Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut namaa Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,puji syukur saya
panjatkan kepada Allah SWT. Yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, dan telah
memberikan saya kesehatan sehingga saya dapat menyelesaikan tugas tentang “ WALI
SONGO” tepat pada waktunya.

Penyusunan dan pengetikan semaksimal mungkin saya kerjakan semampu apa yang saya bisi,
di dalam pengetikan masih jauh dari kata benar baik dari segi materi maupun segi
punyusunan.

Semoga dalam makalah ini dapat memberikan dampak positif bagi yang membacanya, dan
bisa menambah wawasan tentang wali songo itu sendiri.
ISI

Wali Songo atau Wali Sembilan merupakan istilah bagi 9 tokoh penting dalam penyebaran
agama Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Nama-nama 9 Wali Songo adalah Sunan
Gresik, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan
Kalijaga, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati. Kali ini akan dibahas mengenai sejarah Wali
Songo lengkap beserta biografi dan silsilahnya.

Walisongo memiliki peran penting sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke
14. Era Walisongo dimulai saat berakhirnya kerajaan Hindu-Budha untuk berganti pada
kebudayaan Islam. Wali Songo tinggal di beberapa wilayah pentingi di pantai utara Pulau
Jawa baik di Jawa Timur, Jawa Tengah atau Jawa Barat.

Sampai saat ini Wali Songo pun dikenang sebagai tokoh penting dan terkadang dikeramatkan
pula. Makam Wali Songo pun masih banyak dikunjungi dan dijadikan wisata religi. Tiap
tahun banyak yang melakukan ziarah wali songo dari berbagai penjuru Indonesia.

- Nama-Nama Wali Songo

Sesuai namanya ada 9 tokoh yang termasuk dalam wali songo. Berikut ini merupakan urutan
9 nama-nama Wali Songo selengkapnya beserta nama asli Wali Songo yang ada di dalam
kurung.

1. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)


2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
3. Sunan Bonang (Raden Makhdum Ibrahim)
4. Sunan Drajat (Raden Qasim)
5. Sunan Kudus (Ja’far Shadiq)
6. Sunan Giri (Raden Paku/Ainul Yaqin)
7. Sunan Kalijaga (Raden Said)
8. Sunan Muria (Raden Umar Said)
9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)

Kisah-kisah Wali Songo pun banyak dipelajari sampai sekarang sebagai bagian dari
persebaran agama Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Banyak perdebatan terkait sejarah
dan silsilah Wali Songo karena minimnya sumber informasi sejarah yang valid.

- Biografi dan Sejarah Wali Songo Lengkap

Di bawah ini akan dibahas mengenai biografi Wali Songo secara singkat dan lengkap dari
tiap nama-nama Wali Songo beserta sejarah, silsilah, dakwah dan makam Wali Songo
selengkapnya.
1. Sunan Gresik – Walisongo

Walisongo

Maulana Malik Ibrahim di lahirkan di Campa (Kamboja), ayahnya bernama Barakat Zainul
Alam yaitu seorang ulama besar di  Maghrib.  Maulan Malik Ibrahim ini di sebut sebagai
Sunan Gresik atau Syakh Maghribi atau Makhdum Ibrahim al-Samarqandi, dan orang jawa
biasa menyebutnya sebagai Asmaraqandi.

Maulana Malik Ibrahim merupakan orang pertama yang menyebar luaskan agama Islam di
tanah Jawa, dan merupakan wali senior di antara para walisongo yang lainnya. Dengan di
temani oleh beberapa sahabatnya beliau datang pertama kali di Desa Sembolo yang sekarang
adalah Desa Laren kecamatan Manyar, 9 kilometer dari arah utara kota Gresik.

Sebelum masuk ke tanah Jawa, Maulana Malik Ibrahim bermukim di Champa (Dalam
legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama 13 tahun. Beliau menikahi
putri raja yang memberinya dua putra, yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Rasyid Ali
Murtadha (Raden Santri). Setelah dirasa cukup berdakwah di negeri tersebut beliau hijrah di
pulau Jawa yaitu di Gresik.

Setelah mendarat di kota Gresik, beliau memilih tempat  di sebuah Desa bernama Laren. Di
desa itulah tepatnya pada tahun 801 H/ 1329 M beliau menjalankan misi dakwah ajaran
agama Islam. Selain itu, beliau juga membuka toko di Desa Romo (3 km sebelah barat kota
Gresik). Dengan memperkenalkan barang-barang bawaanya.

Islamisasi Jawa, aktivitas pertama yang di lakukan oleh Maulan Malik Ibrahim adalah
berdagang dengan membuka warung yang menyediakan kebutuhan pokok dengan harga
murah. Selain itu secara khusus beliau menawarkan diri sebagai tabib untuk mengobati
masyarakat secara gratis. Maulan Malik Ibarahim saat itu juga mengajarkan tentang bercocok
tanam.

Beliau merangkul masyarakat bawah yang di sisihkan oleh komunitas Hindu. Pendekatan
yang di lakukan adalah dengan pergaulan dan berdagang. Dengan adanya budi bahasa yang
ramah senantiasa di perlihatkannya dalam pergaulan sehari-hari, beliau tidak menantang
kepercayaan penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kebaikan
agama Islam.

Berkat keramah tamahannya banyak masyarakat yang tertarik untuk masuk dalam agama
Islam. Setelah cukup mapan Maulana Malik Ibrahim melakukan kunjungan ke Ibu kota
Majapahit di Trowulan, meskipun raja tidak masuk Islam, namun raja menerimanya dengan
baik, bahkan memberikan sebidang tanah di pinggiran kota Gresik yang sekarang di sebut
sebagai Gapura.
2. Sunan Ampel – Walisongo

Walisongo

Nama asli dari sunan Ampel adalah Raden Rahmat. Pada umumnya sunan Ampel di anggap
sebagai wali sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya berada di Ampel Denta Surabaya,
juga merupakan salah satu penyebaran ajaran agama Islam tertua di Jawa. Beliau menikah
dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila.

Dewi Condrowati ini merupakan putri dari adipati Tuban yaitu Arya Teja, selain itu beliau
juga menikah dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Dari pernikahannya dengan
Dewi Condrowati berputra-putri Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Siti Syari’ah,
Raden Qasim (Sunan Derajat), Sunan Sedayu, Siti Mutma’innah, dan Siti Hafsah.

Sedangkan pernikahannya dengan Dewi Karimah berputra-putri Dewi Murtasiyah yang juga
merupakan istri dari Sunan Giri, Dewi Murtasimah (Dewi Asyiqah) yang juga merupakan
istri dari Raden Fatah, Raden Husamuddin (Sunan Lamongan), Raden Zaenal Abidin (Sunan
Demak), Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2).

Sunan Ampel datang ke pulau Jawa pada tahun 1443,  untuk menemui bibinya Dwarawati, ia
merupakan seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu
Kertawijaya. Dakwah sunan Ampel yang di kenalkan kepada masyarakatnya di kenal dengan
sebutan Moh Limo.

Moh Limo yang di maksud adalah Moh Mabok (tidak mau minum minuman keras), Moh
Main (tidak mau judi, togel, taruhan), Moh Madon (tidak mau zina, lesbian, homo), Moh
Madat (tidak mau mencuri), Moh Maling (tidak mau mencuri, korupsi, dan lain sebagainya).
Dakwah Sunan Ampel ini bertujuan untuk memperbaiki kerusakan akhlaq di tengah
masyarakat saat itu.

Pada tahun 1479 M, Sunan Ampel mendirikan masjid Agung Demak, dan yang menjadi
penerus untuk melanjutkan dakwahnya di kota Demak adalah Raden Zaenal Abidin yang di
kenal sebagai sunan Demak, Raden Zaenal Abidin merupakan putra sunan Ampel dari Dewi
Karimah.

3. Sunan Bonang – Walisongo

Walisongo

Sunan Bonang di lahirkan pada tahun 1465 dengan nama asli yaitu Raden Maulana
Makhdum Ibrahim, beliau putra sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila. Bonang
merupakan sebuah nama Desa di kabupaten Rembang.  Nama sunan Bonang ada yang
menyebutnya dari  Bong Ang yang sesuai dengan marga Bong seperti nama ayahnya Bong
Swi Hoo alias Sunan Ampel.

Setelah selesai menimba ilmu, beliau kembali lagi ke Tuban  dan kemudian mendirikan
pesantren di tanah kelahiran ibunya tersebut. Saat itu masyarakat Tuban sangat menyukai
hiburan, oleh karena itu cara berdakwah sunan Bonang salah satunya adalah dengan membuat
alat musik tradisional yaitu gamelan untuk menarik hati masyarakat agar tertarik untuk
belajar agama Islam.
Selain menjadikan pesantren di Tuban sebagai basis wilayah dakwah, beliau juga
menyebarkan Islam dengan cara berkeliling. Sunan Bonang selain menyebarkan ajaran
agama Islam dengan gamelan, beliau juga menggunakan cara dakwah dengan adanya karya
sastra yang berupa carangan paweyangan dan suluk serta tembang tamsil.

Sunan Bonang berdakwah dengan menggunakan kesenian alat musik tradisional adalah untuk
menarik hati dan simpatik masyarakat. Menurut beliau cara berdakwah dengan alat musik
tradisional merupakan cara yang tepat, sehingga beliau juga mempelajari kesenian Jawa salah
satunya adalah Bonang (alat musik yang di pukul menimbulkan suara merdu).

Setiap kali sunan Bonang membunyikan alat musik tersebut banyak masyarakat berdatangan
untuk mendengar dan menyaksikan, setelah masyarakat tertarik hati dan simpati kemudian
beliau menyisipkan ajaran agama Islam kepada masyarakat.

Dengan keahlian seni dan sastranya, sunan Bonang mengajarkan dan menyebar luaskan
ajaran Islam dengan lantunan tembang-tembang yang mengandung nilai-nilai ke Islaman,
sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari ajaran Islam dengan senang hati dan
tanpa paksaan. Salah satu tembang dari  sunan Bonang  yang fenomenal adalah tembang
“Tombo Ati”.

4. Sunan Derajat – Walisongo

Walisongo

Sunan Derajat mempunyai nama kecil syarifuddin atau Raden Qasim yang juga merupakan
putra bungsu sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, dan beliau juga merupakan saudara
dari sunan Bonang. Sunan Derajat di kenal dengan kecerdasannya, beliau menyebar luaskan
ajaran agama Islam di Desa Paciran Lamongan.

Dakwah yang di lakukan oleh Sunan Derajat pada mulanya di lakukan atas perintah ayahnya,
yaitu berdakwah di pesisir pantai Gresik, hingga akhirnya beliau menetap di Lamongan.
Untuk menempati tempat tersebut Raden Qasim di antar sunan Bonang dengan tujuan
meminta izin sultan Demak untuk menempati wilayah tersebut.

Sultan Demak tidak hanya mengizinkannya untuk tinggal namun memberikan tanahnya pada
tahun 1486 H. Sunan Derajat di kenal sebagai penyebar agama Islam yang memiliki jiwa
sosial tinggi dan sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin, selain itu beliau
mengutamakan pada kesejahteraan sosial masyarakat.

Setelah memberikan perhatian penuh, barulah kemudian beliau memberikan pemahaman


ajaran agama Islam yang berkaitan tentang adanya empati dan etos kerja yang berupa
kedermawanan, pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas serta
gotong royong.  Cara dakwah yang beliau lakukan banyak menggunakan ajaran luhur dan
tradisional lokal.
5. Sunan Kudus – Walisongo

Walisongo

Sunan Kudus sejatinya bukanlah merupakan penduduk asli Kudus, beliau berasal dan lahir
dari Quds negeri palestina, yang kemudian bersama kakek dan ayahnya untuk hijrah ke tanah
Jawa. Dalam cerita lain sunan Kudus merupakan pendatang dari daerah Jipang Panolan yang
merupakan daerah di sebelah utara Blora.

Sunan Kudus juga merupakan senopati hebat dari kerjaan Demak, ketika beliau menjabat
sebagai senopati kerajaan Majapahit di taklukannya. Kesuksesan mengalahkan majapahit
membuat posisi Ja’far Shadiq semakin kuat, namun kemudian ia meninggalkan Demak
karena ingin hidup merdeka dan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk menyebar luaskan
agama Islam.

Dalam menyebarkan ajaran agama Islam sunan Kudus memang banyak berguru dan belajar
ilmu agama kepada sunan Kalijaga, sehingga metode dakwah sunan Kudus tidak jauh beda
dengan sunan Kali Jaga, yang menekankan pada budaya kearifan lokal  dengan
mengapresiasi budaya masyarakat setempat.

Sosok sunan Kudus di kenal karena telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan
kebudayaan yang toleran. Beberapa nilai toleransi yang di perlihatkan sunan Kudus kepada
masyarakatnya adalah tidak boleh menyembelih sapi kepada para pengikutnya, karena saat
itu sapi di anggap sebagai hewan suci. Sehingga, ajaran agama Islam dari sunan Kudus ini
menekankan pada toleransi beragama.

6. Sunan Giri – Walisongo

Walisongo

Sunan Giri merupakan putra dari Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu yaitu putri dari
Menak Sembuyu penguasa wilayah Balambangan pada masa akhir kerajaan Majaphit.
Namun, sayang kelahirannya di anggap sebagai sebuah kutukan oleh ayahnya Dewi
Sekardadu, sehingga, ia di paksa oleh ayahnya untuk membuang anaknya dengan
menghanyutkannya ke laut.

Setelah Cukup Dewasa, Joko Samudra di bawa ibu angkatnya ke Ampel Denta untuk belajar
agama kepada Sunan Ampel. Tak selang beberapa lama mengajarnya sunan Ampel
mengetahui Identitas dari Sunan Giri tersebut, dan kemudian Sunan Ampel mengirimkan
sunan Giri bersama juga dengan sunan Bonang untuk mendalami agama Islam di wilayah
Pasai.

Cara Dakwah yang di lakukan oleh Sunan Giri adalah dengan menciptakan unsur lagu dan
permainan dengan memasukkan beberapa unsur-unsur agamis, hal ini beliau lakukan untuk
mendekatkan ajaran agama Islam khususnya untuk anak-anak.

Sunan Giri menciptakan tembang dolanan yang di kenal dengan jelungan bukanlah sekadar
nyanyian dan tertawa belaka, namun dari semua itu terdapat pelajaran yang luar biasa terkait
dengan ketauhidan.
7. Sunan Kalijaga – Walisongo

Walisongo

Raden Said merupakan seseorang yang peduli dan dekat terhadap rakyat jelata, hal ini
dibuktikan ketika beliau membela rakyat jelata di masa sulit. Saat itu pemerintah sangat
membutuhkan dana besar untuk mengatasi roda pemerintahan, sehingga rakyat jelata mau
tidak mau harus membayar pajak yang tinggi untuk hal tersebut.

Saat itulah, sunan Kalijaga berpikir harus membantu rakyat jelata. Namun, tanpa berpikir
panjang Raden Said melakukan perbuatan tidak terpuji demi menolong rakyat jelata. Beliau
mencuri hasil bumi yang tersimpan di gudang ayahnya. Hasil bumi tersebut merupakan hasil
upeti rakyat jelata yang akan di setorkan kepada pemerintahan pusat.

8. Sunan Muria – Walisongo

Walisongo

Nama Sunan Muria di ambil dari tempat tinggal terakhirnya yaitu di lereng Gunung Muria,
yakni 18 kilometer ke utara kota Kudus. Sunan Muria mempunyai peran penting dalam
menyebarkan ajaran agama Islam di sekitar Gunung Muria. Dalam menyebarkan agama
Islam beliau meniru cara ayahnya, yaitu menyebarkan ajaran agama dengan halus.

Namun, berbeda dengan ayahnya, dalam menyebarkan dakwahnya Raden Umar Sahid
(Sunan Muria) lebih senang berdakwah di daerah terpencil dan jauh dari pusat kota. Tempat
tinggal beliau berada di puncak Gunung Muria yang bernama Colo, di tempat tersebut beliau
berinteraksi dengan rakyat jelata, dan mengajarkan cara bercocok tanam, berdagang serta
melaut.

Sunan Muria dalam menyebarkan agama Islam  tetap  mempertahankan kesenian gamelan
serta wayang sebagai alat dakwah. Beliau menciptakan beberapa tembang untuk
mengamalkan ajaran Islam. Dengan cara inilah sunan Muria di kenal sebagai sunan yang
suka berdakwah topo ngeli. Sunan Muria juga di kenal sebagai pribadi yang mampu
memecahkan berbagai macam masalah.

Dengan gayanya yang moderat dalam berdakwah ini mengikuti jejak ayahnya menyelusup
lewat berbagi  tradisi kebudayaan Jawa. Seperti halnya adanya adat kenduri pada hari tertentu
setelah kematian yang kemudian di ganti dengan nelung dino sampai nyewu yang tak di
haramkannya,  Tradisi membakar menyan atau sesaji di ganti dengan berdo’a dan
bersholawat.

9. Sunan Gunung Jati – Walisongo

Walisongo

Sunan Gunung Jati memiliki nama asli Syarif Hidayatullah. Di usianya yang menginjak 20
tahun sunan Gunung Jati telah di tinggal oleh ayahnya. Setelah di tinggal ayahnya beliau di
daulat untuk menjadi Raja Mesir untuk menggantikan ayahnya, namun beliau menolaknya
dan memilih untuk menyebarkan ajaran agama Islam ke tanah Jawa bersama ibunya.
Sebelum Sunan Gunung Jati dan ibunya Syaifah Muda’imah datang ke Jawa Barat tahun
1475 Masehi, mereka terlebih dahulu singgah di Gujarat dan Pasai, guna untuk memperdalam
ilmu agamanya. Kedatangannya sambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana beserta
keluarganya.

Dalam menyebarkan Islam, Sunan Gunung Jati tidak sendiri, beliau di bantu oleh para wali
lainnya. mereka biasanya bermusyawarah di masjid Demak. Karena pergaulannya dengan
para wali dan sultan Demak, menjadikan sunan Gunung Jati mendirikan Kesultanan
Pakungwati, yang kemudian ia memprokamirkan dirinya sebagai raja dan mendapat gelar
sultan.

Dengan adanya kesultanan, Cirebon tidak lagi mengirimkan upeti kepada pajajaran.
Kesultanan pakungwati semakin besar dengan bergabungnya perwira dan prajurit pilihan,
terlebih lagi adanya perluasan pelabuhan Muara Jati, yang membuat perdagangan semakin
pesat terutama dengan Negara China.

Jalinan Cirebon dan China semakin erat, dalam dakwahnya tersebut beliau mengajarkan ilmu
shalat kepada rakyat China, dengan memberitahukan bahwa setiap melakukan gerakan sholat
merupakan terapi pijat ringan atau biasa yang disebut dengan akupuntur, ilmu pengobatan
tersebut di perolah saat beliau mengembara ilmu di China.

- Tokoh pendahulu Walisongo

Syekh Jumadil Qubro

Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra / Husain Jamaluddin al akbar
bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin
Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far
Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah
Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain
Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II/ Putri
Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai
salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa.

Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo
(dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan
kuburnya.[3] [4]

- Asal usul Walisongo

Teori keturunan Hadramaut

Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia
Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih
merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang
sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh
Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa
Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
 L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada
1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel
Indien (1886) mengatakan:

”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-
orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-
raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku
lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak
meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif)
adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”

 van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):

”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya,
yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-
gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi.
Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya
pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat
keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi
Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada
orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab,
mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad
spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-
15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang
berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad,
Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.

 Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama
seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia
dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia
Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab
Hanafi.
 Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan
Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam
Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di
Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan
Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh
Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik
kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber
yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang
menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul
Bait.
 Pada abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden
Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga
merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di
Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah
Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath
ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh
musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-
putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar,
Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

Teori keturunan Cina (Hui)

Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu
Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Muslim.[6]
Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo
adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku
tersebut.[butuh rujukan]

Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan
Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud
hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk
kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang
yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa
diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan
dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang
banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah
sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan
banyak dijadikan referensi.

Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul
Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell
Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada
dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya
yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan [7].

- Masjid Peninggalan Walisongo

Tidak hanya dakwah yang diberikan kepada masyarakat, namun para Walisongo
meninggalkan bukti sejarah yang sampai sekarang masih di lestarikan. Diantaranya adalah :

1. Masjid Menara Kudus. Pendirinya adalah Sunan Kudus sejak tahun 1549 M dengan corak
bangunan Hindu berbahan batu dari Baitul Maqdis Palestina. Lokasinya berada di Kota
Kudus.
2. Masjid Agung Demak. Pendirinya adalah Raden Patah sejak abad 15 M dengan lokasi di
Desa Kauman Demak.
3. Masjid Agung Banten. Pendirinya adalah Sultan Maulana Hasanuddin pada tahun 1552-
1570 M. Dengan ciri khas salah satu kubahnya bertumpuk 5 mirip Pagoda China.
4. Masjid Sang Cipta Rasa. Pendirinya adalah Sunan Gunung Jati tahun 1478 M dengan lokasi
di kabupaten Cirebon.
5. Masjid Sendang Duwur. Konon dahulu masjid ini dibawa dari Jepara menuju bukit
Amitunon Lamongan oleh Raden Noer Rahmad pada tahun 1561 M. Masjid ini terletak di
daerah Lamongan.

- Karomah Walisongo

Sembilan wali ini telah dikenal di berbagai pelosok tanah Jawa bahkan di Nusantara. Mereka
semua terkenal sakti karena Karomah dari Allah yang terdiri dari :

1. Sunan Gresik. Dipercaya ampuh dalam turunnya hujan, mengubah beras menjadi pasir,
doanya mujarab dalam menyelesaikan masalah dan mengobati penyakit.
2. Sunan Ampel. Pernah meninggal sebanyak 9 kali, melubangi tempat masjid sebagai kiblat,
mampu berjalan diatas air.
3. Sunan Bonang. Mengubah pohon aren menjadi pohon emas, mengalahkan musuh dengan
gending dan tembaganya tanpa menyentuh musuhnya, mengalahkan Brahmana dari India
dengan keajaibannya.
4. Sunan Drajat. Saat perahunya terbalik beliau ditolong oleh ikan cucut dan cakalang,
memancarkan air dari lubang bekas umbi yang menjadi sumur abadi, memindahkan masjid
dalam waktu semalam, membuat pohon siwalan menunduk untuk mengambil buahnya,
menyadarkan orang dengan tembang dan gamelan.
5. Sunan Kudus. Dapat menyembuhkan penyakit atas ijin Allah.
6. Sunan Giri. Memasukkan pasir ke kapal dan berubah jadi barang dagangan, memetik buah
delima tanpa memanjat, adu kesaktian dengan Begawan Minto dan menyadarkannya.
7. Sunan Kalijaga. Mengambil tumor dari perut perut penderita tanpa operasi, mengubah gula
aren menjadi emas, punya amalan yang membuatnya dekat dengan Allah.
8. Sunan Muria. Ikut menyebarkan agama Islam di Jawa Tengah.
9. Sunan Gunung Jati. Mengubah pohon menjadi emas, berjalan diatas air, menyembuhkan
penyakit, mengundang bala tentara.

Walisongo adalah para intelektual yang menjadi teladan masyarakat pada saat itu. Pengaruh
mereka terasa dalam beragam peradaban baru masyarakat Jawa mulai dari bercocok tanam,
perniagaan, kebudayaan, kesenian hingga kemasyarakatan.

Era Walisongo ialah saat dimana dominasi Hindu-Budha telah berakhir dan digantikan
dengan kebudayaan Islam. Perannya sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam dan
kebudayaan  masyarakat di Jawa, mereka merupakan simbol penyebaran Islam di Indonesia.
KESIMPULAN

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad
ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-
Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon
di Jawa Barat.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk
digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia,
khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka
yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo
ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang
menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain
menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab
berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang
berarti tempat.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali
didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah).[1] Para
Walisongo adalah pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam
bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam,
perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

Anda mungkin juga menyukai