Abstract
Para ahli sejarah sependapat bahwa penyebar Islam di Pulau Jawa adalah
para Wali Songo. Mereka tidak hanya memiliki otoritas dalam bidang keagamaan,
tetapi juga dalam bidang politik dan pemerintahan. Bahkan seringkali seorang raja
seakan-akan baru sah sebagai raja jikalau ia sudah dakui dan diberkahi oleh Wali
Songo.
Dalam catatan sejarah penyebaran agama Islam, Islam telah tersebar di pulau
Jawa, paling tidak semenjak Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak yang
bergelar Syaikh Awal Al-Islam diutus sebagai juru dakwah oleh Sultan Zainal Abidin
Bahiyah Syah (1349-1406) ke Gresik
Dalam mendirikan kerajaan Islam tersebut, peranan Wali Songo sangat besar.
Di samping kekuasaan politik Islam yang memberi kontribusi besar terhadap
perkembangannya, agama Islam yang didakwahkan para wali dengan jalan dar telah
hidup dan berkembang di masyarakat, memberi dorongan kepada penguasa non-
muslim untuk memeluknya.
Pembahasan
1. Wali Songo
Pada umumnya, kita mengenal Wali Songo adalah sembilan orang wali
yang menyebarkan Agama Islam di Nusantara, khususnya di Jawa.
Kesembilan wali tersebut yaitu Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel,
Sunan Bonang, Sunan giri, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan
Muria, dan Sunan Gunung Jati. Namun, sebenarnya apabila kita kaji apakah
mungkin Wali Songo tersebut dapat hidup bersamaan dengan perbedaan
umur yang sampai puluhan tahun bahkan ratusan tahun. Dan kemungkinan
Wali Songo tersebut merupakan sekedar sebuah nama organisasi ulama atau
dewan ulama Islam pada masa itu.
Menurut Prof. Dr. Slamet Muljana (2009: 254) dalam masyarakat Islam
Jawa, dikenal sembilan wali yakni Sunan Giri, Sunan Cirebon, Sunan Gesang,
Sunan Majagung, Syaikh Lemah Abang, Sunan Undung, Sunan Bonang, Sunan
Drajat, dan Sunan Kalijaga.
Menurut KH. Dachlan Abd. Qohar dalam MB. Rahimsyah AR. (2006:
136), pada tahun 1466 M, Wali Songo melakukan sidang lagi membahas
berbagai hal. Di antaranya adalah perkara Syekh Siti Jenar, meninggalnya dua
orang wali, yaitu Maulana Muhammad Al Maghrobi dan Maulana Ahmad
Jumadil Kubro serta masuknya dua orang wali menjadi anggota Wali Songo.
Wali Songo yang merupakan nama sebuah dewan wali atau ulama
dalam peranannya di Nusantara memiliki beberapa periode. Dan setiap
periode pun juga memiliki anggota dewan wali yang memiliki perbedaan
keanggotaan maupun jumlah anggota. Dan dari periode awal sampai akhir
periode Wali Songo pun juga memiliki nama-nama tokoh yang berbeda pula.
Dalam hal ini, periode Wali Songo dibagi menjadi lima periode.
Menurut MB. Rahimsyah AR. (2006: 136-137) pada waktu Sultan
Muhammad I memerintah Kerajaan Turki, beliau menanyakan perkembangan
Agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat (India). Dari mereka, Sultan
mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu, yaitu
Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi
hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para
penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan. Sang Sultan kemudian
mengirim surat kepada para pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur
Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk dikirim
ke Pulau Jawa. Maka berkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta
mempunyai karomah.
Menurut MB. Rahimsyah AR. (2006:137) pada tahun 808 Hijriah atau
1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:
5. Maulana Malik Isro'il, berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun
1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gnung Santri.
9. Syekh Subakir, berasal dari Persia, Ahli menumbali tanah angker yang
dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia. Dengan adanya tumbal
itu jin-jin tadi akan menyingkit dan tanah yang ditumbali dijadikan
Pesantren. Setelah banyak tempat yang ditumbali, maka Syekh Subakir
kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang
pengikut atau sahabat Syekh Subakir meninggal dunia ketika beristirahat
di daerah Blitar. Hingga sekarang makam pengikut Syekh Subakir tersebut
ada di sebelah utara Pemandian Blitar Jawa Timur. Di sana ada
peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu kuno.
Pada periode kedua, masuklah tiga orang wali yang menggantikan tiga
wali yang wafat, yaitu Raden Ahmad Ali Rahmatullah yang berasal dari Cempa
yang datang ke Jawa pada tahun 1421 menggantikan Malik Ibrahim; Sayyid
Ja’far Shodiq yang berasal dari Palestina yang datang di Jawa tahun 1436 M
menggantikan Malik Isro’il, beliau tinggal di Kudus dan dikenal dengan Sunan
Kudus; Syarif Hidayatullah yang berasal dari Palestina yang datang di Jawa
pada tahun 1436 M menggantikan Maulana Ali Akbar. Sidang Wali Songo
yang kedua ini diadakan di Ampel Surabaya (MB. Rahimsyah AR., 2006: 138).
Pada tahun 1463 M. Masuklah empat wali menjadi anggota Wali Songo,
yaitu Raden Paku atau Syekh Maulana Ainul Yaqin, karena tinggal di Giri maka
beliau lebih dikenal dengan Sunan Giri; Raden Said atau Sunan Kalijaga yang
merupakan putra Adipati Wilatikta dan beliau menggantikan Syekh Subakir
yang kembali ke Persia; Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang yang
merupakan putra Sunan Ampel menggantikan Maulana Hasanuddin; Raden
Qasim atau Sunan Drajad yang juga putra Sunan Ampel menggantikan
Maulana Allyuddin. Sidang Wali Songo yang ketiga ini berlangsung di Ampel
Denta (Asnan Wahyudi dan Abu Khalid M.A., 1993: 13-14).
Pada periode keempat, menurut Asnan Wahyudi dan Abu Khalid M.A.,
(1993: 14) pada tahun 1466 M diangkat dua wali yang menggantikan dua wali
yang telah wafat, yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana
Muhammad Al-Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya adalah Raden
Hasan atau Raden Fattah (Raden Patah) yang merupakan murid Sunan Ampel
dan putra Raja Brawijaya Majapahit[1], beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro
pada tahun 1462 M, kemudian membangun Masjid Demak pada tahun 1465
M dan dinobatkan menjadi Raja atau Sultan Demak pada tahun 1468;
Fathullah Khan, putra Sunan Gunung Jati yang dipilih sebagai anggota Wali
Songo untuk membantu ayahnya yang telah berusia lanjut.
Pada periode kelima, menurut MB. Rahimsyah AR. (2006: 140) dapat
disimpulkan bahwa dalam periode ini masuk Sunan Muria atau Raden Umar
Said putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat. Konon Syekh Siti
Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah seorang anggota Wali Songo,
namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran yang
menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama, maka Siti
Jenar dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan
Bayat bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah bertobat dan
menjadi murid Sunan Kalijaga.
Prof. Dr. Slamet Muljana (2009: 258) menjelaskan tentang Sunan Giri,
diceritakan dalam Babad Tanah Jawi bahwa ia dalam menghadapi bala
tentara Majapahit hanya melemparkan kalamnya. Dalam Serat Kanda,
diceritakan bahwa Sunan Cirebon memberikan badong kepada panglima
tentara Demak yang melawan tentara Majapahit. Tentang Sunan Bonang,
diceritakan bahwa ia berupa empat memenuhi kiblat, ketika ia menghadapi
Raden Said yang membegalnya di tengah jalan.
Bahwa Demak merupakan tempat penting dilihat dari segi agama Islam
dapat disimpulkan berdasarkan cerita bahwa wali-wali di Jawa berpusat di
masjid keramat Demak, yaitu yang menurut cerita tersebut didirikan oleh wali
itu secara bersama-sama” (Supratikno R. dan Wiwin D.R., 1997: 62).
Dalam bidang politik peranan Wali Songo yang sangat kelihatan adalah
tentang Wali Songo yang menghukum Syaikh Siti Jenar. Prof. Dr. Slamet
Muljana (2009: 228) menjelaskan bahwa Syaikh Siti Jenar telah dikenakan
hukuman bakar karena dituduh menyelewengkan ajaran agama Islam,
membeberkan rahasia yang seharusnya disimpan baik-baik. Terbukti bahwa
pembesar-pembesar di wilayah kerajaan Majapahit yang memeluk Islam
aliran Syi’ah tidak mau tunduk kepada Sultan Demak. Mereka membentuk
kekuatan baru yang mengincar Kesultanan Demak. Mereka menguasai
daerah-daerah sempit beserta rakyatnya, bebas dari kekuasaan Demak.
Kesimpulan
Wali Songo yang merupakan nama sebuah dewan wali atau ulama dalam
peranannya di Nusantara memiliki beberapa periode. Dan setiap periode pun juga
memiliki anggota dewan wali yang memiliki perbedaan keanggotaan maupun jumlah
anggota. Dan dari periode awal sampai akhir periode Wali Songo pun juga memiliki
nama-nama tokoh yang berbeda pula. Dalam hal ini, periode Wali Songo dibagi
menjadi lima periode. Dari beberapa periode tersebut, nama-nama wali dalam Wali
Songo banyak sekali dan dari periode ke periode juga selalu ada pengganti wali yang
meninggal dunia atau pergi. Nama-nama Wali Songo tersebut adalah Maulana Malik
Ibrahim, Maulana Ishak, Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al
Maghrobi, Maulana Malik Isro'il, Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanudin,
Maulana Aliyudin, Syekh Subakir, Raden Ahmad Ali Rahmatullah, Sayyid Ja’far Shodiq,
Syarif Hidayatullah, Raden Paku atau Syekh Maulana Ainul Yaqin, Raden Said atau
Sunan Kalijaga, Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang, Raden Qasim atau
Sunan Drajad, Raden Hasan atau Raden Fattah (Raden Patah), Fathullah Khan, Sunan
Muria atau Raden Umar Said.
Konon Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah seorang
anggota Wali Songo, namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran
yang menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama, maka Siti
Jenar dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat
bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah bertobat dan menjadi murid
Sunan Kalijaga.
Namun, pada masyarakat umum, Wali Songo yang dikenal adalah Syekh
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad,
Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati.