Anda di halaman 1dari 13

TOKOH PENYEBAR AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

AN NAHDLIYAH DI INDONESIA

1. Walisongo dan Penyebaran Islam di Indonesia


A. Pengertian Walisongo

Dalam dunia dakwah Islam di Indonesia, istilah dan sebutan walisongo sangat terkenal.
Istilah walisongo berasal darai dua kata, wali dan songo. Wali kata yang berasal dari bahasa
Arab, dalam pengalaman sehari-hari yang berarti seseorang yang punya kewenangan atau
kekuasaan, contoh walikota, berarti orang yang berwenang/bertanggung jawab atau yang
berkuasa di kota tersebut, demikian juga kata wali nikah atau walimurid /walisiswa, yang berarti
orang yang berwenang menikahkan atau orang yang bertanggung jawab menikahkan, atau orang
yang bertanggung jawab atas murid/ siswa.
Adapun kata wali yang disandarkan pada kata “Allah”, menjadi waliyullah. Kata wali di sini
lebih layak dimaknai kekasih, yang berarti kekasih Allah. Wali-wali Allah adalah kekasih Allah
yaitu orang-orang yang menjadi kekasih Allah, terbukti mereka diberi dikelebihan atau
kehebatan yang luar biasa, bahkan hal-hal yang di luar akal pemikiran manusia yang disebut
karomah. Demikian juga dalam Kamus Bahasa Arab “al-Munjid”, kata wali itu diartikan “dekat”
atau “kerabat”, atau “teman” (Luis Ma’luf, 1061). Oleh karenanya kata “wali” dapat diartikan
teman dekat atau “kekasih” seperti dalam kata Waliyullah (Wali Allah) yang sering dijamakan
menjadi Auliyaullah (wali-wali Allah) yang berarti para kekasih Allah. Dalam makna yang
terakhir inilah yang dimaksud kata wali yang digabung dangan kata songo, kemudian terkenal
dengan istilah walisongo. Kata songo berasal dari bahasa Jawa yang berarti sembilan. Makna
inilah yang dimaksud dengan istilah walisongo, karena jumlah wali yang masyhur (terkenal),
yang menyebarkan Islam di Indonesia itu jumlahnya sembilan wali. Walisongo yang biasa kita
dengar sebagai tokoh dan penyebar Islam pertama kali di Indoneia khususnya di Pulau Jawa
memiliki gelar sunan. Kata sunan, berasal dari kata susuhunan yang identik dengan makna kata
“junjungan” yang memiliki makna yang artinya orang yang dimuliakan. Ada yang berasumsi
bahwa kata songo juga berasal dari bahasa kata Arab, yakni “tsana” yang identik dengan
kata“mahmud”, artinya terpuji atau mulia (Damani, 2001: 40). Sebagain lain ada mengatakan
‘sana’ berarti tempat, daerah atau wilayah.
Menurut Effendy Zarkasi (1977: 52) dapat diartikan sembilan orang Islam yang dianggap
keramat, penyebar agama Islam, mereka dianggap “kekasih Allah”, orang-orang yang dekat
dengan Allah, dikaruniai kekuatan gaib, mempunyai kekuatan-kekuatan batin yang sangat
berlebih, mempunyai ilmu yang sangat tinggi, dan sakti berjaya-kewijayaan, yang sering disebut
karomah, yaitu hal-hal yag luar biasa yang diberikan Allah kepada para kekasihNya (wali-
waliNya). Tentang bilangan sembilan ini, sebagaimana dikutip oleh Effendy Zarkasi (1977: 53).
dari pendapat Prof. Dr. Tjan Tjoe Siem, bahwa bilangan sembilan itu memang merupakan simbol
bagi orang Jawa yang berasal dari pengertian 8 (delapan) penjuru angin ditambah pusatnya yaitu
di tengah.
Dengan demikian, dalam istilah walisongo terkandung makna yang berarti:
a. Penyebar agama Islam yang terkenal di Indonesia, khususnya di Pulai
Jawa, pada era awal masuknya jumlah sembilan orang.
b. Para auliyaillah (wali-wali Allah) yang menyebarkan / membawa Islam ke Indonesia (Pulau
Jawa) yang jumlahnya sembilan orang.
c. Para ulama penyebar agama Islam di Indonesia (khususnya di Pulau Jawa) yang alim
mumpuni ilmu agamanya, istiqomah (konsisten) dalam ibadah dan taqwa sehingga memperoleh
anugerah ke-wali-an berupa karomah (hal-hal laur biasa yang diberikan Allah SWT kepada
hambanya yang bertaqwa) yang jumlahnya sembilan (songo) orang.
Nama nama sembilan orang wali (walisongo) yang masyhur dikenal umat Islam sebagai
penyebar Islam di Pulau Jawa khususnya dan umumnya di Indonesia adalah:
a. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)(w. Tahun 1419),
b. Raden Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel) (lahir tahun 1401),
c. Raden Ainul Yaqin / Raden Paku (Sunan Giri),
d. Raden Maqdum Ibrahim (Sunan Bonang)(w.1525)
e. Raden Mas Syahid (Sunan Kalijogo)
f. Raden Umar Said(Sunan Muria),
g. Syekh Ja’far Shadiq (Sunan Kudus)
h. Raden Qasim/Raden Syarifuddin (Sunan Drajat)
i. Raden Syarif Hidayatullah(Sunan Gungung Jati) (wafat tahun 1570)

Dalam berdakwah para wali memiliki riwayat dan tempat atau daerah yang berbeda-beda. Selain
berdakwah beliau-beliau juga memberikan wasiat dan peninggalan terhadap umat Islam di
Indonesia. Sehingga nama Walisongo dicantumkan dalam sejarah penyebaran Islam di Inonesia.

B. Walisongo dan Penyebaran Islam di Indonesia


Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
Syekh maulana Maulana Malik Ibrahim terkenal juga dengan sebutan Sunan Gresik karena
makam dan petilasaannya (peninggalannya) terdapat di Desa Gapura Wetan, pusat kota Gresik
Jawa Timur. Malik Ibrahim ditengarai sebagai ulama agung yang pertama yang memulai
penyebaran Islam di tanah Jawa. Beliau memiliki garis keturunan sampai Rasulullah SAW pada
tingkatan silsilah (garis keturunan) ke-22. Jadi beliau adalah seorang habib. Istilah habib
merupakan sebutan orang yang memiliki garis keturunan Rasulullah SAW.
Sunan Gersik mulai berdakwah dengan merangkul rakyat biasa yang menjadi korban dari perang
saudara pada akhir masa Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa. Pendekatan beliau kepada rakyat
melalui bertani sesuai dengan alam lingkungan pertanian dan cocok tanam serta jalur
perdagangan. Sehingga masyarakat yang kesulitan dalam hal ekonomi merasa terbantu dan
perlahan mempelajari Islam atas bimbingan beliau. Selama berdakwah beliau selalu berusaha
menghilangkan strata social yang terkenal dengan sistem kasta yang menjadikan perpecahan di
masyarakat. Model dakwah ini beliau lakukan karena agama Islam mengajarkan
bahwa yang membedakan manusia satu dengan yang lain adalah ketaqwaannya
terhadap Allah SWT.
Peninggalan bersejarah dari Sunan Gresik berupa Masjid Malik Ibrahim di Leran, Gresik. Seiring
berjalannya waktu, orang yang belajar Islam pun semakin banyak, kemudian Sunan Gresik
mendirikan pondok pesantren di daerah Leran, Gresik. Di sebuah pondok pesantren itulah beliau
mengajarkan ilmu hingga akhir hayatnya pada tahun 1419 M.
Raden Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel)
Raden Rahmatullah atau yang terkenal dengan disebut Sunan Ampel lahir pada tahun 1401
M.dan wafat pada tahun 1478 M.. Beliau merupakan putra dari seorang ulama besar waliyullah
Syekh Maulana Ibrahim dari Samarkan yang kemudian dikenal dengan nama Maulana Ibrahim
Asmorokondi yang makam petilasannya di daerah Gisik, Tuban, Jawa Timur. Adapun Ibunda
Sunan ampel adalah Dewi Condro Wulan yang merupakan putri Raja Champa yang masih ada
silsilah keturunan Dinasti Ming yang terakhir. Dalam berdakwah di Ampel Denta, beliau banyak
melakukan pelayanan masyarakat yang ingin belajar dan berkonsultasi agama Islam dengan
mendirikan pondok pesantren. Karena kondisi masyarakat lemah dan rusak sebagai dampak
tradisi dan perilaku moralitas yang buruk, maka dakwah beliau diorientasikan pada
menghindarkan dan meninggalkan perilaku tradisi yang buruk yang merusak tatanan masyarakat
yang baik. Ajaran beliau terkenal dengan falsafah “Moh Limo”. Makana moh limo adalah
menolak lima hal perkara yang dilarang dalam Islam. Isi dari falsafah adalah:
Moh Main (tidak berjudi)
Moh Maling (tidak mencuri)
Moh Ngombe (tinak minum khamr atau minuman keras)
Moh Madat (tidak menghisap narkoba)
Moh Madon (tidak main perempuan atau berzina)
Petilasan yang dapat disaksikan sampai sekarang dan peninggalan bersejarah tidak dapat
diingkari dari Sunan Ampel adalah Masjid Ampel di Ampel Denta, Surabaya. Beliau wafat pada
tahun 1478 M. dan dimakamkan di dekat Masjid Ampel, Surabaya.

Raden Muhammad Ainul Yaqin / Raden Paku (Sunan Giri)


Raden Muhammad Ainul Yaqin yang juga dikenal dengan Raden Paku, dijuluki dengan
sebutan Sunan Giri. Beliau adalah putra dari Syekh Maulana Ishaq, seorang ulama dari Gujarat
yang pernah menetap di Pasai atau Aceh. Sementara ibunya bernama Dewi Sekardadu yang
menjadi putri Raja Hindu Blambangan, Jawa Timur. Sunan Giri menjadi murid Sunan Ampel
sampai alim dan abid yaitu orang yag mumpuni dalam ilmu agama Islam dan istiqomah dalam
beribadah. Kemudian disarankan menyebarkan ilmu di daerah Giri dan mendirikan Pondok
Pesantren di Giri daerah Gresik. Dalam peninggalannya Sunan Giri juga menciptakan beberapa
tembang jawa yang terkenal oleh masyarakat jawa, yaitu tembang Asmaradana dan Pucung.
Beliau juga menciptakan beberapa lagu anak-anak dalam Bahasa jawa, diantaranya Jamuran,
Cublak-cublak suweng, Jithungan dan Delikan yang sekarang masih ada dikalangan anak-anak.

Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)


Maulana Makdum Ibrahim yang juga dijuluki dengan sebutan Sunan Bonang merupakan
putra dari Sunan Ampel dengan istrinya yang Bernama Dewi Condrowati (Nyai Ageng Manila).
Sunan Bonang menuntut ilmu agama di daerah Pasai, Malaka. Maulana Makdum Ibrahim (Sunan
Bonang) juga menimba ilmu dari Sunan Giri terutama dalam metode penyebaran Islam agar
mudah diterima masyarakat. Selesai menimba ilmu dari Sunan Giri kemudian beliau pulang ke
kota Tuban (kota kelahiran ibunya) dan mendirikan sebuah pondok pesantren. Di Kota Tuban
Sunan Bonang menggencarkan dakwah melalui musik gamelan. Karakteristik masyarakat Tuban
yang menyukai hiburan terutama musik, membuat beliau melakukan pendekatan terhadap
masyarakat melalui alat
musik buatannya tersebut.Sunan Bonang melakukan dakwahnya di sela-sela pertunjukan musik.
Peninggalan bersejarah dari Beliau yaitu alat music tradisional gamelan berupa bonang, kenong
dan bende Tuban (kota kelahiran ibunya) dan mendirikan sebuah pondok pesantren. Di Kota
Tuban Sunan Bonang menggencarkan dakwah melalui musik gamelan. Karakteristik masyarakat
Tuban yang menyukai hiburan terutama musik, membuat beliau melakukan pendekatan terhadap
masyarakat melalui alat musik buatannya tersebut.Sunan Bonang melakukan dakwahnya di sela-
sela pertunjukan musik. Peninggalan bersejarah dari Beliau yaitu alat music tradisional gamelan
berupa bonang, kenong dan bende

Raden Qasim atau Raden Saifuddin (Sunan Drajat )


Raden Qosim atau yang dikenal sebagai Sunan Drajat merupakan saudara seibu dari Sunan
Bonang. Berdasarkan beberapa kisah yang ada beliau juga terkenal dengan sebutan Raden
Syaifudin. Beliau belajar ilmu agama dan berguru pada Sunan Muria setelah wafatnya sang ayah.
Kemudian kembali ke daerah pesisir Banjarwati, Lamongan untuk berdakwah. Untuk menunjang
dakwah Raden Qosim yang muridnya semakin banyak, beliau mendirikan sebuahh pondok
pesantren di daerah Daleman Dhuwur di Desa Drajat, Paciran Lamongan. Di sana Sunan Drajat
melangsungkan dakwahnya melalui suluk yang pernah di pelajarinya ketika berguru
pada Sunan Muria. Suluk yang sering beliau sampaikan kepada murid-muridnya ialah “Suluk
Petuah”. Dalam Suluk yang diajarkan Sunan Drajat terdapat beberapa pesan yang ditanamkan
dalam diri manusia untuk menolong sesama manusia.
Salah satu kutipan dalam suluk berbahasa Jawa “Ngoko” tersebut ialah:
a. Wenehono teken marang wong kang wuto maksudnya berilah tongkat
kepada orang yang buta.
b. Wenehono mangan marang wong kang luwe maksudnya berilah
makanan kepada orang yang lapar.
c. Wenehono busono marang wong kang wudo maksudnya berilah pakaian
kepada orang yang telanjang.
d. Wenohono ngiyup marang wong kang kudanan maksudnya berilah tempat berteduh kepada
orang yang kehujanan.
Serta masih banyak lagi suluk lain yang menjadi peninggalan Raden Syaifudin, namun suluk
yang terkenal adalah Suluk Petuah diatas. Suluk tersebut sampai sekarang masih dipelajari di
pondok-pondok Jawa kuno.

Raden Said (Sunan Kalijaga )


Sunan Kalijaga merupakan orang Jawa asli yang lahir di darah Tuban. Beliau memiliki nama
asli Raden Said. Beliau Raden Said merupakan anak dari seorang bupati Kabupaten Tuban yang
bernama Arya Wilatika, yang masih ada garis keturunan seorang pemimpin “pejuang” yaitu
Ronggolawe (w. 1292) ketika zaman Kerajaan Majapahit. Sunan Kalijaga ketika muda telah
mewarisi dari semangat ayahnya, Beliau memprotes keras terhadap penarikan pajak yang tidak
memiliki perikemanusiaan pada pemerintahan Kerajaan Majapahit. Lalu dibuat susunan rencana
perampokan ke seluruh anggota pejabat pajak untuk kemudian dibagikan semua hartanya kepada
rakyat miskin. Akibat dari perampokan tersebut, Sunan Kalijaga dijuluki oleh seantero Kerajaan
Majapahit sebagai Bandar Lokajaya. Akan tetapi aksi perampokan tersebut berubah saat beliau
Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Bonang (w. 1490). Karena kalah kesaktian dan
“keadidayaan” dengan dengan Sunan Bonang, maka Raden Said rela menjadi murid Sunan
Bonang serta dinasehati supaya berhenti dari tindakannya tersebut, karena jalan untuk menuju
kebaikan tidak dapat ditempuh melalui
jalan keburukan. Akhirnya Sunan Kalijaga pun berhenti dari tindakan perampokannya dan
berguru ilmu agama kepada Sunan Bonang. Dari sang gurulah Sunan Kali Jaga mendapat ide
dalam berdakwah, yaitu dengan memanfaatkan wayang dan gamelan. Dimana ketika ada
pertunjukkan wayang maupun yang menggunakan gamelan, didalamnya disisipkan tentang
ajaran Islam. Ajaran
agama islam yang beliau dakwahkan ini bisa diterima dan sangat membumi karena Sunan Kali
Jaga merupakan orang Jawa asli. Beliau mengajarkan ilmu agama Islam kepada masyarakat
secara bertahap. Melalui ideologi dan kebudayaan Jawa Sunan Kali Jaga menanamkan nilai-nilai
agama Islam.
Karena beliau memiliki keyakinan bahwa ketika agama islam telah dipahami dan masuk
kedalam hati maka secara otomatis perilaku buruk maupun kebiasaannya akan hilang dengan
sendirinya. Untuk peninggalan dari Sunan Kalijaga berupa kesenian yang sekarang menjadi seni
khas Jawa yaitu seni, wayang, gamelan, ukir dan suluk. Ketika muda Raden Syahid telah
mewarisi dari semangat ayahnya, beliau pernah memprotes keras terhadap penarikan pajak yang
tidak memiliki rasa kemanusiaan pada pemerintahan Kerajaan Majapahit. Kemudian dibuatlah
susunan rencana perampokan kepada seluruh anggota pejabat pajak dan kemudian untuk
dibagikan keseluruh rakyat
miskin. Akan tetapi aksi perampokan tersebut berhenti ketika Raden Syahid bertemu dengan
seseorang yang kemudian menjadi gurunya yaitu Sunan Bonang. Saat bertemu dengan Sunan
Bonang, beliau diberi nasehat agar berhenti dari tindakannya tersebut, karena untuk melakukan
suatu kebaikan tidak harus ditempuh dengan sesuatu yang buruk. Dan akhirnya Raden Syahid
pun berhenti dari tindakan perampokan nya serta kemudian beliau berguru kepada Sunan Bonang
untuk mempelajari ilmu agama. Dari sang gurulah Sunan Kalijaga mendapatkan ide untuk
melakukan dakwah dengan cara yang berbeda yaitu memanfaatkan wayang dan gamelan.
Dalam pertunjukan tersebut beliau menyisipkan sedikit demi sedikit tentang ajaran Islam. Dan
dengan metode dakwah tersebut akhirnya bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Selain
berdakwah dengan wayang dan gamelan, beliau juga menanamkan nilai-nilai ajaran Islam dalam
berbagai kebudayaan lainnya.Dalam peninggalan dari Sunan Kalijaga ada beberapa kesenian
yang telah menjadi seni khas yaitu wayang, gamelan, ukir dan juga ada beberapa lagu jawa yang
terkenal yaitu tembang lir ilir.

Syekh Ja’far Shadiq (Sunan Kudus )


Nama asli dari Sunan Kudus yang juga merupakan cucu dari Sunan Ampel ialah Ja’far
Shadiq. Nasab beliau menjadi cucu Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati ini berasal dari
Ibunda beliau yang bernama Syarifah. Selain itu Sunan Kudus ini juga merupakan keponakan
dari Sunan Drajat dan Sunan Bonang. Sumber ilmu tentang Agama Islam yang Sunan Kudus
miliki ini berkat kegigihan beliau menuntut ilmu di timur tengah yakni Yerusalem, Palestina atau
tepatnya di kota Al-Quds. Namun sebelumnya, beliau juga menuntut ilmu pada kedua pamannya
yang juga merupakan wali Allah. Di Yerusalem Sunan Kudus ini banyak mendapatkan ilmu-
ilmu agama yang langsung bersumber dari ulama-ulama dari Arab. Sehingga dengan
ketawadahun dan luasnya ilmu yang beliau miliki, kemudian beliau pulang ke Nusantara dan
beriniaiatif untuk mendirikan sebuah pondok pesantren untuk orang-orang umum belajar ilmu
agama Islam. Penulis sendiri belum mengetahui alasan beliau ini memilih desa Loram
Kabupaten Kudus Jawa Tengah ini sebagai tempat dakwah beliau.
Setelah pondok pesantren yang beliau dirikan ini berjalan beberapa waktu, berkat keluasan ilmu
dan toleransi yang tinggi akan antar umat beragama di Kudus tuan Ja’far Shadiq diminta untuk
menjadi pemimpin disana. Untuk mempermudah jalan dakwah beliau menyebar luaskan agama
Islam di kalangan para pejabat, bangsawan kerajaan dan para priyayi di tanah Jawa, beliau pun
menyanggupi menjadi seorang pemimpin .

Selain sebagai seorang pemimpin yang bijaksana, berkat keluasan ilmu yang dimiliki oleh
Sunan Kudus ini, sampai-sampai para wali beliau memberikan gelar sebagai Wali Al ‘ilmi yang
artinya ialah orang yang memiliki ilmu luas. Dalam menyebarkan agama Islam, tuan Ja’far
Shadiq menggunakan metode yang hampir sama dengan metode Sunan Kalijaga yakni melalui
pendekatan terhadap kebudayaan daerah setempat. Beliau menyisipkan nilai-nilai agama Islam
ditengah kebudayaan Hindu Bunda yang telah mengakar di masyarakat. Untuk peninggalan
Sunan Kudus yang masih ada hingga sekarang ini ialah Masjid Menara Kudus yang memiliki
menara dengan corak khas bergaya Hindu. Selain menara, tuan Ja’far Shadiq juga mewariskan
budaya toleransi
yang sangat mulia.
Budaya toleransi antar umat beragama yang masih berlaku sampai sekarang ini yaitu dengan
tidak menyembelih sapi ketika lebaran Idhul Adha. Untuk menghormati umat Hindu di daerah
Kudus, Beliau mengajarkan masyarakat untuk mengganti binatang hewan qurban sapi menjadi
kerbau. Nama Sunan Kudus, ini sebenarnya diambil dari sebuah nama kota tempat beliau
menuntut ilmu Agama Islam yaitu kota Al-Quds di Yerusalem, Palestina.

Raden Umar Said ( Sunan Muria)


Sunan Muria memiliki nama asli yakni Raden Umar Said. Beliua merupakan putera dari
Sunan Kalijaga dengan istrinya yang bernama Saroh. Selain itu Raden Umar Said ini juga
merupakan keponakan dari Sunan Giri. Karena Ibunda beliau Saroh adalah adik kandung dari
Sunan Giri. Dalam dakwahnya menyebarkan ajaran Islam, Sunan Muria mengadaptasi metode
yang digunakan oleh Ayahnya Sunan Kalijaga, yaitu dakwah melalui pendekatan kebudayaan
dan kesenian Jawa. Akan tetapi beliau lebih memilih daerah pesisir pantai dan sekaligus tempat
terpencil. Sehingga dipilihlah oleh beliau daerah Gunung Muria yang berada di Provinsi Jawa
Tengah sebagai lokasi dan pusat dakwahnya. Wilayah dakwah beliau menyebar hingga ke Pati,
Kudus, Juana, Tayu dan Jepara. Sasaran dakwah beliau kebanyakan daerah pedesaan, pesisi
pantai dan pegunungan. Sunan Muria lebih banyak berdakwah kepada para masyarakat atau
rakyat biasa. Karena menurut beliau rakyat jelata ini merupakan kelompok yang paling banyak
dan mereka juga mudah dalam menerima ajaran Islam yang beliau ajarkan. Sehingga beliau juga
bisa lebih akrab bersama masyarakat umum.
Tidak hanya memberikan pengajaran tentang syariat Islam, Sunan Muria juga mengajarkan
banyak ilmu lain kepada masyarakat. Diantara ilmu-ilmu yang beliau ajarkan ialah ilmu tentang
bercocok tanam, cara berdagang yang sesuai dengan syariat Islam dan cara melaut. Guna
menarik serta memikat hati masyarakat umum, supaya mau dan senang belajar agama Islam,
Raden Umar Said menggunakan media “tembang” (Nyanyian senandung Jawa). Jenis tembang
yang sering beliau gunakan masih terkenal hingga sekarang ini adalah tembang Sinom dan
tembang Kinanti. Juga peninggalan bersejarah Sunan Muria yang masih bisa kita saksikan pada
hari ini ialah sebuah Masjid Muria yang letaknya di daerah pusat beliau berdakwah, yaitu di
bukit gunung Muria.

Syarif Hidayatullah(Sunan Gunung Jati)


Menurut sejarah Sunan Gunung Jati merupakan salah satu putra dari kerajaan Pajajaran yang
bernama Pangeran Walangsungsang dan adiknya yang bernama Raja Santang. Beliau merupakan
salah satu dari Walisongo yang berdakwah di daerah Jawa Barat. Dalam dakwahnya beliau
memilih untuk menyebarkan ajaran Islam di daerah Cirebon. Sebelum beliau berdakwah di tanah
Jawa, sebenarnya sudah ada seorang ulama yang berasal dari Baghdad untuk berdakwah di
daerah Cirebon. Ulama tersebut bernama Syekh Kahfi dengan membawa dua puluh muridnya
berdakwah di tanah Jawa. Selain itu Sunan Gunung Jati juga pernah dinobatkan sebagai Raja
Cirebon ke 2 pada tahun 1479 dengan gelar Maulana Jati.
Selain di Cirebon beliau juga berdakwah sampai ke Banten. Peninggalan sejarah Sunan Gunung
Jati salah satunya adalah Masjid Agung Banten

2. Pola Penyebaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah di


Indonesia
Ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah an-Nahdliyyah merupakan ajaran Islam dari ajaran
Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang difahami dan dipraktikan oleh kaum Nahdliyin
(orang pengikut Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’). Jam’iyyah Nahdlatul Ulaman (NU) merupakan
organisasi yang didirikan oleh para ulama’ pengikut Walisogo, maka yang dimaksud dengan
Ahlussunnah Wal Jamaah an-Nahdliyyah adalah ajaran Islam yang diamalkan dan disebarkan
Walisongo di Indonesia (terutama di Pulau Jawa).

Dengan demikian yang dimaksud dengan pola atau model penyebaran Islam Ahlussunnah Wal
Jamaah an-Nahdliyyah tidak lain adalah pola dan model penyebaran dakwah Islam yang
dilakukan oleh Walisongo yang kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya sampai pada
generasi para pendiri NU. Pola dakwah dan penyebarannya tidak lain adalah pola dakwah yang
ramah penuh hikmah, strategis melalui lembaga pendidikan dan keseniaan serta tradisi dan adat
yang tidak berentangan dengan kaidah-kaidah pokok ajaran Islam. Pada umumnya, pola dan
model model dakwah walisongo menggunakan pendekatan sosio kultural, dengan memakai
media kesenian dan mendirikan lembaga dakwah berupa pondok pesantren

Contoh pola dan model dakwah walisongo antara lain sebagai berikut :
Walisongo dan Pola / Model Dakwah
wilayah dakwah dan medianya
Maulana Malik 1. Membuka warung murah untuk kebutuhan
Ibrahim (Sunan umat,
Gresik) di daerah 2. Mengadakan pengobatan gratis
Gresik, Jawa Timur 3. Mengadakan pertunjukan kesenian,
dengan Tembang Suluk, Gundul-gundul
pacul
4. Membangun pondok pesantren pertama
di Pesucian
Syekh Ahmad 1. Mendirikan pondok pesantren Ampel
Rahmatullah (Sunan Denta
Ampel) di daerah 2. Memperkuat akidah dan ibadah
Ampel Denta, 3. Perancang kerajaan Islam Demak
Surabaya, Jawa 4. Mengadakan “pembauran” misaya
Timur perkawinan dengan puteri Manila
5. Menguatkan kontrol sosial dengan Ajaran
Molimo : Larangan berjudi, mabuk,
mencuri, narkoba dan zina
Raden Maqdum 1. Menyesuaikan dengan kebudayaan
Ibrahim (Sunan masyarakat
Bonang) di Tuban, 2. Memperkuat dakwah dalam pewayangan
Jawa Timur 3. Mengadakan Kesenian berupa Gending,
tembang tombo ati dan suluk
Raden Ainul Yaqin 1. Mengirim juru dakwah ke daerah diluar
/ Raden Paku (Sunan Jawa
Giri) di Giri, 2. Mendirikan Pondok Pesantren Giri
Gresik, Jawa Timur 3. Membudayakan permainan anak-anak
misalnya Jelungan, gendi ferit, jor, gula
anti, cublak-cublak suweng, lir ilir
4. Memasyaratkan seni Gending
Asmarandana
dan Pucun
Raden Qosim / 1. Mengorientasikan dakwahnya pada
Raden Syarifuddin kegotong-royongan
(Sunan Drajad) di 2. Mengadakan pendekatan kultural
Drajat, Lamongan, 3. Menciptakan tembang jawa ; Pangkur
Jawa Timur dan gamelan Singomengkok
4. Menciptakan suluk petuah: “Berilah
tongkat pada si buta, berilah makan pada
yang lapar, berilah pakaian pada yang
telanjang”
Raden Mas Syahid Menyesuaikan dengan Sosio budaya,
(Sunan Kalijaga) di 2. Memperkuat dakwah dalam pewayangan
Kadelangu, Demak, 3. Mengarang cerita-cerita pewayangan
Jawa Tengah misal Jamus Kalisada, babat alas
wonomarto, wahyu tohjali
4. Pengembangan budaya , seni suara, ukir,
busana (baju taqwa), pahat, dan kesusastraan
Syeikh Jakfar Shadiq 1. Mengubah cerita-cerita ketauhidan
(Sunan Kudus) 2. Pendekatan kultura , Toleransi Budaya
di Jipang Panoalan, misal Menambatkan sapi di halaman
Kudus, Jawa masjid
Tengah 3. Memanfaatkan simbol Hindu-Budha
4. Membetulkan menara, gerbang, tempat
wudhu
5. Kesenian Cerita agama Maskumambang
dan Mijil
Raden Umar Said 1. Menjadikan desa-desa terpencil sebagai
(Sunan Muria) di pusat dakwah
Gunung Muria, Kudus, 2. Kesenian Tembang dakwah Sinom dan
Jawa Tengah Kinanti
3. Mengadakan kursus-kursus bagi kaum
pedagang, nelayan,dan rakyat biasa seperti
berdagang, bercocok tanam, melaut, dll
Raden Syarif Hidayatullah 1. memangun infra struktur berupa
(Sunan jalan-jalan yang menghubungkan antar
Gunung Jati) di wilayah
Cireon, Jawa 3. Memanfaatkan pengaruhnya sebagai
Jawa Barat cucu kerajaan Padjajaran menyebarkan
Islam dari pesisir Cirebon kepedalaman
Pasundan/priangan

3. Islam Nusantara Proyeksi Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyah


di Indonesia
Sebenarnya istilah Islam Nusantara pertama kali digulirkan oleh ketua Umum PBNU, KH.
Said Aqil saat Muhtamar NU di Jombang, Jawa Timur, pada 2015 lalu. Dengan tegas beliau
sampaikan bahwa Islam Nusantara bukan mazhab, bukan aliran, bukan sekte, tetapi hanya
tipologi Islam kita
orang nusantara. Kemudian beliau mencontohkan bagaimana Islam bisa masuk dalam
kebudayaan Indonesia, seperti dalam tradisi larungan atau syukuran laut maupun penggunaan
beduk untuk penanda waktu salat. “Beduk itu tadinya kan alat musik, kemudian diterima oleh
para alim ulama kegunaannya diganti, untuk memanggil waktu salat,”. Dengan demikian
yang beliau maksud Islam Nusantara adalah Islam yang disyiarkan oleh Walisongo kemudian
tumbuh dan berkembang di Nusantara dengan segala tradisi dan adat sosial budaya yang
menyertainya dan tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam yang dibawa oleh
Rasulullah SAW. Puncak dinamika diskursus Islam Nusantara sampai pada akhir perjuangan
kemerdekaan Negara kesantuan Republik Indonesia (NKRI) dengan munculnya spirit
nasionalisme dalam diri kaum santri yaitu ‘hubbul wathon minal iman’, fatwa yang
disampaikan oleh KH Hasyim Asy’ari ketika mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Menurut
Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil, para ulama di dunia tak ada yang mengenal istilah ‘hubbul
wathon minal iman’. “Islam harus menyatu dengan nasionalisme, nasionalisme harus diberi spirit
dengan Islam,”. Pro dan Kontra terhadap istilah Islam Nusantara, sebagian umat ini
mengkawatirkan menguatnya wacana “Islam Nusantara” akhir-akhir ini dianggap telah terjadi
aliran baru yang bisa memecah belah persatuan bangsa Indonesia atau memecah belah umat
Islam di Indonesia. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa’adi
dalam suatu kesempatan pada 26 Juli 2018 menyampaikan secara tertulis menyatakan bahwa
terminologi Islam Nusantara hanya sebuah istilah, “Islam Nusantara itu masuk dalam kategori
furu’iyyah bukan masalah pokok agama, karena hal itu hanya sebuah istilah bukan pada
substansi”. Perkembangan berikutnya, pro dan kontra terhadap makna Islam Nusantara menuntut
NU perlu merumuskan jatidiri dan makna Islam Nusantara tersebut dengan maksud agar tidak
bias makna dan tidak membingungkan umat. Rumusan tersebut selanjutnya disepakati dalam
Munas Alim Ulama’ setelah beberapa perwakilan pengurus PWNU dari sejumlah wilayah seperti
Sulawesi Selatan, Lampung, Banten, hingga Jawa Timur menyampaikan pandangannya,
kemudian disepakati pengertian Islam Nusantara secara substansi, yaitu bahwa :
“Islam Nusantara dalam pengertian substansial adalah Islam ahlisunnah waljamaah yang
diamalkan, didakwahkan, dan dikembangkan sesuai karakteristik masyarakat dan budaya di
Nusantara oleh para pendakwahnya,”

Rumusan Pengertian Islam Nusantara tersebut di atas inilah yang telah disepakati dalam
forum Komisi Bahtsul Masail Maudluiyah dalam forum Musyawarah Nasional Alim Ulama,
Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis (28/2/2019). Dalam
rumusan pengertian isilah Islam Nusantara tersebut di atas, dapat difahami bahwa Islm
Nusantara itu mengandung makna :
Islam Nusantara itu Islam Ahlussunnah Wal Jamaah yang dibawa oleh Walisongo sebagai
pendakwahnya. Islam yang tidak radikal, tetapi Islam yang rahmatan lil alamin yang mampu
mengakomodir sosio budaya yang tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara.

Islam yang telah dipratikkan oleh para ulama NU dengan segala tradisinya, yang di
antaranya; ziarah kubur, tahlilan, tawasul, semaan al-Qur’an, Shalawatan, Adzan 2 kali dalam
jumatan, tarawih 20 rekaat, tradisi halal bi halal, dll.
Nilai dan norma yang menjadi karakteristik utama dalam Islam Nusantara seperti tawasut,
tawazun, tasamuh dan a’tidal juga menjadi karakteristik Ahlusunnah Wal Jamaah an-Nahdliyah.
Oleh karena itu, setelah pengesahan rumusan pengertian Islam Nusantara oleh Munas Nahdlatul
Ulama, KH Said Aqil mengatakan bahwa seluruh pengurus NU dari pusat sampai ranting harus
memahami pengertian Islam Nusantara, dengan menegaskan kembali:
“Islam Nusantara bukan lah paham aliran, sekte, atau mazhab baru yang
dikembangkan di Indonesia.”Tapi Islam yang menghormati budaya, menghormati
tradisi yang ada selama tidak bertentangan dengan syariat Islam”.
Kian menjamurnya sejumlah kelompok berseberangan yang mengaku mengaku paham
Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) mendorong Nahdlatul Ulama merumuskan dan menegaskan
ulang sejumlah kriteria khas Aswaja yang dipegang NU pada Muktamar Ke-33 NU 1-5 Agustus
2015 lalu (Republika.co.id, Jakarta )

Menurut KH Afifuddin Muhajir, ketua Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudliuiyah yang
membahas persoalan ini, rumusan tersebut penting diangkat agar masyarakat mengerti kriteria
Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah yang mengedepankan ketersambungan ajaran kepada
Rasulullah dan sikap moderat. Dengan mendasarkan diri pada berbagai dalil dari al-Qur’an,
Hadits, dan pendapat ulama, sidang komisi Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudliuiyah yang
dihadiri para kiai dari PCNU dan PWNU se-Indonesia serta PCINU ini akhirnya menetapkan 14
butir kriteria istimewa. Hasil sidang komisi disahkan pada sidang pleno Muktamar Ke-33 NU,
Rabu (5/8).
Berikut kutipan selengkapnya:
Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang memiliki khashaish (kekhususan) yang
membedakan dengan berbagai firqah yang lain di dalam Islam. Khashaish itu merupakan
berbagai keistimewaan yang dimiliki oleh berbagai firqah yang lain. Khashaish sebagai
keistemewaan itu, antara lain:

 Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah merupakan satu-satunya firqah (golongan) di antara berbagai


firqah di dalam Islam yang disebut oleh Nabi SAW sebagai firqah ahli surga. Mereka
adalah para shahabat Nabi SAW. yang dikenal dengan sebutan As-Salafush Shalih yang
senantiasa berpegang teguh pada sunnah Nabi. SAW. dan dilanjutkan oleh tabi’in dan
tabi’it tabi’in, dua generasi yang memiliki keutamaan sebagaimana dinyatakan oleh Nabi
SAW. Kemudian diikuti oleh para pengikutnya sampai sekarang.

 Menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dua sumber pokok syari’at Islam, dan
menerima dua sumber yang lahir dari keduanya, yakni ijma’ dan qiyas.
 Memahami syari’at Islam dari sumber Al-Qur’an dan As-Sunnah melalui:
 Sanad (sandaran) para shahabat Nabi SAW. yang merupakan pelaku dan saksi ahli dalam
periwayatan hadits serta manhaj seleksinya, dan berbagai pemikiran yang
diimplementasikan dalam pelaksanaan tugas tasyri’ (penetapan hukum syar’i) setelah
beliau wafat. Mereka terutama empat shahabat yang disebut oleh Nabi SAW. sebagai Al-
Khulafa’ al-Rasyidun telah menyaksikan langsung dan memahami dengan cermat
pelaksanaan tasyri’ yang dipraktikkan oleh Nabi SAW.
 Sanad dua generasi setelah shahabat, yakni tabi’in dan tabi’it tabi’in yang telah
meneladani dalam melanjutkan tugas tasyri’. Mereka telah mengembangkan perumusan
secara kongkrit mengenai prinsip-prinsip yang bersifat umum, kaidah-kaidah ushuliyyah
dan lainnya. Mereka adalah para Imam Mujtahid, Imam hadits dan lainnya.
Memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah secara menyeluruh berdasarkan kaidah-kaidah yang teruji
ketepatannya, dan tidak terjadi mu’aradlah (pertentangan) antara satu Nash dan Nash yang lain.
Dalam hal, diakui dan diterima:
Empat Imam Mujtahid termasyhur sekaligus Imam Madzhab fiqh darikalangan tabi’in dan tabi’it
tabi’in yang telah merumuskan kaidah-kaidahushuliyyah dan menerapkannya dalam
melaksanakan tasyri’ yang kemudianmenjadi pedoman bagi generasi berikutnya sampai
sekarang. Empat mujtahid besar itu;
(1) Imam Abu Hanifah An-Nu’man ibn Tsabit (80-150 H.),
(2) Imam Malik ibn Anas (93-173 H.),
(3) Imam Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i (150-204 H.), dan
(4) Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H.).
Para Imam madzhab aqidah, seperti Abul Hasan Al-Asy’ari (260-324),
dan Abu Mansur Al-Maturidi (W.333 H.).
Keberadaan tashawwuf sebagai ilmu yang mengajarkan teori taqarrub (pendekatan) kepada
Allah SWT. Melalui aurad dan dzikir yang diwadahi dalam thariqah sebagai madzhab, selama
sesuai dengan syari’at Islam. Dalam hal ini menerima para Imam tashawwuf, seperti Imam Abul
Qasim Al-Junaid al-Baghdadi (W.297H.) dan Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H.).
Melaksanakan syari’at Islam secara kaffah (komprehensif), dan tidak mengabaikan sebagian
yang lain. Memahami dan mengamalkan syari’at Islam secara tawassuth (moderat), dan tidak
ifrath dan tafrith.
 Menghormati perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah, dan tidak mengklaim
bahwa hanya pendapatnya yang benar, sedangkan pendapat
 Bersatu dan tolong menolong dalam berpegang teguh pada syari’at Islam meskipun
dengan cara masing-masing.
 Melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dengan hikmah (bijak/ arif), dan tanpa
tindak kekerasan dan paksaan.
 Mengakui keadilan dan keutamaan para shahabat, serta menghormatinya, dan menolak
keras menghina, mencerca dan sebagainya terhadap mereka, apalagi menuduh kafir.
 Tidak menganggap siapa pun setelah Nabi SAW. adalah ma’shum (terjaga) dari
kesalahan dan dosa.
 Tidak menuduh kafir terhadap sesama mukmin, dan menghindari berbagai hal yang dapat
menimbulkan permusuhan.
 Menjaga ukhuwwah terhadap sesama mukmin, saling tolong menolong, menyayangi,
menghormati, dan tidak saling memusuhi.
 Menghormati, menghargai, tolong menolong, dan tidak memusuhi pemeluk agama lain.

Pada dasarnya Islam Nusantara atau dengan mudah diungkapkan “Islam yang ada
Indonesia” atau model Islam di Indonesia adalah suatu wujud empiris Islam yang dikembangkan
di Nusantara setidaknya sejak abad ke-16, sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi,
interpretasi, dan vernakularisasi terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal, yang sesuai
dengan realitas sosio-kultural Indonesia. Istilah ini secara perdana resmi diperkenalkan dan
digalakkan oleh organisasi Islam Nahdlatul Ulama pada 2015, sebagai bentuk penafsiran
alternatif masyarakat Islam global yang selama ini selalu didominasi perspektif Arab dan Timur
Tengah. Islam Nusantara didefinisikan sebagai penafsiran Islam yang mempertimbangkan
budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia dalam merumuskan fikihnya. Pada Juni 2015,
Presiden Joko Widodo telah secara terbuka memberikan dukungan kepada Islam Nusantara, yang
merupakan bentuk Islam yang moderat dan dianggap cocok dengan nilai budaya Indonesia.
Penyebaran Islam di Indonesia adalah proses yang perlahan, bertahap, dan berlangsung secara
damai. Satu teori menyebutkan bahwa Islam datang secara langsung dari jazirah Arab sebelum
abad ke-9 M, sementara pihak lain menyebutkan peranan kaum pedagang dan ulama Sufi yang
membawa Islam ke Nusantara pada kurun abad ke-12 atau ke-13, baik melalui Gujarat di India
atau langsung dari Timur Tengah. Pada abad ke-16, Islam menggantikan agama Hindu dan
Buddha sebagai agama mayoritas di Nusantara.

Islam tradisional yang pertama kali berkembang di Indonesia adalah cabang dari Sunni
Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang diajarkan oleh kaum ulama, para kiai di pesantren. Model
penyebaran Islam seperti ini terutama ditemukan di Jawa. Beberapa aspek dari Islam tradisional
telah memasukkan berbagai budaya dan adat istiadat setempat.
Praktik Islam awal di Nusantara sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran Sufisme dan Aliran
spiritual Jawa yang telah ada sebelumnya. Beberapa tradisi, seperti menghormati otoritas kyai,
menghormati tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo, juga ikut ambil bagian dalam tradisi Islam
seperti ziarah kubur, tahlilan, dan memperingati maulid nabi, termasuk perayaan sekaten, secara
taat dijalankan oleh Muslim tradisional Indonesia.
Ciri utama dari Islam Nusantara adalah tawasuth (moderat), rahmah (pengasih), anti-
radikal, inklusif dan toleran. Dalam hubungannya dengan budaya lokal, Islam Nusantara
menggunakan pendekatan budaya yang simpatik dalam menjalankan syiar Islam; ia tidak
menghancurkan, merusak, atau membasmi budaya asli, tetapi sebaliknya, merangkul,
menghormati, memelihara, serta melestarikan budaya lokal selama tidak bertentangan dengn
syariah. Dengan demikian, salah satu ciri utama dari Islam Nusantara adalah mempertimbangkan
unsur budaya Indonesia
dalam merumuskan fikih.

Islam Nusantara dikembangkan secara lokal melalui institusi Pendidikan tradisional


pesantren. Pendidikan ini dibangun berdasarkan sopan santun dan tata krama ketimuran; yakni
menekankan penghormatan kepada kiai dan ulama sebagai guru agama. Para santri memerlukan
bimbingan dari guru agama mereka agar tidak tersesat sehingga mengembangkan paham yang
salah atau radikal. Salah satu aspek khas adalah penekanan pada prinsip Rahmatan lil Alamin
(rahmat bagi semesta alam) sebagai nilai universal Islam, yang memajukan perdamaian,
toleransi, saling hormat-menghormati, serta pandangan yang berbineka dalam hubungannya
dengan sesame umat Islam, ataupun hubungan antaragama dengan pemeluk agama lain.

TUGAS:
1. Jelaskan yang dimaksud dengan istilah Walisongo !
2. Jelaskan yang dimaksud dengan Islam Nusantara !
3. Jelaskan ciri-ciri Islam Nusantara !
4. Jelaskan keterkaitan Islam Nusantara dengan Ahlussunnah Wal Jamaah an-Nahdliyyah
5. Jelaskan keterkaitan NU dan Islam Nusantara

Anda mungkin juga menyukai