Anda di halaman 1dari 12

KLIPING SEJARAH WALI SONGO

Kelompok 2 / X – TJKT 2
Nama Anggota : 1. Amalia ( 02 )
2. Angela Salma ( 05 )
3. Berliannica Atmajaya ( 07 )
4. Chika Alfia Dani ( 09 )
5. Dany Rahman Priyadiyatna ( 11 )
6. Fahrurroji Reno Rayi Faisa ( 15 )
7. Hauzan Ilham Aqil ( 19 )
8. Muhammad Sulthon S.B. ( 23 )
9. Roelandsio Vicky Saputra ( 27 )
10. Zeus Vendra F. ( 33 )
A. SILSILAH WALI SONGO

Wali songo adalah sembilan tokoh yang menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa
pada abad ke-14 hingga ke-18.
Istilah Wali Songo berasal dari kata wali (bahasa Arab) yang artinya wakil dan
sanga (bahasa Jawa) yang artinya sembilan.
Kesembilan tokoh tersebut dipanggil dengan sebutan sunan yang berasal dari kata
susuhunan. Gelar sunan hanya diberikan untuk orang-orang yang diagungkan dan
dihormati.
B. SEJARAH WALI SONGO
1. Sunan Gresik
Walisongo yang pertama menyebarkan Islam di tanah
Jawa adalah Sunan Gresik pada abad ke-14 Masehi.
Sunan Gresik memiliki nama asli Syekh Maulana Malik
Ibrahim. Sebutan lain untuk ayah Sunan Ampel adalah
Maulana Maghribi. Namun, lebih akrab disapanya adalah
Sunan Gresik karena ia berdakwah di wilayah Gresik,
Jawa Timur.
SUNAN GRESIK

Sunan Gresik berdakwah untuk masyarakat di sekitar pelabuhan yang mayoritas


memeluk agama Hindu dan Buddha. Cara dakwahnya yang mudah dipahami menarik
simpati masyarakat untuk mengenal dan memeluk Islam.

Bahkan, Raja Brawijaya memberikan kepercayaan kepada Sunan Gresik untuk


menyebarkan Islam di Jawa. Oleh Raja Majapahit itu, Sunan Gresik juga diangkat sebagai
Syahbandar atau kepala pelabuhan.

Untuk memudahkan dalam penyebaran agama Islam, Sunan Gresik mendirikan pesantren
di Desa Sembalo, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik. Pesantren ini menjadi pusat
pembelajaran agama Islam di masa itu.

Selain mendirikan pesantren, Sunan Gresik juga membangun masjid Pesucinan. Konon,
masjid ini merupakan masjid tertua yang ada di Pulau Jawa.

Sebagai wali yang pertama menyebarkan agama


Islam di Jawa, Sunan Gresik sangat cerdas dalam cara
dakwahnya. Bapak Sunan Ampel ini sukses menarik
simpati masyarakat Jawa untuk belajar Islam. 

Banyak yang awalnya beragama Hindu dan Budha


kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat.
Kesuksesan cara dakwah Sunan Gresik dapat dilihat
dari jumlah pemeluk agama Islam yang terus
bertambah. 

Dalam pengobatannya, Sunan Gresik tak membeda-bedakan golongan masyarakat.


Golongan masyarakat kelas atas, tengah, maupun bawah di mata Sunan Gresik adalah sama.
Inilah yang disukai oleh masyarakat. Keahlian mengobati orang yang sakit juga terdengar
hingga telinga sang raja Majapahit. Akhirnya Sunan Gresik diundang untuk mengobati istri
raja yang sedang sakit.

Bukan hanya mengobati orang yang sakit, Sunan Gresik juga gemar berdagang dan bertani.
Ia mengajarkan masyarakat Jawa bagaimana cara berdagang yang baik dan benar.

Kemudian bagaimana cara bertani dan bercocok tanam yang bisa mendapatkan hasil panen
maksimal. Tentu saja Sunan Gresik memberikan ilmu-ilmu tersebut secara gratis. 
Dengan menerapkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan pribadinya, banyak masyarakat
yang tertarik dengan Islam. Akhirnya mereka berbondong-bondong untuk mengucapkan
dua kalimat syahadat dan memeluk agama Islam tanpa ada paksaan.

Sunan Gresik meninggal pada Senin, 12 Rabbiul Awwal 822 H atau tepat di tahun 1419 M.
Tanggal tersebut kemudian diperingati sebagai haul Sunan Gresik yang setiap tahunnya
diikuti jemaah lokal maupun luar daerah dari berbagai penjuru. 

Sunan Gresik dimakamkan di Jalan Malik Ibrahim di Desa Gapura Sukolilo. Jaraknya sekitar
200 m dari Alun-alun Gresik. Akses ke makam Sunan Gresik mudah dijangkau dengan
transportasi umum. 

2. Sunan Ampel

Sunan Ampel Nama asli Raden Rahmat lahir pada


tahun 1401 di daerah Tumapel di Gresik (Jawa
Timur). Ia merupakan salah seorang wali di
antara walisongo yang menyebarkan ajaran Islam
di Pulau Jawa. 

Sunan Ampel adalah putra dari Syekh Ibrahim


Zainuddin As-Samarqandy dengan Dyah
Candrawulan. Ibrahim As-Samarqandy merupakan
putra Jamaluddin Akbar al-Husaini. Sunan Ampel SUNAN AMPEL
juga keponakan Dyah Dwarawati, istri Bhre
Kertabhumi Raja Majapahit.

Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban yang
bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu, Putri Nyai Ageng Maloka,
Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) Syarifah (istri dari
Sunan Kudus). 

Moh limo Mohlimo atau Molimo, Moh (tidak mau), limo


(lima), adalah falsafah dakwah Sunan Ampel untuk
memperbaiki kerusakan akhlak di tengah masyarakat
pada zaman itu yaitu:

1. Moh Mabok: tidak mau minum minuman keras,


khamar dan sejenisnya
2. Moh Main: tidak mau main judi, togel, taruhan
dan sejenisnya
3. Moh Madon: tidak mau berbuat zina, homoseks,
lesbian dan sejenisnya
4. Moh Madat: tidak mau memakai narkoba dan
sejenisnya
5. Moh Maling: tidak mau mencuri, korupsi,
merampok dan sejenisnya. 
3. Sunan Bonang

Sunan Bonang memiliki nama asli Raden Makdum Ibrahim


yang tumbuh dalam asuhan keluarga ningrat yang agamis.
Beliau lahir pada tahun 1465 M di Surabaya.
Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang merupakan
putra keempat Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Ibunya
bernama Nyai Ageng Manila (Dewi Condrowati), yang
merupakan putri dari Bupati Tuban, Arya Teja.

Sunan Bonang kemudian wafat di usia 60 tahun pada tahun


1525 M. Makam dari Sunan Bonang terdapat di empat SUNAN BONANG
tempat, yaitu di Tuban, Lasem, Bawean, dan Madura.

Sunan Bonang mulai berdakwah dari Kediri, Jawa Timur dan kemudian mendirikan sebuah
mushola di Desa Singkal yang berada di tepi Sungai Brantas. Di tempat tersebut, Sunan
Bonang sempat mendapat penolakan namun akhirnya dapat mengislamkan Adipati Kediri,
Arya Wiranatapada, dan putrinya. Selepas dari Kediri, Sunan Bonang bertolak ke Demak,
Jawa Tengah atas panggilan Raja Demak, Raden Patah. Oleh Raden Patah, Sunan Bonang
diminta untuk menjadi imam Masjid Demak. Namun tidak lama kemudian Sunan Bonang
melepaskan jabatan sebagai imam untuk pindah ke Lasem.

Gamelan menjadi salah satu media dakwah yang digunakan oleh


Sunan Bonang. Berbeda dari gamelan yang sudah ada sejak zaman
Hindu-Buddha, Sunan Bonang menambahkan rebab dan bonang
sebagai pelengkap dari gamelan Jawa.

Dengan musik yang dilantunkan lewat gamelan buatan Sunan


Bonang, ajaran agama Islam pun lebih mudah diterima oleh
masyarakat setempat. Selain lewat gamelan, Sunan Bonang juga
menyampaikan dakwah Islam melalui lagu. Lagu ciptaan Sunan
Bonang yang bertajuk "Tombo Ati" berisi hukum-hukum serta
kewajiban yang perlu dilakukan oleh umat Muslim.

Cara lain yang dilakukan oleh Sunan Bonang dalam dakwahnya adalah lewat karya sastra, salah
satunya adalah Suluk Wujil, yang dipengaruhi oleh kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr.
Suluk Wujil adalah karya spiritual yang berisikan tasawuf sebagai media pengajaran agama
Islam.
4. Sunan Drajat

Sunan Drajat yang memiliki nama asli Raden Syarifudin atau


Raden Qasim adalah anak dari Sunan Ampel yang juga dikenal
sebagai Ali Rahmatullah atau Raden Rahmad. Ibu Sunan
Drajat bernama Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila.

Sunan Drajat awalnya berdakwah di pesisir Gresik. Beliau


kemudian terdampar di daerah Banjarwati yang sekarang
dikenal sebagai Lamongan.

Setahun berikutnya, Sunan Drajat berpindah sejauh satu


kilometer ke selatan dan mendirikan sebuah pesantren di
Desa Drajat, yang masuk ke dalam wilayah Paciran, Kabupaten
SUNAN DRAJAT
Lamongan. Konon dari nama tempat di mana pesantren
berdiri itulah sebutan Sunan Drajat berasal.

Sunan Drajat berdakwah dengan memanfaatkan media seni, termasuk dengan suluk dan
tembang pangkur. Selain itu ada pula ajaran Catur Piwulang yang isinya ajakan untuk
berbuat baik kepada sesama.

Isi ajaran Sunan Drajat yang dikenal dengan nama


Catur Piwulang, yaitu:

1. Paring teken marang kang kalunyon lan wuto


(berikan tongkat kepada orang yang berjalan dijalan
yang licin dan orang buta)

2. Paring pangan marang kang kaliren (berikan makan


kepada orang yang kelaparan)

3. Paring sandang marang kang kawudan (berikan


pakaian kepada orang yang telanjang)

4. Paring payung marang kang kudanan (berikan


payung kepada orang yang kehujanan)

Dalam berdakwah, Sunan Drajat sangat memperhatikan nasib para fakir miskin, yatim piatu
dan orang-orang terlantar. Beliau juga menjadi sosok yang mengajak para bangsawan dan
orang kaya untuk mengeluarkan infaq, shodaqoh, dan zakat sesuai ajaran agama Islam.

Sunan Drajat wafat pada tahun 1522 M dan makamnya berada di desa Drajat, Paciran,
Lamongan, Jawa Timur.
5. Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah seorang Wali Songo yang telah berjasa


bagi penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, tepatnya di
Jawa Tengah. Sunan Kudus merupakan julukan bagi sosok
Ja’far Shadiq yang bergelar Wali Al-ilmi yang berarti orang
yang berilmu luas

Sunan Kudus dikenal pernah menjadi seorang senopati atau


panglima perang dari Kerajaan Demak. Sebelum pindah ke
Kudus dan berdakwah, ia bertugas memperluas wilayah kerajaan SUNAN KUDUS
Demak sebagai pusat pengembangan Islam masa akhir Majapahit

Sebelum berdakwah, Sunan Kudus berguru kepada ayahnya yaitu Sunan Ngudung di Jipang
Panolan, dekat Blora. Selain berguru kepada ayahnya, Sunan Kudus juga belajar kepada
beberapa ulama terkenal, seperti Kyai Telingsing, Ki Ageng Ngerang, dan Sunan Ampel.
Sesuai namanya, Sunan Kudus berdakwah di sekitar daerah Kudus. Sunan Kudus harus
berdakwah di tengah kondisi masyarakat Kudus yang yang masih memeluk kepercayaan
lama dan memegang teguh adat-istiadat.

Cara dakwah Sunan Kudus adalah dengan


menggunakan pendekatan seni dan budaya
sebagaimana yang dilakukan oleh Wali Songo lainnya.
Sunan Kudus juga tidak melakukan perlawanan
kepada budaya yang sudah berkembang di
masyarakat.

Bersama masyarakat, Sunan Kudus membangun


masjid Kudus dengan menara, padasan atau tempat
wudhu yang mengadopsi arsitektur bergaya
bangunan Hindu-Budha. Masjid Kudus atau Masjid
Al-Aqsa yang dibangun pada tahun 956 H atau 1537
M memiliki menara yang berbentuk seperti candi. Ia
kemudian diangkat sebagai imam besar Masjid Agung
Demak, masjid Kerajaan Islam Demak yang menjadi
pusat dakwah dan pengkaderan para penyebar Islam.

Disamping menyampaikan ajaran Islam, Sunan Kudus


juga mengajarkan beberapa keterampilan kepada
masyarakat seperti seperti pande besi, dan alat-alat
pertukangan lainnya Ia juga ahli dalam ilmu
pemerintahan dan kesusasteraan, serta dikenal
sebagai pedagang yang kaya.
6. Sunan Giri

Sunan Giri adalah seorang Wali Songo yang telah berjasa


bagi penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Sunan Giri kecil
memiliki nama kecil Joko Samudro, namun ketika sudah
beranjak dewasa ia berganti nama menjadi Raden Paku

Ia juga dikenal dengan nama Prabu Satmata, Sultan Abdul


Faqih, dan Raden ‘Ainul Yaqin. Nama Sunan Giri disematkan
karena ia berdakwah di dengan membangun pesantren di
sebuah bukit di desa Giri, Kebomas, Gresik, Jawa Timur.
SUNAN GIRI
Dalam bahasa Jawa, istilah giri juga memiliki arti yaitu
gunung

Sunan Giri menggunakan cara dakwah yang ramah kepada masyarakat, salah satunya
dengan menggunakan seni tradisional Jawa. Salah satu cara dakwah Sunan Giri yang
menarik adalah dengan membuat lagu-lagu permainan anak seperti Jelungan, Jor, Gula-
ganti, Lir-ilir, dan Cublak Suweng. Selain ditujukan untuk menarik perhatian masyarakat,
penggunaan lagu permainan (tembang dolanan) ini juga berfungsi untuk mendidik anak-
anak. Sunan Giri juga menciptakan beberapa gending seperti Asmaradana dan Pucung.

7. Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah anak dari Bupati Tuban bernama


Tumenggung Wilatikta dan istrinya yang bernama Dewi
Nawangrum. Beliau lahir pada sekitar tahun 1450 M dari
keluarga bangsawan Tuban dengan nama asli Raden
Said atau Raden Sahid.

Beliau juga memiliki beberapa nama lain seperti


Lokajaya, Syaikh Malaya, Pangeran Tuban, Ki Dalang
Sida Brangti, dan Raden Abdurrahman.

Sunan Kalijaga wafat di Desa Kadilangu, dekat kota SUNAN KALIJAGA

Demak, Jawa Tengah pada tahun 1513 dan dimakamkan


di sana.

Sunan Kalijaga memulai dakwahnya di Cirebon, tepatnya di Desa Kalijaga. Beliau kemudian
menyebarkan agama Islam pada penduduk Pamanukan dan Indramayu.

Sunan Kalijaga dikenal dengan cara dakwahnya yang menggunakan pendekatan seni dan
budaya. Salah satu cara dakwahnya menggunakan pertunjukan wayang yang saat itu sangat
sangat digemari oleh masyarakat.
Strategi dakwah ini berhasil salah satunya karena
pertunjukan yang dibuat Sunan Kalijaga tidak
mematok harga bagi siapa saja yang melihat. Selain
wayang, beliau juga menggunakan bentuk seni lain
seperti ukiran, gamelan, nyanyian, dan pakaian.

Dalam seni ukir, perlahan beliau perlahan


menggantikan ukiran manusia dan hewan dengan
seni ukir dedaunan. Kemudian pada seni gamelan,
Sunan Kalijaga menciptakan gong sekaten dan
diberi nama Syahadatain, yang hingga kini masih
ditabuh pada perayaan Maulid Nabi di sekitaran
halaman Masjid Agung Demak. Sunan Kalijaga
menciptakan berbagai lagu seperti lir-Ilir, Gundul-
Gundul Pacul, Kidung Rumeksa ing Wengi, Lingsir
Wengi, dan Suluk Linglung. Dari seni
berpakaian,beliau diyakini sebagai pencipta baju
takwa yang melekat pada kebudayaan Jawa dengan
ciri khas blangkon dan surjan.

Penampilan yang dekat dengan rakyat ini


menjadikannya mudah diterima, dibanding para
wali lainnya yang berdakwah menggunakan jubah.
Sunan Kalijaga juga menyisipkan beberapa falsafah
Islam kedalam nilai-nilai budaya setempat, salah
satunya adalah filosofi "Urip Iku Urup" yang
bermakna bahwa hidup hendaknya memberi
manfaat bagi orang di sekitar. Bagi masyarakat yang
kala itu masih menganut kepercayaan lama, cara
dakwah beliau menjadi mudah diterima karena
tidak menentang adat istiadat yang ada.

8. Sunan Muria
Sunan Muria lahir pada sekitar tahun 1450. Ia
adalah putra dari Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh,
yang merupakan putri dari Syekh Maulanan Ishaq.

Nama asli Sunan Muria adalah Raden Umar Said.


Terkait nama, ada beberapa catatan sejarah yang
juga menyebut bahwa namanya Raden Prawoto dan
Raden Amir. Sedari kecil, Sunan Muria sudah diajari
tentang agama Islam oleh sang ayah.
SUNAN MURIA

Dikenal sebagai Wali Songo termuda, Sunan Muria


aktif berdakwah di Jawa Tengah, khususnya di
Gunung Muria, yang berjarak sekitar 18 kilometer
dari Kota Kudus.

Berbagai strategi dakwah dilakukan Sunan Muria, salah


satunya adalah bergaul bersama rakyat jelata sembari
mengajarkan beragam keterampilan, seperti bercocok
tanam, berdagang, serta kesenian.

Dalam dakwahnya, Sunan Muria tetap merangkul tradisi


dan budaya masyarakat setempat sembari
menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Salah satu tradisi
yang diubah oleh Sunan Muria adalah bancakan
(selamatan), yang diubah menjadi kenduri untuk mengirim
doa kepada para leluhur melalui doa-doa Islam.

Seperti ayahnya, Sunan Kalijaga, Sunan Muria juga menyebarkan Islam dengan gamelan
serta wayang. Sunan Muria diketahui ahli dalam menyampaikan kisah agama Islam dengan
cara yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Salah satu kisah pewayangan yang kerap
disampaikan oleh Sunan Muria dalam dakwahnya adalah Topo Ngeli, yang berarti
menghanyutkan diri dalam masyarakat. Kisah itu sebelumnya juga pernah diceritakan oleh
Sunan Kalijaga. Dalam perjalanan dakwahnya, Sunan Muria juga menciptakan karya.

Karya Sunan Muria adalah Tembang Macapat, tepatnya Sinom dan Kinanthi .

Sunan Muria merupakan Wali Songo yang sangat memperhatikan kelestarian lingkungan.

Oleh sebab itu, Sunan Muria mengajarkan masyarakat untuk meruwat atau merawat bumi.
Adapun beberapa ajaran Sunan Muria dalam Meruwat Bumi di antaranya:

1. Tradisi Guyang Cekathak (tradisi meminta hujan)

2. Buah Parijoto (ziarah ke makam Sunan Muria)

3. Tembang Macapat Sinom Parijotho (tembang ciptaan Sunan Muria)


9. Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati memiliki nama asli yaitu Syarif


Hidayatullah yang lahir pada tahun 1448. Orang tua
Sunan Gunung Jati adalah Raja Abdullah (Syarif Abdullah)
dengan ibunya bernama Rara Santang yang merupakan
putri Prabu Siliwangi asal Pajajaran dengan gelar Syarifah
Mudaim.

Sunan Gunung Jati adalah salah satu Wali Songo yang


disebut membawa peradaban Islam di Cirebon mencapai
masa kejayaannya. Hal ini karena selain menjadi seorang SUNAN GUNUNG JATI
ulama, Sunan Gunung Jati juga merupakan Sultan Cirebon
yang bertahta di tahun 1479 – 1568.

Sunan Gunung Jati lantas diminta untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam di
daerah Cirebon dan menjadi guru agama dan menggantikan Syekh Datuk Kahfi di Gunung
Sembung. Di sana ia mendirikan sebuah pondok pesantren, lalu mengajarkan agama Islam
kepada penduduk sekitar sehingga para santri di sana memanggilnya dengan julukan
Maulana Jati atau Syekh Jati. Setelah masyarakat Cirebon banyak yang memeluk agama
Islam, Sunan Gunung Jati lantas lanjut berdakwah ke daerah Banten.

Sunan Gunung Jati menggunakan pendekatan sosial budaya untuk dakwahnya, yang
membuat ajaran Islam dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat. Dengan memperkuat
kedudukan politik sekaligus memperluas hubungannya dengan tokoh yang berpengaruh di
daerah Cirebon, Demak dan Banten maka cara dakwahnya makin kuat.
C. KESIMPULAN

Para Wali Songo, menyisipkan nilai-nilai dan ajaran Islam sedikit demi sedikit melalui
pendekatan budaya yang sudah berkembang di masyarakat, sehingga terjadilah apa yang
dinamakan akulturasi dan asimilasi budaya yaitu adaptasi budaya lama yang sudah ada, dan
disesuaikan dengan nilai-nilai dan ajaran agama Islam.

Metode dakwah yang dilakukan oleh para Wali Songo benar-benar merangkul dan
merengkuh semua lapisan masyarakat. Tidak ada satupun wali yang melakukan cara-cara
kekerasan dalam berdakwah sehingga proses adaptasi, asimilasi dan akulturasi budaya
tersebut dapar berjalan dengan harmonis dan minim konflik.

Dengan masuknya ajaran Islam, tidak lalu membuat tradisi Hindu dan Budha hilang begitu
saja. Bentuk-bentuk budaya baru yang merupakan hasil dari proses asimilasi tersebut, tidak
hanya yang bersifat kebendaan dan materialis, namun juga budaya yang menyangkut
perilaku masyarakat Nusantara.

Proses masuknya budaya yang baik, adalah dengan tidak menggunakan cara-cara yang kasar
dan melukai hati, meskipun juga tetap harus mengandung unsur ketegasan.

Anda mungkin juga menyukai