Disusun Oleh :
Muhammad Haikal
Kelas : VI
DAFTAR ISI
Cover
Daftar Isi .......................................................................................................................1
Tinjauan Teori
Biografi Sunan Gunung Jati
A
B
C
D
E
Riwayat Hidup....................................................................................................2
Pernikahan...........................................................................................................3
Kesultanan Demak..............................................................................................3
Perundingan Yang Sangat Menentukan...............................................................5
Wafatnya Sunan Gunung Jati..............................................................................6
B. Pernikahan
Memasuki usia dewasa sekitar di antara tahun 1470-1480, ia menikahi
adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan
ini, ia mendapatkandua orang anak. Anak yang tertua bernama Sabakingking
yang kemudian bernama Hasanuddin menjadi Sultan Banten. Anak yang kedua
bernama Siti Winahon, lebih dikenal dengan nama Ratu Ayu yang kemudian
menikah dengan salah seorang sultan Demak (Abdurachman, ed., 1982: 37).
Sunan Gunung Jati juga disebutkan menikahi seorang puteri dari negeri
Cina bernama Ong Tien. Diceritakan bahwa pertemuan Sunan Gunung Jati
dengan Ong Tien terjadi ketika Sunan Gunung Jati mengadakan kunjungan ke
negeri Cina. Dari pernikahan tersebut mereka tidak dikaruniai anak.
C. Kesultanan Demak
Pada masa ini, ia berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden
Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila
Syarif Hidayat keturunan Syekh Maulana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden
Patah adalah keturunannya juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di
Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari
kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif
Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Ketika Kerajaan Islam Demak mendengar adanya seorang penyiar agama Islam
di Cirebon, maka atas persetujuan para wali, Raden Fatah selaku Sultan Demak
menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai Penetap Penata Gama Rasul di tanah
Pasundan bergelar Sunan Gunung Jati dan termasuk salah seorang Wali Sanga. Tidak
hanya itu, Sunan Gunung Jati ditetapkan pula sebagai pengusa negeri Cirebon.
Dalam Babad Cirebon, Sunan Gunung Jati disebut Ratu Pandita. Artinya Syarif
Hidayatullah mempunyai fungsi rangkap yaitu sebagai wali, penyebar agama Islam di
Jawa Barat atau tanah Pasundan, dan sebagai raja yang memerintah dan berkedudukan
di Cirebon (Tjandrasasmita, 1999: 284-285). Dari Cirebon agama Islam dengan mudah
disebarkan ke seluruh wilayah Pasundan, sehingga hampir semua rakyat Sunda
memeluk agama Islam (Suhadi, 1995/1996: 84).
Sejak itu pembangunan insfrastruktur Kerajaan Cirebon kemudian dibangun
dengan dibantu oleh Sunan Kalijaga, Arsitek Demak Raden Sepat, yaitu Pembangunan
Keraton Pakungwati, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, jalan pinggir laut antara
Keraajaan Pakungwati dan Amparan Jati serta Pelabuhan Muara Jati. Setelah Sunan
Gunung Jati diangkat menjadi salah seorang wali, hubungan Cirebon dengan Demak
semakin erat. Hubungan tersebut kemudian dikuatkan dengan pernikahan puteri Sunan
Gunung Jati bernama Ratu Ayu menikah dengan Sultan Trenggana, dan setelah Sultan
Trenggana wafat, Ratu Ayu menikah dengan Fatahillah (Abdurachman, ed., 1982: 37).
Sunan Gunung Jati dikenal sebagai peletak dasar Islam di Banten. Babad
Banten menceritakan bahwa Sunan Gunung Jati dan puteranya Hasanuddin datang dari
Pakungwati (Cirebon) untuk mengislamkan masyarakat Banten. Awalnya mereka
mereka datang ke Banten Girang, kemudian ke selatan ke Gunung Pulosari, tempat 80
orang ajar (pendeta Hindu) tinggal. Mereka kemudian menjadi pengikut Hasanuddin.
Selanjutnya diceritakan, di lereng Gunung Pulosari, Sunan Gunung Jati
mengajarkan ilmu pengetahuan keislaman kepada anaknya. Setelah selesai mengajarkan
ilmu keislaman, Sunan Gunung Jati kemudian memerintahkan anaknya supaya
menyebarkan agama Islam kepada penduduk Banten. Permintaan Sunan Gunung Jati
tersebut kemudian dilaksanakan oleh Hasanuddin dengan berkeliling sambil berdakwah
dari satu daerah ke daerah lain.
Dalam menyampaikan agama Islam kepada penduduk lokal, Hasanuddin
terkadang menggunakan cara-cara yang dikenal oleh masyarakat setempat, seperti
menyabung ayam ataupun mengadu kesaktian. Cara-cara ini berhasil, terbukti dengan
banyaknya pembesar negeri yang memeluk agama Islam dan bersedia menjadi pengikut
Hasanuddin.
Pada tahun 1525 TU, seluruh daerah Banten dikuasai oleh tentara Islam dari
Demak dan Cirebon yang dibantu oleh pasukan Hasanuddin. Atas petunjuk Sunan
Gunung Jati, pusat pemerintahan yang berada di Banten Girang di daerah pedalaman
kemudian dipindahkan ke dekat pelabuhan Banten. Pada pemindahan pusat
pemerintahan Banten ke pesisir tersebut, Sunan Gunung Jati pulalah yang menentukan
lokasi dalem (istana), benteng, pasar dan alun-alun yang harus dibangun. Ada beberapa
alasan pemindahan pusat pemerintahan tersebut dari Banten Girang ke daerah dekat
pesisir, yaitu:
a
Mistis religius, kota dan keraton yang ditaklukkan harus ditinggalkan, karena
dianggap sudah tidak memiliki kekuatan magis lagi.
Politik, memudahkan hubungan antara pesisir utara Jawa dan pesisir Sumatera
melalui Selat Sunda.
4
Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayatullah adalah dalam riwayat
jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun
sebelum ia wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan
dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat
memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga
kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan
dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak
bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari
ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini,
sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan
Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari
Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy
Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga
karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus
pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para
Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain
mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan)
tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing
ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak
ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi
menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang
sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana
Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda
Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana
Pakuan.
Bagi para sejarawan, ia adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu
dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur
mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan
seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggilnya dengan nama
lengkap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.
E. Wafatnya Sunan Gunung Jati
Pada tahun 1568 TU Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan di Pasir Jati,
yaitu puncak Bukit Sembung, di tepi kota Cirebon. Setelah Sunan Gunung Jati wafat,
pemerintahan di Cirebon dilanjutkan oleh Pangeran Mas yang bergelar Pangeran Ratu
atau Panembahan Ratu (1570-1640 TU) (Graaf, 1986: 254). Purwaka Caruban