Anda di halaman 1dari 8

Nama:Muhammad asmaul ghofur

Judul:MEMANDANG WALISONGO DARI PERSPEKTIF POLITIK

Abstract

Para ahli sejarah sependapat bahwa penyebar Islam di Pulau Jawa adalah
para Wali Songo. Mereka tidak hanya memiliki otoritas dalam bidang keagamaan,
tetapi juga dalam bidang politik dan pemerintahan. Bahkan seringkali seorang raja
seakan-akan baru sah sebagai raja jikalau ia sudah dakui dan diberkahi oleh Wali
Songo.

Dalam catatan sejarah penyebaran agama Islam, Islam telah tersebar di pulau
Jawa, paling tidak semenjak Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak yang
bergelar Syaikh Awal Al-Islam diutus sebagai juru dakwah oleh Sultan Zainal Abidin
Bahiyah Syah (1349-1406) ke Gresik

Dalam percaturan politik, Islam mulai memposisikan diri ketika melemahnya


kekuasaan Majapahit yang memberi peluang kepada penguasa Islam di pesisir untuk
membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen.

Di bawah pimpinan Sunan Ampel, Wali Songo bersepakat untuk mengangkat


Raden Patah sebagai raja pertama Kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam pertama di
Pulau Jawa. Dalam menjalankan pemerintahannya, Raden Patah dibantu oleh para
ulama dan Wali Songo, terutama dalam masalah-masalah keagamaan. Kerajaan
Demak berlangsung kira-kira abad ke 15 dan abad ke16. Di samping itu, berdiri pula
kerajaaan Mataram, Cirebon, dan Banten.

Dalam mendirikan kerajaan Islam tersebut, peranan Wali Songo sangat besar.
Di samping kekuasaan politik Islam yang memberi kontribusi besar terhadap
perkembangannya, agama Islam yang didakwahkan para wali dengan jalan dar telah
hidup dan berkembang di masyarakat, memberi dorongan kepada penguasa non-
muslim untuk memeluknya.

Berdasarkan pada catatan sejarah di atas, dapat diketahui bahwa ada


hubungan yang harmonis antara agama dan politik di era wali songo. Saat itu, ulama'
yang diwakili oleh para wali, memiliki otoritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penguasa. Dengan masuknya wali songo ke ranah politik, maka semakin kuat
legitimasinya dalam menyebarkan islam kepada rakyat jelata. Dengan keberhasilan
wali songo mengislamkan raja-raja dan para penguasa di tanah Jawa, rakyat jelata
pun ikut berbondong-bondong memeluk islam mengikuti jalan yang ditempuh oleh
sang raja.

Ini sekaligus membuktikan bahwa untuk membangun peradaban islam, tidak


harus de mendirikan negara islam dengan sistem khila yang menganut penguasa
tunggal. Sebab yang lebih penting adalah substansi, bukan institusi. Sama seperti
Pancasila yang secara substansial berisi nilai-nilai islam di dalamnya.

Pembahasan

1. Wali Songo

Pada umumnya, kita mengenal Wali Songo adalah sembilan orang wali
yang menyebarkan Agama Islam di Nusantara, khususnya di Jawa.
Kesembilan wali tersebut yaitu Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel,
Sunan Bonang, Sunan giri, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan
Muria, dan Sunan Gunung Jati. Namun, sebenarnya apabila kita kaji apakah
mungkin Wali Songo tersebut dapat hidup bersamaan dengan perbedaan
umur yang sampai puluhan tahun bahkan ratusan tahun. Dan kemungkinan
Wali Songo tersebut merupakan sekedar sebuah nama organisasi ulama atau
dewan ulama Islam pada masa itu.

Menurut Prof. Dr. Slamet Muljana (2009: 254) dalam masyarakat Islam
Jawa, dikenal sembilan wali yakni Sunan Giri, Sunan Cirebon, Sunan Gesang,
Sunan Majagung, Syaikh Lemah Abang, Sunan Undung, Sunan Bonang, Sunan
Drajat, dan Sunan Kalijaga.

Menurut MB. Rahimsyah AR. (2006: 136) sebenarnya Wali Songo


adalah nama suatu dewan dakwah atau dewan mubaligh. Apabila salah
seorang dari dewan tersebut pergi atau meninggal dunia, maka akan segera
diganti oleh wali lainnya. Seperti tersebut dalam Kitab Kanzul Ulul Ibnul
Bathuthah yang penulisnya dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghrobi, Wali
Songo melakukan sidang tiga kali, yaitu: tahun 1404 M adalah sembilan wali,
tahun 1436 M masuk tiga wali mengganti yang wafat, tahun 1463 M masuk
empat wali mengganti yang wafat dan pergi.

Menurut KH. Dachlan Abd. Qohar dalam MB. Rahimsyah AR. (2006:
136), pada tahun 1466 M, Wali Songo melakukan sidang lagi membahas
berbagai hal. Di antaranya adalah perkara Syekh Siti Jenar, meninggalnya dua
orang wali, yaitu Maulana Muhammad Al Maghrobi dan Maulana Ahmad
Jumadil Kubro serta masuknya dua orang wali menjadi anggota Wali Songo.

Wali Songo yang merupakan nama sebuah dewan wali atau ulama
dalam peranannya di Nusantara memiliki beberapa periode. Dan setiap
periode pun juga memiliki anggota dewan wali yang memiliki perbedaan
keanggotaan maupun jumlah anggota. Dan dari periode awal sampai akhir
periode Wali Songo pun juga memiliki nama-nama tokoh yang berbeda pula.
Dalam hal ini, periode Wali Songo dibagi menjadi lima periode.
Menurut MB. Rahimsyah AR. (2006: 136-137) pada waktu Sultan
Muhammad I memerintah Kerajaan Turki, beliau menanyakan perkembangan
Agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat (India). Dari mereka, Sultan
mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu, yaitu
Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi
hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para
penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan. Sang Sultan kemudian
mengirim surat kepada para pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur
Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk dikirim
ke Pulau Jawa. Maka berkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta
mempunyai karomah.

Menurut MB. Rahimsyah AR. (2006:137) pada tahun 808 Hijriah atau
1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:

1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.


Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M.
Makamnya terletak satu kilo meter dari sebelah utara Pabrik Semen Gresik.

2. Maulana Ishak, berasal dari Samarqand (dekat Buhara- Rusia Selatan).


Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesei, Maulana Ishak
pindah ke Pasai dan wafat di sana.

3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir. Beliau dakwah keliling.


Makamnya di Trowulan, Mojoketo Jawa Timur.

4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maghrib (Maroko), beliau


berdakwah keliling. Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten,
Jawa Tengah.

5. Maulana Malik Isro'il, berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun
1435 M. Makamnya di Gunung Santri.

6. Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gnung Santri.

7. Maulana Hasanudin, berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat


tahun 1462 M. Makamnya di samping Masjid Banten Lama.

8. Maulana Aliyudin, berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada


tahun 1462 M. Makamnya di samping Masjid Banten Lama.

9. Syekh Subakir, berasal dari Persia, Ahli menumbali tanah angker yang
dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia. Dengan adanya tumbal
itu jin-jin tadi akan menyingkit dan tanah yang ditumbali dijadikan
Pesantren. Setelah banyak tempat yang ditumbali, maka Syekh Subakir
kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang
pengikut atau sahabat Syekh Subakir meninggal dunia ketika beristirahat
di daerah Blitar. Hingga sekarang makam pengikut Syekh Subakir tersebut
ada di sebelah utara Pemandian Blitar Jawa Timur. Di sana ada
peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu kuno.

Pada periode kedua, masuklah tiga orang wali yang menggantikan tiga
wali yang wafat, yaitu Raden Ahmad Ali Rahmatullah yang berasal dari Cempa
yang datang ke Jawa pada tahun 1421 menggantikan Malik Ibrahim; Sayyid
Ja’far Shodiq yang berasal dari Palestina yang datang di Jawa tahun 1436 M
menggantikan Malik Isro’il, beliau tinggal di Kudus dan dikenal dengan Sunan
Kudus; Syarif Hidayatullah yang berasal dari Palestina yang datang di Jawa
pada tahun 1436 M menggantikan Maulana Ali Akbar. Sidang Wali Songo
yang kedua ini diadakan di Ampel Surabaya (MB. Rahimsyah AR., 2006: 138).

Pada tahun 1463 M. Masuklah empat wali menjadi anggota Wali Songo,
yaitu Raden Paku atau Syekh Maulana Ainul Yaqin, karena tinggal di Giri maka
beliau lebih dikenal dengan Sunan Giri; Raden Said atau Sunan Kalijaga yang
merupakan putra Adipati Wilatikta dan beliau menggantikan Syekh Subakir
yang kembali ke Persia; Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang yang
merupakan putra Sunan Ampel menggantikan Maulana Hasanuddin; Raden
Qasim atau Sunan Drajad yang juga putra Sunan Ampel menggantikan
Maulana Allyuddin. Sidang Wali Songo yang ketiga ini berlangsung di Ampel
Denta (Asnan Wahyudi dan Abu Khalid M.A., 1993: 13-14).

Pada periode keempat, menurut Asnan Wahyudi dan Abu Khalid M.A.,
(1993: 14) pada tahun 1466 M diangkat dua wali yang menggantikan dua wali
yang telah wafat, yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana
Muhammad Al-Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya adalah Raden
Hasan atau Raden Fattah (Raden Patah) yang merupakan murid Sunan Ampel
dan putra Raja Brawijaya Majapahit[1], beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro
pada tahun 1462 M, kemudian membangun Masjid Demak pada tahun 1465
M dan dinobatkan menjadi Raja atau Sultan Demak pada tahun 1468;
Fathullah Khan, putra Sunan Gunung Jati yang dipilih sebagai anggota Wali
Songo untuk membantu ayahnya yang telah berusia lanjut.

Pada periode kelima, menurut MB. Rahimsyah AR. (2006: 140) dapat
disimpulkan bahwa dalam periode ini masuk Sunan Muria atau Raden Umar
Said putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat. Konon Syekh Siti
Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah seorang anggota Wali Songo,
namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran yang
menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama, maka Siti
Jenar dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan
Bayat bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah bertobat dan
menjadi murid Sunan Kalijaga.

Namun, pada masyarakat umum, Wali Songo yang dikenal adalah


Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan
Drajad, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati.
Namun lebih menekankan kembali bahwa Wali Songo adalah sebuah dewan
ulama atau dewan wali yang sebenarnya keanggotaannya pun tidak selalu
sama dari periode ke periode, tidak hanya sembilan wali yang umumnya kita
ketahui, padahal wali-wali sebelumnya sudah ada dan merupakan dewan wali
atau ulama Islam.

2. Posisi Wali Songo pada Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.

Wali Songo dalam posisinya dalam kerajaan dapat dikatakan juga


sebagai ulama kerajaan, namun juga adalah sebagai juga penentu atau
penasihat agama Islam. Selain itu juga ketika penyebaran Islam dengan
merebut kekuasaan, para wali juga ikut berperan dalam bidang politik
kenegaraan.

De Graaf dan Pigeaud (1986:77) menjelaskan bahwa Sebagai ahli dan


penegak hukum fiqh (= fakih) di Demak yang beragama Islam itu, sudah tentu
bertindak seorang kiai dari kalangan alim ulama. Jabatan pemangku hukum
syariat dan fungsi pemimpin masjid (imam), sudah sejak permulaan zaman
Islam di Jawa berhubungan erat. Gelar “panghulu” (kepala), yang sudah
dipakai oleh imam-imam di Demak, mungkin suatu bukti betapa besarnya
kekuasaan yang mereka peroleh juga di bidang hukum.

Tentang Sunan Gunung Jati yang merupakan seorang Panglima


Tentara Demak. Prof. Dr. Slamet Muljana (2009: 228) menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan panglima Demak itu adalah orang yang kemudian
disebut Sunan Gunung Jati, menjadi jelas karena adanya berita dari kronik
Tionghoa dari klenteng Talang yang bertarikh tahun 1552. Prof. Dr. Slamet
Muljana (2009: 228) menjelaskan bahwa Faletehan atau Sunan Gunung Jati
pada tahun 1526, ketika dikirim oleh Sultan Trenggono ke Cirebon dan Sunda
Kelapa adalah panglima perang. Sama sekali ia bukan seorang ulama.

Tentang agama Islam di Demak, menurut Prof. Dr. Slamet Muljana


(2009: 228) menjelaskan bahwa Sultan Demak beserta pengikutnya memeluk
agama Islam madzhab Hanafi, seperti yang diajarkan oleh Sunan Ngampel
alias Bong Swi Hoo.

Prof. Dr. Slamet Muljana (2009: 258) menjelaskan tentang Sunan Giri,
diceritakan dalam Babad Tanah Jawi bahwa ia dalam menghadapi bala
tentara Majapahit hanya melemparkan kalamnya. Dalam Serat Kanda,
diceritakan bahwa Sunan Cirebon memberikan badong kepada panglima
tentara Demak yang melawan tentara Majapahit. Tentang Sunan Bonang,
diceritakan bahwa ia berupa empat memenuhi kiblat, ketika ia menghadapi
Raden Said yang membegalnya di tengah jalan.

3. Peranan politik Wali Songo dalam kehidupan bernegara Kerajaan-kerajaan


Islam di Jawa.

Bahwa Demak merupakan tempat penting dilihat dari segi agama Islam
dapat disimpulkan berdasarkan cerita bahwa wali-wali di Jawa berpusat di
masjid keramat Demak, yaitu yang menurut cerita tersebut didirikan oleh wali
itu secara bersama-sama” (Supratikno R. dan Wiwin D.R., 1997: 62).

Peranan Wali Songo dalam politik Kerajaan Demak salah satunya,


Imron Abu Amar (1996: 23-24) menjelaskan bahwa dalam buku Babad Demak
disebutkan, bahwa Sunan Giri tetap mencalonkan Sunan Prawoto untuk
menjadi Sultan Demak tetapi Sunan Prawoto sendiri telah tercemar pribadinya
karena tertuduh membunuh Pangeran Sedo Lepen. Sedang suara Sunan
Kudus lain lagi, beliau mencalonkan Arya Penangsang (Adipati Jipang), karena
Arya Penangsang adalah pewaris (keturunan) lansung Sultan Demak dari
garis keturunan yang tertua, kecuali itu Arya Penangsang adalah orang yang
mempunyai sikap kepribadian yang teguh dan pemberani. Lain halnya dengan
Sunan Kalijaga, beliau ini mencalonkan Hadiwijaya (Adipati Pajang) atau
sering disebut juga dengan nama “Djoko Tingkir”, ia adalah manantu Sultan
Trenggono. Sikap pencalonan Sunan Kalijaga terhadap diri Pangeran
Hadiwijaya ini disertai alasan bahwa jika yang tampil Pangeran Hadiwijaya,
maka pusat kesultanan (kerajaan) Islam Demak akan dapat dipindahkan ke
Pajang, sebab apabila masih di Demak, agama Islam kurang berkembang,
sebaliknya akan lebih berkembang pesat apabila pusat kesultanan itu berada
di pedalaman (di Pajang). Sikap dan pendapat Sunan Kalijaga ini tampaknya
kurang disetujui oleh Sunan Kudus, karena Sunan yang satu ini berpendapat
apabila kegiatan pengembangan Islam berpusat di pedalaman (di Pajang)
sangat dikhawatirkan ajaran Islam yang mulia , terutama menyangkut bidang
Tasawwuf besar kemungkinannya bercampur dengan ajaran “Mistik” atau
Klenik. Dari pendapat ini menunjukkan bahwa Sunan Kudus tidak setuju
dengan sikap dan pendapat Sunan Kalijaga yang mencalonkan Pangeran
Hadiwijaya.

De Graaf dan Pigeaud (1986: 263-264) menjelaskan bahwa, mengenai


asal riwayat hidup Sultan Pajang, yang telah melanjutkan kekuasaan dinasti
Demak atas Jawa Tengah, buku-buku cerita (serat kandha) dan babad
memuat banyak cerita. Pada pokoknya, isinya mengatakan bahwa ia putra
raja Pengging terakhir yang dibunuh oleh Sunan Kudus. Waktu masih kecil
bernama Mas Karebet karena pada saat lahirnya wayang beber[2] sedang
dipertunjukkan di rumah ayahnya. Pada masa remaja ia bernama Jaka Tingkir,
sesuai dengan nama Tingkir, tempat ia dibesarkan.
Menurut cerita Mataram, Jaka Tingkir adalah cucu Sunan Kalijaga dari
Kadilangu, yaitu orang suci yang di Jawa Tengah bagian selatan dianggap
yang terpenting di antara sembilan wali” (De Graaf dan Pigeaud, 1986: 265).

Dalam bidang politik peranan Wali Songo yang sangat kelihatan adalah
tentang Wali Songo yang menghukum Syaikh Siti Jenar. Prof. Dr. Slamet
Muljana (2009: 228) menjelaskan bahwa Syaikh Siti Jenar telah dikenakan
hukuman bakar karena dituduh menyelewengkan ajaran agama Islam,
membeberkan rahasia yang seharusnya disimpan baik-baik. Terbukti bahwa
pembesar-pembesar di wilayah kerajaan Majapahit yang memeluk Islam
aliran Syi’ah tidak mau tunduk kepada Sultan Demak. Mereka membentuk
kekuatan baru yang mengincar Kesultanan Demak. Mereka menguasai
daerah-daerah sempit beserta rakyatnya, bebas dari kekuasaan Demak.

De Graaf (1985: 97) menjelaskan bahwa satu-satunya petunjuk


kronologis yang mungkin dapat diperoleh dalam Babad Tanah Jawi ialah fakta
bahwa pemimpin Demak yang turut serta dengan ekspedisi terhadap Giri
(1589?) masih bergelar Adipati, sedangkan orang yang turut serta dengan
ekspedisi ke Kediri (1591) hanya disebut sebagai Bupati. Maka, tahun 1590
dapat diperkirakan sebagai jatuhnya Kerajaan Demak.

Kesimpulan

Wali Songo yang merupakan nama sebuah dewan wali atau ulama dalam
peranannya di Nusantara memiliki beberapa periode. Dan setiap periode pun juga
memiliki anggota dewan wali yang memiliki perbedaan keanggotaan maupun jumlah
anggota. Dan dari periode awal sampai akhir periode Wali Songo pun juga memiliki
nama-nama tokoh yang berbeda pula. Dalam hal ini, periode Wali Songo dibagi
menjadi lima periode. Dari beberapa periode tersebut, nama-nama wali dalam Wali
Songo banyak sekali dan dari periode ke periode juga selalu ada pengganti wali yang
meninggal dunia atau pergi. Nama-nama Wali Songo tersebut adalah Maulana Malik
Ibrahim, Maulana Ishak, Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al
Maghrobi, Maulana Malik Isro'il, Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanudin,
Maulana Aliyudin, Syekh Subakir, Raden Ahmad Ali Rahmatullah, Sayyid Ja’far Shodiq,
Syarif Hidayatullah, Raden Paku atau Syekh Maulana Ainul Yaqin, Raden Said atau
Sunan Kalijaga, Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang, Raden Qasim atau
Sunan Drajad, Raden Hasan atau Raden Fattah (Raden Patah), Fathullah Khan, Sunan
Muria atau Raden Umar Said.

Konon Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah seorang
anggota Wali Songo, namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran
yang menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama, maka Siti
Jenar dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat
bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah bertobat dan menjadi murid
Sunan Kalijaga.
Namun, pada masyarakat umum, Wali Songo yang dikenal adalah Syekh
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad,
Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati.

Peranan Wali Songo dalam bidang politik sebenarnya sangat menonjol,


namun juga pada akhir hayatnya kemungkinan lebih berperan dalam menyiarkan
agama Islam dari pada politik, sehingga dalam kenyataan sekarang banyak orang
yang tahu hanya bahwa Wali Songo tersebut merupakan penyebar agama Islam di
Nusantara khususnya di Jawa. Namun juga pada mulanya Wali Songo sendiri
memang bertujuan untuk mengislamkan Jawa, dan seiring dengan perkembangan,
Wali Songo juga berperan dalam politik Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.

Anda mungkin juga menyukai