AN NAHDLIYAH DI INDONESIA
Dalam dunia dakwah Islam di Indonesia, istilah dan sebutan walisongo sangat terkenal.
Istilah walisongo berasal darai dua kata, wali dan songo. Wali kata yang berasal dari bahasa
Arab, dalam pengalaman sehari-hari yang berarti seseorang yang punya kewenangan atau
kekuasaan, contoh walikota, berarti orang yang berwenang/bertanggung jawab atau yang
berkuasa di kota tersebut, demikian juga kata wali nikah atau walimurid /walisiswa, yang berarti
orang yang berwenang menikahkan atau orang yang bertanggung jawab menikahkan, atau orang
yang bertanggung jawab atas murid/ siswa.
Adapun kata wali yang disandarkan pada kata “Allah”, menjadi waliyullah. Kata wali di sini
lebih layak dimaknai kekasih, yang berarti kekasih Allah. Wali-wali Allah adalah kekasih Allah
yaitu orang-orang yang menjadi kekasih Allah, terbukti mereka diberi dikelebihan atau
kehebatan yang luar biasa, bahkan hal-hal yang di luar akal pemikiran manusia yang disebut
karomah. Demikian juga dalam Kamus Bahasa Arab “al-Munjid”, kata wali itu diartikan “dekat”
atau “kerabat”, atau “teman” (Luis Ma’luf, 1061). Oleh karenanya kata “wali” dapat diartikan
teman dekat atau “kekasih” seperti dalam kata Waliyullah (Wali Allah) yang sering dijamakan
menjadi Auliyaullah (wali-wali Allah) yang berarti para kekasih Allah. Dalam makna yang
terakhir inilah yang dimaksud kata wali yang digabung dangan kata songo, kemudian terkenal
dengan istilah walisongo. Kata songo berasal dari bahasa Jawa yang berarti sembilan. Makna
inilah yang dimaksud dengan istilah walisongo, karena jumlah wali yang masyhur (terkenal),
yang menyebarkan Islam di Indonesia itu jumlahnya sembilan wali. Walisongo yang biasa kita
dengar sebagai tokoh dan penyebar Islam pertama kali di Indoneia khususnya di Pulau Jawa
memiliki gelar sunan. Kata sunan, berasal dari kata susuhunan yang identik dengan makna kata
“junjungan” yang memiliki makna yang artinya orang yang dimuliakan. Ada yang berasumsi
bahwa kata songo juga berasal dari bahasa kata Arab, yakni “tsana” yang identik dengan
kata“mahmud”, artinya terpuji atau mulia (Damani, 2001: 40). Sebagain lain ada mengatakan
‘sana’ berarti tempat, daerah atau wilayah.
Menurut Effendy Zarkasi (1977: 52) dapat diartikan sembilan orang Islam yang dianggap
keramat, penyebar agama Islam, mereka dianggap “kekasih Allah”, orang-orang yang dekat
dengan Allah, dikaruniai kekuatan gaib, mempunyai kekuatan-kekuatan batin yang sangat
berlebih, mempunyai ilmu yang sangat tinggi, dan sakti berjaya-kewijayaan, yang sering disebut
karomah, yaitu hal-hal yag luar biasa yang diberikan Allah kepada para kekasihNya (wali-
waliNya). Tentang bilangan sembilan ini, sebagaimana dikutip oleh Effendy Zarkasi (1977: 53).
dari pendapat Prof. Dr. Tjan Tjoe Siem, bahwa bilangan sembilan itu memang merupakan simbol
bagi orang Jawa yang berasal dari pengertian 8 (delapan) penjuru angin ditambah pusatnya yaitu
di tengah.
Dengan demikian, dalam istilah walisongo terkandung makna yang berarti:
a. Penyebar agama Islam yang terkenal di Indonesia, khususnya di Pulai
Jawa, pada era awal masuknya jumlah sembilan orang.
b. Para auliyaillah (wali-wali Allah) yang menyebarkan / membawa Islam ke Indonesia (Pulau
Jawa) yang jumlahnya sembilan orang.
c. Para ulama penyebar agama Islam di Indonesia (khususnya di Pulau Jawa) yang alim
mumpuni ilmu agamanya, istiqomah (konsisten) dalam ibadah dan taqwa sehingga memperoleh
anugerah ke-wali-an berupa karomah (hal-hal laur biasa yang diberikan Allah SWT kepada
hambanya yang bertaqwa) yang jumlahnya sembilan (songo) orang.
Nama nama sembilan orang wali (walisongo) yang masyhur dikenal umat Islam sebagai
penyebar Islam di Pulau Jawa khususnya dan umumnya di Indonesia adalah:
a. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)(w. Tahun 1419),
b. Raden Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel) (lahir tahun 1401),
c. Raden Ainul Yaqin / Raden Paku (Sunan Giri),
d. Raden Maqdum Ibrahim (Sunan Bonang)(w.1525)
e. Raden Mas Syahid (Sunan Kalijogo)
f. Raden Umar Said(Sunan Muria),
g. Syekh Ja’far Shadiq (Sunan Kudus)
h. Raden Qasim/Raden Syarifuddin (Sunan Drajat)
i. Raden Syarif Hidayatullah(Sunan Gungung Jati) (wafat tahun 1570)
Dalam berdakwah para wali memiliki riwayat dan tempat atau daerah yang berbeda-beda. Selain
berdakwah beliau-beliau juga memberikan wasiat dan peninggalan terhadap umat Islam di
Indonesia. Sehingga nama Walisongo dicantumkan dalam sejarah penyebaran Islam di Inonesia.
Selain sebagai seorang pemimpin yang bijaksana, berkat keluasan ilmu yang dimiliki oleh
Sunan Kudus ini, sampai-sampai para wali beliau memberikan gelar sebagai Wali Al ‘ilmi yang
artinya ialah orang yang memiliki ilmu luas. Dalam menyebarkan agama Islam, tuan Ja’far
Shadiq menggunakan metode yang hampir sama dengan metode Sunan Kalijaga yakni melalui
pendekatan terhadap kebudayaan daerah setempat. Beliau menyisipkan nilai-nilai agama Islam
ditengah kebudayaan Hindu Bunda yang telah mengakar di masyarakat. Untuk peninggalan
Sunan Kudus yang masih ada hingga sekarang ini ialah Masjid Menara Kudus yang memiliki
menara dengan corak khas bergaya Hindu. Selain menara, tuan Ja’far Shadiq juga mewariskan
budaya toleransi
yang sangat mulia.
Budaya toleransi antar umat beragama yang masih berlaku sampai sekarang ini yaitu dengan
tidak menyembelih sapi ketika lebaran Idhul Adha. Untuk menghormati umat Hindu di daerah
Kudus, Beliau mengajarkan masyarakat untuk mengganti binatang hewan qurban sapi menjadi
kerbau. Nama Sunan Kudus, ini sebenarnya diambil dari sebuah nama kota tempat beliau
menuntut ilmu Agama Islam yaitu kota Al-Quds di Yerusalem, Palestina.
Dengan demikian yang dimaksud dengan pola atau model penyebaran Islam Ahlussunnah Wal
Jamaah an-Nahdliyyah tidak lain adalah pola dan model penyebaran dakwah Islam yang
dilakukan oleh Walisongo yang kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya sampai pada
generasi para pendiri NU. Pola dakwah dan penyebarannya tidak lain adalah pola dakwah yang
ramah penuh hikmah, strategis melalui lembaga pendidikan dan keseniaan serta tradisi dan adat
yang tidak berentangan dengan kaidah-kaidah pokok ajaran Islam. Pada umumnya, pola dan
model model dakwah walisongo menggunakan pendekatan sosio kultural, dengan memakai
media kesenian dan mendirikan lembaga dakwah berupa pondok pesantren
Contoh pola dan model dakwah walisongo antara lain sebagai berikut :
Walisongo dan Pola / Model Dakwah
wilayah dakwah dan medianya
Maulana Malik 1. Membuka warung murah untuk kebutuhan
Ibrahim (Sunan umat,
Gresik) di daerah 2. Mengadakan pengobatan gratis
Gresik, Jawa Timur 3. Mengadakan pertunjukan kesenian,
dengan Tembang Suluk, Gundul-gundul
pacul
4. Membangun pondok pesantren pertama
di Pesucian
Syekh Ahmad 1. Mendirikan pondok pesantren Ampel
Rahmatullah (Sunan Denta
Ampel) di daerah 2. Memperkuat akidah dan ibadah
Ampel Denta, 3. Perancang kerajaan Islam Demak
Surabaya, Jawa 4. Mengadakan “pembauran” misaya
Timur perkawinan dengan puteri Manila
5. Menguatkan kontrol sosial dengan Ajaran
Molimo : Larangan berjudi, mabuk,
mencuri, narkoba dan zina
Raden Maqdum 1. Menyesuaikan dengan kebudayaan
Ibrahim (Sunan masyarakat
Bonang) di Tuban, 2. Memperkuat dakwah dalam pewayangan
Jawa Timur 3. Mengadakan Kesenian berupa Gending,
tembang tombo ati dan suluk
Raden Ainul Yaqin 1. Mengirim juru dakwah ke daerah diluar
/ Raden Paku (Sunan Jawa
Giri) di Giri, 2. Mendirikan Pondok Pesantren Giri
Gresik, Jawa Timur 3. Membudayakan permainan anak-anak
misalnya Jelungan, gendi ferit, jor, gula
anti, cublak-cublak suweng, lir ilir
4. Memasyaratkan seni Gending
Asmarandana
dan Pucun
Raden Qosim / 1. Mengorientasikan dakwahnya pada
Raden Syarifuddin kegotong-royongan
(Sunan Drajad) di 2. Mengadakan pendekatan kultural
Drajat, Lamongan, 3. Menciptakan tembang jawa ; Pangkur
Jawa Timur dan gamelan Singomengkok
4. Menciptakan suluk petuah: “Berilah
tongkat pada si buta, berilah makan pada
yang lapar, berilah pakaian pada yang
telanjang”
Raden Mas Syahid Menyesuaikan dengan Sosio budaya,
(Sunan Kalijaga) di 2. Memperkuat dakwah dalam pewayangan
Kadelangu, Demak, 3. Mengarang cerita-cerita pewayangan
Jawa Tengah misal Jamus Kalisada, babat alas
wonomarto, wahyu tohjali
4. Pengembangan budaya , seni suara, ukir,
busana (baju taqwa), pahat, dan kesusastraan
Syeikh Jakfar Shadiq 1. Mengubah cerita-cerita ketauhidan
(Sunan Kudus) 2. Pendekatan kultura , Toleransi Budaya
di Jipang Panoalan, misal Menambatkan sapi di halaman
Kudus, Jawa masjid
Tengah 3. Memanfaatkan simbol Hindu-Budha
4. Membetulkan menara, gerbang, tempat
wudhu
5. Kesenian Cerita agama Maskumambang
dan Mijil
Raden Umar Said 1. Menjadikan desa-desa terpencil sebagai
(Sunan Muria) di pusat dakwah
Gunung Muria, Kudus, 2. Kesenian Tembang dakwah Sinom dan
Jawa Tengah Kinanti
3. Mengadakan kursus-kursus bagi kaum
pedagang, nelayan,dan rakyat biasa seperti
berdagang, bercocok tanam, melaut, dll
Raden Syarif Hidayatullah 1. memangun infra struktur berupa
(Sunan jalan-jalan yang menghubungkan antar
Gunung Jati) di wilayah
Cireon, Jawa 3. Memanfaatkan pengaruhnya sebagai
Jawa Barat cucu kerajaan Padjajaran menyebarkan
Islam dari pesisir Cirebon kepedalaman
Pasundan/priangan
Rumusan Pengertian Islam Nusantara tersebut di atas inilah yang telah disepakati dalam
forum Komisi Bahtsul Masail Maudluiyah dalam forum Musyawarah Nasional Alim Ulama,
Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis (28/2/2019). Dalam
rumusan pengertian isilah Islam Nusantara tersebut di atas, dapat difahami bahwa Islm
Nusantara itu mengandung makna :
Islam Nusantara itu Islam Ahlussunnah Wal Jamaah yang dibawa oleh Walisongo sebagai
pendakwahnya. Islam yang tidak radikal, tetapi Islam yang rahmatan lil alamin yang mampu
mengakomodir sosio budaya yang tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara.
Islam yang telah dipratikkan oleh para ulama NU dengan segala tradisinya, yang di
antaranya; ziarah kubur, tahlilan, tawasul, semaan al-Qur’an, Shalawatan, Adzan 2 kali dalam
jumatan, tarawih 20 rekaat, tradisi halal bi halal, dll.
Nilai dan norma yang menjadi karakteristik utama dalam Islam Nusantara seperti tawasut,
tawazun, tasamuh dan a’tidal juga menjadi karakteristik Ahlusunnah Wal Jamaah an-Nahdliyah.
Oleh karena itu, setelah pengesahan rumusan pengertian Islam Nusantara oleh Munas Nahdlatul
Ulama, KH Said Aqil mengatakan bahwa seluruh pengurus NU dari pusat sampai ranting harus
memahami pengertian Islam Nusantara, dengan menegaskan kembali:
“Islam Nusantara bukan lah paham aliran, sekte, atau mazhab baru yang
dikembangkan di Indonesia.”Tapi Islam yang menghormati budaya, menghormati
tradisi yang ada selama tidak bertentangan dengan syariat Islam”.
Kian menjamurnya sejumlah kelompok berseberangan yang mengaku mengaku paham
Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) mendorong Nahdlatul Ulama merumuskan dan menegaskan
ulang sejumlah kriteria khas Aswaja yang dipegang NU pada Muktamar Ke-33 NU 1-5 Agustus
2015 lalu (Republika.co.id, Jakarta )
Menurut KH Afifuddin Muhajir, ketua Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudliuiyah yang
membahas persoalan ini, rumusan tersebut penting diangkat agar masyarakat mengerti kriteria
Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah yang mengedepankan ketersambungan ajaran kepada
Rasulullah dan sikap moderat. Dengan mendasarkan diri pada berbagai dalil dari al-Qur’an,
Hadits, dan pendapat ulama, sidang komisi Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudliuiyah yang
dihadiri para kiai dari PCNU dan PWNU se-Indonesia serta PCINU ini akhirnya menetapkan 14
butir kriteria istimewa. Hasil sidang komisi disahkan pada sidang pleno Muktamar Ke-33 NU,
Rabu (5/8).
Berikut kutipan selengkapnya:
Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang memiliki khashaish (kekhususan) yang
membedakan dengan berbagai firqah yang lain di dalam Islam. Khashaish itu merupakan
berbagai keistimewaan yang dimiliki oleh berbagai firqah yang lain. Khashaish sebagai
keistemewaan itu, antara lain:
Menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dua sumber pokok syari’at Islam, dan
menerima dua sumber yang lahir dari keduanya, yakni ijma’ dan qiyas.
Memahami syari’at Islam dari sumber Al-Qur’an dan As-Sunnah melalui:
Sanad (sandaran) para shahabat Nabi SAW. yang merupakan pelaku dan saksi ahli dalam
periwayatan hadits serta manhaj seleksinya, dan berbagai pemikiran yang
diimplementasikan dalam pelaksanaan tugas tasyri’ (penetapan hukum syar’i) setelah
beliau wafat. Mereka terutama empat shahabat yang disebut oleh Nabi SAW. sebagai Al-
Khulafa’ al-Rasyidun telah menyaksikan langsung dan memahami dengan cermat
pelaksanaan tasyri’ yang dipraktikkan oleh Nabi SAW.
Sanad dua generasi setelah shahabat, yakni tabi’in dan tabi’it tabi’in yang telah
meneladani dalam melanjutkan tugas tasyri’. Mereka telah mengembangkan perumusan
secara kongkrit mengenai prinsip-prinsip yang bersifat umum, kaidah-kaidah ushuliyyah
dan lainnya. Mereka adalah para Imam Mujtahid, Imam hadits dan lainnya.
Memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah secara menyeluruh berdasarkan kaidah-kaidah yang teruji
ketepatannya, dan tidak terjadi mu’aradlah (pertentangan) antara satu Nash dan Nash yang lain.
Dalam hal, diakui dan diterima:
Empat Imam Mujtahid termasyhur sekaligus Imam Madzhab fiqh darikalangan tabi’in dan tabi’it
tabi’in yang telah merumuskan kaidah-kaidahushuliyyah dan menerapkannya dalam
melaksanakan tasyri’ yang kemudianmenjadi pedoman bagi generasi berikutnya sampai
sekarang. Empat mujtahid besar itu;
(1) Imam Abu Hanifah An-Nu’man ibn Tsabit (80-150 H.),
(2) Imam Malik ibn Anas (93-173 H.),
(3) Imam Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i (150-204 H.), dan
(4) Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H.).
Para Imam madzhab aqidah, seperti Abul Hasan Al-Asy’ari (260-324),
dan Abu Mansur Al-Maturidi (W.333 H.).
Keberadaan tashawwuf sebagai ilmu yang mengajarkan teori taqarrub (pendekatan) kepada
Allah SWT. Melalui aurad dan dzikir yang diwadahi dalam thariqah sebagai madzhab, selama
sesuai dengan syari’at Islam. Dalam hal ini menerima para Imam tashawwuf, seperti Imam Abul
Qasim Al-Junaid al-Baghdadi (W.297H.) dan Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H.).
Melaksanakan syari’at Islam secara kaffah (komprehensif), dan tidak mengabaikan sebagian
yang lain. Memahami dan mengamalkan syari’at Islam secara tawassuth (moderat), dan tidak
ifrath dan tafrith.
Menghormati perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah, dan tidak mengklaim
bahwa hanya pendapatnya yang benar, sedangkan pendapat
Bersatu dan tolong menolong dalam berpegang teguh pada syari’at Islam meskipun
dengan cara masing-masing.
Melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dengan hikmah (bijak/ arif), dan tanpa
tindak kekerasan dan paksaan.
Mengakui keadilan dan keutamaan para shahabat, serta menghormatinya, dan menolak
keras menghina, mencerca dan sebagainya terhadap mereka, apalagi menuduh kafir.
Tidak menganggap siapa pun setelah Nabi SAW. adalah ma’shum (terjaga) dari
kesalahan dan dosa.
Tidak menuduh kafir terhadap sesama mukmin, dan menghindari berbagai hal yang dapat
menimbulkan permusuhan.
Menjaga ukhuwwah terhadap sesama mukmin, saling tolong menolong, menyayangi,
menghormati, dan tidak saling memusuhi.
Menghormati, menghargai, tolong menolong, dan tidak memusuhi pemeluk agama lain.
Pada dasarnya Islam Nusantara atau dengan mudah diungkapkan “Islam yang ada
Indonesia” atau model Islam di Indonesia adalah suatu wujud empiris Islam yang dikembangkan
di Nusantara setidaknya sejak abad ke-16, sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi,
interpretasi, dan vernakularisasi terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal, yang sesuai
dengan realitas sosio-kultural Indonesia. Istilah ini secara perdana resmi diperkenalkan dan
digalakkan oleh organisasi Islam Nahdlatul Ulama pada 2015, sebagai bentuk penafsiran
alternatif masyarakat Islam global yang selama ini selalu didominasi perspektif Arab dan Timur
Tengah. Islam Nusantara didefinisikan sebagai penafsiran Islam yang mempertimbangkan
budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia dalam merumuskan fikihnya. Pada Juni 2015,
Presiden Joko Widodo telah secara terbuka memberikan dukungan kepada Islam Nusantara, yang
merupakan bentuk Islam yang moderat dan dianggap cocok dengan nilai budaya Indonesia.
Penyebaran Islam di Indonesia adalah proses yang perlahan, bertahap, dan berlangsung secara
damai. Satu teori menyebutkan bahwa Islam datang secara langsung dari jazirah Arab sebelum
abad ke-9 M, sementara pihak lain menyebutkan peranan kaum pedagang dan ulama Sufi yang
membawa Islam ke Nusantara pada kurun abad ke-12 atau ke-13, baik melalui Gujarat di India
atau langsung dari Timur Tengah. Pada abad ke-16, Islam menggantikan agama Hindu dan
Buddha sebagai agama mayoritas di Nusantara.
Islam tradisional yang pertama kali berkembang di Indonesia adalah cabang dari Sunni
Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang diajarkan oleh kaum ulama, para kiai di pesantren. Model
penyebaran Islam seperti ini terutama ditemukan di Jawa. Beberapa aspek dari Islam tradisional
telah memasukkan berbagai budaya dan adat istiadat setempat.
Praktik Islam awal di Nusantara sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran Sufisme dan Aliran
spiritual Jawa yang telah ada sebelumnya. Beberapa tradisi, seperti menghormati otoritas kyai,
menghormati tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo, juga ikut ambil bagian dalam tradisi Islam
seperti ziarah kubur, tahlilan, dan memperingati maulid nabi, termasuk perayaan sekaten, secara
taat dijalankan oleh Muslim tradisional Indonesia.
Ciri utama dari Islam Nusantara adalah tawasuth (moderat), rahmah (pengasih), anti-
radikal, inklusif dan toleran. Dalam hubungannya dengan budaya lokal, Islam Nusantara
menggunakan pendekatan budaya yang simpatik dalam menjalankan syiar Islam; ia tidak
menghancurkan, merusak, atau membasmi budaya asli, tetapi sebaliknya, merangkul,
menghormati, memelihara, serta melestarikan budaya lokal selama tidak bertentangan dengn
syariah. Dengan demikian, salah satu ciri utama dari Islam Nusantara adalah mempertimbangkan
unsur budaya Indonesia
dalam merumuskan fikih.
TUGAS:
1. Jelaskan yang dimaksud dengan istilah Walisongo !
2. Jelaskan yang dimaksud dengan Islam Nusantara !
3. Jelaskan ciri-ciri Islam Nusantara !
4. Jelaskan keterkaitan Islam Nusantara dengan Ahlussunnah Wal Jamaah an-Nahdliyyah
5. Jelaskan keterkaitan NU dan Islam Nusantara