Anda di halaman 1dari 53

Wali Sanga

Pendakwah Islam di Nusantara pada


Abad 15 dan 16

Wali Songo (lebih dikenal sebagai Wali


Songo, Jawa: ꦮꦭꦶꦱꦔ; Wali Songo,
"Sembilan Wali" (orang yang dipercaya))
adalah tokoh Islam yang dihormati di
Indonesia, khususnya di pulau Jawa,
karena peran historis mereka dalam
penyebaran agama Islam di Indonesia.

Pembentukan Majelis Dakwah Walisongo


di perkirakan terjadi antara tahun 1250
-1404 oleh Sultan-Sultan yang berkuasa
dalam penyebaran agama Islam di suatu
negara ke negara lain, biasanya terdiri
dari 9 Anggota Majelis Dakwah
Walisongo segera bergerak ke wilayah
India, asia tenggara seperti Vietnam,
Malaysia & Indonesia. Berita ini tertulis
dalam kitab kanzul'Hum dari ibnu
bathutah, lalu dilanjutkan oleh Sunan
Gresik & sekarang tersimpan dalam
museum Istana Turki Istanbul

Perjalanan Periode Selanjutnya untuk


berdakwah di pulau Jawa pada tahun
1404 dipimpin oleh Sunan Gresik sebagai
Misionaris utusan Kesultanan
Utsmaniyah dari Istambul Turki tentu
membawa misi dalam penyebaran
agama islam & mencari simpati juga
dukungan atas peperangan saudara yang
terjadi di negaranya dengan mendatangi
wilayah Kerajaan Majapahit kala itu
rajanya Baginda Prabu
Wikramawardhana sebagai kekuatan
terbesar di Asia tenggara pada
jamannya.[referensi?]

Setiap anggota Wali Sanga saling


dikaitkan dengan gelar Sunan dalam
bahasa Jawa, konteks ini berarti
"terhormat".[1]

Sebagian besar wali juga dijuluki Raden


selama hidup mereka, karena mereka
keturunan ningrat. (Lihat bagian "Gaya
dan Gelar" Kesultanan Yogyakarta untuk
penjelasan tentang istilah bangsawan
Jawa.)

Makam (pundhen) para wali dihormati


oleh masyarakat Jawa sebagai lokasi
ziarah di Jawa sebagai bentuk rasa
syukur dan terima kasih atas manfaat
dan syafaat yang mereka amalkan pada
masa hidupnya.[2] Dalam tradisi Jawa
makam memiliki istilah pundhen.

Arti Wali Sanga

Masjid Agung Demak, diyakini sebagai salah satu


tempat berkumpulnya para wali yang paling awal.
Ada beberapa pendapat mengenai arti
Wali Sanga. Pertama adalah wali yang
sembilan, yang menandakan jumlah wali
yang berjumlah sembilan, atau sanga
dalam bahasa Jawa. Pendapat lain
menyebutkan bahwa kata Sanga / sanga
berasal dari kata tsana yang dalam
bahasa Arab berarti mulia. Pendapat
lainnya lagi menyebut kata sana berasal
dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa


Wali Sanga adalah sebuah majelis
dakwah yang pertama kali didirikan oleh
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah).[3]
Para Wali Sanga adalah pembaharu
masyarakat pada masanya. Pengaruh
mereka dapat ditemui dalam beragam
bentuk manifestasi peradaban baru
masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan,
bercocok tanam, perniagaan,
kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan,
hingga pemerintahan.

Konsep Wali Sanga atau Wali Sembilan


dalam kosmologi Islam, sumber
utamanya dapat dilacak pada konsep
kewalian yang secara umum oleh
kalangan penganut sufisme diyakini
meliputi sembilan tingkat kewalian.
Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Araby
atau Ibnu Arabi dalam kitab Futuhat al-
Makkiyah memaparkan tentang sembilan
tingkat kewalian dengan tugas masing-
masing sesuai kewilayahan. Kesembilan
tingkat kewalian itu:

1) Wali Aqthab atau Wali Quthub, yaitu


pemimpin dan penguasa para wali di
seluruh alam semesta.
2) Wali Aimmah, yaitu pembantu Wali
Aqthab dan menggantikan kedudukannya
jika wafat.
3) Wali Autad, yaitu wali penjaga empat
penjuru mata angin.
4) Wali Abdal, yaitu wali penjaga tujuh
musim.
5) Wali Nuqaba, yaitu wali penjaga
hukum syariat.
6) Wali Nujaba, yang setiap masa
berjumlah delapan orang.
7) Wali Hawariyyun, yaitu wali pembela
kebenaran agama, baik pembelaan
dalam bentuk argumentasi maupun
senjata.
8) Wali Rajabiyyun, yaitu wali yang
karomahnya muncul setiap bulan Rajab.
9) Wali Khatam, yaitu wali yang
menguasai dan mengurus wilayah
kekuasaan umat Islam.[4]

Nama para Wali Sanga


Nama para Wali Sanga tersebut yaitu:
Sunan Gresik atau Maulana Malik
Ibrahim

Sunan Ampel atau Raden Rahmat

Sunan Bonang atau Raden Makhdum


Ibrahim

Sunan Drajat atau Raden Qasim


Syarifuddin

Sunan Kudus atau Raden Ja'far Shadiq

Sunan Giri atau Joko Samudro atau


Raden Paku atau Muhammad 'Ainul
Yaqin atau Prabu Satmata

Sunan Kalijaga atau Raden Syahid

Sunan Muria atau Raden Umar Said


Sunan Gunung Jati atau Syarif
Hidayatullah

Sunan Gresik (Maulana Malik


Ibrahim)

Makam Maulana Malik Ibrahim,


desa Gapura, Gresik, Jawa Timur

Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan


ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut
juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes,
atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Sanga.
Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia
Tengah, pada paruh awal abad ke-14.
Babad Tanah Jawi versi Meinsma
menyebutnya Asmarakandi, mengikuti
pengucapan lidah orang Jawa terhadap
As-Samarqandy.[5] Dalam cerita rakyat,
ada yang memanggilnya Kakek Bantal.

Maulana Malik Ibrahim memiliki 3 istri


bernama:

1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam


Maulana Israil (Raja Champa) memiliki 2
anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan
Syarifah Sarah

2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir,


memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim,
Abdul Ghafur, dan Ahmad

3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin


Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak
yaitu: Abbas dan Yusuf.

Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana


Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid
Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/Raden
Santri] dan melahirkan dua putera yaitu
Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan
Utsman Haji (Sunan Ngudung).
Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan
Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq
[Sunan Kudus].

Maulana Malik Ibrahim umumnya


dianggap sebagai wali pertama yang
mendakwahkan Islam di Jawa. Ia
mengajarkan cara-cara baru bercocok
tanam dan banyak merangkul rakyat
kebanyakan, yaitu golongan masyarakat
Jawa yang tersisihkan di akhir
kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim
berusaha menarik hati masyarakat, yang
tengah dilanda krisis ekonomi dan
perang saudara. Ia membangun
pondokan tempat belajar agama di Leran,
Gresik. Ia juga membangun masjid
sebagai tempat peribadatan Islam
pertama di tanah Jawa, yang sampai
sekarang masjid tersebut menjadi Masjid
Jami' Gresik. Pada tahun 1419, Malik
Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di
desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel (Raden Rahmat)

Sunan Ampel bernama asli Raden


Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi
Muhammad, menurut riwayat ia adalah
putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan
seorang putri Champa yang bernama
Dewi Condro Wulan binti Raja Champa
terakhir dari Dinasti Ming. Nasab
lengkapnya sebagai berikut: Sunan
Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-
Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain
bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid
Abdullah bin Sayyid Abdul Malik
Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih
bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath
bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid
Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid
Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid
Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin
Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-
Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam
Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal
Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah
Fathimah Az-Zahra binti Nabi
Muhammad Rasulullah. Sunan Ampel
umumnya dianggap sebagai sesepuh
oleh para wali lainnya. Pesantrennya
bertempat di Ampel, Surabaya, dan
merupakan salah satu pusat penyebaran
agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah
dengan Dewi Condrowati yang bergelar
Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban
bernama Arya Teja dan menikah juga
dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang
Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan
Dewi Condrowati alias Nyai Ageng
Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan
Bonang, Siti Syari’ah, Sunan Derajat,
Sunan Sedayu, Siti Muthmainnah, dan Siti
Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel
dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang
Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah,
Asyiqah, Raden Husamuddin (Sunan
Lamongan), Raden Zainal Abidin (Sunan
Demak), Pangeran Tumapel dan Raden
Faqih (Sunan Ampel 2). Makam Sunan
Ampel teletak di dekat Masjid Ampel,
Surabaya.
Kedatangan Sunan Ampel ke Majapahit
diperkirakan terjadi awal dasawarsa
keempat abad ke-15, yakni saat Arya
Damar sudah menjadi Adipati
Palembang sebagaimana riwayat yang
menyatakan bahwa sebelum ke Jawa,
Raden Rahmat telah singgah ke
Palembang. Menurut Thomas W. Arnold
dalam The Preaching of Islam (1977),
Raden Rahmat sewaktu di Palembang
menjadi tamu Arya Damar selama dua
bulan, dan dia berusaha
memperkenalkan Islam kepada raja
muda Palembang itu. Arya Damar yang
sudah tertarik kepada Islam itu hampir
saja diikrarkan menjadi Islam. Namun,
karena tidak berani menanggung risiko
menghadapi tindakan rakyatnya yang
masih terikat pada kepercayaan lama, ia
tidak mengatakan keislamannya di
hadapan umum. Menurut cerita
setempat, setelah memeluk Islam, Arya
Damar memakai nama Ario Abdillah.

Keterangan dari Hikayat Hasanuddin


yang dikupas oleh J. Edel (1938)
menjelaskan bahwa pada waktu Kerajaan
Champa ditaklukkan oleh Raja Koci,
Raden Rahmat sudah bermukim di Jawa.
Itu berarti Raden Rahmat ketika datang
ke Jawa sebelum tahun 1446 M, yakni
pada tahun jatuhnya Champa akibat
serbuan Vietnam. Hal itu sejalan dengan
sumber dari Serat Walisana yang
menyatakan bahwa Prabu Brawijaya,
Raja Majapahit mencegah Raden Rahmat
kembali ke Champa karena Champa
sudah rusak akibat kalah perang dengan
Kerajaan Koci. Penempatan Raden
Rahmat di Surabaya dan saudaranya di
Gresik, tampaknya memiliki kaitan erat
dengan suasana politik di Champa,
sehingga dua bersaudara tersebut
ditempatkan di Surabaya dan Gresik,
kemudian dinikahkan dengan perempuan
setempat.[6]

Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)

Sunan Bonang adalah putra Sunan


Ampel, dan merupakan keturunan ke-23
dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra
Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila,
putri adipati Tuban bernama Arya Teja.
Sunan Bonang banyak berdakwah
melalui kesenian untuk menarik
penduduk Jawa agar memeluk agama
Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah
suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang
masih sering dinyanyikan orang.
Pembaharuannya pada gamelan Jawa
ialah dengan memasukkan rebab dan
bonang, yang sering dihubungkan
dengan namanya. Universitas Leiden
menyimpan sebuah karya sastra bahasa
Jawa bernama Het Boek van Bonang
atau Buku Bonang. Menurut G.W.J.
Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang
namun mungkin saja mengandung
ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan
wafat pada tahun 1525. Ia dimakamkan
di daerah Tuban, Jawa Timur.

Sunan Drajat

Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel,


dan merupakan keturunan ke-23 dari
Nabi Muhammad. Nama asli dari Sunan
Drajat adalah masih munat. Nama
sewaktu masih kecil adalah Raden
Qasim. Sunan drajat terkenal juga
dengan kegiatan sosialnya. Dialah wali
yang memelopori penyatuan anak-anak
yatim dan orang sakit. Ia adalah putra
Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila,
putri adipati Tuban bernama Arya Teja.
Sunan Drajat banyak berdakwah kepada
masyarakat umum. Ia menekankan
kedermawanan, kerja keras, dan
peningkatan kemakmuran masyarakat
sebagai pengamalan dari agama Islam.
Pesantren Sunan Drajat dijalankan
secara mandiri sebagai wilayah perdikan,
bertempat di Desa Drajat, Kecamatan
Paciran, Lamongan. Tembang macapat
Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya.
Gamelan Singomengkok peninggalannya
terdapat di Museum Daerah Sunan
Drajat, Lamongan. Sunan Drajat
diperkirakan wafat pada 1522.
Sunan Kudus (Ja'far shodiq)

Sunan Kudus adalah putra Sunan


Ngudung atau Raden Usman Haji,
dengan Dewi Sari binti Ahmad
Wilwatikta. Sunan Kudus adalah
keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad.
Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin
Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim
Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-
Husain bin Ahmad Jalaluddin bin
Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin
Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib
Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin
Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin
Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad
bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin
Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin
bin Al-Husain binti Sayyidah Fathimah
Az-Zahra bin Nabi Muhammad
Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan
Kudus memiliki peran yang besar dalam
pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu
sebagai panglima perang, penasihat
Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan
hakim peradilan negara. Ia banyak
berdakwah di kalangan kaum penguasa
dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah
menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto
penguasa Demak, dan Arya Penangsang
adipati Jipang Panolan. Salah satu
peninggalannya yang terkenal ialah
Masjid Menara Kudus, yang arsitekturnya
bergaya campuran Hindu dan Islam.
Sunan Kudus diperkirakan wafat pada
tahun 1550.

Sunan Giri

Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq.


Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari
Nabi Muhammad, merupakan murid dari
Sunan Ampel dan saudara seperguruan
dari Sunan Bonang. Ia mendirikan
pemerintahan mandiri di Giri Kedaton,
Gresik; yang selanjutnya berperan
sebagai pusat dakwah Islam di wilayah
Jawa dan Indonesia timur, bahkan
sampai ke Kepulauan Maluku. Salah satu
keturunannya yang terkenal ialah Sunan
Giri Prapen, yang menyebarkan agama
Islam ke wilayah Lombok dan Bima,
Nusa Tenggara Barat. Makam Sunan Giri
terletak di Desa Giri, Kabupaten Gresik.

Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah putra adipati


Tuban yang bernama Tumenggung
Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid
Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia
adalah murid Sunan Bonang. Sunan
Kalijaga menggunakan kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah, antara lain kesenian wayang
kulit dan tembang suluk. Tembang suluk
lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya
dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam
satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan
menikah dengan Dewi Saroh binti
Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah
Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu
Kano Kediri binti Raja Kediri.

Sunan Muria (Raden Umar Said)

Sunan Muria atau Raden Umar Said


adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah
putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya
yang bernama Dewi Sarah binti Maulana
Ishaq. Sunan Muria menikah dengan
Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi
Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan
Kudus.
Sunan Gunung Jati (Syarif
Hidayatullah)

Lukisan Sunan
Gunung Jati

Gapura Makam Sunan Gunung


Jati di Cirebon, Jawa Barat

Sunan Gunung Jati atau Syarif


Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah
Umdatuddin putra Ali Nurul Alam Syekh
Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu,
ia masih keturunan keraton Pajajaran
melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak
dari Sri Baduga Maharaja yan masih
termasuk keturunan nabi muhammad.
Sunan Gunung Jati mengembangkan
Cirebon sebagai pusat dakwah dan
pemerintahannya, yang sesudahnya
kemudian menjadi Kesultanan Cirebon.
Anaknya yang bernama Maulana
Hasanuddin, juga berhasil
mengembangkan kekuasaan dan
menyebarkan agama Islam di Banten.

Tokoh pendahulu Wali


Sanga

Syekh Jumadil Qubro

Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana


Ahmad Jumadil Kubra / Husain
Jamaluddin al akbar bin Ahmad
Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik
Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin
Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’
Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi
bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin
Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin
Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin
Ali Zainal Abidin bin Al-Husain binti
Sayyidah Fathimah Az-Zahra bin Nabi
Muhammad Rasulullah.

Syekh Jumadil Qubro adalah putra


Husain Jamaluddin dari isterinya yang
bernama Puteri Selindung Bulan (Putri
Saadong II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini
sering disebutkan dalam berbagai babad
dan cerita rakyat sebagai salah seorang
pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa.

Ia yang disebut Wali Qutub As-Sayyid


Husain Jamaluddin Seorang Wali Allah
yang menjadi Mufti dan Penasehat
Kekhilafahan Turki Utsmani yang
dipimpin oleh Khalifah Mehmed I.

Makamnya terdapat di beberapa tempat


yaitu di Semarang, Trowulan, atau di
Desa Turgo (dekat Pelawangan),
Yogyakarta. Belum diketahui yang mana
yang betul-betul merupakan kuburnya.[7]

Syekh Datuk Kahfi


Syekh Datuk Kahfi merupakan guru dari
Pangeran Walangsungsang dan Nyai
Rara Santang (Syarifah Muda'im), yaitu
putera dan puteri dari Sri Baduga
Maharaja (Prabu Siliwangi), raja Kerajaan
Pajajaran, Jawa Barat. Syekh Datuk Kahfi
wafat dan dimakamkan di Gunung Jati,
bersamaan dengan makam Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati),
Pangeran Pasarean, dan raja-raja
Kesultanan Cirebon lainnya.

Syekh Nurjati adalah tokoh utama


penyebar agama Islam yang pertama di
Cirebon. Tokoh yang lain adalah Maulana
Magribi, Pangeran Makhdum, Maulana
Pangeran Panjunan, Maulana Pangeran
Kejaksan, Maulana Syekh Bantah, Syekh
Majagung, Maulana Syekh Lemah Abang,
Mbah Kuwu Cirebon (Pangeran
Cakrabuana), dan Syarif Hidayatullah.
Pada suatu ketika mereka berkumpul di
Pasanggrahan Amparan Jati, di bawah
pimpinan Syekh Nurjati. Mereka semua
muri-murid Syekh Nurjati. Dalam sidang
tersebut Syekh Nurjati berfatwa kepada
murid-muidnya:

“Wahai murid-murid ku, sesungguhnya


masih ada suatu rencana yang sesegera
mungkin kita laksanakan, ialah
mewujudkan atau membentuk
masyarakat Islamiyah. Bagaimana
pendapat para murid semuanya dan
bagaimana pula caranya kita membentuk
masyarakat islamiyah itu?”.

Para murid dalam sidang mufakat atas


rencana baik tersebut. Syarif
Hidayatullah berpendapat bahwa untuk
membentuk masyarakat islam sebaiknya
diadakan usaha memperbanyak tabligh
di pelosok dengan cara yang baik dan
teratur. Pendapat ini mendapat dukungan
penuh dari sidang, dan disepakati segera
dilaksanakan. Sidang inilah yang menjadi
dasar dibentuknya organisasi dakwah
dewan Wali Sanga.
Asal usul Wali Sanga

Teori keturunan Hadramaut

Walaupun masih ada pendapat yang


menyebut Wali Sanga adalah keturunan
Samarkand (Asia Tengah), Champa atau
tempat lainnya, namun tampaknya
tempat-tampat tersebut lebih merupakan
jalur penyebaran para mubaligh daripada
merupakan asal-muasal mereka yang
sebagian besar adalah kaum Sayyid atau
Syarif. Beberapa argumentasi yang
diberikan oleh Muhammad Al Baqir,
dalam bukunya Thariqah Menuju
Kebahagiaan, mendukung bahwa Wali
Sanga adalah keturunan Hadramaut
(Yaman):

L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli


hukum Belanda yang mengadakan
riset pada 1884–1886, dalam bukunya
Le Hadhramout et les colonies arabes
dans l'archipel Indien (1886)[8]
mengatakan:

”Adapun hasil nyata dalam penyiaran


agama Islam (ke Indonesia) adalah
dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan
perantaraan mereka agama Islam
tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa
dan lainnya. Selain dari mereka ini,
walaupun ada juga suku-suku lain
Hadramaut (yang bukan golongan
Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak
meninggalkan pengaruh sebesar itu.
Hal ini disebabkan mereka (kaum
Sayyid Syarif) adalah keturunan dari
tokoh pembawa Islam (Nabi
Muhammad SAW).” Van den Berg juga
menulis dalam buku yang sama (hal
192-204): ”Pada abad ke-15, di Jawa
sudah terdapat penduduk bangsa Arab
atau keturunannya, yaitu sesudah
masa kerajaan Majapahit yang kuat itu.
Orang-orang Arab bercampul-gaul
dengan penduduk, dan sebagian
mereka mempunyai jabatan-jabatan
tinggi. Mereka terikat dengan
pergaulan dan kekeluargaan tingkat
atasan. Rupanya pembesar-pembesar
Hindu di kepulauan Hindia telah
terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian
Arab, oleh karena sebagian besar
mereka berketurunan pendiri Islam
(Nabi Muhammad SAW). Orang-orang
Arab Hadramawt (Hadramaut)
membawa kepada orang-orang Hindu
pikiran baru yang diteruskan oleh
peranakan-peranakan Arab, mengikuti
jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van den Berg spesifik
menyebut abad ke-15, yang merupakan
abad spesifik kedatangan atau
kelahiran sebagian besar Wali Sanga di
pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih
awal dari abad ke-18 yang merupakan
saat kedatangan gelombang
berikutnya, yaitu kaum Hadramaut
yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al
Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri,
Syihab, Syahab, dan banyak marga
Hadramaut lainnya.

Hingga saat ini umat Islam di


Hadramaut sebagian besar
bermadzhab Syafi’i, sama seperti
mayoritas di Sri Lanka, pesisir barat
India (Gujarat dan Malabar), Malaysia
dan Indonesia. Bandingkan dengan
umat Islam di Uzbekistan dan seluruh
Asia Tengah, Pakistan dan India
pedalaman (non-pesisir) yang
sebagian besar bermadzhab Hanafi.
Kesamaan dalam pengamalan
madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan
mengutamakan Ahlul Bait; seperti
mengadakan Maulid, membaca Diba &
Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa
Nur Nubuwwah dan banyak amalan
lainnya hanya terdapat di Hadramaut,
Mesir, Gujarat, Malabar, Sri Lanka, Sulu
& Mindanao (FIlipina), Malaysia dan
Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul
Muin yang populer di Indonesia
dikarang oleh Zainuddin Al Malabary
dari Malabar, isinya memasukkan
pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha
maupun kaum Sufi. Hal tersebut
mengindikasikan kesamaan sumber
yaitu Hadramaut karena Hadramaut
adalah sumber pertama dalam sejarah
Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i
dengan pengamalan tasawuf dan
pengutamaan Ahlul Bait.

Pada abad ke-15, raja-raja Jawa yang


berkerabat dengan Wali Sanga seperti
Raden Patah dan Pati Unus sama-
sama menggunakan gelar Alam Akbar.
Gelar tersebut juga merupakan gelar
yang sering dikenakan oleh keluarga
besar Jamaluddin Akbar di Gujarat
pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga
besar Azhamat Khan (atau Abdullah
Khan) bin Abdul Malik bin Alwi,
seorang anak dari Muhammad Shahib
Mirbath, ulama besar Hadramaut abad
ke-13. Keluarga besar ini terkenal
sebagai mubaligh musafir yang
berdakwah jauh hingga pelosok Asia
Tenggara, dan mempunyai putra-putra
dan cucu-cucu yang banyak
menggunakan nama Akbar, seperti
Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar,
Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

Teori keturunan Cina (Hui)

Sejarawan Slamet Muljana mengundang


kontroversi dalam buku Runtuhnya
Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan
menyatakan bahwa Wali Sanga adalah
keturunan Tionghoa Muslim.[9] Pendapat
tersebut mengundang reaksi keras
masyarakat yang berpendapat bahwa
Wali Sanga adalah keturunan Arab-
Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat
melarang terbitnya buku tersebut.

Referensi-referensi yang menyatakan


dugaan bahwa Wali Sanga berasal dari
atau keturunan Tionghoa sampai saat ini
masih merupakan hal yang kontroversial.
Referensi yang dimaksud hanya dapat
diuji melalui sumber akademik yang
berasal dari Slamet Muljana, yang
merujuk kepada tulisan Mangaraja
Onggang Parlindungan, yang kemudian
merujuk kepada seseorang yang
bernama Resident Poortman. Namun,
Resident Poortman hingga sekarang
belum bisa diketahui identitasnya serta
kredibilitasnya sebagai sejarawan,
misalnya bila dibandingkan dengan
Snouck Hurgronje dan L.W.C van den
Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang
banyak mengkaji sejarah Islam di
Indonesia yaitu Martin van Bruinessen,
bahkan tak pernah sekalipun menyebut
nama Poortman dalam buku-bukunya
yang diakui sangat detail dan banyak
dijadikan referensi.

Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de


Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs
berjudul Chinese Muslims in Java in the
15th and 16th Centuries adalah yang
ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia
meragukan pula tentang keberadaan
seorang Poortman. Bila orang itu ada
dan bukan bernama lain, seharusnya
dapat dengan mudah dibuktikan
mengingat ceritanya yang cukup lengkap
dalam tulisan Parlindungan.[10]

Sumber tertulis tentang Wali


Sanga
1. Terdapat beberapa sumber tertulis
masyarakat Jawa tentang Wali
Sanga, antara lain Serat Walisanga
karya Ranggawarsita pada abad ke-
19, Kitab Wali Sanga karya Sunan
Dalem (Sunan Giri II) yang
merupakan anak dari Sunan Giri,
dan juga diceritakan cukup banyak
dalam Babad Tanah Jawi.
2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b.
Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd
(meninggal tahun 1962) juga
meninggalkan tulisan yang berjudul
Sejarah perkembangan Islam di
Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-
Daimi, 1957). Ia menukil keterangan
di antaranya dari Haji `Ali bin
Khairuddin, dalam karyanya
Ketrangan kedatangan bungsu (sic!)
Arab ke tanah Jawi sangking
Hadramaut.

3. Dalam penulisan sejarah para


keturunan Bani Alawi seperti al-
Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali
bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-
Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-
Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman
Al-Masyhur; juga terdapat
pembahasan mengenai leluhur
Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel,
Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan
Bonang dan Sunan Gresik.

Referensi
1. Ricklefs, M.C. (1991). A History of
Modern Indonesia since c.1300, 2nd
Edition. London: MacMillan. hlm. 9–10.
ISBN 0-333-57689-6.

2. Schoppert, P., Damais, S., Java Style,


1997, Didier Millet, Paris, pp. 50, ISBN
962-593-232-1
3. Dahlan, KH. Mohammad. Haul Sunan
Ampel Ke-555, Penerbit Yayasan Makam
Sunan Ampel, hlm 1-2, Surabaya, 1979.

4. Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, Depok:


Pustaka Iman, 2016, 135.

5. Meinsma, J.J., 1903. Serat Babad Tanah


Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi
ing Tahun 1647. S'Gravenhage.

6. Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, (Depok:


Pustaka Iman), 179.

7. Istilah maqam, selain berarti kubur juga


dapat berarti tempat menetap atau
tempat yang pernah dikunjungi seorang
tokoh; contohnya seperti makam Nabi
Ibrahim di Masjidil Haram.
8. van den Berg, Lodewijk Willem
Christiaan, 1886. ''Le Hadhramout et les
colonies arabes dans l'archipel Indien.
Impr. du gouvernement, Batavia.

9. Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya


kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya
negara-negara Islam di Nusantara. LkiS.
hlm. xxvi + 302 hlm.
ISBN 9799798451163.
10. Russell Jones, review on Chinese
Muslims in Java in the 15th and 16th
Centuries (http://links.jstor.org/sici?sici=
0041-977X%281987%2950%3A2%3C42
3%3ACMIJIT%3E2.0.CO%3B2-X) written
by H. J. de Graaf; Th. G. Th. Pigeaud; M.
C. Ricklefs, Bulletin of the School of
Oriental and African Studies, University
of London, Vol. 50, No. 2. (1987), hlm.
423-424.

Lihat pula
Alawiyyin

Azmatkhan

Mazhab Syafi'i

Suku Arab-Indonesia

Syekh Muhammad Shahib Mirbath


Sunan Bayat

Ki Ageng Pandan Arang

Syekh Siti Jenar

Resident Poortman

Shohibul Faroji Al-Azhmatkhan [1] [2]

Majelis Dakwah Walisongo

Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar

Sembilan Wali (Wali Sanga) (Film


tahun 1985 produksi Soraya Intercine
Films)

Wali Sanga (Serial televisi tahun 2003


produksi Genta Buana Paramita)

Kisah Sembilan Wali (Serial televisi


tahun 2013 produksi Genta Buana
Paramita)
Kisah 9 Wali (Serial televisi tahun 2015
produksi Genta Buana Paramita)

Pranala luar
1. Internasional, Asyraf. "Tentang Profil
Shohibul Faroji" (https://p2k.unkris.a
c.id/id1/2-3065-2962/Shohibul-Faro
ji_51731_p2k-unkris.html) .

2. MURI, Tafsir Midadurrahman.


"Tentang Tafsir Midadurrahman" (htt
ps://penasantri.id/blog/2018/12/0
2/midadurahman-kitab-tafsir-terteb
al-di-dunia/) .

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Wali_Sanga&oldid=23871632"
Halaman ini terakhir diubah pada 19 Juli 2023,
pukul 01.49. •
Konten tersedia di bawah CC BY-SA 4.0 kecuali
dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai