Anda di halaman 1dari 10

KLIPING WALI SONGO

NAMA :
KELAS :
ABSEN :

Wali Sɔngɔ) adalah tokoh Islam yang dihormati di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, karena
peran historis mereka dalam penyebaran agama Islam di Indonesia. Wali Songo berasal dari kata
Wali adalah "orang yang dipercaya" atau "orang yang ditugaskan" sedangkan kata Sanga dalam
(bahasa Jawa: Sɔngɔ) berarti nomor sembilan. Dengan demikian, istilah ini sering diterjemahkan
sebagai "Sembilan Wali".
Meskipun disebut sebagai Wali Songo (Sembilan Wali) tetapi ada bukti bahwa anggota dari
kesembilan wali hidup pada waktu yang berbeda tidak dalam waktu yang sama. Juga, ada sumber
yang menggunakan istilah "Wali Songo" untuk merujuk pada sosok selain dari kesembilan individu
dari "Wali Songo" yang paling terkenal.
Setiap anggota Wali Songo saling dikaitkan dengan gelar Sunan dalam bahasa Jawa, konteks ini
berarti "terhormat".[1]
Sebagian besar wali juga dijuluki Raden selama hidup mereka, karena mereka berketurunan
ningrat. (Lihat bagian "Gaya dan Gelar" Kesultanan Yogyakarta untuk penjelasan tentang istilah
bangsawan Jawa.)
Makam (pundhen) para wali dihormati oleh masyarakat Jawa sebagai lokasi ziarah di Jawa sebagai
bentuk rasa syukur dan terima kasih atas manfaat dan syafaat yang mereka amalkan pada masa
hidupnya.[2] Dalam tradisi Jawa makam memiliki istilah pundhen.

Arti Wali Songo

Masjid Agung Demak, diyakini sebagai salah satu tempat berkumpulnya para wali yang paling awal.

Ada beberapa pendapat mengenai arti Wali Songo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang
menandakan jumlah wali yang berjumlah sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain
menyebutkan bahwa kata songo / sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti
mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Wali Songo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama
kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah).
[3]
 Para Wali Songo adalah pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan
dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan,
bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

NAMA NAMA DAN SEJARAH PARA WALI SONGO


1. SUNAN GRESIK ( Maulana Malik Ibrahim )
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim merupakan salah satu wali songo (sembilan wali)
penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Konon, Sunan Gresik dianggap sebagai orang yang pertama
kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Bahkan Sunan Gresik merupakan wali senior dan
menjadi guru para wali songo. Dalam penyebaran agama Islam, Sunan Gresik merangkul
masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit.
Asal Sunan Gresik Michael Laffan, dalam buku Sejarah Islam di Nusantara (2015), Sunan Gresik
atau Maulana Malik Ibrahim dikenal juga sebagai Maulana Maghribi.
Beliau merupakan keturunan Arab yang menempuh perjalanan ke Nusantara untuk menyebarkan
agama Islam. Berbagai sumber menyatakan, jika Sunan Gresik dilahirkan di Samarkand, Uzbekistan,
Asia Tengah pada awal abad ke-14. Sunan Gresik tiba di Nusantara sekitar 1404 dari Champa
(sekarang Vietnam) dan meninggal di Gresik pada 1419. Sunan Gresik tiba di Tanah Jawa tepatnya
di Desa Sembalo, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik. Kemudian menetap dan berdakwah ke
masyarakat. Cara berdakwah Metode dakwah yang dilakukan Sunan Gresik dengan memakai
pendekatan budaya. Di mana mengajarkan masyarakat dengan bercocok tanam dan bertani.

Sunan Gresik mengandalkan jaringan perdagangan untuk memperkaya petani. Cara tersebut untuk
merangkul dan menolong masyarakat pada waktu itu. Apalagi waktu itu masyarakat terkena
dampak dari perang saudara di Kerajaan Majapahit. Berlahan-lahan masyarakat tertarik untuk
belajar agama Islam. Sunan Gresik juga mendirikan pondok pesantren dan masjid sebagai tempat
untuk mengajarkan agama Islam bagi masyarakat. Pondok pesantren dibangun di daerah Leran,
Gresik. Budi pekerti dan ramah tamah selalu diperlihatkan saat pergaulan sehari-hari dengan
masyarakat. Dalam berdakwah, Sunan Gresik harus menghadapi masyarakat yang telah menganut
agama Hindu dan Budha serta kepercayaan asli yang sudah mengakar waktu itu.
Maulana Malik Ibrahim menginjakan kaki di Nusantara pada 801 hijriah atau 1392 masehi.

2. SUNAN AMPEL ( Raden Rahmat )


Sunan Ampel bernama lengkap Raden Muhammad Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat, lahir
di Champa (Kamboja) sekitar 1401. Ia tergolong keturunan bangsawan, anak dari ulama besar
Syekh Maulana Malik Ibrahim, sekaligus juga keponakan dari Raja Majapahit. Karena gonjang-
ganjing politik di Champa, sekitar abad 15, Raden Rahmat melakukan perjalanan ke daerah
Jawa untuk menunaikan misinya menyebarkan agama Islam. Dalam perjalanannya ke tanah
Jawa, Raden Rahmat sempat singgah di Palembang dan berhasil mengislamkan adipati
Palembang Arya Damar yang diam-diam berganti nama Ario Abdillah. Ia juga singgah di Tuban
dan berlabuh di Majapahit. Karena hubungan baiknya dengan Raja Majapahit kala itu, Prabu
Brawijaya, Raden Rahmat diberi sebidang tanah di Ampeldenta, Surabaya. Di sanalah basis
pertama dakwah Raden Rahmat berdiri. Karena ia menyebarkan Islam di kawasan
Ampeldenta, ia dikenal sebagai Sunan Ampel. Di kawasan Surabaya itu, dakwahnya dimulai
dengan mendirikan pesantren Ampeldenta, ia mendidik kader-kader penyebar Islam. Di antara
murid-murid Sunan Ampel yang terkenal adalah Sunan Giri, Raden Patah, Raden Kusen,
Sunan Bonang, dan Sunan Drajat. Dakwah Islam yang dilakukan Sunan Ampel bersamaan
dengan lemahnya posisi kerajaan Majapahit. Kendati Prabu Brawijaya menolak masuk Islam,
namun ia menghormati posisi Sunan Ampel dan mengizinkan dakwahnya, asalkan tidak
dilakukan dengan pemaksaan. Sebelum membangun pesantren, Sunan Ampel menarik
perhatian masyarakat dengan membagikan kerajinan dalam bentuk kipas yang terbuat dari
akar-akaran dan ayaman rotan. Bagi yang mau mengambilnya, tidak perlu menukarkan dengan
uang, melainkan dengan dua kalimat syahadat. Mengenai kondisi masyarakat kala itu, banyak
dari mereka menganut animisme, bersemadi, judi sabung ayam, minum-minuman keras, dan
lain sebagainya yang bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itulah, Sunan Ampel
menekankan prinsip Moh Limo dalam dakwahnya sebagai berikut: Moh Main (tidak berjudi)
Moh Ngombe (tidak mabuk) Moh Maling (tidak mencuri) Moh Madat (tidak menghisap candu)
Moh Madon (tidak berzina) Selain itu, Sunan Ampel juga mendekatkan istilah Islam dengan
bahasa masyarakat setempat. Kata “salat” diganti dengan “sembahyang” (asalnya: sembah
dan nyang). Tempat ibadah juga tidak dinamai musala melainkan “langgar”, mirip dengan kata
“sanggar”. Kemudian, orang penuntut ilmu diberikan nama santri, yang berasal dari shastri,
yaitu orang yang tahu kitab suci Hindhu (Nur Hamiyatun, Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam,
Vol. 5(1), 2019). Dakwah Islam Sunan Ampel juga melalui jalur politik. Dalam buku Atlas Wali
Songo (2016) yang ditulis Agus Sunyoto, Sunan Ampel menjabat sebagai penguasa Surabaya
menggantikan penguasa sebelumnya, Arya Lembu Sura meninggal (Hlm. 197). Sunan Ampel
juga menjalin jaringan dakwah dan kekerabatan melalui perkawinan putra-putri penyebar Islam
dengan penguasa Majapahit. Sebagai misal, Retna Panjawati, putri Arya Lembu Sura yang
beragama Islam menikah dengan Prabu Brawijaya. Mas Murtosimah, putri Sunan Ampel
dinikahkan dengan Raden Patah (Adipati Demak), dan lain sebagainya. Di Demak yang
merupakan wilayah dakwah Sunan Ampel, bersama dengan Raden Patah dan penguasa
wilayah setempat, ia mendirikan Masjid Agung Demak. Nama Sunan Ampel diabadikan menjadi
nama salah satu dari empat tiang masjid tersebut. Dari sisi keluarganya, Sunan Ampel memiliki
dua istri, yaitu Nyai Ageng Manila atau Ni Gede Manila, putri Tumenggung Wilatika dan Mas
Karimah, putri Ki Wiro Suryo. Dari dua istrinya itu, Sunan Ampel memiliki tujuh anak, termasuk
Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Syarifuddin (Sunan Drajat). Sunan Ampel
diperkirakan meninggal pada 1481 di Demak. Ia dimakamkan di sebelah barat masjid Ampel,
Surabaya.

3. SUNAN GIRI (Raden Paku)


Sunan Giri adalah salah seorang ulama Wali Songo, majelis penyebar dakwah Islam pertama
di Jawa dalam sejarah Indonesia atau Nusantara, pada abad ke-14 Masehi seiring munculnya
Kesultanan Demak dan menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit. Selain sebagai ulama dan
pendakwah yang giat menyebarkan syiar Islam, Sunan Giri ternyata juga bertakhta sebagai
seorang raja dengan Prabu Satmoto. Ia memerintah Kerajaan Giri Kedaton pada 1487-1506,
berkedudukan di Gresik, Jawa Timur. Sunan Giri punya banyak nama lain atau julukan, di
antaranya adalah Joko Samudro, Raden Paku, dan Muhammad Ainul Yaqin. Sebelum
menyebarkan Islam, ia berguru kepada Sunan Ampel di Pesantren Ampeldenta, Surabaya. Di
pondok pesantren itu, keilmuan Sunan Giri ditempa. Kharismanya sebagai bangsawan juga
kian kuat karena belajar dari Sunan Ampel yang saat itu juga berstatus sebagai penguasa
Surabaya, anggota senior Wali Songo pula. Ketika kerajaan Majapahit terpecah-pecah menjadi
kadipaten-kadipaten kecil, Sunan Giri mempertahankan kemerdekaan wilayahnya dan
mengangkat dirinya sebagai penguasa Giri Kedaton hingga ia wafat pada 1506 M. Dilansir dari
Disparbud Gresik, saat ini makam Sunan Giri terletak di atas bukit di Desa Giri, Kecamatan
Kebomas, Gresik, Jawa Timur.
Ajaran Dakwah Sunan Giri & Wafatnya Muhammad Ainul Yaqin mendirikan pesantren usai
menuntut ilmu di pesantren Ampeldenta di bawah bimbingan Sunan Ampel. Ia juga berhaji dan
memperdalam keislaman di Mekah sebelum mendirikan pesantren tersebut. Pondok pesantren
yang didirikan Ainul Yaqin terletak di kawasan Giri atau daerah Gresik sekarang. Maka, ia
kemudian dikenal dengan nama Sunan Giri. Alik Al Adhim dalam buku Kerajaan Islam di Jawa
(2012) menuliskan bahwa selain melalui jalur pendidikan, Sunan Giri juga berdakwah lewat
karya-karya seni yang ia ciptakan, seperti tembang atau lagu dan permainan anak-anak.
Permainan anak-anak yang dibuat oleh Sunan Giri di antaranya adalah Jelungan, Jamuran,
Gendi Gerit, dan lainnya. Sedangkan tembang anak-anak yang ia ciptakan sebut saja Padang
Bulan, Jor, Gula Ganti, dan Cublak-cublak Suweng.

4. SUNAN BONANG (Raden Maulana Makdum Ibrahim)

Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang merupakan salah satu ulama anggota Wali Songo
sebagai penebar syiar Islam di Jawa pada abad ke-14 Masehi. Sunan Bonang juga dikenal
sebagai seniman yang berdakwah dengan menggunakan sejumlah perangkat seni, termasuk
gamelan, juga karya sastra. Konon, Raden Makdum Ibrahim adalah penemu salah satu jenis
gamelan dengan tonjolan di bagian tengahnya atau yang kerap disebut bonang. Dari situlah
julukan Sunan Bonang disematkan kepada Raden Makdum Ibrahim. Agus Sunyoto dalam Atlas
Wali Songo (2016) menuliskan bahwa Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang merupakan
putra keempat Raden Rahmat atau Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyai Ageng Manila,
putri Bupati Tuban, Arya Teja. Sejarah Hidup Sunan Bonang Raden Makdum Ibrahim lahir
pada 1465 M di Surabaya dan tumbuh dalam asuhan keluarga ningrat yang agamis. Sunan
Ampel adalah pendiri sekaligus pengasuh Pesantren Ampeldenta. Pendidikan Islam diperoleh
Raden Makdum Ibrahim pertama kali dari ayahnya sendiri di pesantren Ampeldenta. Sejak
kecil, Sunan Ampel sudah mempersiapkan putranya itu sebagai penerus untuk mensyiarkan
ajaran Islam di bumi Nusantara. Asal Usul Nama Sunan Bonang Dakwah Sunan Bonang
dimulai dari Kediri, Jawa Timur. Ia mendirikan langgar atau musala di tepi Sungai Brantas,
tepatnya di Desa Singkal. Diceritakan, Sunan Bonang sempat mengislamkan Adipati Kediri,
Arya Wiranatapada, dan putrinya. Usai dari Kediri, Sunan Bonang bertolak ke Demak, Jawa
Tengah. Oleh Raden Patah, pendiri sekaligus pemimpin pertama Kesultanan Demak, Sunan
Bonang diminta untuk menjadi imam Masjid Demak. Ada satu lagi versi berbeda terkait
penamaan Sunan Bonang yang disematkan kepada Raden Makdum Ibrahim selain dari kisah
bahwa ia adalah penemu gamelan jenis bonang. Selama menjadi imam Masjid Demak, Raden
Makdum Ibrahim tinggal di Desa Bonang. Versi kedua menyebut julukan Sunan Bonang
disematkan berdasarkan lokasi tempat tinggalnya tersebut.

5. SUNAN KALIJAGA (Radenmas Syahid)


Sunan Kalijaga adalah salah satu ulama Wali Songo yang dikenal paling luas pengaruh dan
cakupan dakwahnya di tanah Jawa. Sejarah hidup Sunan Kalijaga tidak semulus yang
dibayangkan. Sebelum menjadi pendakwah, ia adalah bromocorah alias penjahat. Riwayat
kehidupan Sunan Kalijaga melintas-batas era kerajaan di Jawa yang silih-berganti. Ia
menyaksikan perubahan sejak masa akhir Kerajaan Majapahit, lalu Kesultanan Demak,
Kesultanan Pajang, hingga awal Kesultanan Mataram Islam. Dilahirkan dengan nama Raden
Said pada sekitar 1450 Masehi, Sunan Kalijaga merupakan putra Tumenggung Wilatikta,
Bupati Tuban. Di masa mudanya, Raden Said dikenal dengan remaja nakal yang suka berjudi,
minum minuman keras, mencuri, dan melakukan banyak perbuatan tercela. Hal ini membuat
ayahnya yang merupakan bangsawan dan penguasa Tuban malu memiliki anak berandalan.
Akibatnya, Raden Said diusir dari rumah oleh orang tuanya. Kenakalan Raden Said justru
menjadi-jadi. Ia menjadi bromocorah alias penjahat. Kerjaannya membuat onar dan kerusuhan,
bahkan konon Raden Said pernah menghabisi nyawa orang.
Dakwah Sunan Kalijaga Dakwah Raden Said dimulai di Cirebon, di Desa Kalijaga, untuk
mengislamkan penduduk Indramayu dan Pamanukan. Karena basis dakwahnya di Desa
Kalijaga, Raden Said kemudian dikenal dengan julukan Sunan Kalijaga. Sebagaimana Wali
Songo yang lain, Sunan Kalijaga berdakwah dengan pendekatan seni dan budaya. Ia amat
mahir mendalang dan menggelar pertunjukan wayang. Sebagai dalang, ia dikenal dengan
julukan Ki Dalang Sida Brangti, Ki Dalang Bengkok, Ki Dalang Kumendung, atau Ki Unehan.
Berbeda dengan pertunjukan wayang lainnya, Sunan Kalijaga tidak mematok tarif bagi yang
ingin menyaksikan pertunjukan beliau, melainkan cukup dengan menyebut Kalimosodo atau
dua kalimat syahadat sebagai tiket masuknya. Dengan begitu, orang-orang yang menyaksikan
pertunjukan wayang Sunan Kalijaga sudah masuk Islam. Berkat kelihaian Sunan Kalijaga
berbaur, lambat laun masyarakat setempat mengenal Islam pelan-pelan dan mulai
menjalankan syariat Islam.
Dalam pertunjukannya, terdapat banyak lakon digubah Sunan Kalijaga yang diadaptasi dari
naskah kuno, salah satu yang paling digemari adalah lakon Dewa Ruci, Layang Kalimasada,
Lakon Petruk Jadi Raja, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, Sunan Kalijaga juga
menambahkan karakter-karakter baru seperti punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong,
Petruk, dan Gareng. Selain menggelar pertunjukan wayang, Sunan Kalijaga juga menggubah
tembang-tembang yang sarat dengan muatan keislaman, seperti Kidung Rumeksa ing Wengi,
Ilir-ilir, dan lain sebagainya.
Sunan Kalijaga menikahi Siti Zainab, adik Sunan Gunung Jati. Istrinya yang lain adalah Dewi
Sarah, putri Maulana Ishak. Dari istri-istrinya itu, Sunan Kalijaga memperoleh beberapa anak,
di antaranya adalah Watiswara atau Sunan Penggung dan Sunan Muria. Kedua anaknya itu
melanjutkan dakwah yang dirintis Sunan Kalijaga. Tidak ada catatan pasti yang menyebutkan
kapan Sunan Kalijaga meninggal dunia. Makamnya terletak di Desa Kadilangu, kira-kira
berjarak 3 km dari Masjid Agung Demak.

6. SUNAN GUNUNG JATI (Syarif Hidayatullah)


Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah salah seorang ulama Wali Songo, majelis
pendakwah agama Islam dalam sejarah Indonesia pada abad ke-14 Masehi. Ulama ini juga
merupakan Sultan Cirebon (1479-1568) dengan gelar Susuhunan Jati. Dikutip dari Sunan
Gunung Djati: Sang Penata Agama di Tanah Sunda (2020) yang ditulis Wawan Hernawan dan
Ading Kusdiana, Sunan Gunung Jati lahir adalah putra Sultan Syarif Abdullah bin Ali Nurul
Alim, pangeran Mesir yang menikah dengan Nyai Rarasantang, putri Prabu Siliwangi dari
Kerajaan Pajajaran, Nama asli Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah. Sejak kecil,
sudah tampak kecerdasan dan ketekunannya dalam menuntut ilmu. Karena kesungguhannya
menekuni ilmu agama, atas izin sang ibunda, Syarif Hidayatullah berangkat ke Mekah. Di tanah
suci, Syarif Hidayatullah berguru dengan Syekh Tajudin Al-Qurthubi. Beberapa waktu
kemudian, ia ke Mesir untuk belajar kepada Syekh Muhammad Athaillah Al-Syadzili, seorang
ulama bermadzhab Syafi'i sekaligus mempelajari tasawuf tarekat Syadziliyah. Syarif
Hidayatullah kemudian pulang ke Nusantara untuk berguru pada Syekh Maulana Ishak di
Pasai, Aceh. Selanjutnya, ia mengembara ke Karawang, Kudus, hingga di Pesantren
Ampeldenta Surabaya untuk belajar kepada Sunan Ampel. Oleh Sunan Ampel, Syarif
Hidayatullah diminta untuk berdakwah dan menyebarkan Islam di daerah Cirebon. Di sana, ia
menjadi guru agama menggantikan Syekh Datuk Kahfi di Gunung Sembung. Setelah banyak
masyarakat Cirebon masuk Islam, Syarif Hidayatullah melanjutkan dakwahnya ke daerah
Banten. Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati, putri Pangeran Cakrabuana
atau Haji Abdullah Iman, penguasa Cirebon kala itu. Dalam buku Atlas Wali Songo (2016) yang
ditulis Agus Sunyoto diungkapkan, atas bantuan mertuanya, Syarif Hidayatullah mendirikan
sebuah pondok pesantren dan mengajarkan Islam kepada penduduk sekitar. Oleh para
santrinya, Syarif Hidayatullah dipanggil dengan julukan Maulana Jati atau Syekh Jati. Selain itu,
karena ia berdakwah di daerah pegunungan, ia digelari sebagai Sunan Gunung Jati. Setelah
Pangeran Cakrabuana meninggal dunia, tampuk Kerajaan Cirebon dilanjutkan oleh
menantunya yakni
Sunan Gunung Jati. Untuk memperluas syiar Islam, Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyai
Ratu Kawunganten, putri bupati Kawunganten Banten. Salah seorang anaknya, Maulana
Hasanudin, kelak meneruskan dakwah ayahnya sekaligus menjadi Sultan Banten. Cirebon juga
menjalin hubungan dengan Tiongkok. Diceritakan, Sunan Gunung Jati juga menikahi putri
Kaisar Cina Hong Gie dari Dinasti Ming yang bernama Ong Tien. Usai menikah dengan Syarif
Hidayatullah, ia berganti nama Nyi Mas Rara Sumanding. Dakwah Islam yang dilakukan Sunan
Gunung Jati kian kokoh berkat kerjasama dengan banyak kerajaan tersebut. Pada 1568 M,
Sunan Gunung Jati berpulang. Ketika meninggal, usianya diperkirakan mencapai 118 tahun.
Makamnya terletak di Gunung Sembung, Desa Astana, Cirebon Utara.

7. SUNAN DRAJAT (Qadim)


Raden Qasim atau Sunan Drajat adalah salah seorang anggota Wali Songo, majelis penyebar
agama Islam dalam sejarah Jawa pada abad ke-14 Masehi. Putra bungsu Sunan Ampel ini
melakukan dakwah Islam dengan prinsip Pepali Pitu atau 7 Dasar Ajaran, selain melalui seni
dan budaya. Sunan Drajat lahir di Ampeldenta, Surabaya, pada 1470 M dengan nama Raden
Qasim sebagai putra termuda Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila. Ia adalah adik dari
Raden Maulana Makdum Ibrahim alias Sunan Bonang. Selain Raden Qasim, Sunan Drajat
memiliki banyak nama atau julukan lainnya, seperti Masaikh Munat, Raden Syarifuddin,
Maulana Hasyim, Pangeran Kadrajat, atau Sunan Mayang Madu. Sejarah Hidup Sunan Drajat
Raden Qasim memperoleh ilmu keislaman langsung dari ayahnya, Sunan Ampel, yang
memimpin pondok pesantren Ampeldenta, Surabaya. Setelah beranjak remaja, Raden Qasim
merantau ke Cirebon untuk berguru kepada Sunan Gunung Jati. Di Cirebon, Raden Qasim
menikahi putri Sunan Gunung Jati yang bernama Dewi Sufiyah. Hingga kemudian, Raden
Qasim kembali ke Ampeldenta bersama istrinya. Sesampainya di Ampeldenta, Sunan Ampel
meminta Raden Qasim untuk berdakwah di daerah Gresik. Raden Qasim menuruti perintah
ayahnya, meneruskan perjalanan menuju Gresik. Ia menetap di Desa Banjarwati dan disambut
baik oleh sesepuh kampung yang bernama Kiai Mayang Madu dan Mbah Banjar. Di Desa
Banjarwati, Raden Qasim dinikahkan dengan putri Kiai Mayang Madu yang bernama Nyai
Kemuning. Baca juga: Sejarah Masjid Sunan Ampel: Pendiri, Kota Lokasi, & Gaya Arsitektur
Sejarah dan Profil Sunan Ampel: Wali Pendakwah di Jalur Politik Sejarah Runtuhnya Kerajaan
Giri Kedaton oleh Mataram Islam Di wilayah yang bernama Jelag, daerah yang memiliki medan
lebih tinggi dari tempat lainnya di Desa Banjarwati, Raden Qasim mendirikan surau dan
mengajar penduduk setempat. Kendati tergolong bangsawan, ia amat dekat dengan rakyat.
Jiwa sosialnya tinggi serta mengutamakan kesejahteraan penduduk. Agus Sunyoto dalam Atlas
Wali Songo (2016) menjelaskan bahwa ajaran Islam yang didakwahkan Raden Qasim
menekankan pada etos kerja keras dan empati berupa kedermawanan, sikap tenggang rasa,
saling peduli, pengentasan kemiskinan, gotong royong, dan solidaritas sosial. Ketika turun
langsung ke masyarakat, Raden Qasim mengajarkan banyak hal kepada warga, dari cara
membangun rumah, membuat alat-alat untuk memikul orang seperti tandu atau joli, dan lain
sebagainya. Pada akhirnya, Raden Qasim dijadikan imam pelindung oleh penduduk di
pedukuhan Drajat. Sejak itulah, Raden Qasim mulai dikenal dengan nama Sunan Drajat.
Berikut ini Pepali Pitu sebagai pijakan kehidupan sehari-hari yang disampaikan oleh Sunan
Drajat: Memangun resep tyasing sasama (Membuat senang hati orang lain). Jroning suka kudu
eling lan waspada (Dalam suasana gembira, hendaknya tetap ingat Tuhan dan selalu
waspada). Laksitaning subrata tan nyipa marang pringga bayaning lampah (Dalam mencapai
cita-cita luhur, jangan menghiraukan halangan dan rintangan). Meper hardaning pancadriya
(Senantiasa berjuang untuk menekan hawa nafsu duniawi). Heneng-Hening-Henung (Dalam
diam akan dicapai keheningan, dalam hening akan dicapai jalan kebebasan mulia). Mulya guna
panca waktu (Pencapaian kemuliaan lahir batin dicapai dengan menjalani salat lima waktu).
Menehono teken marang wong kang wuto. Menehono mangan marang wong kang luwe.
Menehono busana marang wong kang wuda. Menehono pangiyup marang wong kang
kaudanan (Berikan tongkat kepada orang buta. Berikan makan kepada orang lapar. Berikan
pakaian kepada orang tak berpakaian. Berikan tempat berteduh kepada orang kehujanan).
Sunan Drajat juga mahir menggubah sejumlah tembang. Tembang terkenal yang digubahnya
adalah tembang tengahan macapat pangkur untuk menyampaikan ajaran falsafah kehidupan
kepada masyarakat. Sunan Drajat juga pandai mendalang serta sesekali mementaskan
pertunjukan wayang untuk sarana dakwahnya. Peninggalan Sunan Drajat yang masih disimpan
hingga sekarang adalah seperangkat gamelan yang disebut "Singo Mengkok" serta benda-
benda seni lainnya. Suhailid dalam Sejarah Kebudayaan Islam (2020) mengungkapkan, di
masa tuanya, Sunan Drajat pindah ke kawasan Dalem Wungkur, arah selatan dari Desa Drajat.
Ia menghabiskan masa tuanya dengan berdakwah di sana. Pada 1522 M, Raden Qasim atau
Sunan Drajat tutup usia. Makamnya terletak di Desa Drajat, Paciran, Lamongan, Jawa Timur.

8. SUNAN KUDUS (Ja’ffar Sidiq)


Di antara santri-santri paling kesohor dari alumni pesantren Ampeldenta yang didirikan oleh
Sunan Ampel, terdapat sosok Ja'far Shadiq atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan
Kudus. Ja'far Shadiq lahir dari keluarga bangsawan Kerajaan Demak. Jika ditarik lebih jauh
lagi, jalur keturunannya sampai ke nasab Nabi Muhammad SAW melalui jalur Husain bin Ali
RA.
Ayahnya adalah Usman Haji bin Ali Murtadha, saudara kandung Sunan Ampel. Sebelum
meninggal, ayahnya adalah senopati atau panglima Kerajaan Demak. Usai mangkat, Ja'far
Shadiq menggantikan jabatan ayahnya untuk memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan
Demak. Melalui posisi senopati itulah, Ja'far Shadiq menyebarkan Islam di wilayah Demak.
Selain menjabat sebagai senopati, ia juga diangkat menjadi imam besar Masjid Agung Demak,
serta menjadi qadhi atau hakim di Kerajaan tersebut. Ketika terjadi perselisihan internal di
kerajaan Demak, Ja'far Shadiq kemudian pindah ke kawasan Tajug, sebagaimana dikutip dari
buku Sejarah Kebudayaan Islam (2020) yang ditulis Suhailid. Di kawasan Tajug ini, Ja'far
Shadiq tidak lagi aktif di dunia politik dan fokus menyebarkan dakwah Islam. Strategi dakwah
yang ia usung adalah melalui pendekatan seni dan budaya. Ia tidak langsung melarang
masyarakat yang masih menganut kepercayaan animisme dan agama Hindu-Buddha,
melainkan merangkulnya pelan-pelan. Berkat kharisma dan keluwesan pergaulannya, Ja'far
Shadiq memperoleh simpati dari masyarakat. Dalam uraian "Genealogi Walisongo: Humanisasi
Strategi Dakwah Sunan Kudus" yang ditulis Mas'udi, dijelaskan bahwa alih nama dari Tajug ke
Kudus juga dipengaruhi oleh Ja'far Shadiq. Berkat penerimaan dakwah yang disampaikan
Ja'far Shadiq, wilayah Tajug kemudian berganti nama dengan Kudus, yang diambil dari kata Al-
Quds, sebuah kota suci di Yerusalem. Karena itulah, Ja'far Shadiq dikenal dengan julukan
Sunan Kudus. Sunan Kudus kemudian mengembangkan dakwahnya melalui akulturasi budaya
dengan perlahan agar bisa diterima masyarakat setempat. Terbukti, masjid Kudus yang
dibangun di masa dakwah beliau memiliki arsitektur unik. Menara masjidnya serupa candi.
Sunan Kudus berhasil mengompromikan arsitektur Islam, Jawa, Hindu-Buddha, dan Tionghoa.
Dalam buku Atlas Wali Songo (2016) yang ditulis Agus Sunyoto disebutkan beberapa guru
Sunan Kudus seperti Kiai Telingsing, ulama Cina yang bernama asli The Ling Sing, Sunan
Kudus juga belajar kiai-kiai pesantren Ampeldenta, dan ayahnya sendiri, Usman Haji bin Ali
Murtadha. Selain itu, Sunan Kudus juga gemar mengembara ke wilayah-wilayah jauh seperti
Hindustan hingga tanah suci Makkah. Dari sisi keluarganya, Sunan Kudus menikahi Dewi
Rukhil, putri Sunan Raden Maqdum Ibrahim (Sunan Bonang). Dari istrinya itu, Sunan Kudus
memiliki seorang anak bernama Amir Hasan. Setelah beberapa tahun mengabdi dan
berdakwah di wilayah Kudus, Ja'far Shadiq pun tutup usia, tetapi tahun kematiannya tidak
diketahui dengan jelas. Makam Sunan Kudus terletak di bagian belakang Masjid Agung Kudus,
Jawa Tengah.

9. SUNAN MURYA (Raden Umar Said)


Ulama pendakwah Islam termuda di antara Wali Songo adalah Sunan Muria. Ia merupakan
putra Sunan Kalijaga. Sunan Muria melanjutkan strategi dakwah ayahnya dengan
menyebarkan ajaran Islam di Jawa melalui media seni dan budaya. Sunan Muria merupakan
anak sulung Sunan Kalijaga dari pernikahannya dengan Dewi Sarah, putri Maulana Ishak.
Nama kecilnya adalah Raden Umar Said atau ada juga yang menyebutnya Raden Prawoto.
Ilmu keislaman diperoleh Raden Umar Said langsung dari sang ayah. Bberanjak remaja, ia
berguru kepada Ki Ageng Ngerang bersama Sunan Kudus dan Adipati Pathak.
Raden Umar Said alias Sunan Muria terlibat dalam pemilihan Raden Patah sebagai pemimpin
perdana kerajaan Islam pertama di Jawa tersebut. Kendati termasuk sosok berpengaruh di
Kesultanan Demak, namun Raden Umar Said lebih suka tinggal di daerah terpencil dan jauh
dari pusat perkotaan dalam menjalankan dakwahnya. Sunan Muria suka bergaul dengan rakyat
jelata sambil mengajarkan keterampilan bercocok tanam, berdagang, dan kesenian. Julukan
Sunan Muria disematkan karena ia menetap di Gunung Muria. Gunung Muria terletak di pantai
utara Jawa Tengah, sebelah timur laut Kota Semarang. Gunung ini termasuk ke dalam wilayah
Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, dan wilayah Kabupaten Pati. Sunan Muria juga
merangkul tradisi dan budaya masyarakat setempat, serta menyesuaikannya dengan ajaran
Islam. Salah satu tradisi yang diubah Sunan Muria adalah tradisi bancakan. Fungsi tumpeng
diubah menjadi kenduri untuk mengirim doa kepada leluhur dengan doa-doa Islam di rumah
sohibul hajat. Selain itu, ia juga mengikuti jejak dakwah ayahnya, Sunan Kalijaga, yang
menyiarkan Islam melalui seni-budaya. Sunan Muria mengembangkan penulisan tembang cilik
(sekar alit) jenis Sinom dan Kinanthi. Tembang tersebut masih populer hingga sekarang di
kalangan masyarakat Jawa. Agus Sunyoto menyebutkan Sunan Muria kerap menggelar
pertunjukan wayang gubahan ayahnya, seperti Dewa Ruci, Dewa Srani, Jamus Kalimasada,
Begawan Ciptaning, Semar Ambarang, dan sebagainya. Dari cerita-cerita wayang itulah,
Sunan Muria menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat. Lantaran pengaruhnya
itu, Raden Umar Said dikenal sebagai sosok penting di masyarakat Gunung Muria. Dakwahnya
pun meluas hingga daerah Jepara, Tayu, Juwana, hingga sekitar Kudus. Karena kedudukan
dan pengaruhnya itu, pihak kesultanan memberikan pengawalan khusus kepada putra Sunan
Kalijaga ini. Sunan Muria meninggal dunia pada 1551 M, makamnya terletak di lereng Gunung
Muria, Kecamatan Colo, 18 km utara Kota Kudus. Di sekitar makam Sunan Muria, terdapat 17
makam prajurit dan abdi dalem Kesultanan Demak yang menjadi pengawal khusus sang
ulama.

Anda mungkin juga menyukai