Anda di halaman 1dari 16

SUNAN KUDUS

Sunan Kudus adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang tergabung dalam
walisongo, yang lahir sekitar 1500an Masehi. Nama lengkapnya adalah nama Sayyid Ja'far
Shadiq Azmatkhan. Ia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung.

Lahir : 1500an Masehi , Al-Quds, Palestina, Kesultanan Utsmaniyah

Meninggal : 1550an Masehi, Kudus, Kerajaan Demak

Sebab meninggal : Meninggal dalam keadaan bersujud ketika sholat subuh

Tempat tinggal : Kudus Jawa Tengah

Pekerjaan : 1. Penasehat Sultan (Sultan Demak)

2. Panglima Perang

3. Qadhi

4. Mufti

5. Imam Besar Masjid Demak & Masjid Kudus

6. Mursyid Tarekat

7. Naqib Nasab Keturunan Azmatkhan

8. Ketua Pasar Islam Walisongo

9. Penanggung Jawab Pencetak Dinar Dirham Islam

10. Ketua Baitulmal Walisongo

Tempat kerja : Kesultanan Islam Demak

Dikenal atas : Anggota Walisongo yang paling alim (Waliyyul Ilmi)


Gaji : 7 Dinar Emas (1 Dinar Emas=24Karat,4.44 gram)/hari

Tinggi : 180 cm (5 ft 11 in)

Berat : 81 kg (179 pon)

Gelar : Waliyyul Ilmi

Masa jabatan : 1400M-1550M/ 808H-958H (150 tahun)

Pendahulu : Sayyid Usman Haji (Sunan Ngudung) (Ayah)

Pengganti : Sayyid Amir Hasan (Anak Pertama)

Anggota dewan : Majelis Dakwah Walisongo

Pasangan serumah : Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang

Anak : 1. Amir Hasan

2. Panembahan Kudus

3. Nyai Ageng Pambayun

4. Amir Hamzah (Panembahan Palembang)

5. Panembahan Makaos Honggokusumo

6. Panembahan Kadhi

7. Panembahan Karimun

8. Panembahan Jaka

9. Ratu Pajaka

10. Ratu Probodinalar

Kerabat : Syarifah Dewi Sujinah (adik perempuan/isteri Sunan Muria)

Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. Bapaknya


yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali
Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah
di Kesultanan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang.

Dakwah Sunan Kudus

Ia adalah Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far Shodiq. Ia pula yang menjadi salah
satu dari anggota Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu
sentral dalam kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud
dikarenakan Sunan Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan kebudayaan
yang toleran. Tak heran, jika hingga sekarang makam ia yang berdekatan dengan Menara Kudus
selalu ramai diziarahi oleh masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Selain itu, hal tersebut
sebagai bukti bahwa ajaran toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman dan justru semakin
relevan ditengah arus radikalisme dan fundamentalisme beragama yang semakin marak dewasa
ini. Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga. Cara
berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan
kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat.

Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya yakni
dengan melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya. Bukan saja melarang untuk
menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman masjid
kala itu. Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu
itu menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan
Kudus untuk bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa oleh ia. Lama-kelamaan, bermula
dari situ, masyarakat semakin banyak yang mendatangi masjid sekaligus mendengarkan petuah-
petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin akan menjadi lain ceritanya jika
Sunan Kudus melawan arus mayoritas dengan menyembelih sapi. Selain berdakwah lewat sapi,
bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau padasan
yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap
pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah estetika. Jumlah delapan pada
pancuran mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama
yang menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal
Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara.
Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih
mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan Pura di Bali.

Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk
memukul bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan
menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.
Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal yang melampaui zamannya.
Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah
ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam di Indonesia pada umumnya.

Kini, toleransi beragama berada di titik nadir. Ironisnya, toleransi beragama tak cuma menjadi
barang mahal, tetapi sudah terlalu langka. Dengan jalan menghidupkan kembali esensi serta
spirit dakwah Sunan Kudus, kiranya masyarakat muslim bisa mengembalikan lagi wajah Islam
yang ramah dan toleran setelah sebelumnya dihinggapi oleh stigma negatif.Ajaran Toleransi Ala
Sunan Kudus.
SUNAN GUNUNG JATI

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah (Arabic: ‫ شريف هداية هللا‬Sharīf Hidāyah Allāh[1])
atau Sayyid Al-Kamil adalah salah seorang dari Walisongo, ia dilahirkan Tahun 1448 Masehi
dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam [2] dan Nyai Rara Santang, Putri
Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran (yang setelah masuk Islam
berganti nama menjadi Syarifah Mudaim).[3]

Masa kekuasaan : (1479 - 1568)

Lahir : 1448

Wafat : 19 September 1569

Tempat wafat : Keraton Pakungwati, Kesultanan Cirebon

Pemakaman : Komplek makam Gunung Sembung, Gunung Jati, Cirebon.

Pendahulu : Pangeran Cakrabuana

Pengganti : Panembahan Ratu

Pasangan dari : Nyai Ratu Dewi Pakungwati

Nyai Ratu Kawunganten

Nyai Babadan

Nyai Ageng Tepasari

Nyai Lara Baghdad

Ong Tien Nio


Anak : Sabakingking

Pasarean

Ratu Ayu

Winahon

Trusmi

Bratakelana

Jayalelana

Ayah : Syarif Abdullah Umdatuddin

Ibu : Rara Santang

Agama : Sunni Islam

Syarif Hidayatullah sampai di Cirebon pada tahun 1470 Masehi, yang kemudian dengan
dukungan Kesultanan Demak dan Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana (Raja
Cirebon pertama sekaligus uwak Syarif Hidayatullah dari pihak ibu), ia dinobatkan menjadi Raja
Cirebon ke-2 pada tahun 1479 dengan gelar Maulana Jati.[4]

Nama Syarif Hidayatullah kemudian diabadikan menjadi nama Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta di daerah Tangerang Selatan, Banten.[5] Sedangkan nama Sunan
Gunung Jati diabadikan menjadi nama Universitas Islam negeri di Bandung, yaitu Universitas
Islam Negeri Sunan Gunung Djati, dan Korem 063/Sunan Gunung Jati di Cirebon.[6]

DAKWAH SUNAN GUNUNG JATI

Sunan Gunung Jati dianggap sebagai wali pelindung Tanah Pasundan. Karena telah
mengislamkan daerah itu, dari dialah berasal kedua dinasti Islam yang kemudian menguasai
Jawa Barat. Dikutip Historia, Sunan Gunung Jati dengan cepat diterima masyarakat saat
mengajarkan agama Islam, padahal saat itu masih dianggap orang asing (Arab). Tapi, ia mampu
mengislamkan masyarakat yang mayoritas beragama Hindu. Syarif Hidayatullah menggunakan
pendekatan sosial budaya untuk dakwahnya, sehingga ajarannya dapat dengan mudah diterima
oleh masyarakat.

Penyebaran ajaran Islam semakin kuat dilakukan Sunan Gunung Jati setelah menikahi gadis-
gadis lokal. Ketika diberi takhtah kekuasaan Cirebon oleh Pangeran Cakrabuwan, Gunung
Gunung Jati yang diberi gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad
Syarif Abdullah segera memutuskan untuk melepaskan diri dari Kerajaan Sunda. Ia menolak
memberikan kewajiban upeti, berupa garam dan terasi kepada Kerajaan Sunda.
Kondisi itu membuat murka raja Sunda dan mengutus Tumenggung Jagabaya beserta pasukan
untuk mendesak Cirebon. Namun, Tumenggung Jagaba tiba di Cirebon justruh masuk Islam.
Sunan Gunung Jati berulang kali meminta raja Sunda untuk masuk Islam. Cirebon akhirnya
menjadi Kerajaa Islam yang merdeka dan otonom. Berdirinya kasultanan tercata pada 1404 saka
atau 1482 masehi. Sebagai kepala negara, Sunan Gunung Jati berperan penting dalam perluasan
kekuasaan politik dan agama Islam di Cirebon.

Selama memerintah, Sunan Gunung Jati membangun sarana dan prasarana, seperti
pembangunan sarana ibadah di seluruh wilayah kekuasaannya atau transportasi sebagai
penunjang pelabuhan dan sungai. Itu dilakukan untuk memudahkan penyebaran agama Islam.
Sunan Gunung Jati mempelopori Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada 1489 sebagai pusat
dakwah.
SUNAN KALIJAGA

Sira Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan Kalijaga Waliyullah Tanah Jawi Langgeng ing Bawana
(Carakan: ꦏꦚ꧀ꦗꦺꦁꦱꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦏꦭꦶꦗꦒ; Kanjeng Susuhunan Kalijaga) atau Sunan
Kalijaga adalah seorang tokoh Walisongo, lahir pada tahun 1450 Masehi dari Raden Ahmad
Sahuri (seorang Adipati Tuban VIII) dan Dewi Nawangarum (putri Raden Kidang Telangkas /
Abdurrahim Al-Maghribi)[1]. Dikenal sebagai wali yang sangat lekat dengan muslim di Pulau
Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi dan budaya Jawa.
Makamnya berada di Kadilangu, Demak.

Lahir : Bendara Raden Mas Said1450 M Empire Kadipaten Tuban, Majapahit

Meninggal :1513 M Kadilangu, Demak

Nama lain : Lokajaya

Syekh Malaya

Susuhunan Tuban

Raden Abdurrahman

Zaman : Majapahit, Kesultanan Demak, Kerajaan pajang, kesultanan Mataram,

Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten.

Tempat kerja : Kekhalifahan Kesultanan Demak

Organisasi : Walisongo

Gelar : Kanjeng Sunan Kalijaga

Anggota dewan : Majelis Dakwah Walisongo


Orang tua : Raden Ahmad Sahuri (Tumenggung Wilwatikta / Adipati Tuban VIII),

(bapak), Dewi Nawangarum (ibu).

Pernikahan : Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi

Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said


(Sunan Muria), Dewi Rakayuh

dan Dewi Sofiah. Maulana Ishak memiliki anak bernama Sunan Giri dan
Dewi Saroh. Mereka

adalah kakak beradik.

Riwayat Hidup

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan
Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran
Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang
pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu)
yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Kelahiran

Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah
putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan
Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.
Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di
Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau
jaga kali.

Silsilah

Terkait asal usulnya, ada dua pendapat yang berkembang. Pendapat pertama, adalah yang
menyatakan Sunan Kalijaga orang Jawa asli. Pendapat ini didasarkan pada catatan historis Babad
Tuban. Di dalam babad tersebut diceritakan, Aria Teja alias 'Abdul Rahman berhasil
mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari perkawinan tersebut
Aria Teja kemudian memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Catatan Babad Tuban ini diperkuat
juga dengan catatan masyhur penulis dan bendahara Portugis Tome Pires (1468 - 1540). Menurut
catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari peguasa Islam pertama
di Tuban yakni Aria Wilakita, dan Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria
Wilatikta. Adapun pendapat yang kedua adalah menyatakan Sunan Kalijaga adalah keturunan
arab. Pendapat kedua ini disebut-sebut berdasarkan keterangan penasehat khusus Pemerintah
Kolonial Belanda, Van Den Berg (1845 – 1927), yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah
keturunan Arab yang silsilahnya sampai ke Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Sejarawan
lain seperti De Graaf juga menilai bahwa Aria Teja I ('Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan
Ibnu Abbas, paman Muhammad.

DAKWAH SUNAN KALIJAGA

Menurut cerita, Sebelum menjadi Walisongo, Raden Said adalah seorang perampok yang
selalu mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan Hasil Bumi di kerajaannya, merampok
orang-orang yang kaya. Hasil curiannya, dan rampokanya itu akan ia bagikan kepada orang-
orang yang miskin. Suatu hari, Saat Raden Said berada di hutan, ia melihat seseorang kakek tua
yang bertongkat. Orang itu adalah Sunan Bonang. Karena tongkat itu dilihat seperti tongkat
emas, ia merampas tongkat itu. Katanya, hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang yang
miskin. Tetapi, Sang Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu. Ia menasihati Raden Said
bahwa Allah S.W.T tidak akan menerima amal yang buruk. Lalu, Sunan Bonang menunjukan
pohon aren emas dan mengatakan bila Raden Said ingin mendapatkan harta tanpa berusaha,
maka ambillah buah aren emas yang ditunjukkan oleh Sunan Bonang. Karena itu, Raden Said
ingin menjadi murid Sunan Bonang. RadeN Said lalu menyusul Sunan Bonang ke Sungai. Raden
Said berkata bahwa ingin menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu menyuruh Raden Said untuk
bersemedi sambil menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke tepi sungai. Raden Said tidak boleh
beranjak dari tempat tersebut sebelum Sunan Bonang datang. Raden Said lalu melaksanakan
perintah tersebut. Karena itu,ia menjadi tertidur dalam waktu lama. Karena lamanya ia tertidur,
tanpa disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya. Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang
datang dan membangunkan Raden Said. Karena ia telah menjaga tongkatnya yang ditanjapkan
ke sungai, maka Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga. Kalijaga lalu diberi pakaian baru
dan diberi pelajaran agama oleh Sunan Bonang. Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya dan
dikenal sebagai Sunan Kalijaga. Namun, cerita ini banyak diragukan oleh para sejarawan dan
ulama berpaham salaf karena tidak masuk akal dan bertentangan dengan ilmu syariat

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan
Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik
(pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil
memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya
kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam
mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai
sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul
Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan
Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap pusat kota berupa
kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam
melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas, serta Pajang.

Ketika wafat, ia dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini
hingga sekarang masih ramai diziarahi orang - orang dari seluruh indonesia

Alamat makam suci makam Kanjeng Sunan Kalijaga atau Kadilangu cukup mudah
ditemukan, karena ada rambu atau rambu jalan di sepanjang jalan yang benar-benar mengarah ke
sebuah masjid Kadilangu (Makam Sunan Kalijogo). Bahkan dalam orang biasa yang tidak
mengenal jalan dengan mudah dapatmenemukan dengan mudah. Anda dapat bertanya terhadap
orang-orang di sekitar Demak, mereka perlu tahu betul alamat makam suci petilasan Sunan
Kalijogo atau Sunan Kalijogo.Makam Sunan Kalijaga yakni sangat ramai dan telah dikunjungi
dengan para peziarah dari berbagai sebuah bagian negara. Tidak hanya orang-orang di Jawa
Tengah dan sekitarnya yang tinggal di sana, tetapi juga orang-orang di luar Jawa
SUNAN MURIA

Sunan Muria merupakan putera dari Sunan Kalijaga melalui pernikahannya bersama Dewi
Saroh, yang merupakan puteri dari Syekh Maulana Ishak, seorang ulama terkenal di Samudra
Pasai Aceh. Dengan demikian maka Sunan Muria masih merupakan keponakan dari Sunan Giri.
Saat masih kecil, Sunan Muria memiliki nama Raden Prawoto. Selain itu, beliau juga sering
dipanggil dengan Raden Umar Said atau Raden Umar Syahid.

Menginjak dewasa, Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah yang merupakan puteri dari
Sunan Ngudung (Raden Usman Haji). Sunan Ngudung merupakan salah satu putera dari sultan
di Mesir yang melakukan perjananan hingga ke tanah Jawa. Sementara itu, Sunan Ngudung
sendiri juga merupakan ayah dari Sunan Kudus. Dari pernikahannya dengan Dewi Sujinah,
Sunan Muria dikaruniai putera bernama Pangen Santri atau Sunan Ngadilangu.

DAKWAH SUNAN MURIA

Dalam berdakwah, Sunan Muria banyak mengadopsi metode ayahnya. Namun, beliau lebih
memusatkan pada daerah terpencil dan jauh dari pusat kota. Tempat tinggal beliau terletak di
salah satu puncak gunung Muria yaitu desa Colo. Dan dari nama gunung tersebutlah maka
muncul sebutan Sunan Muria. Selain berdakwah, disana beliau juga berkumpul dengan rakyat
jelata untuk mengajarkan keterampilan bercocok tanam, melaut, dan berdagang.

Sementara itu, selain mengajarkan Islam di sekitar gunung dan lereng Muria, Raden Umar
Said atau Sunan Muria juga memperluas dakwahnya di wilayah Tayu, Kudus, dan Juwana. Jadi
beliau beserta keluarga dan para muridnya terkenal dengan fisiknya yang sangat kuat.
Bayangkan jika beliau dan para pengikutnya harus naik turun gunung yang tingginya sekitar 750
meter, untuk bisa berdakwah di wilayah-wilayah tersebut

1. MENITIK BERATKAN PADA RAKYAT JELATA

Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Muria lebih toleran dengan memusatkan pada
rakyat jelata dan bukan kaum bangsawan. Beliau lebih senang mengasingkan diri bersama rakyat
jelata dibandingkan tinggal di pusat kerajaan Demak. Metode dakwah beliau sering disebut
dengan Topo Ngeli, yang berarti menghanyutkan diri di dalam masyarakat. Dengan begitu, maka
Sunan Muria lebih mudah dalam mengajak masyarakat untuk masuk agama Islam.

Sementara itu, agar bisa berbaur dengan masyarakat sekitar pegunungan tersebut, maka beliau
kerap sekali memberikan kursus atau keterampilan untuk para pelaut, nelayan, pedagang, dan
rakyat jelata. Dengan demikian maka beliau bisa mengumpulkan mereka yang notabennya
adalah pekerja yang sangat sulit untuk meluangkan waktu belajar agama. Jadi dengan adanya
kursus maka Sunan Muria dapat dengan mudah menyampaikan ajaran Islam kepada mereka.

2. DAKWAH BIL HIKMAH DENGAN AKULTURASI BUDAYA

Meskipun Sunan Muria diterima dengan baik oleh masyarakat, namun bukan berarti proses
dakwah beliau berjalan dengan lancar. Kebanyakan penduduk yang berada di kawasan gunung
Muria masih menganut kepercayaan turun temurun yang sangat kental dan sulit untuk dirubah.
Oleh karenanya beliau sama seperti para wali yang lainnya yaitu lebih kepada metode dakwah bil
hikmah, atau dengan cara-cara bijak yang tidak memaksa.

Dalam menyikapi kebiasaan masyarakat yang sering melakukan adat kenduren, maka Sunan
Muria meniru gaya moderat ayahnya, yang tidak mengharamkan tradisi peringatan telung dino
hingga sewu dino. Tradisi yang dilakukan untuk memperingati hari-hari tertentu kematian
anggota keluarga ini tidak dilarang, kecuali adat untuk membakar kemenyan atau memberikan
sesajen di tempat tertentu, yang kemudian diganti dengan sholawat dan do’a untuk ahli kubur.

3. MEMPERTAHANKAN KESENIAN GAMELAN DAN WAYANG

Sama seperti para wali yang lain, Sunan Muria juga tetap mempertahankan alat musik daerah
seperti gamelan dan kesenian tradisional wayang untuk media dakwahnya. Beliau tidak
mengubah budaya yang ada, namun memasukkan ajaran-ajaran Islam di dalamnya. Beberapa
lakon pewayangan dirubah karakternya dengan membawa pesan-pesan Islam, seperti kisah Dewa
Ruci, Petruk dadi Ratu, Jimat Kalimasada, Mustakaweni, Semar ambarang Jantur, dan lain
sebagainya

4. MENCIPTAKAN BEBERAPA TEMBANG JAWA

Selain mempertahankan kesenian daerah seperti gamelan dan wayang, Sunan Muria juga
menciptakan beberapa tembang Jawa macapat yang berisi tentang ajaran Islam. Beberapa
karyanya yang terkenal hingga saat ini yaitu tembang Sinom dan Kinanthi. Dengan
menggunakan tembang atau lagu maka masyarakat akan dengan mudah menerimanya, dan
mampu mengingat nilai-nilai serta ajaran Islam yang terkandung di dalamnya untuk bisa
diterapkan dalam kehidupan.
SIFAT TELADAN SUNAN MURIA

Mengasingkan diri di tengah masyarakat jelata membuat kepribadian Sunan Muria lebih peka
dan lebih toleran terhadap berbagai masalah. Bahkan beliau kerap sekali memberikan solusi
untuk berbagai masalah yang rumit. Seperti saat konflik internal di Kesultanan Demak tahun
1518-1530 M. Beliau mampu menjadi penengah dan memberikan solusi terbaik yang bisa
diterima oleh berbagai pihak dan membuatnya sangat dihormati di berbagai kalangan.

Selain itu, keteladanan sifat Sunan Muria juga bisa tergambar dengan caranya yang lebih
memilih untuk berbaur dengan rakyat kecil dan meninggalkan keramaian di dalam kerajaan
Demak. Sikap yang demikian patut dicontoh dalam kehidupan bermasyarakat. Yang mana dalam
memsosialisasikan kebijakan umum maka pemerintah sudah selayaknya bisa menjangkau
seluruh elemen masyarakat dan tidak berhenti pada orang-orang tertentu saja.

LETAK PEMAKAMAN

Makam Sunan Muria terletak di puncak gunung Muria, sebelah utara kota Kudus. Untuk
mencapai makam maka Anda perlu menaiki sekitar 700 tangga dari pintu gerbang. Letak makam
Sunan Muria berada persis di belakang masjid Sunan Muria. Yang membedakannya dari makam
wali lainnya, yaitu letak makam beliau yang menyendiri dan berada jauh dari para punggawanya,
sama seperti sifatnya yang suka menyendiri.
SUNAN DRAJAT

Biografi

Nama Asli : Raden Qosim

Nama Lain : Raden Syarifuddin

Sunan Mayang Madu

Sunan Mahmud

Sunan Muryapada

Maulana Hasyim

Syekh Masakeh

Raden Imam

Nama Ibu : Nyai Ageng Manila

Nama Ayah : Raden Rahmat (Sunan Ampel)

Lahir : Surabaya, 1470 Masehi

Istri : Sufiyah (putri Sunan Gunung Jati)

Kemuning (ketika menetap di Drajat)

Renayu Candra Sekar (putri Adipati Kediri)

Tahun Wafat : 1530 Masehi

Tempat Syiar : Desa Drajat, Lamongan


Tempat Makam : Paciran, Lamongan

Perjalanan Dakwah Sunan Drajat

Sunan Drajat mengenyam pendidikan pesantren Ampel Denta di Surabaya bersama-sama


dengan kakaknya sunan Bonang, kerabatnya sunan Giri. Pesantren di Ampel Denta yang waktu
itu berada di bawah pimpinan Sunan Ampel, ayahnya sendiri. Beliau mendapatkan perintah
untuk menyebarkan agama Islam di wilayah barat Surabaya, terutama berada di pesisir Gresik.
Tetapi selama perjalannya menyebrangi lautan, Sunan Drajat mengalami musibah yang tak
terduga. Perahu yang ditumpanginya terhantam badai ombak raksasa yang menyebabkannya
tenggelam. dan akhirnya beliau terdampar di desa yang berada di pesisir Lamongan.

Saat berada di desa tersebut, Beliau mendapatkan sambutan hangat tak terduga dari tokoh
tetua kampung yang bernama Mbah Mayang Madu serta Mbah Banjar. Mereka sebelumnya telah
diyakini memeluk agama Islam karena adanya bantuan dari beberapa pendakwah lain di
Surabaya. Akhirnya Sunan Drajat memutuskan untuk menetap di Desa Jelak dengan menikahi
Nyai Kemuning, yakni putri dari Mbah Mayang Madu.

Beliau mendirikan sebuah surau kecil yang kemudian berkembang menjadi pesantren
sebagai tempat para penduduk mengaji. Desa Jelak yang semula terpencil mulai dikembangkan
semakin maju dan juga ramai, nama desa pun akhirnya diubah menjadi Banjaranyar.

Setelah merasa bahwa dakwahnya di Desa Jelak berhasil, Sunan Drajat memutuskan
untuk berkelana mencari tujuan dakwah di tempat lain. Beliau melakukan perjalanan dengan
jarak 1 kilometer dari desa ke arah selatan. Di situ terdapat hutan belantara sehingga Sunan
Drajat melakukan babad alas untuk pertama kalinya. Sebelumnya, beliau meminta izin terlebih
dahulu kepada Sultan Demak 1 untuk memperoleh penetapan tanah di tahun 1486 M.

Sunan Drajat beserta para pengikutnya mulai membangun pemukiman di lahan yang baru
dibuka dengan luas sekitar 9 hektar.

Sebelumnya beliau memperoleh sebuah mimpi berupa petunjuk untuk memanfaatkan


lahan di sisi selatan perbukitan. Wilayah tersebut diberi nama Ndalem Duwur yang kini
berfungsi sebagai kompleks pemakaman.

Beliau juga mendirikan sebuah masjid untuk dijadikan sebagai tempat dakwah sepanjang
hidupnya. Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara
bijak, tanpa memaksa.

Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian
secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di
pesantren. Selanjutnya, ketiga, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang
pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual
adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah:

Paring teken marang kang kalunyon lan wuta;

paring pangan marang kang kaliren;

paring sandang marang kang kawudan;

paring payung kang kodanan.

Artinya:

Berikan tongkat kepada orang buta;

berikan makan kepada yang kelaparan;

Berikan pakaian kepada yang telanjang;

Dan berikan payung kepada yang kehujanan.

Anda mungkin juga menyukai