dan Peninggalannya
Walisongo – Ada beberapa nama sunan dari walisongo yang terkenal di indonesia
terutama di tanah jawa. Sebutan sunan sering diberikan untuk orang dimuliakan atau
lebih sholeh. Selain itu sebutan sunan juga sering diberikan kepada mereka yang masih
memiliki silsilah dengan kerajaan baik secara langsung atau setelah beberapa keturunan
dibawahnya. Pada artikel kali ini penulis ingin berbagi tentang
biografi walisongo dengan beberapa peninggalannya.
Dari sekian banyak sunan, hanya ada sembilan nama yang berperan aktif dalam
penyebaran agama Islam di indonesia. Kebanyakan dari kesembilan sunan ini
menyebarkan ajaran Islam di tanah jawa dengan metode yang berbeda-beda.
Sebutan walisongo sebenarnya berasal dari kata wali dan songo. Kata wali dapat
diartikan dengan wakil atau dalam Islam disebut dengan istilah waliyullah atau wali
Allah yang berarti kekasih Allah. Sedangkan kata songo berarti sembilan yang
menunjukan jumlah mereka yang ada sembilan.
Yang dimaksud dengan kekasih Allah ini adalah mereka orang-orang beriman dan
bertaqwa serta selalu senantiasa istiqomah di jalan Allah untuk menyebarkan ajaran
agama Islam di masyarakat pada umumnya. Selain menyebarkan ajaran Islam, mereka
juga mengajak manusia untuk lebih mengenal dan beriman Allah tanpa sebuah paksaan.
Dalam menyebarkan ajaran Islam kesembilan para wali ini memiliki tempat dan metode
yang berbeda-beda. Selain berdakwah beliau juga memberi sebuah wasiat atau nasehat
dan juga beberapa peninggalan untuk umat Islam di indonesia. Sehingga
nama Walisongo banyak dikenal sebagai tokoh sejarah dalam penyebaran agama islam
di indonesia.
Beliau lahir pada tahun 1401 masehi dan wafat pada tahun 1478 masehi. Kemudian
pada tahun 1443 beliau mulai hijrah ke Pulau Jawa. Dalam menyebarkan ajaran Islam ,
Sunan Ampel melakukan dakwah di daerah Ampel Denta, Surabaya.
Setelah berhijrah beliau lalu menikah dengan putri Adipati Tuban yang bernama Nyai
Ageng Manila. Dari hasil pernikahan tersebut lahirlah 4 anak yang diberi nama Putri
Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syaifuddin (Sunan
Drajat) dan Syarifah yang nantinya akan menjadi istri dari Sunan Kudus.
Sunan Gresik juga baru memulai dakwahnya pada akhir Kerajaan Majapahit. Dalam
memulai dakwahnya beliau merangkul rakyat biasa yang menjadi korban dari perang
saudara pada Kerajaan Majapahit. Pendekatan yang beliau lakukan kepada rakyat
dengan melalui cocok tanam dan jalur perdagangan
Sehingga masyarakat tersebut lebih terbantu dalam hal ekonomi dan perlahan
mempelajari Islam atas bimbingan beliau. Seiring dengan berjalannya waktu, orang yang
belajar Islam pun semakin banyak dan akhirnya Sunan Gresik mendirikan sebuah
Pondok Pesantren di daerah Leran. Dari pondok tulah beliau mengajarkan berbagai ilmu
hingga akhir hayatnya.
Beliau meninggal pada tahun 1941 dan kemudian dimakamkan di Desa Gapura Wetan,
Gresik. Selama berdakwah beliau selalu berusaha menghilangkan sistem kasta yang
menjadi sumber perpecahan dalam masyarakat. Peninggalan sejarah dari Sunan Gresik
berupa Masjid Maulana Malik Ibrahim di daerah Leran, Gresik.
Setelah selesai menimba ilmu dari Sunan Gresik, kemudian beliau pulang kembali ke
kota Tuban (kota kelahiran ibunya) lalu mendirikan sebuah Pondok Pesantren. Karena
kebanyakan masyarakat Tuban senang dengan musik, kemudian dalam dakwahnya
beliau menggunakan alat musik yaitu gamelan.
Seiring dengan berjalannya waktu, sudah banyak sekali murid dari Sunan Drajat. Hingga
akhirnya beliau mendirikan sebuah pondok pesantren di daerah Daleman di Desa Drajat
Paciran Lamongan.Dalam dakwahnya beliau melalui suluk seperti yang pernah diajarkan
oleh gurunya yaitu Sunan Muria.
Suluk Petuah adalah salah satu suluk yang beliau sampaikan kepada murid-muridnya.
Dalam suluk tersebut berisi beberapa pesan beliau yang harus ditanamkan dalam diri
untuk saling menolong sesama manusia. Salah satu kutipan dari suluk tersebut adalah:
1. “Wenehono teken marang wong kang wuto” maksudnya adalah berilah tongkat
kepada orang yang buta.
2. “Wenehono mangan marang wong kang luwe” yaitu berilah makanan kepada
orang yang lapar.
3. “Wenehono busono marang wong kang wudo” maksudnya berilah pakaian kepada
orang yang telanjang.
4. “Wenehono ngiyup marang wong kang kudanan” artinya berilah tempat kepada
orang yang kehujanan.
Dan masih banyak lagi suluk lain yang dikenal sebagai peninggalan Raden Syaifudin.
Hingga sekarang ini suluk tersebut dipelajari di pondok-pondok Jawa kuno.
5. Sunan Kalijaga (Raden Syahid)
Akan tetapi aksi perampokan tersebut berhenti ketika Raden Syahid bertemu dengan
seseorang yang kemudian menjadi gurunya yaitu Sunan Bonang. Saat bertemu dengan
Sunan Bonang, beliau diberi nasehat agar berhenti dari tindakannya tersebut, karena
untuk melakukan suatu kebaikan tidak harus ditempuh dengan sesuatu yang buruk.
Dan akhirnya Raden Syahid pun berhenti dari tindakan perampokannya serta kemudian
beliau berguru kepada Sunan Bonang untuk mempelajari ilmu agama. Dari sang gurulah
Sunan Kalijaga mendapatkan ide untuk melakukan dakwah dengan cara yang berbeda
yaitu memanfaatkan wayang dan gamelan.
Dalam pertunjukan tersebut beliau menyisipkan sedikit demi sedikit tentang ajaran
Islam. Dan dengan metode dakwah tersebut akhirnya bisa diterima dengan baik oleh
masyarakat. Selain berdakwah dengan wayang dan gamelan, beliau juga menanamkan
nilai-nilai ajaran Islam dalam berbagai kebudayaan lainnya.
Dalam peninggalan dari Sunan Kalijaga ada beberapa kesenian yang telah menjadi seni
khas yaitu wayang, gamelan, ukir dan juga ada beberapa lagu jawa yang terkenal yaitu
tembang lir ilir.
Setelah lama menuntut ilmu di sana, kemudian Sunan Kudus pulang ke Jawa lalu
mendirikan sebuah pondok pesantren di daerah Kudus. Untuk mempermudah dalam
berdakwah, beliau menyebarkan ajaran Islam dikalangan para pejabat, bangsawan
kerajaan dan para priyayi di tanah Jawa dengan menyanggupi menjadi seorang
pemimpin di sana.
Dalam menyebarkan ajaran Islam beliau juga menggunakan metode yang hampir sama
dengan Sunan Kalijaga yaitu melakukan pendekatan terhadap kebudayaan daerah
setempat. Dengan keluasan ilmunya, sampai-sampai para wali memberi gelar kepada
Sunan Kudus sebagai Wali Al’ilmi yang berarti orang yang mempunyai ilmu yang luas.
Selama Sunan Kudus berdakwah ada beberapa peninggalan yang sampai sekarang
masih ada yaitu Masjid Menara Kudus, tempat tersebut memiliki sebuah menara dengan
bercorak khas Hindu. Selain menara, beliau juga mewariskan budaya toleransi yang
sangat mulia.
Beliau menyampaikan ajaran Islam dengan melalui kebudayaan dan kesenian jawa. Akan
tetapi Sunan Muria lebih memilih tempat terpencil di pesisir pantai sebagai tempatnya
berdakwah. Tempat yang ia pilih adalah Gunung Muria yang berada di daerah Jawa
Tengah.
Dari tempatnya berdakwah telah menyebar ajarannya hingga ke Pati, Kudus, Juana, Tayu
dan Jepara. Dimana setiap tempat yang ia datangi hanyalah pedesaan, pesisir pantai
dan pegunungan.
Agar dalam berdakwah menarik banyak orang, beliau menggunakan sebuah tembang
jawa. Tembang jawa yang beliau gunakan salah satunya adalah
tembang Sinom dan Kinanti. Dalam peninggalannya selama berdakwah ada sebuah
Masjid Muria yang berada di daerah pusat tempat beliau berdakwah.
8. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Sebelum beliau berdakwah di tanah Jawa, sebenarnya sudah ada seorang ulama yang
berasal dari Baghdad untuk berdakwah di daerah Cirebon. Ulama tersebut bernama
Syekh Kahfi dengan membawa dua puluh muridnya berdakwah di tanah Jawa.
Selain itu Sunan Gunung Jati juga pernah dinobatkan sebagai Raja Cirebon ke 2 pada
tahun 1479 dengan gelar Maulana Jati. Selain di Cirebon beliau juga berdakwah sampai
ke Banten. Peninggalan sejarah Sunan Gunung Jati salah satunya adalah Masjid Agung
Banten.
Awal mula Sunan Giri menyebarkan ajaran Islam sejak beliau bertemu dengan Sunan
Ampel yang asih menjadi sepupunya. Setelah itu kemudian beliau disarankan oleh
Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Blambangan, sebelah selatan Banyuwangi
Jawa Timur. Saat itu masyarakat Blambangan sedang tertimpa sebuah penyakit. Hingga
putri Raja Blambangan pun juga terkena penyakit tersebut. Akhirnya Sunan Giri pun
dapat menyembuhkan putri tersebut juga para masyarakat Blambangan.
Dalam peninggalannya Sunan Giri juga menciptakan beberapa tembang jawa yang
terkenal oleh masyarakat jawa, yaitu tembang Asmaradana dan Pucung. Selain itu beliau
juga menciptakan beberapa lagu anak-anak dalam bahasa jawa, diantaranya Jamuran,
Cublak-cublak suweng, Jithungan dan Delikan yang sekarang masih ada dikalangan
anak-anak.