Anda di halaman 1dari 7

WALISONGO

Wali Songo (bahasa Jawa: ꦮꦭꦶꦱꦔ; Wali Sɔngɔ) adalah tokoh Islam yang dihormati


di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, karena peran historis mereka dalam
penyebaran agama Islam di Indonesia. Wali Songo berasal dari kata Wali adalah
"orang yang dipercaya" atau "orang yang ditugaskan" sedangkan kata Sanga dalam
(bahasa Jawa: Sɔngɔ) berarti nomor sembilan. Dengan demikian, istilah ini sering
diterjemahkan sebagai "Sembilan Wali".
Meskipun disebut sebagai Wali Songo (Sembilan Wali) tetapi ada bukti bahwa
anggota dari kesembilan wali hidup pada waktu yang berbeda tidak dalam waktu
yang sama. Juga, ada sumber yang menggunakan istilah "Wali Songo" untuk
merujuk pada sosok selain dari kesembilan individu dari "Wali Songo" yang paling
terkenal.

Setiap anggota Wali Songo saling dikaitkan dengan gelar Sunan dalam bahasa Jawa,
konteks ini berarti "terhormat".[1]
Sebagian besar wali juga dijuluki Raden selama hidup mereka, karena mereka
berketurunan ningrat. (Lihat bagian "Gaya dan Gelar" Kesultanan Yogyakarta untuk
penjelasan tentang istilah bangsawan Jawa.)
Makam (pundhen) para wali dihormati oleh masyarakat Jawa sebagai lokasi ziarah
di Jawa sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih atas manfaat dan syafaat yang
mereka amalkan pada masa hidupnya.[2] Dalam tradisi Jawa makam memiliki
istilah pundhen.

Ada beberapa pendapat mengenai arti Wali Songo. Pertama adalah wali yang
sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa
Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo / sanga berasal dari
kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut
kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Wali Songo adalah sebuah
ajelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah).[3] Para Wali Songo adalah pembaharu
masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk
manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-
tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Konsep Wali Songo atau Wali Sembilan dalam kosmologi Islam, sumber utamanya
dapat dilacak pada konsep kewalian yang secara umum oleh kalangan penganut
sufisme diyakini meliputi sembilan tingkat kewalian. Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu
Araby dalam kitab Futuhat al-Makkiyah memaparkan tentang sembilan tingkat
kewalian dengan tugas masing-masing sesuai kewilayahan. Kesembilan tingkat
kewalian itu: 1) Wali Aqthab atau Wali Quthub, yaitu pemimpin dan penguasa para
wali di seluruh alam semesta. 2) Wali Aimmah, yaitu pembantu Wali Aqthab dan
menggantikan kedudukannya jika wafat. 3) Wali Autad, yaitu wali penjaga empat
penjuru mata angin . 4) Wali Abdal, yaitu wali penjaga tujuh musim. 5) Wali
Nuqaba, yaitu wali penjaga hukum syariat. 6) Wali Nujaba, yang setiap masa
berjumlah delapan orang. 7) Wali Hawariyyun, yaitu wali pembela kebenaran agama,
baik pembelaan dalam bentuk argumentasi maupun senjata. 8) Wali Rajabiyyun, yaitu
wali yang karomahnya muncul setiap bulan Rajab. 9) Wali Khatam, yaitu wali yang
menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan umat Islam.[4]

Dari nama para Wali Songo tersebut, pada umumnya terdapat 9 nama yang dikenal
sebagai anggota Wali Songo yang paling terkenal, yaitu:

Sunan Sunan Sunan


Gresik atau Drajat atau Raden Kalijaga atau
Maulana Malik Qasim Raden Syahid
Ibrahim Sunan Sunan
Sunan Kudus atau Ja'far Muria atau Raden
Ampel atau Raden Shadiq Umar Said
Rahmat Sunan Sunan
Sunan Giri atau Raden Gunung Jati atau
Bonang atau Raden Paku atau 'Ainul Syarif Hidayatullah
Makhdum Ibrahim Yaqin

Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)Sunting


Artikel utama: Sunan Gresik

Makam Maulana Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur

Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga


Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Nasab
As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut catatan
Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya kemudian
dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume
(jilid). Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid
Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad
Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-
Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali
Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-
Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam
Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam
Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah
Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad
Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah
orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[5] Dalam cerita rakyat, ada yang
memanggilnya Kakek Bantal.
Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama:

1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan
1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah

2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul
Ghafur, dan Ahmad

3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu:
Abbas dan Yusuf.

Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid
Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu
Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya
Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].

Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang


mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan
banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang
tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati
masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun
pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Ia juga membangun masjid
sebagai tempat peribadatan pertama di tanah Jawa, yang sampai sekarang masjid
tersebut menjadi masjid Jami' Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat.
Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel (Raden Rahmat)Sunting
Artikel utama: Sunan Ampel

Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad,


menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang
putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari
Dinasti Ming. Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim
Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin
bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih
bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi
bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-
Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam
Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-
Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sunan
Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya
bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran
agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai
Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi
Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi
Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang,Siti
Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah. Pernikahan
Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi
Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin
(Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2. Makam Sunan
Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.
Kedatangan Sunan Ampel ke Majapahit diperkirakan terjadi awal dasawarsa
keempat abad ke-15, yakni saat Arya Damar sudah menjadi Adipati Palembang
sebagaimana riwayat yang menyatakan bahwa sebelum ke Jawa, Raden Rahmat
telah singgah ke Palembang. Menurut Thomas W. Arnold dalam The Preaching of
Islam (1977), Raden Rahmat sewaktu di Palembang menjadi tamu Arya Damar
selama dua bulan, dan dia berusaha memperkenalkan Islam kepada raja muda
Palembang itu. Arya Damar yang sudah tertarik kepada Islam itu hampir saja
diikrarkan menjadi Islam. Namun, karena tidak berani menanggung risiko
menghadapi tindakan rakyatnya yang masih terikat pada kepercayaan lama, ia tidak
mengatakan keislamannya di hadapan umum. Menurut cerita setempat, setelah
memeluk Islam, Arya Damar memakai nama Ario Abdillah.

Keterangan dari Hikayat Hasanuddin yang dikupas oleh J. Edel (1938) menjelaskan
bahwa pada waktu Kerajaan Champa ditaklukkan oleh Raja Koci, Raden Rahmat
sudah bermukim di Jawa. Itu berarti Raden Rahmat ketika datang ke Jawa sebelum
tahun 1446 M, yakni pada tahun jatuhnya Champa akibat serbuan Vietnam. Hal itu
sejalan dengan sumber dari Serat Walisana yang menyatakan bahwa Prabu
Brawijaya, Raja Majapahit mencegah Raden Rahmat kembali ke Champa karena
Champa sudah rusak akibat kalah perang dengan Kerajaan Koci. Penempatan Raden
Rahmat di Surabaya dan saudaranya di Gresik, tampaknya memiliki kaitan erat
dengan suasana politik di Champa, sehingga dua bersaudara tersebut ditempatkan
di Surabaya dan Gresik, kemudian dinikahkan dengan perempuan setempat. [6]
Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)Sunting
Artikel utama: Sunan Bonang

Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati
Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk
menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai
penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang.
Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang,
yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah
karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut
G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung
ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525. Ia dimakamkan di
daerah Tuban, Jawa Timur.
Sunan DrajatSunting
Artikel utama: Sunan Drajat

Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad. Nama asli dari sunan drajat adalah masih munat. masih munat nantinya
terkenal dengan nama sunan drajat. Nama sewaktu masih kecil adalah Raden
Qasim. Sunan drajat terkenal juga dengan kegiatan sosialnya. Dialah wali yang
memelopori penyatuan anak-anak yatim dan orang sakit. Ia adalah putra Sunan
Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan
Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan
kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai
pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri
sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan.
Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok
peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat
diperkirakan wafat pada 1522.
Sunan KudusSunting
Artikel utama: Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah


Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka
binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan
Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar
bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik
Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’
Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa
bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Al-Husain binti Sayyidah Fathimah Az-Zahra bin Nabi Muhammad
Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam
pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasihat Sultan
Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di
kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi
muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang
Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang
arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat
pada tahun 1550.
Sunan GiriSunting
Artikel utama: Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari
Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang
selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia
timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal
ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan
Bima. Makam Sunan Giri terletak di Desa Giri, Kabupaten Gresik.
Sunan KalijagaSunting
Artikel utama: Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau
Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan
Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana
untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang
suluk lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya.
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh
binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu
Kano Kediri binti Raja Kediri.
Sunan Muria (Raden Umar Said)Sunting
Artikel utama: Sunan Muria

Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari
Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan
Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah
adik ipar dari Sunan Kudus.
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)Sunting
Artikel utama: Sunan Gunung Jati

Lukisan Sunan Gunung Jati

Gapura Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat


Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin
putra Ali Nurul Alam Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih
keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga
Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan
pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya
yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan
menyebarkan agama Islam di Banten.

Anda mungkin juga menyukai