Anda di halaman 1dari 8

Biografi Walisongo

Walisongo yang kita kenal adalah nama sebutan atau julukan. Biasanya dengan sebutan Sunan, yang artinya
orang yang dimuliakan. Umumnya yang disebut sunan masih terdapat silsilah keturunan kerajaan, baik
secara langsung maupun setelah generasi dibawahnya. Wali sendiri berarti utusan atau wakil. Sedangkan
dalam ajaran islam dikenal kata waliyullah atau waliallah yang artinya orang yang beriman dan bertakwa,

pelindung dan dapat dipercaya.Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Buddha dalam
budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam.Walisongo dikenal sebagai simbol penyebar
agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di 3 wilayah penting pantai utara Pulau Jawa,
yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di
Jawa Barat.

1. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

Sunan Gresik mempunyai nama asli Maulana Malik Ibrahim. Beliau adalah keturunan Nabi Muhammad
SAW silsilah ke-22. Beliaulah orang pertama yang memulai dakwah peyebaran islam di pulau Jawa. Pada
saat itu, tepatnya di akhir masa kerajaan Majapahit, Sunan Gresik memulai dakwahnya.

Dasar perjuangan utama beliau adalah menghilangkan sistem kasta yang ada di masyarakat, karena semua
manusia di mata Allah itu sama, hanya yang membedakan adalah amal ibadahnya saja. Ia mengajarkan
cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat yang kebanyakan dari golongan masyarakat
Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang
tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Sehingga masyarakat yang sedang kesulitan ekonomi
mulai terbantu dan perlahan ingin mempelajari islam.

Kemudian ia membangun pondok tempat belajar agama Islam di Leran, Gresik, Karena semakin banyaknya
orang yang ingin belajar Islam. Beliau mengajar ilmu agama hingga akhir hayatnya dan wafat pada hari
Senin 12 Rabi’ul Awwal 822 Hijriah dan dimakamkan di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur. Sunan
Gresik mewariskan peninggalan berupa Masjid Malik Ibrahim, Leran, Gresik.
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)

Sunan Ampel atau yang bernama asli Raden Rahmat adalah anak dari Sunan Gresik dan Dewi Condro
Wulan. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Ia lahir di Campa pada
1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah
Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya.

Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut
membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah,
putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M. Kemudian Sunan
Ampel mendirikan pondok di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit.

Di sana beliau mendirikan pondok untuk memfasilitasi orang-orang yang ingin belajar agama Islam dan
berkonsultasi. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren
tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara.
Selain itu pesantren tersebut juga merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa.
Sunan Ampel mengajarkan konsep perbaikan akhlak dan moral yang dikenal dengan falsafah “Moh Limo”.
Moh artinya tidak/menolak, dan limo artinya lima.

Isi dari ajaran tersebut adalah untuk menolak dan tidak melakukan lima hal, yakni Moh Main (tidak berjudi),
Moh Ngombe (tidak minum-minuman keras), Moh Maling (tidak mencuri), Moh Madat (tidak mau
menghisap candu/ganja/narkoba) dan Moh Madon (tidak berzina).

Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid
Ampel, di Ampel Denta, Surabaya yang merupakan peninggalan dari Sunan Ampel.

3. Sunan Bonang (Maulana Makdum Ibrahim)

Sunan Bonang memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim, anak dari Sunan Ampel dari istri bernama
Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila yang lahir pada 1465 M. Selepas ayahnya wafat, Sunan
Bonang memutuskan untuk belajar agama di Malaka, tepatnya di daerah Pasai.
Setelah selesai menimba ilmu di sana, beliau pulang ke Tuban dan mendirikan pondok di tanah kelahiran
ibunya tersebut. Karena karakteristik masyarakat di Tuban yang senang terhadap hiburan, maka Sunan
Bonang membuat alat musik gamelan untuk menarik minat orang untuk belajar islam. Jadi di sela-sela
pertunjukan musik diselingi dengan dakwah.

Seperangkat gemlan tersebut disebut dengan Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan
dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak timbulah suara yang merdu di telinga
penduduk setempat.

Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin
mendengarnya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan
tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang
dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran
agama Islam kepada mereka.

Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama
Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan
paksaan.

Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525. Ia dimakamkan di daerah Tuban, Jawa Timur.
Peninggalan dari Sunan Bonang adalah alat musik tradisional gamelan berupa bonang, bende dan kenong.
Selain itu beliau juga memperkenalkan arsitektur gapura bernafaskan islam.

4. Sunan Drajat (Raden Qosim/Raden Syaifudin)

Sunan Drajat atau yang dikenal dengan nama asli Raden Qosim adalah anak dari Sunan Ampel yang berarti
saudara seibu dari Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syarifuddin lahir pada
tahun 1470 M.

Sunan Drajat memutuskan untuk mendirikan pondok di daerah Daleman Duwur, tepatnya di Desa Drajat,
Paciran, Lamongan dikarenakan muridnya semakin banyak. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras,
dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Di sana beliau
mendapatkan ide untuk menyelipkan ajaran agama melalui suluk yang pernah dipelajarinya di tempat
Sunan Muria. Suluk yang sering disampaikan pada murid-muridnya adalah “Suluk Petuah”.

Dalam suluk tersebut ada beberapa pesan-pesan yang ditanamkan dalam diri manusia, khususnya ajaran
untuk menolong sesama manusia. Salah satu kutipan di dalamnya adalah “Wenehono teken marang wong
kang wuto (berilah tongkat pada orang buta). Wenehono mangan marang wong kang luwe (berilah
makanan pada orang yang lapar). Wenehono busono marang kang wudo (berilah pakaian pada orang yang
telanjang). Wenehono ngiyup marang wong kang kudanan (berilah tempat berteduh pada orang yang
kehujanan)”.
Masih ada beberapa suluk lain yang juga menjadi peninggalan dari Sunan Drajat tetapi yang terkenal adalah
Suluk Petuah di atas. Hingga saat ini suluk-suluk Sunan Drajat masih diajarkan di pondok-pondok kuno di
tanah Jawa.

Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia
banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai
ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan.
Sunan Drajat diperkirakan wafat pada 1522.

5. Sunan Kalijaga (Raden Said)

Sunan Kali Jaga adalah orang Jawa pribumi asli, lahir di Tuban dengan nama asli Raden Said. Ia juga memiliki
sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi.
Beliau adalah anak dari bupati Tuban kala itu yang bernama Arya Wilatika atau Raden Sahur atau Sayyid
Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir).

Arya Wilatika sendiri merupakan pemimpin dari kelompok pemberontakan Ronggolawe di zaman
Majapahit. Raden Said muda kala itu mewarisi semangat ayahnya, beliau memrotes penarikan pajak tak
berperikemanusiaan di zaman Majapahit.

Kemudian disusunlah rencana perampokan ke semua pejabat pajak dan membagikan seluruh hartanya
pada rakyat miskin. Akibat aksinya tersebut, Raden Said dikenal seantero Majapahit dengan nama Bandar
Lokajaya. Namun aksinya tersebut terhenti sejak beliau bertemu dengan Sunan Bonang. Beliau dinasehati
agar berhenti, karena jalan kebaikan tidak bisa ditemuh dengan jalan keburukan.

Akhirnya Sunan Kali Jaga berhenti dan berguru ilmu agama di tempat Sunan Bonang. Dari sanalah beliau
mendapat ide dalam berdakwah, yakni dengan gamelan dan wayang. Tentu saja didalamnya disisipkan
dakwah dan ajaran agama islam. Karena beliau orang Jawa asli, maka ajaran yang disampaikan sangat
membumi.

Dalam dakwah, Sunan Kalijaga punya pola yang sama dengan gurunya, Sunan Bonang. Paham
keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga
memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang
pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Maka ajaran salah satu anggota wali songo ini terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia
menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta
Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja.
Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan
Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan
Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang
Kotagede – Yogya).

Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak. Peninggalan dari Sunan Kalijaga adalah seni ukir,
wayang, gamelan dan suluk. Tembang suluk lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai
hasil karyanya.

6. Sunan Kudus (Ja’far Shadiq)

Sunan Kudus memiliki nama asli Ja’far Shadiq yang merupakan cucu dari Sunan Ampel. Ia putra pasangan
Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang) adalah anak dari Sunan Ampel dan Dewi Condrowati.
Bisa dibilang Sunan Kudus adalah keponakan dari Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Beliau pernah menimba
ilmu dengan kedua pamannya tersebut dan juga menimba ilmu di timur tengah. Tepatnya di kota Al-Quds,
Yerusalem, Palestina.

Di sanalah beliau banyak mendapatkan pengetahuan dan ilmu agama dari ulama-ulama arab. Sekembalinya
ke nusantara, beliau berinisiatif untuk mendirikan pondok tempat orang-orang belajar agama. Dipilihlah
desa Loram, Kudus, Jawa Tengah sebagai tempat dakwahnya.

Karena keluasan ilmu yang didapatnya dari sunan-sunan dan para ulama arab, maka beliau diminta untuk
menjadi pemimpin daerah Kudus. Beliau menyanggupinya, hal tersebut merupakan jalan terbaik untuk
menyebarkan dakwahnya di kalangan pejabat, priyayi dan juga bangsawan kerajaan di Jawa. Karena
ilmunya yang luas inilah, Sunan Kudus diberi gelar Wali Al-‘ilmi atau orang yang berilmu luas oleh wali-wali
lainnya.

Dalam berdakwah, Sunan Kudus memakai metode yang sama dengan Sunan Kali Jaga. Yakni memakai
budaya setempat yang disisipi nilai islam di tengah budaya Hindu. Oleh karena itu Sunan Kudus mendekati
masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari
arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan
delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia
sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu
yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus
tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional
Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga
masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi
cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah salah satu anggota wali songo ini
menarik masyarakatnya.

Nama kudus sendiri sebenarnya diambil dari nama kota tempatnya belajar agama, yakni Al-Quds. Sunan
Kudus mewariskan budaya toleransi antar umat beragama. Salah satu ajarannya yakni tidak menyembelih
sapi di hari Idul Adha untuk menghormati umat Hindu di Kudus. Beliau memerintahkan untuk mengganti
sapi dengan kerbau. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang
arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

7. Sunan Muria (Raden Umar Said)

Sunan Muria lahir dengan nama asli Raden Umar Said, yang merupakan anak dari Sunan Kalijaga dan Saroh
yang merupakan adik kandung dari Sunan Giri. Sunan Muria mengadaptasi metode pemnyampaian islam
milik ayahnya, yakni lewat kebudayaan dan kesenian Jawa. Namun beliau lebih memilih menyebarkan
agama di temat terpencil dan juga pesisir pantai.

Sehingga dipilihlah gunung Muria di daerah Muria, Jawa tengah sebagai pusat dakwahnya. Sedangkan jalur
dakwah beliau meyebar sampai ke Jepara, Tayu, Juana, sekitar Kudus dan Pati. Rata-rata di seputaran
pedesaan, gunung dan pesisir pantai.

Sunan Muria lebih suka dan akrab dengan rakyat jelata. Karena menurut beliau rakyat jelata adalah
kelompok masyarakat yang paling banyak jumlahnya dan juga mau menerima pengetahuan baru. Sehingga
selain mengajarkan ilmu agama, Sunan Muria juga mengajarkan ilmu bercocok tanam, berdagang dan
melaut sesuai kepandaiannya. Sedangkan untuk menarik minat masyarakat untuk memelajari agama
digunakan media tembang, yang paling terkenal adalah tembang Sinom dan Kinanti.

Selain itu, Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan
Demak (1518-1530), ia salah satu anggota wali songo yang dikenal sebagai pribadi yang mampu
memecahkan berbagai masalah serumit apapun itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh
semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan
Pati.

Peninggalan dari Sunan Muria sendiri adalah Masjid Muria dan budaya kenduri mendo’akan orang yang
meninggal setelah di kubur. Ada nelung dinani/3 hari, mitung diani/7hari, Matangpuluhi/40 hari,
nyatus/100 hari, mendhak pisan, mendhak pindho, nyewu/1000 hari.

8. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai
Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif
Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat
berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan
ulama lain, ia mendirikan Kesultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kesultanan Pakungwati. Dengan
demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya wali songo yang memimpin pemerintahan. Beliau
memutuskan untuk berdakwah disana serta membangun pondok untuk mengajarkan ilmu agama islam
pada masyarakat sekitar. Karena beliau orang timur tengah, maka metode penyampaian agamanya
diajarkan secara lugas khas timur tengah.

Namun karena beliau juga sadar dengan kondisi masyarakat jawa, maka digunakanlah pengantar
menggunakan musik gamelan. Cara ini mirip dengan cara yang dipakai oleh sunan-sunan sebelumnya.
Tujuannya agar masyarakat mudah tertarik dengan dakwah dan sekaligus sebagai media komunikasi antar
masyarakat. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang
menghubungkan antar wilayah.

Pada usia 89 tahun, wali songo Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah.
Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat
dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati,
sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat. Peninggalan dari Sunan Gunung Jati berupa
Masjid Merah Panjunan, Kumandang Adzan Pitu dan Kereta untuk berdakwah.

9. Sunan Giri (Raden Paku/Muhammad Ainul Yakin)

Sunan Giri terlahir dengan nama asli Raden Paku atau Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di
Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana
Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua.
Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.

Jadi sebenarnya Sunan Giri adalah anak dari ulama islam yang berdakwah di daerah Pasai, Malaka. Namun
karena saat itu ada konflik, maka ayahnya menitipkan Muhammad Ainul Yakin pada nelayan untuk dibawa
ke Jawa yang lebih aman.

Kala itu kapal melewati Samudera Hindia dan mendarat di Selat Bali. Di sana Sunan Giri diangkat anak oleh
Dewi Sekardadu, utri Kerajaan Blambangan di Banyuwangi, Jawa Timur. Dari situlah beliau diberi nama
Raden Paku dan dibesarkan di istana. Namun ada juga yang menyebutnya sebagai Jaka Samudra. Setelah
dewasa sang ibu angkat menceritakan masa lalunya dan siapa orang tuanya.

Akhirnya Sunan Giri memutuskan untuk kembali ke Pasai dan berguru agama pada ayahnya. Namun
sebelum kembali, Sunan Giri sempat belajar agama di Ampel dan menjadi murid Sunan Ampel.
Sesampainya di Pasai beliau menimba ilmu dan menggantikan ayahnya mengajar setelah wafat. Salah satu
muridnya adalah Sunan Bonang yang tidak lain adalah anak dari Sunan Ampel, gurunya.

Setelah lama di Pasai akhirnya beliau kembali ke Blambangan. ia membuka pesantren di daerah perbukitan
Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri. Ia juga
pecipta karya seni yang luar biasa. Beliau dikenal sebagai guru yang menyampaikan dakwah melalui
keceriaan. Buktinya adalah dakwahnya disisipkan dalam lagu permainan anak seperti Jelungan, Jamuran,
lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan
Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.

Pondok pesantren tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga
sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit khawatir jika Sunan Giri mencetuskan
pemberontakan, maka ia memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren
itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin
pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.

Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di zaman wali songo. Ketika Raden Patah
melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer
Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh
Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.

Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai
tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.

Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti
Bawean, Kangean, Madura, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk
Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.

Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun
menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Peninggalan Sunan Giri adalah Masjid Giri, Giri Kedaton dan
Telogo Pegat.

Anda mungkin juga menyukai