para jama’ah. Dengan anugerah Allah SWT, mereka tetap
konsisten pada madzab ahli sunnah wa al jama’ah, semoga Allah senantiasa mensukseskan
setiap tujuan mereka untuk kebaikan dunia dan akhirat. Dan semoga Allah menguatkan sendi
akidah Islam berkat keagungan junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, sebaik-baik makhluk.
Dan semoga sebaik-baiknya rahmat dan sesempurnanya kesejahteraan tetap tercurahkan
kepada beliau serta seluruh Nabi dan Rasul dalam setiap perayaan (acara) para jama’ah NU,
ketika mereka hendak membuka ceramah agama, meminta dibacakan (Al Quran) yang merdu
oleh orang yang bagus suaranya.

Imam an Nawawy RA, berkata dalam kitabnya yang bernama at Tibyan fi Adab Hamalat Al
Qur’an: “Ketahuilah bahwa para ulama salaf meminta kepada ahlu al qira’ah untuk
membacakan Al Quran dengan suara yang bagus (merdu), sementara mereka
mendengarkannya. Hal ini telah disepakati kesunnahahannya. Itulah kebiasaaan orang-orang
pilihan, orang-orang yang tekun ibadah serta hamba-hamba Allah yang shalih. Hal yang
demikian merupakan kesunnahan yang datang dari Nabi Muhammad SAW, sebagaimana
hadits shohih yang di riwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. ‘Beliau berkata kepadaku,
‘Bacakanlah Al Quran kepadaku’. ‘Aku menjawab: Wahai Rasulullah! adakah aku
membacakan kepada engkau, padahal kepada engkaulah Al Qur’an diturunkan?. Beliau
menjawab: Aku suka mendengarkan bacaan dari orang lain. Kemudian aku membaca surat Al
Nisa’, dan ketka aku sampai pada ayat:

‫فكيف إذا جئنا من كل أمة بشهيد وجئنا بك على هؤالء شهيدا‬


Beliau berkata “cukup”, kemudian aku memandang wajah beliau dan kulihat kedua matanya
mengeluarkan air mata”.(HR.Bukhari Dan Muslim).”

Para ulama mengatakan bahwa majlis kajian hadis Nabi yang dibuka dan ditutup dengan
bacaan Al Quran serta dibaca oleh qori’ yang mempunyai suara bagus, hukumnya adalah
sunnah. Hendaknya para qori’ juga menyesuaikan bacaan dengan majlis yang ditempatinya.
Hendaknya ayat yang dibaca adalah ayat yang di dalamnya mengandung harapan, khouf,
nasehat, yang anjuran zuhud di dunia, kesenangan terhadap akhirat, persiapan hidup di akhirat,
memperpendek angan-angan serta yang mengandung anjuran untuk berbuat baik.
Para ulama’ berkata, bahwa memperindah suara dan menertibkan bacaan itu hukumnya sunnah
selama tidak melanggar batas-batas aturan yang ada, seperti tatkala membaca panjang suatu
huruf yang dapat menyebabkan huruf tesebut bertambah atau berkurang, maka hal seperti itu
hukumnya adalah haram. Adapun membaca Al-Quran dengan dilagukan, Imam Syafi’i dalam
suatu waktu mengatakan “Saya memakruhkannya” dan pada waktu yang lain beliau berkata
“Saya tidak memakruhkannya”. Menurut pendapat guru kita, sebenarnya dua pendapat Imam
Syafi’i di atas tidaklah berbeda, akan tetapi terdapat rincian, yaitu apabila dalam melagukan
bacaan Al Quran dapat melanggar batas-batas ketentuan maka hukumnya makruh sedangkan
apabila tidak sampai melanggarnya maka tidaklah dihukumi makruh.

Hakim Agung Al Mawardi mengatakan dalam kitabnya al Hawy, “Membaca Al Quran dengan
lagu bila sampai mengeluarkan kata-kata di dalamnya dari bentuk aslinya, maka hukumnya
adalah haram. Sedangkan hukum orang yang membacanya adalah fasiq dan orang yang
mendengarkannya berdosa, karena orang itu telah merubah cara membaca Al Quran yang benar
dengan bacaan yang melenceng. Allah SWT berfirman:

‫قرآنا عربيا غير ذي عوج لعلهم يتقون‬


“Al Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan agar mereka bertaqwa”.

Apabila bacaanya tidak sampai keluar dari lafadz yang dikehendaki dan tetap dalam keaadaan
tartil, maka hukumnya adalah mubah, karena dapat memperindah bacaan. Inilah ungkapan
Hakim Agung. Dan inilah bagian pertama dari bacaan Al Quran dengan lagu yang diharamkan.
Itulah musibah yang menimpa sebagian orang-orang bodoh, tidak mengerti serta dholim.
Mereka membacakannya terhadap jenazah dan di beberapa perayaan (upacara/ resepsi). Dan
inilah bid’ah yang jelas-jelas diharamkan, setiap orang yang mendengarkannya akan berdosa,
begitu juga setiap orang yang mampu mencegahnya akan tetapi dia tidak melakukan itu. Aku
telah mencurahkan sebagian kemampuanku untuk melakukan hal itu. Aku berharap semoga
Allah yang Maha Mulia berkenan memberi pertolongan kepada orang yang mampu untuk
menghilangkan/ mencegahnya dan senantiasa memberinya kesehatan.

Al ‘Allamah al Qasthalany mengatakan dalam bab “Mengindahkan Suara Dalam Membaca Al


Quran”, dari kitab al Bukhari setelah mencantumkan pembicaraan Imam al Nawawi RA,
“Bahwa orang-orang yang mencari-cari wazan dan musik untuk kalamullah agar bisa
dilagukan, joget, bernyanyi yang disertain berjoget bersama para wanita serta bacaan Al Quran
disesuaikan dengan irama khusus dan wazan-wazan yang digunakan, sesungguhnya itu semua
merupakan sejelek-jeleknya bid’ah dan keadaan, dan sesungguhnya itu semua mewajibkan
bagi yang mendengarkannya supaya inkar dan bagi orang yang membaca berhak mendapat
ta’zir (hukuman)”.

Di dalam kitab “at Tibyan” Imam Al Nawawy rahimahullah berkata, “Salah satu hal yang
harus diperhatikan dan yang sangat penting adalah menghormati Al Quran dari perkara-perkara
yang terkadang disepelekan oleh beberapa orang yang lupa. Adapun tata cara membacanya
yang baik adalah:

1. Menjauhi senda gurau, gaduh dan berbincang-bincang di sela-sela membaca Al Quran


kecuali perkataan yang terpaksa. Dan hendaknya para pembaca Al Quran
memperhatikan dan melaksanakan perintah Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an
yang berbunyi:
‫وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له و أنصتوا لعلكم ترحمون‬
“Dan apa bila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik baik dan perhatikanlah dengan
tenang agar kamu mendapat rahmat”.

Serta mencontohlah pada riwayat Imam al Bukhari dalam kitabnya yang diriwayatkan dari
Nafi’ dari Ibnu Umar ra. Bahwasannya ketika Ibnu ‘Umar membaca Al Quran, beliau tidak
pernah berbicara dengan orang lain sampai beliau menyelesaikan bacaannya”.

2. Hendaknya orang yang membaca Al Quran tidak bermain-main dengan tangannya


ataupun dengan anggota badan lainnya, karena sesungguhnya orang yang membaca Al
Quran itu hakikatnya sedang bermunajat/berbicara dengan Allah SWT.
3. Hendaknya orang yang membaca Al Quran tidak mengalihkan pandangannya kepada
hal-hal yang dapat mengalihkan serta melupakan hati dari bacaan Al

Dan yang paling buruk dari apa yang telah dijelaskan di atas adalah melihat kepada sesuatu
yang sebenarnya tidak boleh dilihatnya, seperti melihat Amrad (anak laki-laki tampan yang
belum baligh) dan lainnya, karena melihat amrad yang tampan tanpa adanya hajat atau
keperluan itu hukumnya haram, baik disertai nafsu birahi ataupun tidak, baik aman dari fitnah
ataupun tidak.

Bagi orang-orang yang menghadiri majlis qira’at Al Quran, bila mengetahui sesuatu dari
kemungkaran-kemungkaran yang disebutkan di atas atau lainnya, maka mereka wajib
mencegahnya sesuai dengan kemampuan yang ia miliki. Dengan tangan bila mampu, apabila
tidak mampu dengan tangan maka dengan lisan dan apabila tidak mampu dengan keduanya
maka hendaklah ia mengingkari dengan hatinya saja.

Qadli Baidlawy rahimahullah berkomentar tentang ayat di atas dalam tafsirnya: “Dzahirnya
dari ayat tersebut menunjukkan bahwa mendengar dan memperhatikan bacaan Al Quran
hukumnya adalah wajib secara mutlak, sedangkan para ahli ilmu fikih berpendapat bahwa
hukumnya sunnah ketika berada di luar shalat”.

Pemimpin Mahasantri Terlantik Sampaikan Harapannya

Syaikh Zainuddin al Malibari dalam kitabnya Fathul Mu’in pada bab shalat Jum’at, berkata,
“Disunahkan diam dan konsentrasi mendengarkan khuthbah, dan dimakruhkan berbicara”.
Hukum serupa juga berlaku ketika orang yang mendengarkan bacaan Al Quran sambil berkata
“bagus, suaranya enak” atau yang sepadannya kepada pembaca Al Quran. Kata-kata Itulah
yang dimakhruhkan sebagaimana berbicara saat mendengarkan khutbah, sedangkan penentuan
hukum makruh tersebut adalah saat bacaan qari’ itu bagus, baik yang dianjurkan atau
dimubahkan. Namun bila bacaannya itu dengan pelat lagu-lagu yang diharamkan, maka ucapan
pendengar, ” bagus, suaranya enak!” itu adalah haram, sebab menganggap bagus perkara haram
itu hukumnya juga haram.

Di dalam kitab Khazinat al Asrar bab “Haramnya Melagukan dan Merubah Bacaan Al Quran”,
ada sebuah penjelasan yang teksnya sebagai berikut, “Dan diceritakan dari Dhahir al Din al
Marghinany, salah satu tokoh ulama Hanafiyah, bahwa pada zaman sekarang apabila ada orang
yang mengatakan “baik! (‫ ”)طيّب‬kepada pembaca Al-Quran, maka orang itu kufur. Alasannya
karena pada zaman sekarang sedikit sekali seorang pembaca Al Quran yang tidak melagukan
Al Quran. Dan ketika pendapat ini sudah menjadi kesepakatan para ulama’, maka sudah tentu
keharamannya juga dapat di pastikan dan tidak ada keraguan di dalamnya. Akan tetapi menurut
saya keharaman ini berlaku dan ditujukan hanya kepada orang yang melakukannya saja.

Tambahan

Syaikh Izzudin bin Abdi al Salam rahimahullah berkata dalam kitabnya yang bernama Qawaid
al Ahkam Fi Masalih al Anam, “Sesungguhnya Allah SWT, telah menetapkan hambanya untuk
menyukai hal-hal yang menggembirakan, menyenangkan dan cenderung lari dari hal-hal yang
menyusahkan dan menyakitkan. Dan sesungguhnya surga itu diliputi oleh hal-hal yang tidak
di sukai oleh seorang hamba sedangkan neraka itu diliputi oleh hal-hal yang menyenangkan
hati seorang hamba. Oleh karena itu, Allah telah berjanji bagi siapapun yang tidak mau
menuruti hawa nafsunya dan mau mentaati segala sesuatu yang di perintahkanNya, surga yang
di dalamnya penuh dengan balasan dan keridlaan dariNya.

Hal itu merupakan penyemangat agar kita mau mentaati semua perintah Allah, senantiasa
bersabar dalam menjalani segala sesuatu yang tidak disukai dan kesulitan dalam menjalankan
taat kepada Allah SWT. Sedangkan bagi hamba yang durhaka serta mengikuti hawa nafsunya,
maka Allah telah menyiapkan baginya neraka yang di dalamnya terdapat siksaan dan kehinaan,
agar seorang hamba mau menjauhi hal-hal yang menyebabkan kedurhakaan padaNya.

Allah memuji hamba yang taat agar senang dalam memuji Allah SWT, dan Allah membenci
orang yang bermaksiat kepadaNya agar mereka tidak masuk ke dalam lembah kesesatan dan
kebencian Allah SWT. Oleh karena itu Allah SWT, menetapkan batasan-batasan dan siksaan
yang disegerakan agar dapat menjadi pencegah dari kejahatan. Maka wajib bagi seorang hamba
untuk mengikuti sebab-sebab yang dapat menuju pada kebenaran dan menjauhi sebab-sebab
yang dapat mendatangkan kerusakan. Dan hendaknya bagi seorang hamba untuk selalu
melakukan hal-hal yang utama, dan lebih utama-utamanya amal adalah amal yang harus di
dahulukan, keberuntungan itu terletak ketika melaksanakan syariat dengan sepenuhnya, dalam
semua perkara yang datang ataupun pergi dan meninggalkan hawa nafsu yang bertentangan
dengan syariat, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

‫فمن اتبع هداي فال يض ّل واليشقى‬


“Lalu barang siapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka”.

Maksudnya adalah seorang hamba yang tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di
akhirat. Ibnu Abbas menafsiri ayat Al Qur’an yang berbunyi:

‫اتبعوا ما أنزل إليكم من ربّكم‬


“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu” (Al-A’raf 7:3).

‫ومن يطع هللا ورسوله فقد فاز فوزا عظيما‬


“Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar” (Al-Ahzab 33:71).
dengan tafsiran: tidak ada taat yang dilakukan seorang hamba kecuali ketaatan tersebut akan
memberi cahaya dalam hatinya dan jika semakin bertambah ketaatan seorang hamba tersebut,
maka semakin bertambah pula cahaya di hatinya sehingga hamba itu bisa mencapai derajat al
‘arif dan al abrar, sebagaimana firman Allah:

‫والذين جاهدوا فينا لنهدينّهم سبلنا‬


“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. (QS. al Ahzab: 69).

Inilah yang dapat diketahui oleh hamba yang taat dan ikhlas, akan tetapi jika amal yang
dilakukan oleh seorang hamba tidak dibarengi dengan rasa ikhlas maka amal yang
dikerjakannya tidak akan menambahkan sesuatu di hati kecuali hanya kegelapan. Karena dia
telah melakukan maksiat dengan meninggalkan ikhlas, merusak amalnya dengan riya’ serta
berpura-pura dalam melakukan amal.

Intinya, barangsiapa yang menghadap Allah maka Allah akan menerimanya. Barangsiapa yang
berpaling dariNya maka Allah akan berpaling darinya juga. Barangsiapa mendekat kepada
Allah satu jengkal maka Allah akan mendekat kepadanya satu lengan. Barangsiapa mendekat
kepada Allah satu lengan maka Allah akan mendekat kepadanya satu depa. Barangsiapa
mendekat kepada Allah dengan berjalan maka Allah akan mendekat kepadanya dengan berlari.
Barangsiapa menisbatkan segala sesuatu kepada dirinya sendiri maka dia termasuk orang yang
sesat, sedangkan jika ia menisbatkan segala sesuatu hanya kepada Allah Sang Pencipta dan
Pemberi Nikmat maka Allah akan menambahkan nikmat kepadanya, sebagaimana firman
Allah:

‫لئن شكرتم ألزيدنّكم‬


“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu” (QS.
Ibrahim: 7).

‫وسنجز الشاكرين‬
“Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 145).

Lebih utama-utamanya cara untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan merasa hina
karena kemuliaan Allah, menundukkan diri karena keagunganNya, merasa gelisah karena takut
kepada Allah dan merasa tidak ada daya dan kekuatan kecuali datang dariNya. Dan inilah
akhlak hamba Allah yang sudah mencapai derajat al arifiin. Adapun yang tidak sesuai dengan
itu semua maka termasuk perilaku hamba yang bodoh dan lupa. Ya Allah, jadikanlah kami
termasuk hambamu yang al arifin, al muhakkin, al amilin, yang senantiasa selalu ikhlas dalam
beramal. Kabulkanlah doa kami berkat keagungan Sayyidina Muhammad beserta keluarga,
sahabat dan semuanya.

Ya Allah jadikanlah kami termasuk golongan orang-orang ma’rifat, ahli hakekat, dan orang-
orang yang beramal secara ihklas, lantaran keagungan pemimpin kami, Nabi Muhammad SAW
keluarganya dan seluruh sahabatnya. Amin. Walllahu a’lam.
Kitab Tanbihat ini selesai pada hari Ahad, 14 Rabi’u ats Tsani Tahun 1355 Hijriyah. Semoga
seribu rahmat dan penghormatan tercurahkan kepada muallif yang bertempat di Tebuireng,
Jombang. Semoga Allah senantiasa menjaga dari segala keburukan dan kerusakan. Sebagai
penutup do’a kami adalah:

,‫الحمد هلل رب العالمين و صلى هللا و سلم على رسوله سيدنا محمد و على أله و صحبه أجمعبن‬
‫أمين‬

*Diterjemahkan oleh Ustadz Zainur Ridho (Tim Dosen Ma’had Aly Hasyim Asy’ari) dari kitab
at Tanbihat al Wajibat liman Yashna’ al Maulid bi al Munkarat karya Hadratussyaikh KH. M.
Hasyim Asy’ari

Anda mungkin juga menyukai