Anda di halaman 1dari 7

Wali Sanga

Halaman

Pembicaraan

Baca

Sunting

Sunting sumber

Lihat riwayat

Perkakas

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

(Dialihkan dari Walisongo)

Wali Songo (lebih dikenal sebagai Wali Songo, Jawa: ꦮꦭꦶꦱꦔ; Wali Songo, "Sembilan Wali" (orang yang
dipercaya)) adalah tokoh Islam yang dihormati di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, karena peran
historis mereka dalam penyebaran agama Islam di Indonesia.

Pembentukan Majelis Dakwah Walisongo di perkirakan terjadi antara tahun 1250 -1404 oleh Sultan-
Sultan yang berkuasa dalam penyebaran agama Islam di suatu negara ke negara lain, biasanya terdiri
dari 9 Anggota Majelis Dakwah Walisongo segera bergerak ke wilayah India, asia tenggara seperti
Vietnam, Malaysia & Indonesia. Berita ini tertulis dalam kitab kanzul'Hum dari ibnu bathutah, lalu
dilanjutkan oleh Sunan Gresik & sekarang tersimpan dalam museum Istana Turki Istanbul

Perjalanan Periode Selanjutnya untuk berdakwah di pulau Jawa pada tahun 1404 dipimpin oleh
Sunan Gresik sebagai Misionaris utusan Kesultanan Utsmaniyah dari Istambul Turki tentu membawa
misi dalam penyebaran agama islam & mencari simpati juga dukungan atas peperangan saudara
yang terjadi di negaranya dengan mendatangi wilayah Kerajaan Majapahit kala itu rajanya Baginda
Prabu Wikramawardhana sebagai kekuatan terbesar di Asia tenggara pada jamannya.[referensi?]

Setiap anggota Wali Sanga saling dikaitkan dengan gelar Sunan dalam bahasa Jawa, konteks ini
berarti "terhormat".[1]
Sebagian besar wali juga dijuluki Raden selama hidup mereka, karena mereka keturunan ningrat.
(Lihat bagian "Gaya dan Gelar" Kesultanan Yogyakarta untuk penjelasan tentang istilah bangsawan
Jawa.)

Makam (pundhen) para wali dihormati oleh masyarakat Jawa sebagai lokasi ziarah di Jawa sebagai
bentuk rasa syukur dan terima kasih atas manfaat dan syafaat yang mereka amalkan pada masa
hidupnya.[2] Dalam tradisi Jawa makam memiliki istilah pundhen.

Arti Wali Sanga

Masjid Agung Demak, diyakini sebagai salah satu tempat berkumpulnya para wali yang paling awal.

Ada beberapa pendapat mengenai arti Wali Sanga. Pertama adalah wali yang sembilan, yang
menandakan jumlah wali yang berjumlah sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain
menyebutkan bahwa kata Sanga / sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti
mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Wali Sanga adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali
didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah).[3] Para
Wali Sanga adalah pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka dapat ditemui dalam
beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok
tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga pemerintahan.

Konsep Wali Sanga atau Wali Sembilan dalam kosmologi Islam, sumber utamanya dapat dilacak pada
konsep kewalian yang secara umum oleh kalangan penganut sufisme diyakini meliputi sembilan
tingkat kewalian. Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Araby atau Ibnu Arabi dalam kitab Futuhat al-
Makkiyah memaparkan tentang sembilan tingkat kewalian dengan tugas masing-masing sesuai
kewilayahan. Kesembilan tingkat kewalian itu:

1) Wali Aqthab atau Wali Quthub, yaitu pemimpin dan penguasa para wali di seluruh alam semesta.

2) Wali Aimmah, yaitu pembantu Wali Aqthab dan menggantikan kedudukannya jika wafat.

3) Wali Autad, yaitu wali penjaga empat penjuru mata angin.

4) Wali Abdal, yaitu wali penjaga tujuh musim.

5) Wali Nuqaba, yaitu wali penjaga hukum syariat.


6) Wali Nujaba, yang setiap masa berjumlah delapan orang.

7) Wali Hawariyyun, yaitu wali pembela kebenaran agama, baik pembelaan dalam bentuk
argumentasi maupun senjata.

8) Wali Rajabiyyun, yaitu wali yang karomahnya muncul setiap bulan Rajab.

9) Wali Khatam, yaitu wali yang menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan umat Islam.[4]

Nama para Wali Sanga

Nama para Wali Sanga tersebut yaitu:

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim

Sunan Ampel atau Raden Rahmat

Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim

Sunan Drajat atau Raden Qasim Syarifuddin

Sunan Kudus atau Raden Ja'far Shadiq

Sunan Giri atau Joko Samudro atau Raden Paku atau Muhammad 'Ainul Yaqin atau Prabu Satmata

Sunan Kalijaga atau Raden Syahid

Sunan Muria atau Raden Umar Said

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah

Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

Artikel utama: Sunan Gresik

Makam Maulana Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur

Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik,
atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Sanga. Ia diperkirakan lahir di Samarkand di
Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya
Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[5] Dalam cerita
rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.

Maulana Malik Ibrahim memiliki 3 istri bernama:


1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa) memiliki 2 anak, bernama:
Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah

2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan
Ahmad

3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan
Yusuf.

Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali
Murtadha [Sunan Santri/Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan
Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung)
berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].

Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di
Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan,
yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan di akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim
berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia
membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Ia juga membangun masjid sebagai
tempat peribadatan Islam pertama di tanah Jawa, yang sampai sekarang masjid tersebut menjadi
Masjid Jami' Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura
Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel (Raden Rahmat)

Artikel utama: Sunan Ampel

Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad, menurut riwayat
ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro
Wulan binti Raja Champa terakhir dari Dinasti Ming. Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel
bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin
bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid
Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin
Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad
bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal
Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sunan
Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di
Ampel, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia
menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama
Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan
Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang,
Siti Syari’ah, Sunan Derajat, Sunan Sedayu, Siti Muthmainnah, dan Siti Hafsah. Pernikahan Sunan
Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah, Asyiqah, Raden
Husamuddin (Sunan Lamongan), Raden Zainal Abidin (Sunan Demak), Pangeran Tumapel dan Raden
Faqih (Sunan Ampel 2). Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.

Kedatangan Sunan Ampel ke Majapahit diperkirakan terjadi awal dasawarsa keempat abad ke-15,
yakni saat Arya Damar sudah menjadi Adipati Palembang sebagaimana riwayat yang menyatakan
bahwa sebelum ke Jawa, Raden Rahmat telah singgah ke Palembang. Menurut Thomas W. Arnold
dalam The Preaching of Islam (1977), Raden Rahmat sewaktu di Palembang menjadi tamu Arya
Damar selama dua bulan, dan dia berusaha memperkenalkan Islam kepada raja muda Palembang
itu. Arya Damar yang sudah tertarik kepada Islam itu hampir saja diikrarkan menjadi Islam. Namun,
karena tidak berani menanggung risiko menghadapi tindakan rakyatnya yang masih terikat pada
kepercayaan lama, ia tidak mengatakan keislamannya di hadapan umum. Menurut cerita setempat,
setelah memeluk Islam, Arya Damar memakai nama Ario Abdillah.

Keterangan dari Hikayat Hasanuddin yang dikupas oleh J. Edel (1938) menjelaskan bahwa pada
waktu Kerajaan Champa ditaklukkan oleh Raja Koci, Raden Rahmat sudah bermukim di Jawa. Itu
berarti Raden Rahmat ketika datang ke Jawa sebelum tahun 1446 M, yakni pada tahun jatuhnya
Champa akibat serbuan Vietnam. Hal itu sejalan dengan sumber dari Serat Walisana yang
menyatakan bahwa Prabu Brawijaya, Raja Majapahit mencegah Raden Rahmat kembali ke Champa
karena Champa sudah rusak akibat kalah perang dengan Kerajaan Koci. Penempatan Raden Rahmat
di Surabaya dan saudaranya di Gresik, tampaknya memiliki kaitan erat dengan suasana politik di
Champa, sehingga dua bersaudara tersebut ditempatkan di Surabaya dan Gresik, kemudian
dinikahkan dengan perempuan setempat.[6]

Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)

Artikel utama: Sunan Bonang

Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia
adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan
Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama
Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering
dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan
bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya
sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu
bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang
diperkirakan wafat pada tahun 1525. Ia dimakamkan di daerah Tuban, Jawa Timur.
Sunan Drajat

Artikel utama: Sunan Drajat

Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad.
Nama asli dari Sunan Drajat adalah masih munat. Nama sewaktu masih kecil adalah Raden Qasim.
Sunan drajat terkenal juga dengan kegiatan sosialnya. Dialah wali yang memelopori penyatuan anak-
anak yatim dan orang sakit. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati
Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat umum. Ia
menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat sebagai
pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah
perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur
disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Museum
Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat pada 1522.

Sunan Kudus (Ja'far shodiq)

Artikel utama: Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Dewi Sari binti Ahmad
Wilwatikta. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan
Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin
Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad
Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-
Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Al-Husain binti Sayyidah Fathimah Az-Zahra bin Nabi Muhammad Rasulullah.
Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan
Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasihat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim
peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang
pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati
Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Masjid Menara Kudus, yang
arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

Sunan Giri

Artikel utama: Sunan Giri

Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad,
merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan
pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah
Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke Kepulauan Maluku. Salah satu
keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah
Lombok dan Bima, Nusa Tenggara Barat. Makam Sunan Giri terletak di Desa Giri, Kabupaten Gresik.
Sunan Kalijaga

Artikel utama: Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur
atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga
menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian
wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap
sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh
binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti
Raja Kediri.

Sunan Muria (Raden Umar Said)

Artikel utama: Sunan Muria

Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga
dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi
Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.

Anda mungkin juga menyukai