Anda di halaman 1dari 8

Wali Sanga (bahasa Jawa: ꦮꦭꦶꦱꦔ; Wali Sɔngɔ, "Sembilan Wali" (orang yang dipercaya))

adalah tokoh Islam yang dihormati di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, karena peran
historis mereka dalam penyebaran agama Islam di Indonesia.
Setiap anggota Wali Sanga saling dikaitkan dengan gelar Sunan dalam bahasa Jawa, konteks
ini berarti "terhormat".[1]
Sebagian besar wali juga dijuluki Raden selama hidup mereka, karena mereka keturunan
ningrat. (Lihat bagian "Gaya dan Gelar" Kesultanan Yogyakarta untuk penjelasan tentang
istilah bangsawan Jawa.)
Makam (pundhen) para wali dihormati oleh masyarakat Jawa sebagai lokasi ziarah di Jawa
sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih atas manfaat dan syafaat yang mereka amalkan
pada masa hidupnya.[2] Dalam tradisi Jawa makam memiliki istilah pundhen.
Nama para Wali Sanga
Ada beberapa pendapat mengenai arti Wali Sanga. Pertama adalah wali yang sembilan, yang
menandakan jumlah wali yang berjumlah sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat
lain menyebutkan bahwa kata Sanga / sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab
berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang
berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Wali Sanga adalah sebuah majelis dakwah yang
pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi
(808 Hijriah).[3] Para Wali Sanga adalah pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh
mereka dapat ditemui dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa,
mulai dari kesehatan, bercocok tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan,
hingga pemerintahan.
Konsep Wali Sanga atau Wali Sembilan dalam kosmologi Islam, sumber utamanya dapat
dilacak pada konsep kewalian yang secara umum oleh kalangan penganut sufisme diyakini
meliputi sembilan tingkat kewalian. Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Araby atau Ibnu Arabi
dalam kitab Futuhat al-Makkiyah memaparkan tentang sembilan tingkat kewalian dengan
tugas masing-masing sesuai kewilayahan. Kesembilan tingkat kewalian itu:
1) Wali Aqthab atau Wali Quthub, yaitu pemimpin dan penguasa para wali di seluruh alam
semesta.
2) Wali Aimmah, yaitu pembantu Wali Aqthab dan menggantikan kedudukannya jika wafat.
3) Wali Autad, yaitu wali penjaga empat penjuru mata angin.
4) Wali Abdal, yaitu wali penjaga tujuh musim.
5) Wali Nuqaba, yaitu wali penjaga hukum syariat.
6) Wali Nujaba, yang setiap masa berjumlah delapan orang.
7) Wali Hawariyyun, yaitu wali pembela kebenaran agama, baik pembelaan dalam bentuk
argumentasi maupun senjata.
8) Wali Rajabiyyun, yaitu wali yang karomahnya muncul setiap bulan Rajab.
9) Wali Khatam, yaitu wali yang menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan umat Islam.[4]
ARTI WALI SONGO
Nama para Wali Sanga tersebut yaitu:
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
Sunan Ampel atau Raden Rahmat
Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
Sunan Drajat atau Raden Qasim Syarifuddin
Sunan Kudus atau Raden Ja'far Shadiq
Sunan Giri atau Raden Paku atau Muhammad 'Ainul Yaqin atau Prabu Satmata
Sunan Kalijaga atau Raden Syahid
Sunan Muria atau Raden Umar Said
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Artikel utama: Sunan Gresik
Makam Maulana Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur
Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan
Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Sanga. Nasab As-Sayyid
Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid
Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam
Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu
tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-
Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-
Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid
Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-
Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-
Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-
Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin
Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi
Muhammad Rasulullah
Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad
Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang
Jawa terhadap As-Samarqandy.[5] Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek
Bantal.

Maulana Malik Ibrahim memiliki 3 istri bernama:


1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1),
memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah
2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul
Ghafur, dan Ahmad
3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu:
Abbas dan Yusuf.
Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal
Ali Murtadha [Sunan Santri/Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman
(Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji
(Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam
di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat
kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan
di akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah
dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di
Leran, Gresik. Ia juga membangun masjid sebagai tempat peribadatan Islam pertama di tanah
Jawa, yang sampai sekarang masjid tersebut menjadi Masjid Jami' Gresik. Pada tahun 1419,
Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel (Raden Rahmat)


Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad, menurut
riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang
bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa terakhir dari Dinasti Ming. Nasab
lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin
Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid
Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib
Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid
Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid
Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-
Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra
binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh
para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel, Surabaya, dan merupakan salah satu
pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang
bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga
dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi
Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang, Siti
Syari’ah, Sunan Derajat, Sunan Sedayu, Siti Muthmainnah, dan Siti Hafsah. Pernikahan
Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah,
Asyiqah, Raden Husamuddin (Sunan Lamongan), Raden Zainal Abidin (Sunan Demak),
Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2). Makam Sunan Ampel teletak di dekat
Masjid Ampel, Surabaya.
Kedatangan Sunan Ampel ke Majapahit diperkirakan terjadi awal dasawarsa keempat abad
ke-15, yakni saat Arya Damar sudah menjadi Adipati Palembang sebagaimana riwayat yang
menyatakan bahwa sebelum ke Jawa, Raden Rahmat telah singgah ke Palembang. Menurut
Thomas W. Arnold dalam The Preaching of Islam (1977), Raden Rahmat sewaktu di
Palembang menjadi tamu Arya Damar selama dua bulan, dan dia berusaha memperkenalkan
Islam kepada raja muda Palembang itu. Arya Damar yang sudah tertarik kepada Islam itu
hampir saja diikrarkan menjadi Islam. Namun, karena tidak berani menanggung risiko
menghadapi tindakan rakyatnya yang masih terikat pada kepercayaan lama, ia tidak
mengatakan keislamannya di hadapan umum. Menurut cerita setempat, setelah memeluk
Islam, Arya Damar memakai nama Ario Abdillah.
Keterangan dari Hikayat Hasanuddin yang dikupas oleh J. Edel (1938) menjelaskan bahwa
pada waktu Kerajaan Champa ditaklukkan oleh Raja Koci, Raden Rahmat sudah bermukim
di Jawa. Itu berarti Raden Rahmat ketika datang ke Jawa sebelum tahun 1446 M, yakni pada
tahun jatuhnya Champa akibat serbuan Vietnam. Hal itu sejalan dengan sumber dari Serat
Walisana yang menyatakan bahwa Prabu Brawijaya, Raja Majapahit mencegah Raden
Rahmat kembali ke Champa karena Champa sudah rusak akibat kalah
perang dengan Kerajaan Koci. Penempatan Raden Rahmat di Surabaya dan saudaranya di
Gresik, tampaknya memiliki kaitan erat dengan suasana politik di Champa, sehingga dua
bersaudara tersebut ditempatkan di Surabaya dan Gresik, kemudian dinikahkan dengan
perempuan setempat.[6]

Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)


Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban
bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik
penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan
tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan
Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan
namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het
Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan
Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada
tahun 1525. Ia dimakamkan di daerah Tuban, Jawa Timur.

Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad. Nama asli dari Sunan Drajat adalah masih munat. Nama sewaktu masih kecil
adalah Raden Qasim. Sunan drajat terkenal juga dengan kegiatan sosialnya. Dialah wali yang
memelopori penyatuan anak-anak yatim dan orang sakit. Ia adalah putra Sunan Ampel
dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak
berdakwah kepada masyarakat umum. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan
peningkatan kemakmuran masyarakat sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren
Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat,
Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya.
Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Museum Daerah Sunan Drajat,
Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat pada 1522.

Sunan Kudus (Ja'far shodiq)


Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil
atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan
Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan
Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-
Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil
Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin
Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin
Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain binti Sayyidah
Fathimah Az-Zahra bin Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus
memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima
perang, penasihat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak
berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi
muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang
Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Masjid Menara Kudus, yang
arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada
tahun 1550.

Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan
Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya
berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke
Kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang
menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima, Nusa Tenggara Barat. Makam
Sunan Giri terletak di Desa Giri, Kabupaten Gresik.

Sunan Muria (Raden Umar Said)


Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan
Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah
dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan
Kudus.

Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden
Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang.
Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah,
antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk lir-Ilir dan Gundul-
Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan
Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga
Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.
Tokoh pendahulu Wali Sanga
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Lukisan Sunan Gunung Jati
Gapura Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra
Ali Nurul Alam Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton
Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung
Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya
kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga
berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten.

Syekh Jumadil Qubro


Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra / Husain Jamaluddin al akbar
bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin
Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far
Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain binti Sayyidah
Fathimah Az-Zahra bin Nabi Muhammad Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra
Husain Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II/
Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat
sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa.

Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di Desa Turgo
(dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan
kuburnya.[7]

Syekh Datuk Kahfi


Syekh Datuk Kahfi merupakan guru dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Rara Santang
(Syarifah Muda'im), yaitu putera dan puteri dari Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), raja
Kerajaan Pajajaran, Jawa Barat. Syekh Datuk Kahfi wafat dan dimakamkan di Gunung Jati,
bersamaan dengan makam Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Pangeran Pasarean, dan
raja-raja Kesultanan Cirebon lainnya.

Syekh Nurjati adalah tokoh utama penyebar agama Islam yang pertama di Cirebon. Tokoh
yang lain adalah Maulana Magribi, Pangeran Makhdum, Maulana Pangeran Panjunan,
Maulana Pangeran Kejaksan, Maulana Syekh Bantah, Syekh Majagung, Maulana Syekh
Lemah Abang, Mbah Kuwu Cirebon (Pangeran Cakrabuana), dan Syarif Hidayatullah. Pada
suatu ketika mereka berkumpul di Pasanggrahan Amparan Jati, di bawah pimpinan Syekh
Nurjati. Mereka semua muri-murid Syekh Nurjati. Dalam sidang tersebut Syekh Nurjati
berfatwa kepada murid-muidnya:

“Wahai murid-murid ku, sesungguhnya masih ada suatu rencana yang sesegera mungkin kita
laksanakan, ialah mewujudkan atau membentuk masyarakat Islamiyah. Bagaimana pendapat
para murid semuanya dan bagaimana pula caranya kita membentuk masyarakat islamiyah
itu?”.

Para murid dalam sidang mufakat atas rencana baik tersebut. Syarif Hidayatullah berpendapat
bahwa untuk membentuk masyarakat islam sebaiknya diadakan usaha memperbanyak tabligh
di pelosok dengan cara yang baik dan teratur. Pendapat ini mendapat dukungan penuh dari
sidang, dan disepakati segera dilaksanakan. Sidang inilah yang menjadi dasar dibentuknya
organisasi dakwah dewan Wali Sanga.
Teori keturunan Hadramaut
Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Wali Sanga adalah keturunan Samarkand
(Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih
merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang
sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh
Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa
Wali Sanga adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884–
1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886)[8]
mengatakan:
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang
Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di
Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang
bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu.
Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam
(Nabi Muhammad SAW).”
van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu
sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan
penduduk, dan sebagian mereka mempunyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan
pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan
Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka
berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt
(Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh
peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik
kedatangan atau kelahiran sebagian besar Wali Sanga di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh
lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu
kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri,
Syihab, Syahab, dan banyak marga Hadramaut lainnya.
Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti
mayoritas di Sri Lanka, pesisir barat India (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia.
Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India
pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul
Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa
Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat,
Malabar, Sri Lanka, Sulu & Mindanao (FIlipina), Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i
Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar,
isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut
mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut karena Hadramaut adalah sumber
pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf
dan pengutamaan Ahlul Bait.
Pada abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Wali Sanga seperti Raden Patah dan
Asal usul Wali Sanga
Teori keturunan Cina (Hui)
Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu
Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Wali Sanga adalah keturunan Tionghoa Muslim.[9]
Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Wali Sanga
adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku
tersebut.[butuh rujukan]
dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan
gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-
14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin
Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar Hadramaut abad ke-13.
Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok
Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama
Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Wali Sanga berasal dari atau keturunan
Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud
hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk
kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang
yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa
diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan
dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang
banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah
sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan
banyak dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul
Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell
Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada
dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya
yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan.[10]
1.Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Wali Sanga, antara lain Serat
Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Wali Sanga karya Sunan Dalem
(Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak
dalam Babad Tanah Jawi.
2.Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962)
juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh
(Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan di antaranya dari Haji `Ali bin
Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi
sangking Hadramaut.
3.Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh
Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah
oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan
Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
Sumber tertulis tentang Wali Sanga
1.Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Wali Sanga, antara lain Serat
Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Wali Sanga karya Sunan Dalem
(Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak
dalam Babad Tanah Jawi.
2.Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962)
juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh
(Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan di antaranya dari Haji `Ali bin
Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi
sangking Hadramaut.
3.Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh
Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah
oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan
Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.

Anda mungkin juga menyukai