Anda di halaman 1dari 14

Syekh Abdurrauf Singkil (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M)

adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam
penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga
terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).

Masa muda
Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili.[1]
Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan
menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar
pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh.
Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada
berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.

Tarekat Syattariyah
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas,[2] syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-
Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia
menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga
dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Quran bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi
berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun
1884.[3]

Dakwah dan karya


Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta
mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak
dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal
ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi
Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).

Azyumardi Azra menyatakan[4] bahwa banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat
dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:

1. Mir'at al-Thullab f Tasyil Mawa'iz al-Bad'rifat al-Ahkm al-Syar'iyyah li Malik al-


Wahhab, karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah
Safiyatuddin.
2. Tarjuman al-Mustafid, merupakan naskah pertama Tafsir Al Quran yang lengkap
berbahasa Melayu.
3. Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi, ditulis atas permintaan Sultanah
Zakiyyatuddin.
4. Mawa'iz al-Bad', berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan akhlak.
5. Tanbih al-Masyi, merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat
tujuh.
6. Kifayat al-Muhtajin il Masyrah al-Muwahhidin al-Qilin bi Wahdatil Wujud, memuat
penjelasan tentang konsep wahdatul wujud.
7. Daqiq al-Hurf, pengajaran mengenai tasawuf dan teologi.

Wafat
Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia dimakamkan
di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar
15 Km dari Banda Aceh.

Walisongo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Lompat ke: navigasi, cari
Untuk sinetron yang ditayangkan RCTI, lihat Wali Songo (sinetron).

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke
14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-
Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa
Barat.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk
digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia,
khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang
sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak
disebut

Arti Walisongo
Masjid Agung Demak, diyakini sebagai salah satu tempat berkumpulnya para wali yang paling
awal.

Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang
menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain
menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti
mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama
kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808
Hijriah).[1] Para Walisongo adalah pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka
terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari
kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke
pemerintahan.

Nama para Walisongo


Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat 9 nama yang dikenal sebagai
anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:

Sunan Gresik atau Sunan Drajat atau Sunan Kalijaga atau


Maulana Malik Ibrahim Raden Qasim Raden Sahid
Sunan Ampel atau Sunan Kudus atau Sunan Muria atau
Raden Rahmat Ja'far Shadiq Raden Umar Said

Sunan Bonang atau Sunan Giri atau Raden Sunan Gunung Jati
Raden Makhdum Paku atau Ainul Yaqin atau Syarif Hidayatullah
Ibrahim

Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Gresik


Makam Maulana Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur

Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan
Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Nasab As-Sayyid
Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid
Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam
Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu
tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid
Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid
Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib
Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-
Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-
Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Jafar Shadiq bin Al-Imam
Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah
Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah

Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah
Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa
terhadap As-Samarqandy.[2] Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.

Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama:

1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1),
memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah

2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur,
dan Ahmad

3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas
dan Yusuf.

Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali
Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan
Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan
Ngudung) berputera Sayyid Jafar Shadiq [Sunan Kudus].

Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di
Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan,
yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim
berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia
membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Ia juga membangun masjid
sebagai tempat peribadatan pertama di tanah Jawa, yang sampai sekarang masjid tersebut
menjadi masjid Jami' Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa
Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel (Raden Rahmat)

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Ampel

Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-19 dari Nabi Muhammad, menurut
riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama
Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab lengkapnya sebagai
berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain
bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali Qasam
bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid
Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam
Jafar Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain
bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sunan Ampel umumnya
dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta,
Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah
dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya
Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan
Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan
Bonang,Siti Syariah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah.
Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi
Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan
Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2. Makam Sunan Ampel teletak di
dekat Masjid Ampel, Surabaya.

Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Bonang

Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban
bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk
Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang
Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah
dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas
Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku
Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja
mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525. Ia dimakamkan di
daerah Tuban, Jawa Timur.
Sunan Drajat

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Drajat

Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad.
Nama asli dari sunan drajat adalah masih munat. masih munat nantinya terkenal dengan nama
sunan drajat. Nama sewaktu masih kecil adalah Raden Qasim. Sunan drajat terkenal juga dengan
kegiatan sosialnya. Dialah wali yang memelopori penyatuan anak-anak yatim dan orang sakit. Ia
adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja.
Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan
kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari
agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan,
bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur
disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium
Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat pada 1522.

Sunan Kudus

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau
Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel.
Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung
bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad
Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad
Shahib Mirbath bin Ali Khali Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin
Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Jafar Shadiq bin Muhammad
Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi
Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam
pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasihat Sultan Demak,
Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa
dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa
Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal
ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan
Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

Sunan Giri

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Giri

Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang.
Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai
pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku.
Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam
ke wilayah Lombok dan Bima.

Sunan Kalijaga

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden
Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan
Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain
kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul
umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan
menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh
Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.

Sunan Muria (Raden Umar Said)

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Muria

Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan
Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah
dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan
Kudus.

Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Gunung Jati

Lukisan Sunan Gunung Jati


Gapura Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali
Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton
Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati
mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya
kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga
berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga
kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.

Tokoh pendahulu Walisongo


Syekh Jumadil Qubro[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Syekh Jumadil Qubro

Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra / Husain Jamaluddin al akbar bin
Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin
Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Jafar Shadiq
bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra
binti Nabi Muhammad Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain Jamaluddin dari
isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini
sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor
penyebaran Islam di tanah Jawa.

Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat
Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya. [3]
[4]

Asal usul Walisongo


Teori keturunan Hadramaut

Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia
Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih
merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang
sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh
Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa
Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):

L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada
1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien
(1886)[5] mengatakan:
Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-
orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja
Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain
Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan
pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan
dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).
van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):

Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya,
yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul
dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat
dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu
di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena
sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-
orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru
yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik
kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh
lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu
kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al
Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafii, sama
seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan
Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah,
Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan
Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat
Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut,
Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab
fiqh Syafii Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary
dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum
Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena
Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i
dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
Pada abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah
dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga
merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat
pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin
Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar
Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang
berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-
cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali
Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

Teori keturunan Cina (Hui)


Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu
Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Muslim.[6]
Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo
adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku
tersebut.[butuh rujukan]

Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan
Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud
hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk
kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang
yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa
diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan
dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak
mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun
menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan
referensi.

Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese
Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana,
ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama
lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam
tulisan Parlindungan [7].

Muhammad Arsyad al-Banjari


Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (lahir di Lok Gabang, 17 Maret 1710 meninggal di
Dalam Pagar, 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun)[4] adalah ulama fiqih mazhab Syafi'i yang
berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan. Dia hidup
pada masa tahun 1122-1227 hijriyah. Dia mendapat julukan anumerta Datu Kelampaian.

Dia adalah pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan bagi banyak
pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.[5]

Daftar isi
Silsilah keturunan
Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, antara lain Mufti Kerajaan
Indragiri Abdurrahman Siddiq,[6] berpendapat bahwa ia adalah keturunan Alawiyyin melalui jalur
Sultan Abdurrasyid Mindanao.[7]

Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Tuan Penghulu
Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad
Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk
seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin
Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al
Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul
Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shamaah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin
Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al
Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Jafar As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam
Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Muminin Ali Karamallah
wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.[6][8][9]

Riwayat
Masa kecil

Sejak dilahirkan, Muhammad Arsyad melewatkan masa kecil di desa kelahirannya Lok Gabang,
Martapura. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Muhammad Arsyad bergaul dan bermain
dengan teman-temannya. Namun pada diri Muhammad Arsyad sudah terlihat kecerdasannya
melebihi dari teman-temannya. Begitu pula akhlak budi pekertinya yang halus dan sangat
menyukai keindahan. Di antara kepandaiannya adalah seni melukis dan seni tulis. Sehingga siapa
saja yang melihat hasil lukisannya akan kagum dan terpukau. Pada saat Sultan Tahlilullah sedang
bekunjung ke kampung Lok Gabang, sultan melihat hasil lukisan Muhammad Arsyad yang
masih berumur 7 tahun. Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta pada orang tuanya
agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama dengan anak-anak dan cucu
Sultan. Di istana, Muhammad Arsyad tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia, ramah,
penurut, dan hormat kepada yang lebih tua. Seluruh penghuni istana menyayanginya dengan
kasih sayang. Sultan sangat memperhatikan pendidikan Muhammad Arsyad, karena sultan
mengharapkan Muhammad Arsyad kelak menjadi pemimpin yang alim.

Menikah dan menuntut ilmu di Mekkah

Ia mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian ia


dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut.[10]

Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu
keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat
hatinya kepada sang istri tercinta.

Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya
isterinya mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka,
setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan
cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.

Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Di
antara guru dia adalah Syekh Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin
Sulaiman al-Kurdi dan al-Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani
al-Madani.
Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di
bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat
ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.

Selain itu guru-guru Muhammad Arsyad yang lain seperti Syekh Ahmad bin Abdul Mun'im ad
Damanhuri, Syekh Muhammad Murtadha bin Muhammad az Zabidi, Syekh Hasan bin Ahmad al
Yamani, Syekh Salm bin Abdullah al Basri, Syekh Shiddiq bin Umar Khan, Syekh Abdullah bin
Hijazi asy Syarqawy, Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz al Maghrabi, Syekh Abdurrahamn bin
Sulaiman al Ahdal, Syekh Abdurrahman bin Abdul Mubin al Fathani, Syekh Abdul Gani bin
Muhammad Hilal, Syekh Abis as Sandi, Syekh Abdul Wahab at Thantawy, Syekh Abdullah
Mirghani, Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari, dan Syekh Muhammad Zain bin Faqih
Jalaludin Aceh.

Selama menuntut ilmu di sana, Syekh Muhammad Arsyad menjalin persahabatan dengan sesama
penuntut ilmu seperti Syekh Abdussamad al-Falimbani, Syekh Abdurrahman Misri al-Jawi, dan
Syekh Abdul Wahab Bugis sehingga mereka dikenal sebagai Empat Serangkai dari Tanah Jawi
(Melayu).[11]

Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu di Maekkah dan Madinah, timbulah niat untuk
menuntut ilmu ke Mesir. Ketika niat ini disampaikan dengan guru mereka, Syekh menyarankan
agar keempat muridnya ini untuk pulang ke Jawi (Indonesia) untuk berdakwah di negerinya
masing-masing.

Menikahkan anak

Sebelum pulang, keempat sahabat sepakat untuk berhaji kembali di Tanah Suci Mekkah. Pada
saat itu tanpa disangka-sangka Syekh Muhammad Arsyad bertemu dengan adik kandung dia
yaitu Zainal Abidin bin Abdullah yang sedang menunaikan ibadah haji. Sang adik membawa
kabar berita bahwa anak dia yaitu Fatimah sudah beranjak dewasa dan sang anak menitipkan
cincin kepada dia. Melihat hal demikian, tiga sahabat Syekh Muhammad Arsyad masing-masing
mengajukan lamaran untuk memperisteri anak dia. Setelah berpikir lama, Syekh Muhammad
Arsyad memeutuskan untuk mengundi, lamaran yang akan diterima. Hasil pengundian ternyata
lamaran Syekh Abdul Wahab Bugis yang diterima.

Untuk itu diadakahnlah ijab kabul pernikahan antara Syekh Abdul Wahab Bugis dengan Fatimah
binti Syekh Muhammad Arsyad, yang dinikahkan langsung oleh Syekh Muhammad Arsyad
sambil disaksikan dua sahabat lainnya.

Membetulkan arah kiblat masjid

Maka bertolaklah keempat putra Nusantara ini menuju kampung halaman. Memasuki wilayah
Nusantara, mula-mula mereka singgah di Sumatera yaitu di Palembang, kampung halaman
Syekh Abdussamad Al Falimbani. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Betawi, yaitu
kampung halaman Syekh Abdurrahman Misri. Selama di Betawi, Syekh Muhammad Arsyad
diminta menetap sebentar untuk mengajarkan ilmu agama dengan masyarakat Betawi. Salah satu
peristiwa penting selama di Betawi adalah ketika Syekh Muhammad Arsyad membetulkan arah
kiblat Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan. Untuk mengenang
peristiwa tersebut, masyarakat sekitar Masjid Jembatan Lima menuliskan di atas batu dalam
aksara arab melayu (tulisan jawi) yang bertuliskan bahwa kiblat masjid ini telah diputar ke kanan
sekitar 25 derajat oleh Muhammad Arsyad Al-Banjari pada tanggal 4 Safar 1186 H.

Seelah dirasa cukup, maka Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdul Wahab Bugis berlayar
menuju kampung halaman ke Martapura, Banjar.

Tiba di kampung halaman

Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung
halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa itu.

Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan
digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan
Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat
menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.

Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan dia dengan upacara adat kebesaran. Segenap
rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya
diharapkan menyinari seluruh Kesultanan Banjar. Aktivitas dia sepulangnya dari Tanah Suci
dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga,
kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang
muridnya sehingga jadilah dia raja yang alim lagi wara[12]. Selama hidupnya ia memiliki 29
anak dari tujuh isterinya.[13]

Hubungan dengan Kesultanan Banjar


Pada waktu ia berumur sekitar 30 tahun, Sultan mengabulkan keinginannya untuk belajar ke
Mekkah demi memperdalam ilmunya. Segala perbelanjaanya ditanggung oleh Sultan. Lebih dari
30 tahun kemudian, yaitu setelah gurunya menyatakan telah cukup bekal ilmunya, barulah Syekh
Muhammad Arsyad kembali pulang ke Banjarmasin. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah seorang
yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah
II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah.

Sultan Tahmidullah II yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh
perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan inilah
yang meminta kepada Syekh Muhammad Arsyad agar menulis sebuah Kitab Hukum Ibadat
(Hukum Fiqh), yang kelak kemudian dikenal dengan nama Kitab Sabilal Muhtadin.

Karya-karyanya
Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau
selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam
terjemahan bebas adalah "Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami
urusan-urusan agama". Syekh Muhammad Arsyad telah menulis untuk keperluan pengajaran
serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, di antaranya ialah:[14]

Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Duapuluh,


Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan
yang sesat,
Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
Kitabul Fara-idl, hukum pembagian warisan.

Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh
murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang
syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, dan untuk mana
biasa disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan
pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.

Anda mungkin juga menyukai