Ini adalah versi yang telah diperiksa dari halaman initampilkan/sembunyikan detail
Syarif Hidayatullah
Lahir 1448
Nyai Babadan
Anak
Sabakingking
Pasarean
Ratu Ayu
Winahon
Trusmi
Bratakelana
Jayalelana
Sunan Gunung Jat atau Syarif Hidayatullah (Arabic: شريف هداية اSharīf Hidāyah Allāh[1]) atau Sayyid
Al-Kamil adalah salah seorang dari Walisongo, ia dilahirkan Tahun 1448 Masehi dari pasangan Syarif
Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alim (seorang penguasa mesir)[2] dan Nyai Rara Santang, Putri
Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran (yang setelah masuk Islam bergant
nama menjadi Syarifah Mudaim).[3]
Syarif Hidayatullah sampai di Cirebon pada tahun 1470 Masehi, yang kemudian dengan dukungan
Kesultanan Demak dan Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana (Raja Cirebon pertama
sekaligus uwak Syarif Hidayatullah dari pihak ibu), ia dinobatkan menjadi Raja Cirebon ke-2 pada
tahun 1479 dengan gelar Maulana Jat.[4]
Nama Syarif Hidayatullah kemudian diabadikan menjadi nama Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta di daerah Tangerang Selatan, Banten.[5] Sedangkan nama Gunung Jat
diabadikan menjadi nama Universitas Islam negeri di Bandung, Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djat.[6]
1 Silsilah
2 Riwayat hidup
2.2 Pernikahan
4 Wafat
5 Referensi
6 Pranala Luar
7 Rujukan Kitab
Syarif Hidayatullah adalah putera dari Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alim yang bergelar
Sultan Mahmud (Sultan Hud) dan merupakan penguasa Mesir yang menikah dengan Nyi Mas Rara
Santang puteri dari Jayadewata yang bergelar Sri Baduga Maharaja yang setelah menikah dengan
Syarif Abdullah bergelar Syarifah Mudaim. Ayah Syarif Hidayatullah adalah seorang penguasa Mesir,
putera dari Ali Nurul Alim bin Jamaluddin Akbar al-Husaini, seorang keturunan dari Sayyid Abdul
Malik Azmatkhan dan Alwi Amir Fakih Mesir.
Pada masa lalu terdapat puluhan naskah yang menjelaskan tentang silsilah Syarif Hidayatullah yang
diklaim oleh beberapa pihak dan menimbulkan kesimpangsiuran sehingga pada masa pertemuan
agung para cendekiawan, sejarahwan, bangsawan dan alim ulama senusantara dan mancanegara
(bahasa Cirebon : Gotra sawala) pertama yang dimulai pada tahun 1677 di Cirebon maka Pangeran
Raja (PR) Nasiruddin (bergelar Wangsakerta) mengadakan penelitan dan penelusuran serta
pengkajian naskah-naskah tersebut bersama para ahli-ahli dibidangnya. Hasilnya pada tahun 1680
disusunlah kitab Negara Kertabumi yang didalamnya memuat bab tentang silsilah Syarif Hidayatullah
(Tritya Sarga) yang sudah diluruskan dari kesimpangsiuran klaim oleh banyak pihak.
Pelusuran sejarah tentang asal-usul Syarief Hidayatullah telah dilakukan oleh Pangeran Raja (PR)
Nasiruddin dengan melakukan penelitan terhadap naskah naskah yang ada dengan dibantu oleh
para ahli di bidangngnya dalam pertemuan agung Gotra Sawala pertama di Cirebon, penelusuran
tersebut menghasilkan sebuah kitab yang diberi nama Negara Kertabhumi yang memuat bab tentang
silsilah Syarief Hidayatullah dalam Tritya Sarga, isinya sebagai berikut ;
Syarif Abdullah + Nyi Hajjah Syarifah Mudaim bint Raja Pajajaran Sunda (Nyi Mas Rara Santang)
Jamaluddin Al-Husein
Al-Amir Akhmad Syekh Jalaludin
Muhammad
Alwi
Muhammad
Ali Al-Gazam
Ubaidillah
Akhmad Al-Muhajir
Isa Al-Bakir
Muhammad Al-Bakir
Zainal Abiddin
Husein As-Sabt
Abdullah
Abdul Muthalib
Hasyim
Abdul Manaf
Kusyaiyi
Kyai Kilab
Mauroh
Kangab
Luayyi
Galib
Fihir
Malik
Nadir
Kinanah
Khujaimah
Mudrikah
Ilyas
Mudar
Nijar
Mangad
Adnan
Addi
Addad
Hamyas
Salaman
Bista
Sahail
Jamal
Haidar
Nabi Ismail
Nabi Ibrahim
Tarikka
Nakur
Sarug
Abir
Syalik
Pinan
Arfakasyadz
Sam
Nabi Nukh
Lamik
Matuslak
Mahnauk
Yaridz
Mahkail
Kinan
Anwas
Syis
Husen
Jaenal Abidin
Muhammad Mubarakin
Musa
Kalijam
Habi Jamali
Amad Nakiddi
Ali Nakiddi
Hasan Sukri,
Muhammad Dadi
Raja Banissrail
Ratu Mesir
Raja Duta
Sit Fatmah
Sayid Husen
Sayid Abidin
Muhammad Baqir
Ja’far Sidik
Kasim al-Malik
Idris
Al-Baqir
Ahmad
Baidillah
Muhammad
Alwi al-Mishri
Abdul Malik
Amir
Sunan Gunungjat
versi kitab Syamsu Azh Zhahirah fi Nasabi Ahli al-Bait[suntng | suntng sumber]
Sebagaimana yang tercatat dalam silsilah Syarif Hidayatullah di sebuah organisasi penelit nasab
Naqobatul Asyrof al-Kubro dan Rabithah Alawiyah, yang juga tercantum dalam kitab Syamsu Azh
Zhahirah fi Nasabi Ahli al-Bait karya ulama Yaman, Sayyid Abdurrohman bin Muhammad al-Masyhur,
silsilah lengkap Syarif Hidayatullah adalah sebagai berikut[3][8]:
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jat putera dari
Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatmah az-Zahra bint
Babad Cirebon menyebutkan, ketka Pangeran Cakrabuwana membangun Kota Cirebon dan tdak
mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Syarif Hidayatullah mengambil peranan
mambangun kota dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah
Uwaknya wafat.
Memasuki usia dewasa (sekitar tahun 1470 - 1480) ia menikahi adik dari Bupat Banten saat itu, Nyai
Kawunganten. Dari pernikahan ini lahirlah Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin. Maulana
Hasanuddin inilah yang kelak menjadi Raja Banten pertama.
Masa ini kurang banyak ditelit para sejarawan hingga tba masa pendirian Kesultanan Demak tahun
1487, yang mana Walisongo memberikan peranan pentng dalam sejarah pendiriannya. Pada masa
ini, Syarif Hidayatullah berusia sekitar 37 tahun (kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang
baru diangkat menjadi Sultan Demak pertama).
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa (bukan hanya di Demak), maka
Cirebon menjadi semacam Negara Bagian atau Vasal dari Kesultanan Demak, terbukt dengan tdak
adanya riwayat tentang pelantkan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling dituakan di
Dewan Muballigh (Walisongo), bahwa agama Islam akan disebarkan di Pulau Jawa dengan
Kesultanan Demak sebagai pelopornya.
Setelah pendirian Kesultanan Demak, antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit
baik bagi Syarif Hidayatullah maupun Raden Patah, karena proses Islamisasi secara damai mengalami
gangguan internal dari Kerajaan Sunda, Galuh (sekarang bagian dari Jawa Barat) dan Majapahit (di
Jawa Tengah dan Jawa Timur) serta gangguan eksternal dari Portugis yang telah mulai melakukan
ekspansi di wilayah Asia Tenggara.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat
sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayatullah yang telah berkembang di Cirebon dan
Banten. Di saat yang gentng inilah Syarif Hidayatullah berperan dalam membimbing Pat Unus dalam
pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten-Demak-Cirebon di Pulau Jawa dengan misi
utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara.
Kegagalan Ekspedisi Jihad II Pat Unus yang sangat fatal pada tahun 1521 kemudian memaksa Syarif
Hidayatullah merombak pimpinan armada gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus
Pasai sebagai Panglima berikutnya yang menyusun strategi baru untuk memancing Portugis
bertempur di Pulau Jawa, menggantkan Pat Unus yang syahid di Malaka.
Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jat) bersama
dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa
itu disebut sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa art jihad
(perang) tdak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga perang melawan
hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hat masyarakat Wahanten dan pucuk umum
[9](penguasa) Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahanten terdapat dua penguasa yaitu
Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang menjadi pucuk umum
(penguasa) untuk wilayah Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi pucuk umum untuk
wilayah Wahanten Girang.[10]
Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung anten (putri dari Sang
Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir
pada 1477 m) dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin : nama pemberian dari
kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 m.[11] Sang Surosowan walaupun tdak memeluk
agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.
Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung jawab
sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri rapat para wali di
Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung Jat sebagai pemimpin dari para
wali.
Persekutuan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak ini sangat mencemaskan Jaya dewata
(Siliwangi) di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima
Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketka itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai
milik Kesultanan Samudera Pasai.[12]
Pada tahun 1513 m, Tome Pires pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa sudah banyak
dijumpai orang Islam di pelabuhan Banten[13]
Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu Siliwangi) mulai membatasi pedagang muslim yang akan singah
di pelabuhan-pelabuhan kerajaan Sunda hal ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Islam yang
akan diterima oleh para pedagang pribumi ketka melakukan kontak perdagangan dengan para
pedagang muslim, namun upaya tersebut kurang mendatangkan hasil yang memuaskan karena pada
kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan
tersebut, bahkan pengaruh Islam mulai memasuki daerah pedalaman kerajaan Sunda. Pada tahun itu
juga kerajaan Sunda berusaha mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang memiliki
kepentngan yang sama dengan kerajaan Sunda, Jaya dewata (Siliwangi) memutuskan untuk menjalin
persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat mengimbangi kekuatan pasukan kesultanan
Demak dan kesultanan Cirebon.
Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya dewata (Siliwangi) mengirim
beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa), mereka berusaha
meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan antara kerajaan
Sunda dan Portugis. Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk melakukan
perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan Sunda sebagai
imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan militer dari Portugis apabila kerajaan Sunda
diserang oleh kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis
untuk membangun benteng.[12]
Pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus
Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut
sebagai Raja Samiam)[17] untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan
orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif
Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis
akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa[18] dan
Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda
Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda
persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ (dibaca : Padraun) dibuat untuk memperingat
peristwa itu. Padrão dimaksud disebut dalam cerita masyarakat Sunda sebagai Layang Salaka Domas
dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari pihak kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani
oleh Padam Tumungo (yang terhormat Tumenggung), Samgydepaty (Sang Depat), e outre Benegar
(dan bendahara) e easy o xabandar (dan Syahbandar) [19]Syahbandar Sunda Kelapa yang
menandatangani bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi, dia menandatangani dengan
membubuhkan huruf Wau dengan Khot.[20]
Pada tahun 1522,[21] Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama keraton
Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung serta masjid di
kawasan Pacitan.[22]Sementara yang menjadi pucuk umum (penguasa) di Wahanten Pasisir adalah
Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman dari Maulana Hasanuddin) setelah
meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 m. Arya Surajaya diperkirakan masih memegang
pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 m.[23]
Pada tahun 1524 m, Sunan Gunung Jat bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten[24] Pada masa ini tdak ada pernyataan yang
menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan pasukan gabungan Sunan Gunung Jat
sehingga pasukan difokuskan untuk merebut Wahanten Girang
Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketka pasukan gabungan kesultanan Cirebon dan kesultanan
Demak mencapai Wahanten Girang, Ki Jongjo (seorang kepala prajurit pentng) dengan sukarela
memihak kepada Maulana Hasanuddin[25]
Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional di ceritakan bahwa pucuk umum (penguasa) Banten
Girang yang terusik dengan banyaknya aktfitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil menarik
simpat masyarakat termasuk masyarakat pedalaman Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan
Wahanten Girang, sehingga pucuk umum Arya Suranggana meminta Maulana Hasanuddin untuk
menghentkan aktfitas dakwahnya dan menantangnya sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika
sabung ayam dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana Hasanuddin harus menghentkan
aktfitas dakwahnya. Sabung Ayam pun dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak
melanjutkan aktfitas dakwahnya[26] Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk
Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.
Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan bagi para
penguasa Islam, paling tdak sampai di penghujung abad ke-17.[27]
Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jat, Maulana Hasanuddin kemudian memindahkan pusat
pemerintahan Wahanten Girang ke pesisir di kompleks Surosowan sekaligus membangun kota
pesisir[28]
Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526.[21] Pada tahun yang sama
juga Arya Surajaya pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan
kekuasannya atas wilayah Wahanten Pasisir kepada Sunan Gunung Jat, akhirnya kedua wilayah
Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir disatukan menjadi Wahanten yang kemudian disebut
sebagai Banten dengan status sebagai depaten (provinsi) dari kesultanan Cirebon pada tanggal 1
Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober 1526 m),[29] kemudian Sunan Gunung Jat kembali
ke kesultanan Cirebon dan pengurusan wilayah Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin, dari
kejadian tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung Jat adalah Sultan pertama di
Banten[30] meskipun demikian Sunan Gunung Jat tdak mentasbihkan dirinya menjadi penguasa
(sultan) di Banten[31]Alasan-alasan demikianlah yang membuat pakar sejarah sepert Hoesein
Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung Jatlah yang menjadi pendiri Banten dan bukannya
Maulana Hasanuddin.
menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan
Islam, Banten lah yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara.[28]
Pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin diangkat menjadi sultan di wilayah Banten oleh ayahnya
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jat)[32]
Perebutan pengaruh antara Kerajaan Sunda Galuh dengan Kesultanan Banten-Cirebon segera
bergeser kembali ke darat. Tetapi Kerajaan Sunda Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah
menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran dan
Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima
Perangnya.
Setelah Pakuan Pajajaran yang merupakan ibukota Kerajaan Sunda Galuh jatuh kepada Syarif
Hidayatullah pada tahun 1568 (hanya satu tahun sebelum ia wafat pada tahun 1569 dalam usia yang
hampir 120 tahun), kemudian terjadi perundingan terakhir antara Syarif Hidayatullah dengan para
pegawai istana, Syarif Hidayatullah kemudian memberikan 2 opsi:
Bagi para pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan
martabatnya, sepert gelar Pangeran-Putri atau Panglima akan tetap disandangnya, dan kemudian
mereka dipersilakan tetap tnggal di keraton masing-masing.
Bagi para pembesar Istana Pakuan yang tdak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton
masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan Pajajaran untuk diberikan tempat di pedalaman
Banten (wilayah Cibeo sekarang).
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para
Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi pertama. Sedang Pasukan Kawal Istana dan
Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih
opsi kedua. Diyakini mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga
anggota pemukiman yang hanya sebanyak 40 keluarga (karena keturunan dari 40 pengawal istana
Pakuan). Anggota yang tdak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Dengan segala jasa Syarif Hidayatullah inilah yang kemudian umat Islam di Jawa Barat memanggilnya
dengan nama lengkap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jat Rahimahullah.[33]