Lalu dibuat susunan rencana perampokan ke seluruh anggota pejabat pajak untuk kemudian
dibagikan semua hartanya kepada rakyat miskin. Akibat dari perampokan tersebut, Sunan Kali
Jaga dijuluki oleh seantero Kerajaan Majapahit Bandar Lokajaya.
Akan tetapi aksi perampokan tersebut berhenti saat beliau Sunan Kali Jaga bertemu dengan
seseorang yang akan menjadi gurunya yaitu Sunan Bonang. Kemudain Raden Said dinasehati
supaya berhenti dari tindakannya tersebut, karena jalan untuk menuju kebaikan tidak dapat
ditempuh melalui jalan keburukan.
Akhirnya Sunan Kali Jaga pun berhenti dari tindakan perampokannya dan berguru ilmu agama
kepada Sunan Bonang. Dari sang gurulah Sunan Kali Jaga mendapat ide dalam berdakwah,
yaitu dengan memanfaatkan wayang dan gamelan.
Dimana ketika ada pertunjukkan wayang maupun yag menggunakan gamelan, didalamnya
disisipkan tentang ajaran Islam. Ajaran agama islam yang beliau dakwahkan ini bisa diterima
dan sangat membumi karena Sunan Kali Jaga merupakan orang Jawa asli.
Beliau mengajarkan ilmu agama Islam kepada masyarakat secara bertahap. Melalui ideologi
dan kebudayaan Jawa Sunan Kali Jaga menanamkan nilai-nilai agama Islam. Karena beliau
memiliki keyakinan bahwa ketika agama islam telah dipahami dan masuk kedalam hati maka
secara otomatis perilaku buruk maupun kebiasaannya akan hilang dengan sendirinya.
Untuk peninggalan dari Sunan Kalijaga berupa kesenian yang sekarang menjadi seni khas
Jawa yaitu seni, wayang, gamelan, ukir dan suluk.
6. Sunan Kudus (Ja’far Shadiq)
Nama asli dari Sunan Kudus yang juga merupakan cucu dari Sunan Ampel ialah Ja’far
Shadiq. Nasab beliau menjadi cucu Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati ini berasal dari
Ibunda beliau yang bernama Syarifah. Selain itu Sunan Kudus ini juga merupakan keponakan
dari Sunan Drajat dan Sunan Bonang.
Sumber ilmu tentang Agama Islam yang Sunan Kudus miliki ini berkat kegigihan beliau
menuntut ilmu di timur tengah yakni Yerusalem, Palestina atau tepatnya di kota Al-Quds.
Namun sebelumnya, beliua juga menuntut ilmu pada kedua pamannya yang juga merupakan
wali Allah.Di Yerusalem Sunan Kudus ini banyak mendapatkan ilmu-ilmu agama yang
langsung bersumber dari ulama-ulama dari Arab.Sehingga dengan ketawadahun dan luasnya
ilmu yang beliau miliki, kemudian beliau pulang ke Nusantara dan berinidiatif untuk
medirikan sebuah pondok pesantren untuk orang-orang umum belajar ilmu agama Islam.
Penulis sendiri belum mengetahui alasan beliau ini memilih desa Loram Kabupaten Kudus
Jawa Tengah ini sebagai tempat dakwah beliau.Setelah pondok pesantren yang beliau dirikan
ini berjalan beberapa waktu, berkat keluasan ilmu dan toleransi yang tinggi akan antar umat
beragama di Kudus tuan Ja’far Shadiq diminta untuk menjadi pemimpin disana. Untuk
mempermudah jalan dakwah beliau menyebar luaskan agama Islam di kalangan para pejabat,
bangsawan kerajaan dan para priyayi di tanah Jawa, beliau pun menyanggupi menjadi
seorang pemimpin.Selain sebagai seorang pemimpin yang bijaksana, berkat keluasan ilmu
yang dimiliki oleh Sunan Kudus ini, sampai-sampai para wali beliau memberikan gelar
sebagai Wali Al ‘ilmi yang artinya ialah orang yang memiliki ilmu luas.Dalam menyebarkan
agama Islam, tuan Ja’far Shadiq menggunakan metode yang hampir sama dengan metode
Sunan Kalijaga yakni melalui pendekatan terhadap kebudayaan daerah setempat. Beliau
menyisipkan nilai-nilai agama Islam ditengah kebudayaan Hindu Bunda yang telah mengakar
di masyarakat.Untuk peninggalan Sunan Kudus yang masih ada hingga sekarang ini ialah
Masjid Menara Kudus yang memiliki menara dengan corak khas bergaya Hindu. Selain
menara, tuan Ja’far Shadiq juga mewariskan budaya toleransi yang sangat mulia.Budaya
toleransi antar umat beragama yang masih berlaku sampai sekarang ini yaitu dengan tidak
menyembelih sapi ketika lebaran Idhul Adha. Untuk menghormati umat Hindu di daerah
Kudus, Beliau mengajarkan masyarakat untuk mengganti binatang hewan qurban sapi
menjadi kerbau. Merupakan ajaran mulia dari seorang wali Allah dan seorang pemimpin yang
patut untuk kita contoh yaa sahabat masbidin.netOh iya, sebagai catatan aja bahwa nama
beliau – Sunan Kudus– ini sebenarnya diambil dari sebuah nama kota tempat beliau menuntut
ilmu Agama Islam yaitu kota Al-Quds di Yerusalem, Palestina.
7. Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria memiliki nama asli yakni Raden Umar Said. Beliua merupakan putera dari
Sunan Kalijaga dengan istrnya yang bernama Saroh. Selain itu Raden Umar Said ini juga
merupakan keponakan dari Sunan Giri. Karena Ibunda beliau Saroh adalah adik kandung dari
Sunan Giri.
Dalam dakwahnya menyebarkan ajaran Islam, Sunan Muria mengadaptasi metode yang
digunakan oleh Ayahnya Sunan Kalijaga. Beliau menyampaikan ajaran melalui pendekatan
kebudayaan dan kesenian Jawa.
Akan tetapi beliau lebih memilih daerah pesisir pantai dan sekaligus tempat terpencil.
Sehingga dipilihlah oleh beliau daerah Gunung Muria yang berada di Provinsi Jawa Tengah
sebagai lokasi dan pusat dakwahnya.
Untuk wilayah tempat beliau dakwah ini menyebar hingga ke Pati, Kudus, Juana, Tayu dan
Jepara. Dimana kebanykan tempat-tempat yang beliau datangi ini merupakan daerah
pedesaan, pesisi pantai dan pegunungan.
Sunan Muria lebih banyak berdakwah kepada para masyarakat atau rakyat biasa. Karena
menurut beliau rakyat jelata ini merupakan kelompok yang paling banyak dan mereka juga
mudah dalam menerima ajaran Islam yang beliau ajarkan. Sehingga beliau juga bisa lebih
akrab bersama masyarakat umum.
Tidak hanya memberikan pengajaran tentang syariat Islam, Sunan Murian juga mengajarkan
banyak ilmu lain kepada masyarakat. Diantara ilmu-ilmu yang beliau ajarkan ialah ilmu
tentang bercocok tanam, cara berdagang yang sesuai dengan syariat Islam dan cara melaut.
Untuk memikat hati masyarakat umum belajar supaya mau belajar agama Islam, Raden Umar
Said menggunakan media tembang. Untuk temabng yang sering beliau gunakan dan terkenal
hingga sekarang ini adalah tembang Sinom dan tembang Kinanti.
Sedangkan peninggalan bersejarah Sunan Muria yang masih bisa kita saksikan pada hari ini
ialah sebuah Masjid Muria yang letaknya masih di daerah pusat beliau berdakwah.
8. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati atau Sultan Syarif Hidayatullah Al-Azmatkhan Al-Husaini Al-
Cirbuni Shahib Jabal Jati bin Sultan Syarif Malik Abdullah Umdatuddin Al-Azmatkhan
Al-Husaini (Arabic: الشريف هداية هللاSharīf Hidāyah Allāh[1]) atau Sayyid Al-Kamil adalah
salah seorang dari Walisongo, ia dilahirkan Tahun 1448 Masehi dari pasangan Syarif
Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam [2] dan Nyai Rara Santang, Putri Sri Baduga
Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran (yang setelah masuk Islam berganti
nama menjadi Syarifah Mudaim).[3]
Syarif Hidayatullah sampai di Cirebon pada tahun 1470 Masehi, yang kemudian dengan
dukungan Kesultanan Demak dan Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana
(Tumenggung Cirebon pertama sekaligus uwak Syarif Hidayatullah dari pihak ibu), ia
dinobatkan menjadi Tumenggung Cirebon ke-2 pada tahun 1479 dengan gelar Maulana
Jati.[4]
Nama Syarif Hidayatullah kemudian diabadikan menjadi nama Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta di daerah Tangerang Selatan, Banten.[5] Sedangkan nama
Sunan Gunung Jati diabadikan menjadi nama Universitas Islam negeri di Bandung,
yaitu Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, dan Korem 063/Sunan Gunung
Jati di Cirebon.[6]
9. Sunan Giri (Raden Paku/Muhammad Ainul
Yakin)
Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton,
yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Sunan Giri membangun Giri
Kedaton sebagai pusat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa yang pengaruhnya
bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu
Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudro. Ia lahir
di Banyuwangi tahun 1442 dan dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan
Rasulullah SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal
Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib,
Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus
Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi
al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah
Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Ibrahim
Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana Ishaq, dan Ainul
Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat
pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.
Dalam Hikayat Banjar, Pangeran Giri (alias Sunan Giri) merupakan cucu Putri Pasai
(Jeumpa?) dan Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI). Perkawinan Putri Pasai dengan
Dipati Hangrok melahirkan seorang putera. Putera ini yang tidak disebutkan namanya
menikah dengan puteri Raja Bali, kemudian melahirkan Pangeran Giri. Putri Pasai
adalah puteri Sultan Pasai yang diambil isteri oleh Raja Majapahit yang bernama
Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI). Mangkubumi Majapahit masa itu adalaha Patih
Maudara.