Anda di halaman 1dari 8

Sunan Gunung Jati

7 bahasa
 Halaman
 Pembicaraan
 Baca
 Sunting
 Sunting sumber
 Lihat riwayat
Perkakas













Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatulloh)

Sultan Cirebon ke-1

Masa jabatan

1482–1568

Pendahulu Jabatan baru


Pengganti Fatahillah

Tumenggung Cirebon

Masa jabatan

1479–1482

Pendahulu Pangeran Cakrabuana

Pengganti Jabatan dihapus

Informasi pribadi

Lahir Syarif Hidayatullah

1448

Meninggal 19 September 1568

Kesultanan Cirebon

Makam Astana Gunung Sembung

Agama Islam

 Nyai Ratu Dewi Pakungwati


Pasangan
 Nyai Ratu Kawunganten

 Nyai Babadan

 Nyai Ageng Tepasari

 Nyai Lara Baghdad

 Ong Tien Nio

Anak  Sabakingking

 Pasarean

 Ratu Ayu
 Winahon

 Trusmi

 Bratakelana

 Jayalelana

Orang tua  Syarif Abdullah Umdatuddin (ayah)

 Rara Santang (ibu)

Denominasi Sunni

Dikenal sebagai Wali Sanga

Pemimpin Muslim

Pendahulu Maulana Muhammad Ali Akbar

Penerus Maulana Hasanuddin

Sunan Gunung Jati, lahir dengan nama Hidayatullah atau lebih di kenal sebagai
Sayyid Al-Kamil adalah salah seorang dari Walisongo, ia dilahirkan
Tahun 1448 Masehi dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam dan
Nyai Rara Santang, Putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan
Padjajaran (yang setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Mudaim).

Syarif Hidayatullah sampai di Cirebon pada tahun 1470 Masehi, yang kemudian dengan
dukungan Kesultanan Demak dan Pangeran Walangsungsang atau Pangeran
Cakrabuana (Tumenggung Cirebon pertama sekaligus uwak Syarif Hidayatullah dari
pihak ibu), ia dinobatkan menjadi Tumenggung Cirebon ke-2 pada tahun 1479 dengan
gelar Maulana Jati.

Nama Syarif Hidayatullah kemudian diabadikan menjadi nama Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta di daerah Tangerang Selatan, Banten. Sedangkan nama
Sunan Gunung Jati diabadikan menjadi nama Universitas Islam negeri di Bandung,
yaitu Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati[1], dan Korem 063/Sunan Gunung
Jati di Cirebon.

Silsilah[sunting | sunting sumber]


Syarif Hidayatullah adalah putra dari Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul
Alam yang menikah dengan Nyi Mas Rara Santang putri dari Jayadewata yang
bergelar Sri Baduga Maharaja yang setelah menikah dengan Syarif Abdullah
bergelar Syarifah Mudaim. Ayah Syarif Hidayatullah adalah seorang penguasa Mesir,
putra dari Ali Nurul Alim bin Jamaluddin Akbar al-Husaini, seorang keturunan dari
Rasulullah dari sayyid fam Al-Husaini

Pada masa lalu terdapat puluhan naskah yang menjelaskan tentang silsilah Syarif
Hidayatullah yang diklaim oleh beberapa pihak dan
menimbulkan kesimpangsiuran sehingga pada masa pertemuan agung
para cendekiawan, sejarawan, bangsawan dan alim ulama senusantara dan mancaneg
ara (bahasa Cirebon: Gotra Sawala) pertama yang dimulai pada tahun 1677
di Cirebon maka Pangeran Raja Nasiruddin (bergelar Wangsakerta) mengadakan
penelitian dan penelusuran serta pengkajian naskah-naskah tersebut bersama para
ahli-ahli di bidangnya.

Hasilnya pada tahun 1680 disusunlah kitab Negara Kertabumi yang di dalamnya
memuat bab tentang silsilah Syarif Hidayatullah (Tritiya Sarga) yang sudah diluruskan
dari kesimpangsiuran klaim oleh banyak pihak.

Pelurusan Sejarah Silsilah Dalam Negara Kertabumi [sunting | sunting


[2]

sumber]
Penelusuran sejarah tentang asal-usul Syarief Hidayatullah telah dilakukan oleh
Pangeran Raja (PR) Nasiruddin dengan melakukan penelitian terhadap naskah naskah
yang ada dengan dibantu oleh para ahli di bidangngnya dalam pertemuan agung Gotra
Sawala pertama di Cirebon, penelusuran tersebut menghasilkan sebuah kitab yang
diberi nama Negara Kertabhumi yang memuat bab tentang silsilah Syarief Hidayatullah
dalam Tritiya Sarga, isinya sebagai berikut:

 Syarif Hidayatullah / Sayyid Al-Kamil / Susuhunan Jati / Susuhunan Cirebon,


bin
 Syarif Abdullah + Nyi Hajjah Syarifah Mudaim binti Raja Pajajaran Sunda (Nyi
Mas Rara Santang)
 Ali Nurul Alam + Puteri Mesir
 Jamaluddin Al-Husein
 Al-Amir Akhmad Syekh Jalaludin
 Amir Abdullah Khan
 Abdul Malik (India)
 Alwi 'Ammul faqih Hadhramaut
 Muhammad Shohib Mirbath
 Ali Khali' Qasam
 Alwi Shohib Bait Jubair
 Muhammad Maula As-Shauma'ah
 Alwi Al-Mubtakir
 Ubaidillah
 Ahmad Al-Muhajir
 Isa Al-Rumi
 Muhammad An-Naqib
 Ali Al-Uraidhi
 Ja'far Ash-Shadiq (Madinah)
 Muhammad Al-Baqir
 Ali Zainal Abiddin
 Husein As-Syahid
 Sayyidah Fatimah Al-Zahra' RA
 Nabi Muhammad Rasulullah SAW
 Abdullah
 Abdul Muthalib
 Hasyim
 Abdul Manaf
 Qusay
 Kilab
 Murroh
 Ka'ab
 Luay
 Ghalib
 Dst.
Naskah Kaprabonan[sunting | sunting sumber]
 Kanjeng Nabi Muhamad SAW
 Sarifah Siti Fatimah
 Husen
 Jaenal Abidin
 Muhammad Mubarakin
 Imam Ja’far Sidiq
 Musa
 Kalijam
 Habi Jamali
 Amad Nakiddi
 Ali Nakiddi
 Hasan Sukri,
 Muhammad Dadi
 Raja Banissrail
 Ratu Mesir
 Raja Duta
 Kanjeng Sinuhun Carbon / Syarif Hidayatullah Sunan Gunungjati
Kitab Purwaka Caruban Nagari [sunting | sunting sumber]
[3]

 Nabi Muhammad SAW


 Siti Fatimah
 Sayid Husen
 Sayid Abidin
 Muhammad Baqir
 Ja’far Sidik
 Kasim al-Malik
 Idris
 Al-Baqir
 Ahmad
 Baidillah
 Muhammad
 Alwi al-Mishri
 Abdul Malik
 Amir
 Ali Nurul Alim
 Syarif Abdullah (Sultan Hut / Sultan Mahmud)
 Sunan Gunung Jati
Sedangkan salah satu versi yang menjadi rujukan R.TB Mogi Nurfadhil
adalah[sunting | sunting sumber]
Silsilah Sunan Gunung Jati[sunting | sunting sumber]
 1. Nabi Muhammad Saw
 2. Sayyidah Fatimah Az Zahra + Sayyidina Ali
 3. Sayyidina Hussein As Sibthi
 4. Syarif Ali Zainal Abidin
 5. Syarif Muhammad Al Baqir
 6. Syarif Ja'far As Shodiq
 7. Syarif Musa Al Kadzim
 8. Syarif Ali Ar Ridho
 9. Syarif Muhammad At Taqi
 10. Syarif Ali An Naqi
 11. Syarif Hasan Al Askari
 12. Syarif Muhammad Al Mahdi
 13. Syarif Ali
 14. Syarif isa
 15. Syarif Yahya (Uzbekistan)
 16. Syarif Abdullah
 17. Syarif Ahmad
 18. Syarif Jalaludin
 19. Syarif Ahmad Jumadil Kubro
 20. Syarif Ali Nurul Alam
 21. Syarif Abdullah Umdatudin
 22. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)

Riwayat Hidup[sunting | sunting sumber]


Proses Belajar[sunting | sunting sumber]
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecenderungan spiritual dari kakek
buyutnya, Jamaluddin Akbar al-Husaini, sehingga ketika telah selesai menimba ilmu di
pesantren Syekh Datuk Kahfi ia meneruskan pembelajaran agamanya ke Timur
Tengah.
Babad Cirebon menyebutkan, ketika Pangeran Cakrabuwana membangun Kota
Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Syarif
Hidayatullah mengambil peranan mambangun kota dan menjadi pemimpin
perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Pernikahan[sunting | sunting sumber]


Memasuki usia dewasa (sekitar tahun 1470 - 1480) ia menikahi adik dari Bupati Banten
saat itu, Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini lahirlah Ratu Wulung Ayu dan Maulana
Hasanuddin. Maulana Hasanuddin inilah yang kelak menjadi Raja Banten pertama.

Kesultanan Cirebon[sunting | sunting sumber]


Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di Tuban, Jawa Timur untuk
mencari pengganti Sunan Ampel sebagai pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan
ke gunung Sembung, kecamatan Gunung Jati, kabupaten Cirebon, propinsi Jawa Barat.
Pusat kegiatan keagamaan ini kemudian disebut sebagai Puser Bumi (bahasa
Indonesia: pusatnya dunia).[4]

Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai


penguasa Cirebon kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak
dari pernikahan Nyai Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari Mesir) yang sebelumnya
menikahi Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Indang
Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar
Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula
sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya
Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.[5]

Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga selalu mendekati kakeknya yakni Jaya
Dewata (prabu Silih Wangi) agar berkenan memeluk agama Islam seperti halnya
neneknya Nyai Subang Larang yang memang sudah lama menjadi
seorang muslim jauh sebelum menikah dengan prabu Silih Wangi, tetapi hal tersebut
tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan kerajaan Galuh dan
Sunda sudah menjadi satu kembali di tangan prabu Silih Wangi), seperti yang tertuang
dalam naskah Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon.

Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala.

(bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah)

Pada tanggal 12 Shafar 887 Hijriah atau tepatnya pada tanggal 2 April 1482 Masehi,
akhirnya Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu Silih
Wangi selaku Raja Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi
mengirimkan upeti.[4][5] Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh para pembesar di
wilayah Cirebon (bahasa Cirebon: gegeden).
Untuk memperkuat hubungan dengan kesultanan Demak dilakukan dengan pernikahan
putra putri kedua kesultanan.[6]

 Pangeran Maulana Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana.


 Pangeran Jayakelana dengan Ratu Ayu Pembayun
 Pangeran Bratakelana dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan)
 Ratu Ayu dengan Yunus Abdul Kadir (Pangeran Sabrang Lor) menikah pada
1511 yang menjadi Sultan Demak kedua pada 1518 .
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada kesultanan Cirebon dimulailah oleh
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini
sebagai leluhur dari dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dan kesultanan Banten serta
penyebar agama Islam di Jawa Barat
seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[7]

Anda mungkin juga menyukai